Jumat, 31 Oktober 2014

Bangsal Kedua: Another Amazing Ward

Ini merupakan cerita lanjutan dari cerita pertama. Klik saja sini kalau mau baca. Masuk minggu kedua di RSJ, kami pindah bangsal. Bangsal untuk kelompok 4 adalah bangsal G. Yes, ini letaknya lebih dekat dengan asrama. Hari-hari pertama di sana, saya bingung screening pasiennya. Memang sih di sini pasiennya lebih banyak, tapi yang rumahnya searah dengan klien saya yang di bangsal M hanya ada satu. Itu pun setelah saya tanya perawat, dia masih ada di ruangan dalam (yang dikunci). Sah-sah saja sih sebenarnya kita pakai pasien di ruang dalam, kalau mau asesmen tinggal kita keluarkan aja sebentar, para perawat memperbolehkan kami memegang kuncinya. Nah, setelah saya keluarkan dan mengobrol sebentar dengannya ternyata memang masih rada susah masuk. Dia belum mendapatkan insight mengapa dia bisa dibawa ke sini. Dia pun menolak untuk bercerita ada peristiwa apa sesaat sebelum dia dibawa ke sini. Dia mengaku semuanya baik-baik saja, dia anak baik dan tidak tahu kenapa di sini. Ekspresinya pun masih menunjukkan ekspresi keras dan marah. Akhirnya saya pun mencoba mencari pasien yang lain.

Atas saran dari teman-teman, akhirnya saya mencari yang rumahnya Malang, yang deket-deket sama RSJ biar waktuku nggak terbuang di jalan pas PHN. Karena kan klienku yang pertama sudah menghabiskan waktu 8 jam perjalanan kalau PHN, sudah mendekati perbatasan jawa timur dengan jawa tengah. Di hari ketiga, saya akhirnya menemukan klien. Akhirnya kumenemukanmu.

Bangsal G ini lebih luas ruangannya, dan lebih banyak kapasitas pasiennya. Jika di Bangsal M ruang luar pasien jadi satu dengan meja kerja mahasiswa, di bangsal G ini, meja kerja mahasiswa terletak di ruang tengah yang digunakan untuk ruang makan dan menonton video. Oh ya, di Bangsal G ini televisinya sering dinyalakan. Biasanya nyalain video ndangdut koplo, atau nggak kadang-kadang playlistnya lagu anak muda macam Naff, Padi, dll. Terus pasien-pasien itu juga diperbolehkan untuk karaokean. Bangsal G ini juga punya mainan catur dan gitar.

Bangsal G punya halaman yang luas dengan kursi-kursi yang membentuk letter L di bawah pohon. Beberapa pasien yang masih terjaga di siang hari (banyak pasien pada siang hari tidur karena pengaruh obat) sering menghabiskan waktunya duduk-duduk di bangku itu. Kadang-kadang bermain catur dengan temannya, kadang-kadang bermain gitar dan menyanyi bersama, atau ada juga yang sekedar duduk menikmati rokoknya dan semilir angin. Nyaman sekali memang duduk di sana. Klien saya sendiri sepertinya menjadikan tempat tersebut sebagai tempat favoritnya karena setiap kali asesmen, dia minta di sana bahkan ketika dilakukan tes psikologi. Nggak jarang pula pasien dari bangsal-bangsal lain main berkunjung ke bangsal G dan duduk ngobrol/main bersama pasien bangsal G di bangku bawah pohon itu.

Perbedaan sangat kentara antara bangsal M dan bangsal G. Jika bangsal M hiburannya terbatas, bangsal G banyak terdapat hiburan dan permainan yang bisa digunakan pasien sebagai pengusir rasa bosan. Jika di bangsal M hubungan antar pasien terlihat dekat, di bangsal G tidak begitu terlihat adanya kedekatan personal.

Awal-awal di bangsal G kami berempat sempat kaget dan jetlag. Pasien-pasien itu tampak seperti robot, terutama pada saat jam makan. Pada jam makan, mereka harus makan di meja makan duduk berjajar dan berhadapan. Mereka makan dalam diam dan tidak ada obrolan di antara mereka. Setelah semuanya selesai makan, kursi dilipat dan dinaikkan ke atas meja. Kemudian beberapa ada yang mencuci piring, beberapa mengambil sapu, dan beberapa yang lain mengambil pel. Cara mereka menyapu dan mengepel adalah depan belakang. Jadi sebenarnya pekerjaan orang yang belakang sia-sia karena diinjak lagi oleh teman yang ngepel di depannya. Cara yang menurut logikanya aneh. Mereka pun menyapu dan mengepel dalam diam tidak saling mengobrol. Persis seperti robot. Diam, jarang ada interaksi, apalagi gegojegan, sama temennya. Pun jarang interaksi dengan perawatnya. Sedih ngeliatnya.

Beda lho sama di bangsal M. Cara makan mereka lebih sembarangan jika dibandingkan dengan bangsal G. Di bangsal M, meskipun ada ruang makan, tapi mereka lebih suka makan lesehan. Bahkan kadang-kadang mereka makan sambil jongkok. Terus suasana saat makan juga ramai karena di antara mereka kadang saling mengolok atau becanda dengan perawat bangsal. Entahlah, saya sedang tidak membicarakan tentang baik-buruk. Baik yang terjadi di bangsal M maupun bangsal G, kalau dipikir sisi positifnya semuanya ada dan kalau dipikir sisi negatifnya, semuanya juga ada. Di bangsal M lebih jorok dan berantakan tapi mereka lebih natural dan menjadi diri mereka sendiri. Di bangsal G lebih rapi dan tertata, tapi mereka terlihat seperti robot. Yah, bukankah semuanya itu abu-abu?

Ketika saya memutuskan untuk lebih fokus pada klien saya yang di bangsal G, saya lebih sering nongkrong di bangsal G dibandingkan dengan teman-teman yang lain yang fokus di bangsal M. Di akhir minggu kedua dan sampai minggu ketiga, saya sering ke bangsal G sendirian karena selain yang lain ke bangsal M, mereka juga mulai PHN ke rumah klien selama beberapa hari. Di satu sisi saya kadang kesepian (tapi untungnya ada ners muda yang praktek juga sih jadi ndak sendirian-sendirian amat, mhihi). Tapi di sisi lain saya jadi mulai dekat juga dengan pasien-pasien yang lain. Saya diajak tanding catur sama main dam-daman. Tentu saja saya selalu kalah karena saya nggak mahir catur. Mereka banyak yang jago catur ternyata, hebaat. Sebenernya sih saya ada unsur mengalah, maksudnya biar menaikkan harga diri pasien sih. Hahaha kamuflase sok hero. Yang saya nggak kalah sama mereka ya cuma gitar, sampai ada yang minta ajarin. Huooo hokee, padahal saya juga jauh dari kata bisa, cuma tau accord pokok dan asal genjreng aja *naikin kerah dikit*.

Di saat sudah bosan sendiri dalam cinta, syukurlah di akhir-akhir akhirnya Mbak Ria juga beralih fokus ke kliennya di bangsal G sehingga jadi ada temennya.

Sama seperti di bangsal M, pasien-pasien di bangsal G juga menyapa saat papasan di jalan. Ada yang menyapa dengan sumringah setiap berpapasan dengan saya di jalan. Dia ini juga biasanya saya becandain karena nggak bisa lepas dari kacamata gelapnya, udah macem sok cool aja dia. Ada juga yang sebenernya rada-rada serem. Dia ini pasien yang saya ceritain di awal tadi, yang ada di ruang dalam. Saya hanya sekali mengobrol dengannya dan jarang bersama karena dia ada di ruang dalam. Tapi sampai akhir, dia masih ingat nama saya. Bahkan pernah suatu pagi, entah karena apa, tangannya diiket di tiang. Terus ketika melihat saya datang, dia memanggil-manggil nama saya meminta tolong untuk melepas ikatannya. Omaigot serem juga. Di waktu-waktu tertentu ada kalanya memang pasien yang di ruang dalam itu dikeluarkan. Nah, kalau melihat dia di luar, saya sering sengaja menghindarinya. Tatapan matanya menusuk dan tanpa berkedip. Piye ra serem hayoloh!

Tapi overall, semuanya menyenangkan. Di bangsal M saya seneng karena dengan mereka bisa gojeg sakpole dan mendengarkan mereka saling membully pun membuat kami tertawa. Di bangsal G, meskipun tidak ada gojeg tapi seru banget pas main sama mereka, main catur, dam-daman, gitar, atau mendengarkan mereka berkaraoke ria. Lama-lama kok saya merasa mereka normal dan waras, tidak ada yang sakit di sini. Atau sebenarnya diam-diam saya mulai tertular oleh mereka? Hahahaha

Kamis, 30 Oktober 2014

Bandara, Jarak, dan Imaji

Setiap kali aku menyengajakan naik transjogja dan berdiam agak lama di halte bandara adisutjipto, aku mambiarkan imajiku meraja. Aku membayangkan nya yang ada di indonesia tengah mendekati timur, atau nya yang ada di negeri harry potter datang. Aku menyambut kepulangan nya dan nya dengan senyum termanis.

Imaji memang raja dari segala raja. Aku sangat tahu dengan pasti bahwa nya dan nya sama sekali tidak ada yang mengenalku. Aku pun mengenal nya dan nya hanya dari linimasa. Atau satu nya lagi yang juga berada di indonesia tengah mendekati timur, ia datang dari masa lalu.

Tapi aku menyukai sensasi ketika menunggu kedatangan orang yang mendera jarak dan terhubungkan oleh bandara. Menyambut kedatangannya yang merangkum semua emosi. Letup letupnya begitu buncah, begitu pekat, begitu manis.

Imaji memang raja dari semua raja. Aku punya buncahan rasa itu hanya dengan sedikit menjeda waktuku duduk di bangku tunggu halte transjogja di bandara adisutjipto. Imaji meraja dan selayak candu.


*Dalam transjogja, mengikut saja ke mana berputar. Jumat siang, hari halloween di tahun 2014*

Rabu, 29 Oktober 2014

Bangsal Pertama: Amazing Ward

Kemarin saya bercerita bagaimana selama satu bulan saya berinteraksi bersama ODS (orang dengan skizofrenia) membuka pintu persepsi saya tentang mereka.

Skenario Tuhan memang udah fit perfectly banget. Dari awal, Tuhan kasih masuk saya di bangsal yang berisi pasien-pasien kocak. Dan Alhamdulillah nya, saya juga dikasih kelompok kerja yang santai tidak terlalu mikir ribet. Yah, resonansi juga kali ya. Saya yang nggak suka terlalu mikir ribet juga bergabung dengan orang-orang seperti itu. Ada lho yang hampir semua anggota kelompoknya adalah orang-orang perfectionist, bikin stress aja. Haha.

Balik ke bangsal. Kami dijatah 2 bangsal per kelompok. Karena waktu kami hanya 4 minggu maka pembagiannya adalah satu minggu di bangsal pertama, minggu kedua pindah bangsal, minggu ketiga intervensi dan PHN (home visit), dan minggu terakhir untuk pembuatan laporan dan ujian.

Minggu pertama jatah kelompok 4 (Vincent, Mbak Ria, Icha, dan saya) di bangsal M. Bangsal laki-laki. Yang kami ambil sebagai klien adalah pasien yang sudah di bed luar. Jadi setiap bangsal, tempat pasien dibagi dua ruangan. Pertama ruangan dalam yang dikunci dan mereka hanya dikeluarkan ketika makan. Mereka ini pasien yang masih labil. Sedangkan ruangan luar pasiennya sudah kooperatif, boleh berjalan-jalan ke luar dengan batas jam malam adalah jam 9. Di bangsal M ini interaksi di antara para pasiennya baik. Mereka suka gojeg, bahkan dengan para perawat bangsal.

Seiring membangun kedekatan dengan mereka (karena meskipun sudah tidak stay di bangsal itu, kami masih sering bolak-balik ke bangsal untuk melanjutkan asesmen dan intervensi), para pasien yang ada di bangsal bagian luar itu sering terlihat bergerombol dan bersama-sama. Kami sering berpapasan di jalan kemudian saling sapa dan mengobrol.

Beberapa kali, mereka datang ke asrama cewek dan memanggil-manggil nama kami bertiga. Persis seperti anak kecil yang mengajak temannya bermain. Mereka pun pernah mengawal saya dan teman-teman saya untuk pergi ke instalasi gizi (ruang makan mahasiswa) pada malam hari. Atau mereka yang sengaja nongkrong di depan instalasi gizi pada jam makan mahasiswa hanya untuk bertemu dan mengobrol bersama kami. So sweet.. Di satu sisi mengharukan, tapi di sisi lain juga mengkhawatirkan. Saya dan teman saya sampai hampir takut jika terlalu attach dengan mereka dan sulit untuk dettach ketika sudah selesai nantinya. Ketika seorang klien sulit untuk dettach dengan psikolognya, berarti psikolog tersebut gagal.

Dari empat kelompok, hanya klien-klien kelompok 4 lah yang sampai segitunya. Kami bertiga pernah sampai sengaja mengabaikan ketika mereka memanggil dari luar asrama. Bilang aja lagi tidur atau lagi pergi, demi biar mereka tidak terlalu bergantung dengan kami karena kalau mereka bergantung, berarti kami gagal. Tapi syukurlah lambat laun mereka bisa lepas. Meskipun masih kadang-kadang nongkrong di depan asrama, tetapi tidak seintens sebelumnya.

Di bangsal M ada seorang pasien inventaris, Mbah D. Beliau sudah sepuh dan sudah 30sekian tahun menghuni bangsal itu. Sudah tidak punya keluarga sehingga dibiarkan ada di sana karena keberadaannya di sana juga membantu. Beliau sudah selama kurang lebih 3 tahun ini berhenti minum obat dan tidak pernah kambuh. Hebaat! Di bangsal M, beliau bisa dibilang asisten perawat. Beliau lah yang membantu perawat-perawat mengurusi para pasien, termasuk membagikan minuman dan makanan tambahan dari dapur. Kalau ada yang ngeyel, akan dibentak dan dimarahi oleh beliau. Beliau pula lah yang bertugas mengantarkan buku laporan harian pasien ke kantor. Bahkan beliau hafal semua kunci pintu dan gembok yang digunakan di bangsal M. Supeer, benar-benar asisten tanpa tanda jasa.

Ada satu cerita lucu tentang Mbah D yang kami dapatkan dari perawat. Suatu ketika dulu, Mbah D pernah dipindahkan ke bangsal lansia. Baru beberapa hari di sana, Mbah D demam. Ternyata Mbah D tidak betah ada di bangsal itu. Mbah D sudah terlalu nyaman dengan bangsal M. Bisa disebut bangsal M lah rumah Mbah D. Beliau lebih merasa berharga di bangsal ini. Hahahaha.

Selain Mbah D, ada juga yang lansia, namanya Mbah M. Mbah M ini jalannya ngesot dan sedang dibiasakan untuk belajar berdiri dan berjalan dengan kakinya. Mbah M ini tidak kooperatif tapi tidak membahayakan orang lain. Malah sering dijadikan bahan gojek dan mainan bagi teman-teman, perawat, dan mahasiswa praktek. Jahat sih sebenarnya, tapi lucu dan bully'an kami hanya bersifat gojeg kok, percayalah.

Mbah M ini pronounsationnya sudah nggak jelas. Misal mengatakan "jaluk duwite" dipangkas sama beliau menjadi "luk wite". Kami suka bermain-main dengan Mbah M. Mbah M mau melakukan yang diperintahkan, biasanya gerakan menembak, disuruh berdiri, dan macak ganteng. Nah, kalau dia sudah merasa melakukan apa yang kami perintahkan, dia minta uang atau minta rokok. Kalau kita tidak memberi atau kita tinggal pergi, Mbah M akan memasang ekspresi depresi (yang biasanya melongo kosong), memukulkan tangannya ke kepala sembari mengeluh "waa yok opo iki?!". Sumfah Mbah, njenengan tren gahol seantero bangsal. Sehari nggak ngegodain Mbah M rasanya nggak afdol. hahaha *ketawa devil*

Ada juga yang tangannya diiket ke kursi gegara pernah ngebunuh dua temennya. Ada yang suka menclok di pintu jeruji. Ada yang mengaku-ngaku menjadi teman sebelah bednya. Kasian sekali dia tidak mau mengakui namanya sendiri *geleng-geleng*

Ada pula skandal yang terjadi di antara para pasien. Jadi ada dua pasien yang hobinya duduk di depan pintu jeruji. Mereka berhadap-hadapan, saling mendekat, elus-elus, dan cium-cium. Cowok sama cowok. Oh my gosh area 17+ ini! tapi kami tertawa ngakak dibuatnya.

Di balik tingkah yang aneh dan kadang-kadang nggak nyambung, mereka bisa sangat memukau di saat-saat tertentu. Beberapa dari mereka taat beribadah, rajin sholat. Bahkan kami pernah melihat salah satu pasien yang mengaji bakda sholat maghrib.

Perawat bangsal pun sangat baik kepada kami maupun pasien. Mereka lebih menempatkan pasien tersebut sebagai teman, bukan seorang pesakitan. Amazing lah bertemu dengan orang-orang di bangsal M itu. Besok kita bahas orang-orang di bangsal G yang juga tak kalah amazing.

Lorong

Selasa, 28 Oktober 2014

"There Can Be Miracles When You Believe"

RSJ dr. Radjiman Wediodiningrat, Lawang, Malang


Satu bulan menakjubkan kemarin mengubah pandangan saya tentang rumah sakit jiwa. Selama ini meskipun saya sudah sejak tahun 2008 menggauli psikologi, saya masuk dalam golongan orang yang takut dengan kaum-kaum yang memiliki gangguan jiwa. Selama di S1 pun saya memilih untuk bagian psikologi orang normal kebanyakan saja. Tapi S2 ternyata berkata lain. Tuhan menginginkan saya menyentuh bagian abnormalitas manusia. Skenario Tuhan memang selalu menarik. Mungkin ini maksud Tuhan menempatkan saya kuliah S2 profesi klinis, salah satunya biar saya tidak antipati dengan orang-orang yang kejiwaannya kurang dari batas normal. Biar pandangan saya tentang mereka berubah.

Hari pertama kedua PKPP (Praktek Kerja Profesi Psikologi) di RSJ. dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, Malang tak disangkal membuat bulu kuduk saya meremang. Tidak hanya karena mendapatkan cerita-cerita mistis di lingkungan rumah sakit, tapi juga takut kalau-kalau tetiba para pasien itu melakukan hal-hal yang membahayakan orang lain. Kalau ini film, genrenya adalah horror-thriller. Well, meskipun saya juga penggemar film thriller tapi kalau menghadapi situasinya secara langsung ngeri juga kali. Dan beberapa peraturan yang disarankan pihak rumah sakit untuk para mahasiswa praktek membuat saya nyaris tidak bisa membedakan itu berbicara masalah mistis atau thriller -__-. Misalnya saja, mahasiswa baik cewek maupun cowok, kalau sudah maghrib tidak boleh keluar sendirian. Tidak boleh ngalamun. Sebisa mungkin jangan membawa handphone di tangan kalau sedang keluar asrama. Begitu maghrib, cucian (bagi yang mencuci) dimasukkan ke dalam asrama. Dan peraturan lainnya. Kalau dibilang thriller, bener juga karena kalau kita keluar sendirian (apalagi bagi cewek), rawan untuk diganggu oleh pasien, termasuk ketika kita terlihat memegang handphone. Kalau dibilang horror pun juga ada kemungkinannya, mengingat banyak perawat bangsal yang kemudian mencetuskan isu horror tersebut kepada kami. Bahkan beberapa waktu lalu pihak yang menayangkan acara Uji Nyali di sebuah stasiun televisi itu ingin menjadikan RSJ ini sebagai setting acaranya akan tetapi tidak diperbolehkan oleh kepala RSJ. Okesip, saya insomnia abis di hari pertama kedua itu.

Tapi semuanya berubah sejak negara api menyerang. Ketika sudah berinteraksi dengan para pasien bangsal, saya mulai berani. Tidak seseram yang saya bayangkan sebelumnya. Saya membayangkan harus sangat berhati-hati saat ngobrol dengan pasien karena sewaktu-waktu pasien itu bisa kambuh. Tapi ternyata kita bisa mengobrol dengan mereka seperti kita ngobrol dengan orang biasa. Yaa memang kita berhati-hati, jangan sampai membuat mereka tersinggung atau membuka kembali hal yang menjadikan dia kambuh. Intinya, jangan sampai kita membuka dan kemudian tidak bisa menutupnya kembali. 

Dan yasudah, begitu saja. Hari-hari selanjutnya saya bersama teman-teman mendapatkan teman-teman baru. Setiap hari selaluu saja tertawa melihat tingkah mereka. Pun mereka suatu saat bisa sangat memukau kami. Atau kadang-kadang dibingungkan oleh cerita pengalaman mereka hidup di dunia yang mereka ciptakan sendiri. So interesting.

Di saat yang lain pun, saya menjadi mempertanyakan, sebenarnya siapakah yang lebih normal, kita atau mereka? Karena mereka di sini sangat berkembang, bisa beraktivitas, memiliki kehidupan yang teratur, dan teman-teman yang mendukung. Tapi ketika mereka sudah keluar dari rumah sakit (dinyatakan bisa rawat jalan), banyak yang hanya bertahan beberapa bulan atau beberapa minggu saja di rumah. Setelah itu mereka balik lagi ke rumah sakit karena kambuh. Why? Mereka sehat ketika di rumah sakit tapi sakit ketika kembali ke rumah. Why? Sungguh ironis. Tapi memang tidak semuanya seperti itu sih. Yang kemudian sembuh dan tidak balik lagi juga adaa.

Kami bertujuh belas dibagi dalam empat kelompok. Masing-masing kelompok mendapatkan jatah dua bangsal. Semakin lama kami bisa masuk kehidupan mereka, bisa dekat dengan mereka. Jika berpapasan di jalan, mereka menyapa kami dan memanggil nama kami, bahkan mereka yang bukan kami ambil sebagai klien. Atau kadang-kadang mereka bergerombol dan mengajak kami jalan-jalan di sore hari. Persis seperti seorang teman. Saya pun mulai menganggap mereka sama seperti orang-orang biasa.

Ketakutan saya terhadap mereka pun menghilang. Mereka juga sama seperti kita kok. Kalau kita memperlakukan mereka dengan baik, mereka juga akan baik sama kita. Hal yang rada mengerikan dari para pasien sih beberapa dari mereka ada yang suka ngegodain cewek-cewek gitu bahkan sampai ke pelecehan seksual. Ada yang ketika ketemu di jalan, tetiba dipepet sama pasien laki-laki tak dikenal, digodain atau dikasih bunga. Ada yang dikasih surat dan diajak menikah. Ada yang colek-colek, ada yang sok-sok'an mau memeluk, bahkan ada yang menunjukkan ketegangan *tiiit* nya pada kami. Hii, untung saya tidak ikut mengalami hal terakhir yang saya sebutkan itu. Teman saya yang mengalaminya saat ngobrol dengan pasien itu. Hanya itu saja kengeriannya, tidak sampai diteror atau dicelakai dikejar-kejar macam film thriller. No, not at all. Mereka jinak kok..jinak-jinak merpati.

Lepas dari semua tetek bengek kampus atau profesionalitas, berinteraksi dengan mereka selama sebulan kemarin membuat saya bersyukur. Saya, keluarga saya, dan siapapun yang membaca ini, meskipun ada saat-saat sulit dalam kehidupan, tapi kita masih diberi kesehatan jiwa. Tuhan masih menganugerahi kita kekuatan untuk melewati masa-masa sulit itu sehingga kita masih punya "diri sendiri". Mereka-mereka, para pasien itu, seperti layaknya badan tanpa jiwa. Mereka hidup tapi mati. Mereka kehilangan diri mereka sendiri. Sangat menyedihkan.

Tapi akan selalu ada harapan. Mereka tetap bisa melanjutkan hidup. Mereka tetap bisa meraih cita-cita. Seperti kata dosen kami "it's fine. Meskipun halusinasi dan waham atau apapun gangguannya itu masih ada, sepanjang dia tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain, it's fine.". Seperti pula kata panitia saat lomba layang-layang untuk pasien dalam rangka memperingati hari kesehatan jiwa sedunia, "Dengan layang-layang, kita melihat langit seperti keluarga skizofrenia melihat harapan. Tidak mudah melayangkan layang-layang itu, seperti pula butuh perjuangan orang-orang dengan skizofrenia dan keluarganya dalam melihat harapan kesembuhan."

Yes, "there can be miracles when you believe", kata Mariah Carey.