Sabtu, 19 Februari 2011

Efektifkah Kuliah Pengganti di Hari Sabtu?

Sabtu kali ini seakan semua hal terjadi diluar yang diharapkan. Mulai dari ban sepeda gembos, yang terpaksa balik lagi ke kos buat mompa..acara memompa baru setengah jalan, per dalam pompa copot. Yaah, pompa rusak! Demi semangkuk bubur ayam, jalan kakilah dari kuningan hingga selokan mataram bolak-balik. No problem, yang penting makan bubur ayam. Haha..Lanjut jam 10.30 kuliah pengganti untuk menggantikan kuliah hari selasa yang libur kemarin. Sampai di kelas, ternyata ada pengumuman kosong. Kesal, gondok karena ternyata kuliah pengganti yang pagi, yang menurut pengumuman kosong, ternyata ada. Alhasil aku dianggap membolos oleh sang dosen. Sementara kuliah pengganti kedua, yang tidak ada pengumuman kosong sama sekali, justru malah kosong. But, Alhamdulillah, karena ternyata ga cuma aku yang "ketipu", dari 51 anak hanya 11 anak yang berada di jalan yang benar alias masuk kuliah. Aku nggak tahu kelegaan itu benar atau salah, tapi bukankah kita memang akan lebih merasa tenang jika melakukan kesalahan bersama-sama daripada salah sendirian?? Pulang ke kos, listrik masih mati! Sudah sejak sebelum berangkat kuliah sebenarnya. Aku tahu lisrik mati kali ini bakalan lama karena memang sedang ada perbaikan tiang listrik. Yaah, nggak bisa ngapa-ngapain juga di kos. (Menghela napas).Akhirnya, tanpa berganti baju terlebih dahulu, aku menuju rektorat UGM. Bukan untuk menemui jajaran pengurus akademika dan semacamnya, tapi untuk membawa serta laptopku menjelajah dunia internet secara gratis alias hotspot'an.

Tapi aku nulis ini bukan untuk me-list hal-hal di luar rencana yang menimpaku hari ini, tapi sesuai judulnya: efektifkah pengadaan kuliah pengganti di hari Sabtu?

Kedua alternatif jawaban memang terpakai. Efektif jika sudah ada kesepakatan antara dosen dengan mahasiswa secara face to face pada kuliah minggu yang lalu. Tapi menjadi tidak efektif ketika kesepakatan itu tidak terjadi. Lebih dari itu, karena ini weekend. Beberapa anak yang parttime, memilih hari sabtu-minggu untuk bekerja. Beberapa aktivitas kampus non-akademik atau organisasi, memilih sabtu-minggu untuk mengadakan suatu acara. Beberapa mahasiswa yang indekos, memilih sabtu-minggu untuk pulang kampung. Bahkan beberapa pasangan memilih sabtu-minggu untuk ketemu. Kita harus rela mengorbankan kegiatan yang sudah kita agendakan jauh-jauh hari sebelumnya karena ada kuliah pengganti. Tidak masalah sebenarnya kalau kesepakatannya jelas. Kita meninggalkan suatu agenda tetapi tetap mendapatkan gantinya yang bermanfaat, yaitu mendapatkan ilmu, pencerahan, bertemu dengan dosen yang menyenangkan dan menginspirasi, bertemu dengan teman-teman kuliah, bahkan mungkin bertemu dengan gebetan. Namun, jika hanya sekedar komunikasi satu arah, hanya dari selembar kertas yang tertempel di papan pengumuman, yang bahkan mungkin tidak ada koordinasi yang jelas antara pihak dosen dan pihak yang bertugas menempel pengumuman, kita nggak dapat apa-apa. Kita kadung mengcancel agenda kita, tapi kita pun bertepuk sebelah tangan karena ternyata kuliah pengganti kosong tanpa ada pemberitahuan apapun hari sebelumnya. Akhirnya kita harus rela melangkahkan kaki dengan gontai. Pulang. Tapi, pilihan kita setelah itu akan menentukan hari yang bagaimanakah yang akan kita miliki hari ini. Jika kita memilih untuk uring-uringan, melampiaskan dengan tidur atau teriak-teriak nggak jelas, I bet, hari kita akan jadi hari yang buruk, mungkin kita akan menyebutnya hari sial. Tapi jika kita memilih untuk mencoba mencari hal-hal positif, mencari apa yang bisa kita lakukan untuk mengisi sisa waktu hari ini, I bet, hari kita akan menjadi hari yang menyenangkan dan tetap memiliki sensasi tertentu dalam hidup kita.
Bukankah selalu ada hal positif di setiap peristiwa yang terjadi?

P.S. You know, aku mengulang menuliskan postingan ini. Sebenarnya aku sudah menulisnya beberapa jam yang lalu, live di rektorat, live kutulis di space postingan blog. Tapi ketika klik icon "post" di layar muncul tulisan "server not found". Usut punya usut, ternyata kehidupan baterai laptop cuma tinggal 4 menit, tidak kuat untuk mengangkat proses loading internet. Eng ing eng,oh my gosh, I lost it. Aku nggak meng-copy tulisan itu di dokumen laptop. So, I caught a breath at the moment. I said to my self "It's okay" while continuing catch a breath deeply. Then I feel much better. Dan, ya, sampai kos aku mengulik lagi what's on my mind at that time, what I've already said for this blog, then I write down again here.

Song for the day: The Other Side of Down-David Archuleta. Nggak semua hal yang tampak buruk itu seburuk yang kita pikirkan, selalu ada sisi positif dari peristiwa buruk yang menimpa kita. Oh, I have another song: Easier To Lie-Aqualung (Lie to Me OST). I don't know why I have this song in my head. Agaknya soundtrack terakhir sebelum listrik mati haha.

Minggu, 06 Februari 2011

Bara Itu Bernama Social Support

Akhirnya ke rumah simbah jugaa. Sejak hari pertama liburan semester, baru kemarin Minggu ke tempat simbah, ckckck. Niatnya sih, si ibu mo stok beras sekalian layat tetangganya simbah yang lusa lalu nggak ada. Ke sanalah aku sama ibu pagi jam 10an. Di angkot aku inget kalau biasanya simbah hari Minggu gini pengajian. Tapi Alhamdulillah sampai sana simbah ada di rumah dan crita kalau emang ada pengajian tapi nggak berangkat karena siangnya mau ada arisan keluarga jadi biar nggak capek. Dan mungkin firasat juga kalau aku pikir. Simbah ngrelain nggak ikut pengajian karena ada arisan keluarga siangnya, ing ngatase ngono (walaupun begitu – red) simbah dapet penggantinya, yaitu kedatangan anak dan cucunya, ya ibu dan aku ini. Betapa bahagianya orang tua (atau dalam hal ini ibu karena simbah sudah janda) ketika melihat anaknya pulang, masih ingat dan bersedia menengok dirinya yang kian merenta.

Bagiku sendiri, aku mengagumi sosok mbah putriku ini. Meski untuk berpergian sudah selalu pakai teken (tongkat), tapi beliau masih sehat, lincah, dan masih bisa ngapa-ngapain sendiri. Semenjak mbah kakung nggak ada, beliau jadi lebih sering lagi ikut pengajian. Itu yang aku kagum. Dan beliau nggak pernah lelah ngasih wejangan, wejangan yang sarat akan spiritualitas. Pokoknya mbah tu selalu ngingetin biar kita selalu ingat dan dekat dengan Allah. Itu yang bikin ngangenin.

Sebenarnya ada hal lain lagi yang bikin aku suka ke tempat simbah. Suasananya. Simbah tinggal di desa. Nggak desa-desa banget sih, tapi di sana kita bakal nemuin banyak lahan atau pekarangan yang rimbun oleh pepohonan, kebanyakan pohon kelapa dan pisang..dan tak ketinggalan dengan adanya sawah tentunya. Orang-orangnya pun tampil dengan keramahan yang khas. Banyak dari mereka malah tahu namaku tanpa aku tahu nama mereka. Sedikit bias memang, entah karena karakter orang desa yang lebih care dan lebih punya rasa persaudaraan terhadap para kerabat tetangganya, ataukah karena faktor masa kecilku yang nyaris tiap malam minggu dan liburan sekolah menginap di sana. Entahlah, aku merasa lebih nyaman dengan orang-orang yang membalut hidup mereka dengan kesederhanaan, menjunjung kearifan lokal, dan penuh kehangatan terhadap orang lain. Ah, very nice..hal yang jarang ditemukan pada orang kota, I guess.

Oh ya! Hal lain yang membuatku tertarik adalah keren. Keren bukanlah kata yang memiliki arti “penampilan yang eye-catching”. Pengucapan huruf “e” pada kata “keren” sama seperti ketika kita mengucapkan kata “senin”, artinya tidak lain tidak bukan adalah tungku memasak. Dulu keren ini dibuat dari beberapa batu bata yang disusun membentuk persegi, dengan lubang di bagian tengahnya dan bagian depan tempat kayu bakar. Sekarang, tungku ini sudah banyak yang terbuat dari tanah liat. Aku paling suka bermain-main dengan benda satu itu. Bukan berarti aku suka masak, karena aku biasanya cuma suka memasuk-masukkan blarak (daun kelapa yang kering), mancung (kulit manggar), dan kayu tulang tempat daun-daun kelapa berpijak, satu per satu untuk menjaga sang api tetap menyala. Bukan berarti pula aku merasa dingin dan akan nyaman bila berada di depan tungku, karena justru aku kepanasan tapi rasa panas itu tetap terkalahkan oleh suatu sensasi.

Ada suatu sensasi yang menakjubkan ketika kita mengamati bagaimana api yang melalap sulur-sulur kayu yang kita sodorkan padanya, bagaimana ia meninggalkan bara yang menyala terang berkelap-kelip, dan bagaimana bara yang baru saja ditinggalkan oleh api akan memanggil sang api kembali ketika kita sodorkan kayu yang baru lagi. Ah, ia serasa hidup. Setiap dari kita pun seperti itu, menyimpan bara semangat. Suatu saat ketika bara itu menyala menjadi api, kita bisa melakukan hal yang luar biasa. Suatu saat api itu akan padam tapi bukan benar-benar padam, ia meninggalkan bara yang akan dengan cepat menjadi api apabila kita sodori kayu bakar berupa inspirasi, insight, dan motivasi/niat, Bahkan pada orang-orang yang mungkin lebih suka mengaku “tak punya lagi gairah hidup”. Simbah dan tetangga-tetangga simbah adalah representasi dari bara itu, yang walaupun dengan kesederhanaan, tinggal sendirian di rumah, tetap dapat menyalakan api semangat oleh lingkungan sosial yang lekat dengan kehangatan. Bara dalam diri kita tidak akan padam selama Sang Pencipta masih meniupkan nafas untuk kita.

P.S. Sad news: Sandalku ilaang! Ibu lupa g masukin sandal setelah dipake ke pertemuan dasa wisma sabtu sore. Paginya udah lenyap dengan sukses. Oh no,, balik jogja bakal nyeker nih! Haha…

Song for the day: If My Heart Was a House – Owl City. Meski rada nggak nyambung, tapi secara makna universal lagu inilah yang mungkin paling mewakili pentingnya kehadiran orang lain (social support) dalam hidup kita untuk menghidupkan bara yang kita miliki.
=)