Jumat, 30 Maret 2012

Renungan Senja: Social Engineer

Jum'at, 30 Mar 12
8.00 pm

Menutup senja tadi dengan hikmah yang luar biasa. Seolah menutup telinga pada suara para pendemo yang masih berkeliaran di luar sana, di ruas-ruas jalan. Demo tentang kenaikan harga BBM per 1 April mendatang. Okay, kita sebagai kaum intelektual sebenarnya punya sesuatu yang lebih bermakna ketimbang berpanas-panas meneriakkan kata-kata provokatif hingga parau. Sesuatu yang lebih bisa menunjukkan kemanfaatan sekolah. Kalau cuma teriak mah nggak perlu sekolah juga sudah bisa, kan? Well, kita tinggalkan saja urusan demo mendemo itu.

Senja yang cerah di sebuah bangunan berlantai dua. Empat orang mahasiswa tengah asyik berbagi kabar dan pengalaman mereka setelah sekian lama tak berjumpa. Sebuah perjumpaan yang penuh makna. Kontemplasi. Empat orang yang dipertemukan karena merasa ada suatu kewajiban untuk membersamai satu sama lain.

Di masa-masa kritis seperti sekarang ini memang sangat dibutuhkan significant person sebagai tempat berbagi. Masa kritis, masa tak lagi ada jadwal kuliah, masa di mana teman-teman yang dulu main suka-suka sekarang mendekam di kediaman masing-masing. Kebersamaan itulah yang diperlukan. Meski mungkin hanya seminggu sekali bisa berbagi kabar, tapi ada janji untuk tetap bersama, saling menguatkan satu sama lain.

Sharing masih berlanjut. Ada satu istilah yang menguar. Social Engineer. Apa itu?? Istilah itu dibawa oleh seorang dosen saat memberikan materi perkuliahan di sebuah kelas. Bisa jadi apa yang sedang kita lakukan sekarang ini bukan berasal dari keputusan yang kita ambil secara sadar bahwa itu benar-benar pilihan kita. Ada social engineer yang menggerakkan keputusan kita. Sebagai contoh, dulu semasa sekolah bapak dosen itu tidak tahu menahu soal kuliah dan berbagai universitas yang ada. Ketika melihat teman-temannya banyak yang mendaftar di universitas tertentu dengan jurusan tertentu, jadilah beliau memutuskan untuk mendaftar di universitas dengan jurusan tertentu itu. Setelah beberapa semester dijalani barulah beliau menyadari bahwa ia tidak akan kuliah di sini jika dulu beliau benar-benar mengambil keputusannya atas dasar pilihan sadarnya sendiri.

Iya, kupikir. Kita seringkali tidak benar-benar menyadari, apakah apa yang kita lakukan sekarang ini murni dari dalam diri internal kita sendiri atau jangan-jangan kita sedang dikendalikan oleh social engineer yang ada di sekitar kita?

Hal serupa tapi tak sama, atau mungkin berkaitan adalah efek sugesti. Kita hidup di dunia ini penuh dilingkupi oleh berbagai macam paradigma. Ada yang sejalan, ada yang saling bertabrakan. Berbagai info yang masuk dalam otak kita sedikit banyak mempengaruhi pola pikir kita. Tapi kita sebagai kaum yang ngakunya terpelajar (semoga benar-benar terpelajar) tahu bahwa semua itu membawa pengaruhnya masing-masing. Sugesti. Kita harus pandai-pandai memilah pola pikir mana yang hanya berupa sugesti dan mana yang berupa pantulan diri kita yang sebenarnya.

Sama ketika kita menonton televisi. Apa yang kita lihat sangat mempengaruhi pola pikir kita, bahkan emosi kita juga kena. Contoh gamblangnya saja, ketika kita nonton tayangan sinetron yang berisi kaum-kaum galau nan alay, mau tak mau kita terlarut dalam jalinan cerita itu. Emosi kita juga ikut terombang-ambing di sana. Atau ketika kita menonton berita tentang demo mahasiswa vs kebijakan pemerintah. Emosi kita bakal diayun-ayunkan di sana. Atau tayangan-tayangan lain. Apa yang kita lihat dan kita dengar tersebut akan membentuk pikiran kita. Ketika emosi kita dalam keadaan labil, kita berada dalam fase sugestible (mudah dipengaruhi). Lalu mengapa kita tidak mencoba untuk belajar menjadi netral? Mungkin lebih baik kita menentukan posisi diri (self) kita ketika menerima suatu info, agar kita tidak mudah terombang-ambing.

Sharing keempat mahasiswa itu diakhiri dengan kata-kata yang agak menusuk tapi mampu membakar semangat. "Menyedihkan sekali ketika kita kuliah selama empat tahun dan tidak mendapatkan apa-apa. Ilmu yang kita dapat haruslah memberi kemanfaatan."
Minimal, kita mampu membedakan mana yang fakta dan mana yang sekedar mitos. Haha..

PS. Song of this night: Babylon-David Gray (Boyce Avenue Acoustic Cover)

Rabu, 28 Maret 2012

Jejak Langkah Saung Kecil: Belajar Renang

Jogja, 28 Maret 2012

Saung kecil tersenyum puas. Sore ini ia belajar renang. Serupa anak kecil yang berlarian girang mengejar balon, saung kecil pun begitu girang mengecipakkan tangan dan kakinya di dalam kolam. Rada lebay memang aksi saung kecil di dalam kolam itu. Tapi dapat dipahami mengingat selama hidupnya ia baru dua kali itu masuk kolam renang. Pertama kali dulu ketika ia belum lagi bisa lancar baca-tulis. Hanya mencelupkan badannya ke dalam kolam renang dan melangkahkan kaki mengelilingi tepinya. Sudah itu saja. Tidak berani menggerak-gerakkan badannya lebih jauh lagi.

Sebetulnya, sore itu bukan benar-benar kali pertama saung kecil belajar renang. Ia belajar renang (bukan sekedar berjalan mengelilingi kolam) pertama kali kira-kira delapan bulan yang lalu ketika ia mendapat amanat dari kampusnya. Saat itu saung kecil beserta teman-temannya belajar renang justru di sungai yang cukup deras aliran airnya. Untung beberapa di antara teman saung kecil tersebut sudah mahir dalam berenang. Jadi saung kecil berguru kepada temannya itu, bagaimana cara menggerakkan kaki, bagaimana cara mengambang, dan sebagainya. Sayangnya, pelajaran renang itu hanya didapat saung kecil sebanyak satu kali. Sementara untuk mengambang di air pun saung kecil belum bisa.

Delapan bulan berlalu tanpa pernah menyentuh air untuk berenang kembali. Dan sore itu, saung kecil kembali belajar renang. Bersama sahabat kecilnya. Kali itu di kolam renang umum, bukan lagi di sungai beraliran deras yang berbatu. Perlahan saung kecil meluncur. Sambil berpegang erat pada pelampung yang menurut saung kecil lebih berbentuk seperti alat yang digunakan sebagai alas mengiris bumbu-bumbu dapur. Saung kecil biasa menyebutnya 'telenan'. Imajinasi saung kecil yang berlebihan memang.

Akhirnya saung kecil bisa meluncur. Tanpa perlu menggerakkan tangannya. Hanya kedua kakinya yang berkecipak tak teratur. Berulang kali berhenti dan berpijak pada alas kolam. Sekedar mengambil nafas karena doktrin yang ditanamkan di kepalanya sejak delapan bulan yang lalu tentang berenang adalah tahan napas. Sementara saung kecil sejak bayi hanya punya napas yang pendek-pendek. Bawaan organ dalam saung kecil.

Saung kecil meluncur dari ujung ke ujung. Dengan teknik yang sama. Tapi ia belum berani untuk melepaskan pelampung telenan itu dari tangannya. Takut tenggelam. Tak apa. Yang penting saung kecil berani untuk belajar. Sebelum pulang, saung kecil membaca sekali lagi tulisan yang ada di dinding ruangan kolam renang itu. "Sehat itu mahal. Berenang itu murah." Saung kecil melongok pada isi dompetnya.


PS. Kebanggaan bukan datang dari hasil yang sangat sempurna. Kebanggaan yang sesungguhnya datang ketika kita berani untuk belajar sesuatu yang sebelumnya kita anggap sulit atau menakutkan.

Sabtu, 24 Maret 2012

Jejak Langkah Saung Kecil: Antara Superhero dan Kegalauan Kliennya

Sabtu malam, 24 Maret 2012

"Ini adalah sabtu malam", pikir saung kecil. Seperti biasanya, agenda rutin si saung kecil setiap sabtu malam adalah duduk mencakung di teras kamar kosnya. Kadang-kadang sendiri, kadang-kadang bersama teman kosnya. Tetapi yang paling sering terjadi adalah teman-teman kos saung kecil yang ikut mencakung akan meninggalkan saung kecil dengan segera dengan alasan kedinginan. Saung kecil sadar sesadar-sadarnya bahwa angin malam tidak baik bagi kesehatan. Tapi bukan saung kecil namanya kalau tidak bandel.

Sambil mendengarkan musik dan asyik menatap layar komputernya, saung kecil bisa mendadak menjadi patung dalam waktu yang lama. Pernah suatu malam saung kecil tergerak untuk mengamati bagaimana gaya berpacaran anak-anak muda jaman sekarang melalui suatu situs social network. Dari beberapa kasus yang ia temui di lapangan itu, saung kecil menemukan ada suatu kesamaan pola di antara mereka-mereka yang saling berbalas kemesraan di situs jejaring sosial. Pola di mana suatu ketika dalam frekuensi yang sering, para cewek ngambek dan para cowok berusaha untuk merayu ceweknya yang lagi ngambek tersebut. Dilihat dari tanggalnya, hanya berselang dua sampai tiga hari setelah berbaikan, mereka akan ngambek lagi.

Saung kecil tercengang ketika kenyataan itu juga menimpa salah satu teman sekolahnya dulu. Semasa sekolah, saung kecil tahu betul siapa temannya itu. Seorang yang mandiri dan tidak pernah meributkan hal-hal yang kecil. Tapi kenyataan yang ada sekarang, saung kecil merasa temannya itu berubah menjadi sosok yang manja, sejak bertemu dengan pacarnya itu.

Atas dasar ketercengangannya itu, saung kecil pernah menanyakan perihal fenomena perubahan sikap itu kepada seorang temannya yang menurutnya ahli di bidang perpacaran. Jawaban teman si saung kecil itu tidak secara langsung merujuk pada perubahan sikap. Begini kira-kira penjelasan yang didapat saung kecil dari temannya tersebut.

Seorang laki-laki seringkali merasa superior, ingin menjadi sosok superhero bagi lawan jenisnya. Hal tersebut menyebabkan cowok cenderung menyukai sosok cewek yang manja. Karena dengan kemanjaan cewek itu, si cowok akan merasa dibutuhkan dan harapannya untuk menjadi superhero dapat tercapai dengan lancar. Superioritas dan harga diri si cowok akan naik.

Sementara bagi seorang cewek, seringkali mereka ingin dimanja dan haus kasih sayang dari lawan jenisnya. Hal tersebut menyebabkan cewek melakukan berbagai hal yang bisa menarik perhatian lawan jenisnya. Melakukan hal-hal yang bisa menarik para cowok untuk merayunya, memanjakannya, dan menumpahkan perhatian kepadanya. Berhubung para cewek ini tahu bahwa cowok lebih suka pada cewek yang manja, maka para cewek ini berusaha untuk selalu tampil manja di hadapan lawan jenisnya.

Saung kecil mendengarkan penjelasan temannya si ahli perpacaran itu dengan mulut ternganga. Jadi selama ini seperti itu dinamikanya? pikirnya. Memang sih, apa yang terjadi adalah simbiosis mutualisme. Tapi sama sekali tidak berkualitas menurut saung kecil. Untuk apa itu semua tetap dilanjutkan jika tidak mendewasakan dan justru menjadikan regresi dalam kondisi emosional kedua belah pihak? Hampir-hampir judgment ini ditelan mentah-mentah oleh saung kecil, kalau saja temannya itu tidak menambahkan kalimat sakti di belakangnya. "Itu terjadi pada pasangan yang masih labil dan galau bin alay. Untuk pasangan yang serius dan tidak main-main dengan orang yang dicintainya, tidak akan berlaku demikian. Mereka suka kemandirian yang sewajarnya dan interdependensi (ketergantungan, kemanjaan .red) yang tidak dibuat-buat."

Saung kecil bernapas lega. Semoga masih banyak contoh-contoh dalam dunia perpacaran yang memfungsikannya sebagai sarana pendewasaan.


PS. Berhati-hatilah dengan perubahan sikap yang terjadi pada kita. Bisa jadi itu merupakan efek samping dari apa yang sedang kita jalani. Bisa positif, bisa pula negatif. Jika negatif yang kita temukan, segera periksakan ke klinik terdekat!

Rabu, 21 Maret 2012

Jejak Langkah Saung Kecil: Merapikan Langkah

Jogja, 21 Maret 2012

Sudah sejam yang lalu mata saung kecil menyusuri baris demi baris tulisan yang ada di layar komputernya. Sesekali ia berdecak kagum. Sejak beberapa waktu yang lalu saung kecil memiliki hobi baru. Begitu ia mendapatkan koneksi internet di mana pun ia berada, ia akan berjalan-jalan di blog orang lain. Entah itu blog milik seorang teman dekat, teman yang baru dikenal, atau pun blog milik temannya teman. Pokoknya blog milik seseorang yang statusnya sama dengan saung kecil: mahasiswa dan bukan seseorang yang sudah menjadi publik figur sejak lama. Belum, saung kecil meralat. Suatu saat mereka-mereka itu akan menjadi publik figur yang menginspirasi orang banyak, lanjutnya. Seperti saat ini, meski malam telah jauh meninggalkan bising ramai, saung kecil masih saja asyik duduk di depan meja komputernya. Yea, inilah kehidupan para stalker (baca: berjalan-jalan di blog orang)

Saung kecil kembali berdecak. Ah, tulisan-tulisan itu milik seorang teman dekatnya. Mereka bertiga tumbuh di lingkungan yang sama sejak mereka masih kecil. Ah, lagi-lagi teman kecil. Saung kecil semakin ganas membaca larik-larik itu, dari kedua blog. Mendadak saung kecil merasa tertinggal jauh dari mereka. Saung kecil mengarahkan kursornya pada perintah new tab. Ia membuka blog miliknya sendiri yang sekian lamanya terbengkalai. Jumlah postingan yang ada di blognya jauh tertinggal dari kedua temannya itu.

Saung kecil pun mulai menyusuri satu per satu tulisannya. Ah, tulisan apa ini? Tulisan sampah! Hanya berisi coretan-coretan yang tak penting, hasil dari sok tahu si saung kecil. Saung kecil didera perasaan malu yang teramat sangat. Bagaimana mungkin ia bisa lengah dan kemudian tertinggal jauh di belakang. Padahal mereka berjalan bersama-sama di awal.

Mungkin hal yang belum dipunyai oleh saung kecil adalah motivasi dan ketekunan. Saung kecil merasa seringkali tergiur oleh pesona tetek bengek yang sebenarnya tidak berguna, tapi dilakukan juga olehnya. Padahal dunia seperti kedua temannya itulah yang ia impikan sejak kecil. Mungkin ia terlalu angkuh karena merasa bisa. Tapi nyatanya hingga waktu menggulir sekarang, ia belum bisa.

Jam di samping komputernya menunjuk angka 2. Sudah dini hari. Saung kecil menghela nafas. Mulai saat itu, ia niatkan untuk lebih tekun lagi. Untuk lebih peka pada hal-hal kecil di sekitar. Untuk lebih memberi ruang pada hal yang menjadi impiannya.

Saung kecil mengambil penanya. Dan mulai menarikannya di atas secarik kertas.


PS. Diperlukan hal-hal kecil untuk mencapai hal yang besar. Dan tidak ada jalan menuju ke sana kecuali dengan ketekunan dan motivasi yang kuat.



Rabu, 14 Maret 2012

Jejak Langkah Saung Kecil: "Gowes" is the Best

Jogja, 14 Maret 2012

Saung kecil mengelap debu-debu yang menempel pada sepedanya. Tanpa sadar ia telah membiarkan debu-debu mengerubuti satu benda itu hingga sekian lamanya. Lantaran saung kecil lebih sering berjalan kaki. Sore itu saung kecil bermaksud mengajak sepedanya itu mengitari jogja bersama seorang temannya. Kali ini teman kampus si saung kecil. Ide itu merupakan ide dadakan dari dua orang mahasiswa edan yang mengaku penat dengan tugas-tugas kuliah.

Jadilah mereka melintas jalanan. Dari lingkungan kampus yang masih terlihat mahasiswa bersliweran di dalamnya, hingga memasuki wilayah yang bisa dibilang jantung kota. Malioboro. Perjalanan setengah jam lebih sedikit itu disambut kerumunan orang di sekitar jalan malioboro. Berhentilah mereka di depan sebuah benteng. Vredeburg. Benteng yang dijadikan tempat wisata itu sudah menutup pintunya untuk sore hari ini. Mereka memang tidak bermaksud mengunjunginya. Mereka hanya mencari tempat duduk yang nyaman untuk melepas lelah.

Saung kecil dan temannya memarkirkan sepeda tepat di depan mereka duduk. Nafas mereka agak memburu. Maklum, itu kali pertama mereka berkendara sepeda sejauh itu. Saung kecil sendiri biasanya lebih memilih naik angkot jika pergi ke daerah malioboro. Sembari mengatur nafas, saung kecil mengambil botol air yang sengaja ia bawa di tas ranselnya. Dalam sekejap, air dalam botol itu hanya tinggal seperempat dari penuh. Tanpa merasa bersalah telah menghabiskan lebih dari setengahnya, saung kecil menyodorkan botol itu pada temannya yang juga tampak kelelahan.

Tidak ada pemandangan yang menghibur sebenarnya kecuali jalanan yang dipadati kendaraan bermotor, dan orang-orang nongkrong di tempat duduk yang sengaja disediakan di pinggir jalan. Macam-macam yang dilakukan orang-orang itu. Makan es krim, menunggu seseorang, atau sebagai tempat bercengkrama alias hang-out. Hanya pemandangan orang sebenarnya. Tapi mungkin justru itulah daya tariknya. Minimal itulah yang disadari saung kecil pada waktu duduk di bangku itu, menjadi salah satu dari orang-orang itu.

Di sini saung kecil melihat kekompleks-an orang. Orang-orang dengan wajah kelelahan, tak sabar untuk segera sampai di tempat tinggalnya setelah seharian berada di tempat kerja atau di kampus. Remaja tertawa lepas bersama teman-temannya dengan seragam sekolah masih melekat di badannya. Pasangan yang asyik bertukar kata-kata romantis. Tukang becak yang rebah bersantai di becaknya, menanti pelanggan. Tukang parkir yang sibuk mengatur kendaraan orang-orang sebelum ditinggal hang-out. Bahkan di satu sudut ada orang yang sibuk menabuh gendang supaya monyet peliharaannya melakukan berbagai atraksi dan orang yang terhibur akan memberinya uang. Orang-orang biasa menyebutnya kethek ogleng atau topeng monyet. Berbagai macam orang itu berada di satu tempat yang sama, di waktu yang sama, dengan maksud dan tujuan yang berbeda. Tempat itu menjadi pemersatu mereka.

Saung kecil melirik jam yang ada di telepon genggamnya. Tepat pada saat itu, temannya merasakan adanya tetesan air dari langit. Mereka menengadahkan telapak tangan ke atas. Ya, betul, gerimis mulai menyapa. Saung kecil dan temannya bergegas menaiki sepedanya dan bergabung bersama orang-orang yang berjuang di jalan raya. Perjalanan pulang ini lebih jauh. Sistem lalu lintas yang searah membuat mereka harus mengambil jalur memutar. Beruntung, gerimis sepertinya mengurungkan niatnya untuk berubah menjadi hujan. Saung kecil dan temannya tidak perlu memacu sepedanya dengan kecepatan tinggi. Cukup melaju dengan santai sambil menikmati suasana kota Jogja pada sore hari di tengah kepadatan yang membelah jalan. Saung kecil menghirup udara. Aroma air hujan yang belum sempat menguar terlanjur diganti dengan asap kendaraan. Saung kecil dan temannya sepakat untuk tak menambah polusi itu. Dengan sepeda.


PS. Bersepeda adalah kenikmatan tersendiri yang dirasakan oleh orang-orang yang sehari-harinya lebih banyak tak bersentuhan dengannya. Dan ada saat-saat orang bertemu di suatu tempat yang sama, antara yang keseharian dan yang hanya sesekali.

Selasa, 13 Maret 2012

Jejak Langkah Saung Kecil: Best Friend is an Ice Cream

Jogja, 13 Maret 2012

Saung kecil tersenyum membaca deretan kata yang terpampang di layar HPnya. Sms dari sahabat kecilnya. Hm, ada juga akhirnya yang kangen sama aku, batin saung kecil. Ah, KeGe-eRan aja kali loe! Biarin dong! Seru saung kecil tak kalah sewot dari bagian dirinya yang ngajak perang itu.

Diputuskanlah saung kecil dan sahabat kecilnya itu melanglang buana ke perpustakaan. Ide saung kecil itu cukup aneh sebenarnya. Setahu saung kecil, kebanyakan orang main bareng teman lama adalah saat di mana ingin melepaskan penat dari kehidupan kuliah. Eeh, si saung kecil ini malah ngajak mainnya ke tumpukan buku pula! Ah, kubilang biarin! Sanggah saung kecil lagi.

Puas dengan tumpukan buku, mereka beranjak, melanjutkan melanglang buana. Sisa hujan deras masih mengapung di jalanan. Kecipak air pun berlompatan terlindas roda-roda yang mengganas. Mereka pun mampir ke sebuah tempat makan untuk makan es krim karena mereka punya pandangan yang sama tentang ribetnya jalur lalu lintas di kota jogja ini. Percayalah, ketiga hal itu (tempat makan-es krim-lalu lintas) tidak ada kaitannya satu sama lain sebenarnya. Tapi begitulah mereka, selalu bisa menemukan sambungan dari hal yang tidak nyambung. Begitulah, cerita mereka kali ini dibalut satu cup es krim dan satu bungkus french fries. Mereka menyelam ke lorong waktu masa lalu hingga masa sekarang. Suatu hal yang menjadi trending topic ketika bertemu dengan teman lama. Seolah tak ada habisnya mengenang masa lalu.

Obrolan mereka berlanjut ke kos sahabat saung kecil ini. Saung kecil langsung merebahkan diri di karpet kamar sahabatnya itu, sembari merem-melek, dan melanjutkan cerita yang terpotong. Entah, selalu ada saja yang mereka bicarakan ketika bertemu. Hingga waktu terasa begitu cepat berlalu bagi saung kecil. Sahabat kecilnya yang satu ini memang unik. Mereka berteman sejak duduk di bangku sekolah dengan seragam putih-merah. 15 tahun silam, dan tidak bosan hingga sekarang. Saung kecil kembali merasa bagaikan di kampung halamannya. Berbagi cerita dengan orang yang tumbuh di lingkungan yang sama dengannya membuatnya lupa bahwa ia tengah merantau. Bagaimana tidak, seolah-olah sahabatnya itu menjadi saksi setiap jengkal si saung kecil ini tumbuh dan berkembang menjadi dewasa. Begitu pula saung kecil yang seolah menjadi saksi tumbuh kembang sahabat kecilnya itu.

Begitu asyiknya mereka berbagi cerita, hingga saung kecil memutuskan untuk pulang di satu jam menjelang adzan maghrib. Sore itu tampak lebih cerah bagi saung kecil.


PS. Kita punya beberapa orang yang menjadi saksi atas apa yang terjadi pada hidup kita, beberapa yang dengannya kita merasa bisa menyatukan jiwa, beberapa yang hanya melihatnya di kejauhan pun membuat kita tersenyum. Seperti perpaduan dingin dan hangatnya es krim. Itulah sahabat.

Senin, 12 Maret 2012

Jejak Langkah Saung Kecil: Teman Kecil, Teman Seperantauan

Jogja, 12 Maret 2012

Angin mendung bertiup perlahan. Saung kecil mendongakkan kepalanya sembari berharap sore itu tak turun hujan. Dengan berbekal payung di dalam tas ranselnya, saung kecil meloncat menaiki angkutan umum dengan angka 7 di atasnya. Sore itu ia bermaksud mendatangi pameran buku yang sedang di gelar di suatu gedung di Yogyakarta. Rada jauh dari tempat saung kecil, makanya dia memutuskan untuk naik angkot. Sekalian saung kecil ada janji untuk mengambil suatu barang yang ada di tempat temannya. Kebetulan temannya itu kos di dekat gedung tempat pameran buku berlangsung.

Saung kecil mengunjungi stand-stand itu satu per satu. Sendirian. Selain tidak ada teman kosnya yang sedang terjaga sore itu, terkadang saung kecil ingin lebih menikmati waktu dengan bersendiri saja. Setelah puas berkeliling dan tidak menemukan apa yang ia cari, saung kecil bermaksud menyudahi petualangannya di pameran buku kali itu. Lagipula, temannya sudah menunggu di luar gedung.

Saung kecil pun akhirnya bertemu dengan temannya itu. Dan mengalirlah obrolan demi obrolan. Ia adalah teman lama saung kecil. Teman sekolahnya dulu, tentu saja teman sedaerahnya. Dan bagi saung kecil, bertemu dan mengobrol dengan teman lama serasa di bawa menyusuri sebuah lorong waktu. Entah kenapa, saung kecil begitu mudah untuk terbawa arus memori. Semuanya serasa back to memory. Dan saat itulah saung kecil menyadari bahwa ini adalah kali pertama ia bertemu dengan temannya itu sejak merantau ke jogja 3 tahun silam. Ya, padahal sama-sama berada di kota Jogja! Masya Allah..

Saung kecil jadi teringat bagaimana dulu saat-saat mereka masih sekolah..Dan seketika itu, saung kecil merasa berada di rumah. Bagi saung kecil, bertemu dengan teman sedaerah membawa rasa tersendiri. Kenyamanan yang ia dapatkan di kampungnya. Saung kecil pun merasa saat itu ia sedang ada di rumah. Nyaman. Rumah memang tempat yang paling nyaman baginya. Mungkin karena ia tumbuh di kampungnya lebih lama dibanding waktunya di Jogja ini. Setiap jalan yang ada di kampungnya memberi kenangan tersendiri bagi saung kecil. Membawanya kembali ke masa-masa sekolah. Dari TK hingga SMA. Teman saung kecil ini pun tumbuh di lingkungan yang sama dengannya. Itulah yang membuat saung kecil merasa mengobrol dengan temannya yang sedaerah adalah obat kerinduannya pada kampung halaman. Siapapun itu.

Ada berjuta cerita yang sebenarnya ingin dituturkan saung kecil pada temannya itu. Tapi sang waktu nampaknya belum ingin mendengar semua cerita itu. Semoga masih ada kali lain untuk silaturahmi, doa saung kecil. Diam-diam saung kecil pun merasa merindukan teman-teman sedaerahnya yang lain, yang sekarang sama-sama merantau ke Jogja. Begitu banyak. Dekat, tapi saung kecil merasa jarang menjalin komunikasi dengan mereka.

PS. Sapaan kecil kita kepada orang lain memberikan sensasi tersendiri bagi orang itu. Apalagi ketika ia adalah teman sedaerahmu yang merantau di kota yang sama. Ia akan jadi pengobat rindumu pada kampung halaman. Berikanlah sapaan pada sahabat-sahabat kita, meskipun itu hal yang sangat kecil.


Minggu, 11 Maret 2012

Sekelumit dari Suryomentaram: Memberi

Bila kita memiliki kebutuhan masa lalu yang tidak dipenuhi oleh orang tua maupun situasi hidup kita, kita cenderung untuk mencarinya dari pasangan kita. Bila ada sebagian dari kebutuhan tersebut yang dapat mereka berikan, kita senderung ingin menguasainya agar kita selalu bisa mendapatkan kebutuhan tersebut yang tidak terpenuhi di masa lalu. Tanpa kita sadari, perilaku ingin menguasai ini justru akan menjauhkan kita dari pasangan kita.

Bila kita menyadarinya dan membiarkan kebutuhan masa lampau kita berlalu, kita akan menemukan keseimbangan dan harmoni dalam persatuan kita. Sebaliknya bila kita selalu mencoba menguasai pasangan kita, ia malahan akan semakin menjauhi kita.

Dengan pemahaman ini, mengapa tidak kita buang saja hasrat untuk menguasai pasangan kita dan mulai memberi kepada pasangan maupun orang lain dalam kehidupan kita apa yang mereka harapkan dari kita?

Dewasa ini memberi telah kehilangan makna yang sesungguhnya. Memberi seolah-olah berarti take and give. Sehingga pada saat seseorang akan memberi, ia selalu bertanya "lalu apa yang dapat saya terima dari dia?" Bukankah memberi adalah memberi? Bukankah ada kebahagiaan yang timbul dari memberi?

Apa yang Anda berikan akan Anda miliki selamanya. Dan apa yang lalai Anda berikan, dapat menghilang dari diri Anda selamanya.

(Sarwiyono, Ratih. 2008. Ki Ageng Suryomentaram: Sang Plato dari Jawa. Yogyakarta: Cemerlang Publishing)

Jejak Langkah Saung Kecil: Happy Birthday Home Sweet Home

Minggu, 11 Maret 2012

"Happy birthday, my home sweet home!" Pekik saung kecil dalam hati. Yup, hari ini tepat 14 tahun saung kecil menempati rumah kecil bertipe 36 bersama orang tua dan kakak semata wayangnya. Lovely family.

14 tahun silam...
Masih terekam jelas dalam ingatan saung kecil, sore itu sekitar pukul 5, ia dan keluarganya tiba di rumah baru itu. Hujan gerimis mengiringi perjalanan mereka. Saung kecil yang saat itu masih berusia 8 tahun kurang 2 bulan terlihat sangat meresapi air hujan yang menetes pelan-pelan dari ujung payung.

Semua perabotan rumah sudah diangkut beberapa hari sebelumnya.Perjalanan itu ditempuh dengan jalan kaki. Hanya perlu sekitar sepuluh menit dari rumah lama mereka. Satu langkah meninggalkan rumah lama, saung kecil menatap kembali rumahnya dengan tatapan yang sulit ditafsirkan. Mungkin dalam benak saung kecil merasa berat untuk meninggalkan rumah itu. Rumah yang ditempatinya sejak TK nol kecil. Ia juga merasa berat meninggalkan teman-teman mainnya. Teman-teman yang selalu menemaninya tumbuh. Teman-teman yang mengajarinya banyak hal tentang hidup. Bulir bening menetes dari sudut matanya. Cepat, diusapnya bulir itu. Dan melangkah. Jauh, dan semakin jauh dari rumah itu. Hingga menghilang dari pandangannya. Saung kecil sadar, meski ia tak lagi tinggal di situ, meski ia akan sangat jarang bertemu teman sepermainannya, kenangan-kenangan itu akan tetap ada. Terbungkus rapi dalam sebuah kotak di hatinya. Menempati suatu ruang khusus.

Dan, rumah baru itu mulai terlihat oleh saung kecil. Keadaan rumah baru itu masih sama sekali jauh dari kata rapi. Pun belum dipasang listrik. Malam itu mereka tidur di kursi. Si saung kecil yang penakut dan tidak terbiasa dengan keadaan gelap, kali itu tidak bisa tidur. Ia menatap kosong pada kegelapan, dan takzim mendengarkan rintikan hujan yang masih saja mengguyur. Bapak, ibu, kakak, dan nenek saung kecil sudah lama terlelap. Sementara saung kecil sibuk dengan pikirannya. Pikirannya yang mengembara tentang segala hal yang ia lewati di rumah lamanya. Akankah ia menemukan kembali kehangatan yang dulu ia rasakan? Akankah di sini ia akan menemukan teman-teman sebaik teman-temannya dulu? Akankah apa yang akan terjadi di sini semenarik apa yang terjadi di lingkungan rumahnya dulu?

Lambat laun, saung kecil tertidur. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang masih menggantung di benaknya. Dengan harapan-harapan yang tergenggam di hatinya. Berharap ia akan tumbuh di lingkungan yang terbaik untuknya. Rumah baru. Rumah yang ditempati saung kecil hingga sekarang.

PS. Terkadang pindah rumah itu tidak menyenangkan. Membawa kekhawatiran-kekhawatiran tersendiri. Tapi percayalah, kau akan menemukan hal-hal baru yang kau sadari bahwa kau sangat menikmatinya kini. Dan kau tak akan menjadi dirimu yang sekarang ketika kau tak pindah rumah waktu itu.

Jejak Langkah Saung Kecil: Happy Birthday Home Sweet Home

Minggu, 11 Maret 2012

"Happy birthday, my home sweet home!" Pekik saung kecil dalam hati. Yup, hari ini tepat 14 tahun saung kecil menempati rumah kecil bertipe 36 bersama orang tua dan kakak semata wayangnya. Lovely family.

14 tahun silam...
Masih terekam jelas dalam ingatan saung kecil, sore itu sekitar pukul 5, ia dan keluarganya tiba di rumah baru itu. Hujan gerimis mengiringi perjalanan mereka. Saung kecil yang saat itu masih berusia 8 tahun kurang 2 bulan terlihat sangat meresapi air hujan yang menetes pelan-pelan dari ujung payung.

Semua perabotan rumah sudah diangkut beberapa hari sebelumnya.Perjalanan itu ditempuh dengan jalan kaki. Hanya perlu sekitar sepuluh menit dari rumah lama mereka. Satu langkah meninggalkan rumah lama, saung kecil menatap kembali rumahnya dengan tatapan yang sulit ditafsirkan. Mungkin dalam benak saung kecil merasa berat untuk meninggalkan rumah itu. Rumah yang ditempatinya sejak TK nol kecil. Ia juga merasa berat meninggalkan teman-teman mainnya. Teman-teman yang selalu menemaninya tumbuh. Teman-teman yang mengajarinya banyak hal tentang hidup. Bulir bening menetes dari sudut matanya. Cepat, diusapnya bulir itu. Dan melangkah. Jauh, dan semakin jauh dari rumah itu. Hingga menghilang dari pandangannya. Saung kecil sadar, meski ia tak lagi tinggal di situ, meski ia akan sangat jarang bertemu teman sepermainannya, kenangan-kenangan itu akan tetap ada. Terbungkus rapi dalam sebuah kotak di hatinya. Menempati suatu ruang khusus.

Dan, rumah baru itu mulai terlihat oleh saung kecil. Keadaan rumah baru itu masih sama sekali jauh dari kata rapi. Pun belum dipasang listrik. Malam itu mereka tidur di kursi. Si saung kecil yang penakut dan tidak terbiasa dengan keadaan gelap, kali itu tidak bisa tidur. Ia menatap kosong pada kegelapan, dan takzim mendengarkan rintikan hujan yang masih saja mengguyur. Bapak, ibu, kakak, dan nenek saung kecil sudah lama terlelap. Sementara saung kecil sibuk dengan pikirannya. Pikirannya yang mengembara tentang segala hal yang ia lewati di rumah lamanya. Akankah ia menemukan kembali kehangatan yang dulu ia rasakan? Akankah di sini ia akan menemukan teman-teman sebaik teman-temannya dulu? Akankah apa yang akan terjadi di sini semenarik apa yang terjadi di lingkungan rumahnya dulu?

Lambat laun, saung kecil tertidur. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang masih menggantung di benaknya. Dengan harapan-harapan yang tergenggam di hatinya. Berharap ia akan tumbuh di lingkungan yang terbaik untuknya. Rumah baru. Rumah yang ditempati saung kecil hingga sekarang.

PS. Terkadang pindah rumah itu tidak menyenangkan. Membawa kekhawatiran-kekhawatiran tersendiri. Tapi percayalah, kau akan menemukan hal-hal baru yang kau sadari bahwa kau sangat menikmatinya kini. Dan kau tak akan menjadi dirimu yang sekarang ketika kau tak pindah rumah waktu itu.

Kamis, 08 Maret 2012

Jejak Langkah Saung Kecil: Tanggung Jawab

Jogja, 9 Maret 2012

Udara siang yang terik di kota Jogja ini tak menyurutkan langkah saung kecil. Kali ini tekad membawa tubuh mungil si saung kecil menuju gedung yang berisi banyak buku. Yup, perpustakaan. Letak perpustakaan yang lumayan jauh dari kos memaksa si saung kecil untuk menggunakan jasa angkutan umum. Tidak punya motor, pun tidak bisa mengendarai kendaraan beroda dua itu.

Saung kecil langsung tenggelam di antara tumpukan buku. Jarinya menari-nari lincah di atas keyboard laptop, menyalin baris demi baris yang tercantum dalam buku referensi itu. Maklum, itu teori, tidak bisa dialih bahasakan menjadi fiksi. Sempat terlintas tanya dalam benak saung kecil. Kenapa buku tidak bisa di copy-paste saja biar cepat selesai? Saung kecil menjawab pertanyaan itu dengan kibasan tangannya, "ada-ada saja!". Lantas saung kecil kembali menekuri buku itu, memindahkan isinya ke dalam file word di laptopnya. Untung ia membawa headset kesayangannya, jadi ada lantunan musik yang ia dengarkan dari situs jango.com. Hm..agaknya saung kecil ingin mendengarkan lagu-lagu baru, lagu-lagu yang belum ia miliki di brankas musik mp3'nya.

Di tengah tenggelamnya saung kecil, datang kabar yang mengejutkannya. Sms dari seorang temannya. Rupanya teman itu ingin meminjam barang si saung kecil, padahal seingat saung kecil, temannya itu sudah meminjamnya seminggu yang lalu dan belum kembali ke tangan saung kecil. Dengan hati berdebar mempertanyakan keberadaan barang itu, saung kecil mengingatkan temannya. Dan ternyata teman itu lupa belum mengembalikannya ke saung kecil dan sekarang benda itu entah ke mana.

Sedih melanda batin saung kecil. Bukan, bukan karena ia tidak tahu benda itu ada di mana sekarang. Tetapi lantaran ia tak mengerti mengapa temannya itu tidak menjaga benda yang ia pinjam dari orang lain. Terkadang kita tidak sadar ketika kita meminjam sesuatu kepada orang lain, kita begitu mudahnya meminjamkannya kepada orang lain lagi tanpa sepengetahuan pemiliknya. Hal yang paling sering terjadi adalah buku. Memang tidak ada salahnya ketika buku kita dipinjam dan dibaca oleh banyak orang, malah senang karena membawa manfaat bagi orang lain. Tapi, yang menjadikan risau kita sebagai pemilik benda, termasuk si saung kecil, adalah ketika jaringan pinjam-meminjam itu semakin meluas hingga si peminjam pun tak tau lagi benda itu milik siapa. Di sinilah tanggung jawab peminjam pertama (langsung dari pemiliknya) dipertanyakan.

Benda itu mungkin tidak berarti bagi saung kecil. Tapi apa yang terjadi pada benda itu hingga sekarang entah di mana, membuat saung kecil mempertanyakan arti sebuah tanggung jawab. Adakah yang bisa menjawab?

PS. Menjaga sesuatu bukan berarti harus menutupnya rapat-rapat. Menjaga sesuatu cukup kita pastikan bahwa sesuatu itu berada di jalan kemanfaatan dan kita tahu kemanfaatan seperti apa yang tengah dijalani sesuatu itu.