Rabu, 19 Desember 2012

Why It Must be "Dandelion"?

Kamis, 20 Desember 2012

H-2 menuju hari ibu. Sudahkah kita memberikan yang terbaik untuk ibu kita? Sudahkah kita menyatakan rasa sayang kita kepada ibu? Sudahkah kita membuat ibu bangga dengan kita? Atau, minimal, sudahkah kita membuat sebuah lengkungan manis di bibir ibu karena apa yang kita lakukan? Sudah saatnya kita merenungkan semuanya. Tapi, tulisan ini tidak menceritakan tentang itu....

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah. Manusia yang berjiwa besar adalah manusia yang menghargai masa lalunya sebagai bagian dari proses hidup. Begitu pula blog yang berkualitas adalah blog yang mengetahui sejarah penamaannya.


Kerajaan:Plantae
Divisi:Magnoliophyta
Kelas:Magnoliopsida
Ordo:Asterales
Famili:Asteraceae
Genus:Taraxacum

Randa Tapak atau Dandelion adalah bagian dari Taraxacum, sebuah genus besar dalam keluarga Asteraceae. Nama Randa Tapak sendiri biasa digunakan untuk merujuk kepada sebuah tumbuhan yang memiliki "bunga" yang memiliki "bunga-bunga" kecil yang terbang ditiup angin. Asal asli dari tumbuhan ini adalah Eropa dan Asia, namun sudah menyebar ke segala tempat. Yang disebut sebagai bunga dari tumbuhan ini menjadi semacam jam hayati yang secara teratur melepaskan banyak bijinya. Biji-biji ini sesungguhnya adalah buahnya (Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Randa_Tapak). 


Keberadaan dandelion seringkali terabaikan. Mungkin karena bentuknya yang kecil dan biasanya berada di tepi-tepi jalan, sehingga sering luput dari perhatian orang. Tapi saya melihat dandelion bukanlah sekedar tanaman rumput kecil yang tidak menarik dan hanya berfungsi sebagai pembatas jalan. Tidak. Dandelion lebih dari sekedar itu. Ini tentang makna dirinya sendiri. 

Bunga-bunga kecil dandelion (biji) ini sangat mudah tertiup angin. Terbang tinggi dan jauh, kemudian akan jatuh pada suatu tempat. Biji tersebut kemudian akan tumbuh kembali menjadi bunga dandelion. Di sini, betapa dandelion mengajari kita arti kesetiaan. Ia rela meninggalkan induk dan teman-temannya yang ia sayangi ketika tiba waktunya ia harus pergi. Kepergiannya tidak lantas memusnahkan rasa cintanya. Ia pergi untuk memberikan kehidupan baru di tempat lain. Itulah keikhlasan dalam kesetiaan. Dandelion mengajari kita arti kesetiaan. Bahwa setia bukanlah berarti kita harus selalu bersama secara fisik. Setia lebih bermakna bahwa kita harus selalu bersama secara batin. Karena itulah, ketika kita berpisah secara fisik dengan orang yang kita sayangi, kita merasa ikhlas karena yakin bahwa kebersamaan kita tetap terjalin meski raga memisahkan. Seperti biji dandelion yang terlepas dari induk dan teman-temannya yang lain, tapi ternyata ia tidak bisa memungkiri rasa cintanya. Ia tumbuh di lain tempat, tetap dengan wujud dandelion dan cita rasa yang sama sehingga ia tetap akan selalu mengingat bagaimana kehidupan ia bersama induk dan teman-temannya dahulu kala. 

Tidak hanya mengajari tentang kesetiaan dan keikhlasan. Dandelion juga mengajari kita tentang semangat menggapai cita-cita. Biji dandelion yang tertiup angin tersebut terbang membawa satu misi: memberikan kehidupan di tempat lain. Sungguh misi yang sangat mulia. Ketika ia ingin sampai kepada misi tersebut, ia harus terbang tinggi dan jauh. Sama seperti kita. Untuk dapat menggapai cita-cita, kita harus semangat terbang tinggi dan berusaha untuk mencapainya. Hingga biji dandelion singgah di suatu tempat untuk menumbuhkan jiwa baru, kita pun tiba di suatu tempat cita-cita kita, tempat di mana kita bisa bermanfaat untuk orang lain.   

Dandelion tumbuh dengan segala kebersahajaannya. Ia tidak mewah, tidak harum, pun tidak berwarna cerah. Rapuh sekaligus kuat. Rapuh karena mudah terbawa angin. Tapi kuat dengan kesetiaan, keikhlasan, dan tekad menggapai cita-cita.


So, why it must be Dandelion? I bet you get it :D


PS. Kalau mau tau gimana bunga dandelion yang awalnya kuning perlahan berubah bentuk dan warna menjadi putih dengan biji-bijinya, cekidot --> Time lapse Dandelion flower to seed head

Selasa, 13 November 2012

Galau Kok Karena Pacar!


Selasa, 13 Nov 12


"Menjadi jomblo bukanlah akhir dari kehidupanmu". Tag line itu mengudara beberapa waktu lalu di radio, di mana dalam suatu segmen acara si penyiar membahas tentang keuntungan menjadi jomblo (tidak punya pacar). Di situ lebih banyak dibahas tentang nilai kebebasan yang didapat, misalnya saja jadi bebas melakukan apa yang kita mau, bebas bergaul dengan teman-teman lawan jenis lainnya, hemat pengeluaran, dan hal-hal semacam itulah yang bersifat fisik.

Sangat sering kata-kata "hiburan" semacam itu kita dengar ditujukan bagi para jomblo yang baru saja putus supaya bisa move on. Saya pribadi merasa masih banyak lagi sisi positif yang didapat dari jomblo. Jika kata-kata "hiburan" yang sering kita dengar itu berangkat dari sisi negatif orang pacaran yang akhirnya dapat menimbulkan "sedikit" kelegaan setelah putus, saya berpikir kenapa tidak kita coba menggali dengan berangkat dari sisi positif orang jomblo yang akhirnya dapat rusak ketika pacaran? 

Pertama, jomblo membuat gelombang otak kita sehat dan tidak rusak. Inspirasi ini saya dapat dari seorang dosen di perkuliahan, malah. Sebagaimana dosen-dosen lain yang suka menyisipkan intermezzo dalam aktivitas perkuliahan, saya juga menikmati bagian intermezzo itu meskipun hanyalah joke-joke ringan tapi menusuk. 

Dosen tersebut menjelaskan mekanisme yang terjadi dalam otak orang yang pacaran. Berbagai macam emosi dan afeksi terkumpul di situ, bahagia, sedih, kasih sayang, marah, cemburu, dan lain-lain. Sisi positifnya adalah kaya akan emosi, karena bahkan orang yang pacaran bisa merasakan emosi-emosi itu dalam satu hari sekaligus. Tapi, hati-hati, setiap emosi yang kita rasakan akan membentuk gelombang otak yang berbeda-beda. Gampangnya saja ketika kita merasa bahagia, gelombang otak kita bergerak seirama dan tenang. Sebaliknya ketika kita merasa marah, gelombang otak bergerak sangat cepat dan tak beraturan. Masing-masing emosi memberikan gelombang otak yang konsisten, misalnya gelombang otak emosi bahagia tetap seirama sepanjang emosi itu kita rasakan. Sesuatu yang konsisten tidak akan menimbulkan kekacauan atau kebingungan.

Apabila dalam satu waktu kita mengalami berbagai macam emosi, maka gelombang otak kita juga mengikuti emosi kita. Jika dalam porsi yang seimbang, akan memperkaya dan menyehatkan otak. Akan tetapi, orang pacaran sekarang kebanyakan galau, merasakan banyak perpindahan emosi dalam waktu yang sangat sering dan sangat cepat. Bisa dibayangkan bagaimana bentuk gelombang otak yang terjadi kemudian. Sebentar lalu seirama, sebentar kemudian tak beraturan. Gerak yang terjadi sedemikian tidak konsisten. sebagaimana aliran listrik, jika aliran yang terjadi tidak konsisten maka akan menimbulkan konsleting. Seperti itulah yang juga terjadi dalam gelombang otak. Dalam porsi yang tidak seimbang bisa saja menimbulkan konsleting. Dengan demikian, manusia tersebut sedang tidak berada dalam kondisi sehat. 

Bandingkan dengan otak orang jomlo yang cenderung konsisten karena dapat menyeimbangkan perpindahan bentuk gelombang otak dalam porsi yang seimbang. Keseimbangan perpindahan gelombang tersebut tentu saja menghasilkan gelombang yang sehat dan dapat berpikir secara jernih. Sebuah joke dari dosen saya: "pacaran itu membuat gelombang otak menjadi rusak"

Kedua adalah tentang kepo. Dunia sekarang semakin dikuasai oleh social media. Bahkan kejujuran lebih berbicara di jejaring sosial seperti facebook dan twitter ketimbang ketika interaksi secara langsung. Bagi orang-orang pacaran yang kurang percaya kepada pasangannya, social media-lah yang mereka pegang. Hari-hari mereka disibukkan untuk menelanjangi timeline pasangan mereka karena takut pasangan mereka bertindak macam-macam atau berselingkuh. 

Kita sebagai orang jomblo bisa saja memiliki jam terbang yang sama dengan mereka untuk berselancar ke dunia maya. Tapi aktivitas yang dilakukan berbeda. Jika mereka (kaum berpacaran) sibuk memelototi timeline pasangannya, kita sibuk memelototi deretan berita, pengetahuan, atau info-info menarik yang bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas pribadi kita. Bukankah hal itu akan lebih memberikan manfaat bagi masa depan dan kehidupan kita? Isi otak kita pun jadi lebih berkualitas dan berwawasan luas. 

Yang ketiga adalah bisa menjaga keselarasan dan keharmonisan hidup khalayak ramai. Hal ini masih berkaitan dengan kepo tadi itu. Ketika kepo timeline pasangan dan mengetahui bahwa pasangannya terdapat indikasi-indikasi perselingkuhan, orang akan bertindak agresif, atau minimal ada pergolakan dalam hatinya. Dia akan mulai tidak menyukai orang ketika tersebut. Dia pun akan mulai membenci pasangannya. Apabila merembet sampai pada tindakan nyata (misalnya melabrak orang ketiga itu), bisa dibayangkan berapa banyak musuh yang bermunculan. Orang ketiga tersebut tidak akan terima dengan labrakan itu, dia akan cerita dengan teman-temannya sehingga teman-temannya juga ikut membenci orang yang melabrak. Begitu juga dengan orang yang melabrak, akan cerita dengan teman-temannya tentang kelakuan pasangan dan orang ketiga, teman-temannya juga akan tidak suka dengan orang ketiga. Semakin banyaklah musuh bermunculan, padahal bisa jadi tidak saling kenal. 

Kita sebagai orang jomblo kemungkinannya sangat kecil untuk terlibat dalam lingkaran setan permusuhan itu. Alih-alih mendapatkan musuh, kita malah mendapatkan banyak teman karena kita memperluas pergaulan. Jika dikaitkan dengan poin kedua, kita kaum jomblo cenderung untuk "kepo" hal-hal yang berkualitas. Dari situ kita bisa memperluas wawasan. Ketika wawasan kita luas, orang cenderung untuk nyaman bertukar pikiran dengan kita sehingga kita akan memiliki banyak teman. 

So, masih mau bangga bergalau ria karena pacar? Mari bergalau! Hahaha...      


   

Jumat, 02 November 2012

Ini Hidup Terlewati, Ini Hidup Kau Mulai

Jumat, 2 Nov '12


Ini hidup terlewati
Ini hidup ketika kau mulai harus berdiri sendiri di atas kedua kakimu
Ketika kau menyadari bahwa kau haruslah berpikir tentang hidupmu
Apa yang akan kau lakukan, untuk apa dan siapa dirimu mengada,
Lantas akan kau kemanakan hidupmu?
Sisi dirimu bersorak atas kemenangan ini
Kala kau berhasil bergelut dengan sesuatu yang mungkin memenjarakanmu selama bertahun-tahun
Dan kau telah sampai di titik ini, maka kau disebut menang oleh orang-orang
Tapi benarkah kau menang?
Lihatlah, kau sedang ada di mana sekarang
Bahkan kau hampir-hampir tak tahu siapa dirimu jika kau tak cepat melangkah
Tapi kau masih perlu kompas untuk menjejakkan kakimu 
Kau tak bisa kembali meski dimensi di belakangmu kau rasa lebih nyaman
Jejakan kakimu pun berisi penuh tanggung jawab
Atas apa yang kau lewati, atas apa yang kau simpan, atas apa yang kau maknai
Ya, ini kemenangan. Ya, ini awal perjalanan. Ya, ini dimensi lain. Ya, ini awal perjuangan.
Ya, dan suatu saat kau akan sampai di ujung kemenangannya, berjalan ke dimensi lainnya


PS. Thanks God for this wonderful gift..hingga aku ada di titik ini, titik yang beberapa minggu lalu bahkan masih terasa sangat jauh dari jangkauan logika.

-03.08pm-

Sabtu, 22 September 2012

Jejak Langkah Saung Kecil: Pengejaran

Minggu, 23 September 2012


Siang teriakkan pekik anak-anak di lapangan itu. Saung kecil duduk di tepiannya, bekas pematang sawah. Gelak tawa, pekikan, sorakan, dan umpatan anak-anak kecil itu masih memenuhi telinga saung kecil. Anak-anak yang bermain layangan di sepetak sawah kering yang sudah alih fungsi sebagai lapangan.

"Ayo ikut main, kak!" Seru seorang anak berbadan kurus dan botak kepada saung kecil
"Lain kali. Aku lihat kalian saja lah sekarang. Lain kali pasti aku ikut," sanggah saung kecil sambil mengacungkan jempol ke arah anak itu. Anak-anak itu kembali sibuk dengan layangannya dan saung kecil kembali sibuk dengan segala yang dapat terangkum oleh benaknya. Mengisi otaknya dengan wewangian debu yang terbawa angin dan segala keriuhan yang ada. Sesekali saung kecil ikut bersorak dan memberi semangat kepada mereka.

Ada kompetisi yang sedang berlangsung. Dua buah layangan saling mengejar di udara. Beradu, lepas, mengejar, kemudian beradu lagi. Begitu seterusnya hingga ada salah satu di antara mereka yang putus talinya.

Sebuah layangan tak terlalu besar bergambar tokoh kartun terlepas dari kaitannya. Putus. Melayang-layang di udara. Teriakan sorak-sorai kemenangan bercampur dengan umpatan kekecewaan. Segera tertangkap oleh mata saung kecil, seorang anak lelaki berlari-lari mengejar layangan. Oh, layangan yang putus itu miliknya, batin Saung Kecil.

Anak lelaki berbaju abu-abu itu tampak terengah-engah. Kepalanya mendongak dan menunduk bergantian. Mendongak ketika ia harus mengawasi ke mana arah layangannya terbawa angin. Menunduk ketika ia harus membawa kakinya berlari melompati pematang dan menghindari rekahan tanah kering yang bisa membuatnya terjatuh. Teman-temannya tidak ada yang membantu. Ia berjuang sendirian. Memang seperti itu peraturan yang dibuat oleh anak-anak ini. Yang kalah, harus mengejar sendiri layangannya.

Sebenarnya bisa saja mereka membiarkan layang-layang yang putus itu menjadi milik angin dan memutuskan untuk membeli layangan yang baru. Tapi, jika demikian yang terjadi, sorak-sorai dan gelak tawa tak akan berlangsung seseru ini. Pun tak akan terlihat senyum kepuasan rekah dari bibir si anak yang berhasil mendapatkan layangan putusnya.

Saung kecil masih mengamati anak lelaki berbaju abu-abu itu. Anak lelaki berbaju abu-abu itu masih bersemangat mengejar layang-layangnya. Saung kecil yakin benar bahwa anak itu sudah terengah-engah dan mungkin juga kesal karena angin mempermainkan layang-layangnya naik turun. Saung kecil merasa tengah belajar sesuatu. Pengejaran.

Ya, hidup selalu dipenuhi oleh pengejaran-pengejaran yang dilakukan manusia. Dalam hal apapun. Kesuksesan, prestasi, bahkan hal-hal kecil sekalipun seperti mengejar bis kota. Kita diajari mengejar sejak kecil. Seorang anak kecil yang tertarik dengan kupu-kupu akan berusaha mengejarnya dan ketika ibunya mengetahui hal itu, ibu anak kecil itu akan memberi semangat kepada anaknya untuk mengejar kupu-kupu. Itu bukti bahwa secara naluriah, manusia punya dorongan untuk mengejar. Dan pengejaran itu dikuatkan oleh hal-hal di luar diri. Mungkin waktu, mungkin keadaan, mungkin orang-orang sekitar.

Pengejaran akan berhenti ketika berhasil mendapatkan apa yang dikejar. Puas, ya. Tapi sesungguhnya tidak akan benar-benar berhenti. Bagi sebagian orang mungkin merasa perjuangan sudah selesai. Justru perjuangan yang sebenarnya baru saja dimulai. Perjuangan untuk mempertahankan apa yang sudah berhasil didapat dengan pengejaran itu. Itulah mengapa mempertahankan lebih sulit daripada mendapatkan, karena perasaan "kita sudah selesai" saat mendapatkan apa yang dikejar. Belum, belum lah selesai.

"Hoorree, dapaaat!!!" Seruan itu menyentakkan Saung Kecil. Dilihatnya anak lelaki berbaju abu-abu itu tidak lagi berlari. Ia berhenti mengejar. Tapi tidak dengan tangan hampa. Ia melambai-lambaikan layang-layang di tangannya. Saung kecil berlari ke arah anak itu, menggendongnya, dan mengangkat layang-layang itu setinggi-tingginya. Nafas anak itu payah sekali. Tapi, kali ini beradu dengan hembusan kemenangan, kegembiraan, dan kepuasan yang membuncah. Para pendukung anak lelaki berbaju abu-abu mengerubuti saung kecil dan anak itu. Persis seperti seorang yang baru saja menyabet piala kejuaraan tingkat dunia.

Saung Kecil menurunkan anak lelaki berbaju abu-abu. Sorak-sorai mereda. Permainan senja itu telah usai. Mereka mengemasi layangan masing-masing dan berjalan kembali ke rumah dengan senyum masih melekat di benak mereka.

"Eh, sini, layangan kamu buat aku aja. Sudah putus, kan? Pasti kamu juga akan beli yang baru. Daripada dibuang, buatku saja. Nanti bisa kuganti sendiri benangnya." Seorang anak tiba-tiba mendekati anak lelaki berbaju abu-abu dalam perjalanan pulang. Saung kecil masih di lapangan, belum selesai mengemasi barangnya. Dilihatnya anak lelaki berbaju abu-abu itu ragu-ragu.
"Jangan. Kamu beli saja sendiri yang baru. Aku akan mengganti benang ini sendiri. Aku masih ingin pakai. Layang-layang punyaku ini yang paling hebat selama ini. Dulu-dulu aku pasti menang. Baru tadi saja dia punya lawan yang super hebat. Tapi aku masih percaya dia bawa keberuntungan buatku. Kamu beli sendiri saja, ya," ucap anak lelaki berbaju abu-abu itu akhirnya. Anak yang meminta layang-layang itu mengangguk. Mereka pun berjalan pulang bersama-sama.

Lagi-lagi Saung kecil seakan ditampar. Ah, ya, anak lelaki berbaju abu-abu itu merupakan salah satu dari mereka yang menganggap akhir dari pengejaran adalah awal dari perjuangan yang sesungguhnya. Mempertahankan. Setiap orang tidak akan rela begitu saja untuk melepaskan apa yang sudah didapat dengan penuh kerja keras dan pengejaran. Setiap orang akan mempertahankan apa yang berhasil didapatnya ketika ia merasa sesuatu itu berharga. Bukan hanya harga dari sesuatu itu sendiri, tapi juga harga dari sebuah pengejaran. Saung kecil yakin, anak lelaki berbaju abu-abu tidak mau memberikan layang-layang putusnya bukan semata-mata layang-layangnya membawa keberuntungan, tetapi juga karena ia mendapatkan layang-layangnya kembali dengan pengejaran yang tak mudah. Ada harga yang patut dibayarkan untuk itu. Ya, hidup memang seperti itu, batin saung kecil.

Saung kecil selesai berkemas. Dipakainya topi yang melindungi kepalanya dari panas menyengat. Ia melambaikan tangan pada beberapa anak yang masih asyik berdiam di lapangan. Ia pun melambai pada sisa senja.


PS. Kita selalu mengejar. Ketika sudah mendapatkannya, berhentilah mengejar. Ketika kau berhenti mengejar, di situlah petualangan dimulai. Kau harus mempertahankannya. Ada harga yang harus dibayar atas pengejaranmu.

Jumat, 24 Agustus 2012

Keren Itu Adalah... (definisi 2)

Jum'at, 24 Agt '12
11.15pm

Quote untuk hari ini: "Keren itu adalah ketika kita tidak sekedar menanggapi pembicaraan atau pendapat seseorang dengan satu kata"

Pernah nggak si ketika kamu melontarkan suatu pendapat atau menceritakan apa yang sedang terlintas di otakmu kepada seseorang, lalu seseorang itu hanya menanggapi pendapat dan ceritamu itu dengan satu kata, misalnya "iya" ? Apa yang ada di pikiranmu kala itu? Yup, kamu langsung diem, nggak ngerti harus nglanjutin obrolan dengan apa, kemudian suasana hening, krik-krik, dan berkata dalam hati "oh, gitu doang? okay".

Yaaah, mungkin ada juga si yang nggak berpikiran seperti itu dan so what biasa-biasa aja pas ngalamin hal itu. Tapi kalau aku, aku termasuk salah satu yang langsung diem krik-krik tadi itu. Ya coba deh bayangin aja, kamu udah cerita panjang kali lebar hingga ketemu luas, dengan penuh semangat sampai mulut berbusa-busa, penuh perasaan. Terus, ketika kamu selesai cerita, teman kamu cuma manggut-manggut dan bilang "Ho'oh". Kamu diam menunggu temanmu melanjutkan bicaranya karena kamu berharap temanmu memberi feedback atau tanggapan yang lebih dari itu. Tapi lanjutan itu tak kunjung datang. Suasana hening terjadi. Kamu kecewa. Dan kamu lebih kecewa ketika temanmu angkat bicara, dia sudah beralih ke topik lain. What?? Segitu doang?? Ndengerin beneran nggak si ini anak?! Jangan-jangan pas gue cerita, ini anak pikirannya ke mana-mana! *lempar sendal.

Nah, ketika kita tahu bagaimana rasanya ketika cerita kita tidak ditanggapi, kita jangan sampai memperlakukan siapapun seperti itu. 100% benar kata orang bijak kalau mendengarkan itu lebih susah daripada berbicara. Sepintas kita pasti menyangkalnya. Kok bisa? ya lebih gampang ndengerin dong, tinggal pasang kuping, nggak capek, dan nggak perlu mikir kata-kata! Eits, tunggu dulu bro! Coba pahami lebih detail kata-kata bijak itu "Mendengarkan itu lebih susah daripada berbicara". Pahami maknanya, melampaui apa yang tertangkap di permukaan. "Mendengarkan" di situ tidak hanya sekedar mendengar dengan telinga, tapi juga "mendengarkan" dengan pikiran dan dengan perasaan. Kita mencoba menyelami perasaan apa yang dirasakan si pencerita, kita mencoba mengikuti arus pikiran si pencerita, kita mencoba untuk ikut menjadi si "dia". Bagaimana? Cukup sulit, bukan? Ketika kita berbicara, kita langsung saja bisa mengikuti jalan pikiran kita sendiri, kita langsung bisa merasakan apa yang kita rasakan sendiri. Tapi kalau mendengarkan, kita butuh ikut menyelam dalam alam pikiran orang yang berbicara. Seseorang yang keren akan mencoba ikut terlibat dalam cerita atau pendapat yang tengah dituturkan temannya. Itu baru yang namanya "memahami". Jadi, ubah dulu definisi tentang mendengarkan. Karena dalam tulisan ini, mendengarkan berarti memahami.

Seseorang yang keren dalam mendengarkan, akan memancing teman yang bercerita itu agar melanjutkan ceritanya lebih jauh. Seseorang yang keren dalam mendengarkan, akan berusaha agar terlihat tertarik dengan cerita yang dituturkan. Seseorang yang keren dalam mendengarkan, akan ikut berbagi cerita dan pengalamannya tentang hal yang sama. Seseorang yang keren dalam mendengarkan, akan ikut menyumbangkan pendapatnya tentang hal yang sedang dibicarakan.

That's how we respect others. Orang akan merasa dihargai. Dengan begitu, orang akan nyaman berbicara dan berbagi denganmu. Taukah kamu, bahwa perhatian sekecil apapun dari kita, akan sangat bermakna bagi orang lain. Ketika seseorang menceritakan masalahnya kepada kita, kita tidak harus memberinya sebuah solusi atau saran, sebenarnya. Kalau kita tak punya ide untuk memberinya sebuah solusi, cukup dengan kita mendengarkan dan berbagi pengalaman yang sejenis. Kalau kita belum pernah mengalami hal semacam yang diceritakan itu, kita bisa menceritakan pengalaman orang lain atau kita pernah mengetahui beberapa info terkait permasalahan tersebut. Tidak harus berbentuk solusi. Itu saja sudah akan meringankan bebannya. Nilai sebuah penghargaan dan penerimaan itu luar biasa, loh..

Jangan pernah berpikir bahwa hanya dengan satu kata sebagai bentuk persetujuan atas pendapat atau cerita seseorang itu berarti kamu sudah berinteraksi secara baik dengannya. Bohong besar! Yang ada malah orang akan kehilangan respectnya padamu. Orang akan menilai otakmu nggak ada isinya sama sekali. Ketika seseorang melontarkan pendapatnya atas sesuatu kepadamu, tunjukkan bahwa kamu juga punya pendapat tentang hal itu. Biarpun sependapat, tapi pikiranmu tidak akan mungkin sama persis dengan pikiran dia, bukan? Tunjukkanlah pemikiranmu. Kalau bisa, tunjukkan kalau kamu punya sesuatu yang lebih yang bisa kamu bagikan ke dia. Dengan begitu, kamu akan punya nilai yang lebih di mata teman-temanmu.

Itu baru yang namanya keren .


PS. Siap untuk menjadikan diri kita keren? Let's go, folk! \(^_^)/

Jumat, 10 Agustus 2012

Keren Itu Adalah... (definisi 1)

Jumat, 10 Agt 12
11.57pm

*edisi 3 menit sebelum pergantian hari*

Quote untuk hari ini: "Keren itu adalah ketika bisa memposisikan arah pembicaraan dengan timing yang tepat". Salah satu kunci agar komunikasi yang terjadi di antara kita dan lawan bicara kita menjadi efektif dan tidak menuai salah paham. Lawan bicara pun akan tertarik pada kita. Sederhana sebenarnya, nggak susah. Yang dibutuhkan di sini adalah kepekaan kita akan kode dan integrasi pengalaman lalu.

Memposisikan arah pembicaraan dengan timing yang tepat. Nggak mungkin kan kita ngomongin tentang misalnya referensi film bagus di saat kita sedang menempuh ujian semester. Boleh-boleh aja sebenarnya dan nggak ada yang salah. Cuma ketika kita lihat efek yang bakal timbul ke belakangnya, kita bakal paham. Selama menghadapi ujian beberapa minggu ke depan, yang ada di otak kita kemudian adalah daftar film bagus yang wajib ditonton, bukannya fokus kepada bahan ujiannya. Bahkan ada beberapa yang bahkan mencuri-curi waktu untuk menonton film itu di waktu yang seharusnya kita gunakan untuk belajar. Nah lho! Belok kaan?

Atau nggak mungkin juga kita nembak seseorang, tepat sehari setelah orang itu putus dengan pacarnya. Bisa dipastikan kita akan ditolak..atau setidaknya orang itu belum bisa menerima kita dalam waktu dekat. Tahu kenapa? Masalah hati. Kebanyakan orang yang barusan putus, tidak akan serta merta membuka hatinya untuk kedatangan orang lain. Sedikit banyak, ada resistensi dari hatinya untuk kembali mencinta dan dicinta. Beberapa orang jadi semacam 'anti' terhadap pembicaraan-pembicaraan yang menyangkut masalah perasaan, untuk beberapa waktu. Jadi, kalau kita mau nembak seseorang yang baru putus, tunggulah sampai perasaannya netral kembali dan siap menerima kita. PDKT yang dilakukan santai aja, nggak perlu buru-buru ngomong masalah hati. Kalau kita ngomong masalah hati dengan maksud untuk menunjukkan keseriusan kita, target (orang yang mau ditembak) malah jadi makin menjauh karena semenjak putus, bisa jadi semacam rada males ngebahas masalah hati dan hubungan romantis. Tujuan kita nggak tercapai, dia malah jadi nggak tertarik dengan pembicaraan kita. Nah kan..Gagal pedekate dong yah jadinya.

Atau..kita nggak mungkin juga ngajak ngobrol tentang rencana vacation kepada seorang workaholic yang sedang autis dengan tumpukan berkas di meja kerjanya. Dijamin 100% dia nggak bakal menanggapi tawaran kita dengan tertarik dan antusias. Yang ada malah kita dicuekin atau lebih ekstrimnya lagi kita disuruh keluar dari ruang kerja dia. Sedih banget nggak sih jadinya? Maksud kita mungkin baik, biar refreshing, nggak terlalu dibebani oleh kerjaan dan stressor. Tapi kalau sasaran kita sedang dalam waktu-waktu sibuknya? Kita nggak bakal direspon, meen..Jangan harap dia bakal tertarik dengan pembicaraan kita.

Jadi, ngebuat orang lain tertarik dengan pembicaraan kita tuh butuh strategi, nggak asal ngemeng tanpa liat waktu dan situasi. Sederhana aja, kita hanya perlu "membaca" dan lihat seberapa tertariknya orang dengan pembicaraan kita. Itu baru yang namanya keren.


PS. Nantikan definisi keren lainnya pada edisi selanjutnya!

random: thx to the inspirator #nomention


Selasa, 24 Juli 2012

Do You Remember Me, Like I Remember You?

Selasa, 24 Jul '12 
10.00 pm

"Swarin, hari, boy,,, inget g thn lalu kita buka di lapangan blkg rumah rozaq,,"

Sms dari Mbak Pam tertanggal hari ini jam 5.25 pm. Butir bening seketika meleleh saat membaca barisan kalimat itu. Ya. Aku tak pernah melupakan saat itu. Bahkan aku masih bisa mengingat warna dan aroma yang menguar dari senja menjingga kala itu.

16 Agustus 2011. Belum genap satu tahun yang lalu. Awalnya, aku hanya mencari tempat inspirasi untuk menggarap tugas KKN. Rencana awal adalah di daerah atas, sekalian ngabuburit ceritanya. Tapi karena waktu yang tidak memungkinkan untuk mencapai atas, Mbak Pam punya ide untuk ke sebuah lapangan yang terletak di belakang rumah Rozaq. Okelah ke sana. Hanya berempat yang mau ikut: Mbak Pam, Hari, Boy, dan aku. Lalu ide itu tercuat. Untuk buka puasa bersama di lapangan. Sebungkus es dan beberapa potong gorengan.

Masih ingatkah kalian, suasana yang tercipta kala itu? Senja, lantunan adzan Maghrib, rumput, langit, angin, dan sahabat. Entah, bagiku perpaduan semua hal itu membawa romantisme tersendiri. Di situ, aku benar-benar merasakan ada sulur-sulur hangat yang mengalir dan enggan pergi. Saat kita duduk melingkar beralaskan rumput. Saat kita menyantap makanan berbuka. Saat kita berada di tengah lapangan. Saat kita berbagi cerita. Saat kita saling menatap. Terasa hangat. Dan bahkan, Tuhan pun meniupkan cintaNya untuk turut hadir di tengah-tengah kita kala itu. Saat mendengar lantunan Adzan Maghrib, aku benar-benar merasakan bahwa Allah tengah memeluk kita erat.

Aku bahkan masih ingat, saat itu aku ketakutan. Kalian bercerita tentang hal-hal yang tak nampak. Beberapa kali aku terpaksa menjauh dari kalian, agar tak mendengar. Aku memang penakut, dan kalian memanfaatkan itu (*tersenyum geli). Di jalan pulang, kalian tak henti-hentinya menakut-nakutiku. Aku tutup telinga, aku merajuk agar kalian menghentikannya. Tapi kalian tetap saja meneruskannya. Boy, kau yang paling getol menakut-nakutiku! (Haha). 

Tapi jujur, meski aku ketakutan setengah mati, meski mungkin aku teraniaya saat itu, aku tetap saja merasa senja itu penuh dengan romantika. Ada warna dan rasa yang tak punya nama. Sesuatu yang khas. Kalian membuatku merasa disayang. Entah, mungkin hanya aku yang berlebihan. Tapi itu nyata kurasakan. 

Aku kangen kalian. Masih bisakah kita berbuka bersama lagi? Masih bisakah kita berbagi cerita lagi? Masih bisakah aku melihat senyum kalian lagi? Mbak Pam, kau membuatku merasa menemukan sosok kakak, dan aku suka caramu memanggilku (kau tau itu), kapan aku bisa mendengarnya lagi? Hehe. Hari, kau menemukan sesuatu di rumput kah saat mengeksplore lapangan? Haha. Boy, kau paling ahli menakut-nakuti dan pasang tampang horor (bikin berasa main di film thriller. Tapi lebih baik begitu daripada tak menyapaku, tau'. Haha, piss komandan! :P). Tahu nggak si kalian, aku kangen itu semua. Sekarang, setelah setahun berlalu, kita jarang sekali bertemu. Kita tenggelam dalam kesibukan kita masing-masing. Aku kadang nangis sendiri kalau inget kedekatan kita berdua puluh dan warna-warni apa yang tersembunyi di baliknya (yeah, you know that..*nelen ludah). Tak apa. Tapi, ikatan itu jangan pernah putus ya? Apapun yang terjadi. At least, kita pernah saling kenal, kita pernah saling berbagi.

PS. Aku sayang kalian.. :*       
~ Ini kisah tentang kita, pernah menyatu di suatu senja ~

Senin, 09 Juli 2012

Aku Kangen Kamu, Ay..

Minggu, 8 Jul 12
10.28pm

Aku kangen kamu, Ay..
Hampir setahun kita tak bersua. Pasca KKN, kau menghilang. Kita masih sama-sama mengambil kuliah full selama satu semester. Tapi mata kuliah kita berbeda. Kita tak pernah sekelas lagi.


Cahya Aya RuLin
makasi Swarinda Tyaskyesti dah nemenin ubek2 gale nyari sepatu kemarin :3 ahaha pgen yg lucu itu tpi ko 400 T.T huuw...
Like Unlike · · October 20, 2011 at 2:05pm

Shafrida F. Sukoco, Ridwan Kharis Syuhada' II and 3 others like this.
         
Leni Rahmida: Huuuuu g ngjak2...pdhl td aq bwain oleh2 yg buat klian...tp g ktmu...Aya jg abis ktmu lgsg ilang..
October 20, 2011 at 2:30pm
         
Cahya Aya RuLin: T.T woaa mauu mana lenni..... lha aku di perpus sayangg... :(
October 20, 2011 at 2:33pm

Swarinda Tyaskyesti: Sama-sama Ay sayaang..kapan2 kesana lagi beli yg 400rb itu buat aku y?haha..Leni Rahmida, mana oleh2ny? kos'ku masih tetep kok Len,drpd g ketemu2 aku di kampus, :)
October 20, 2011 at 11:21pm

Cahya Aya RuLin: Swarinda Tyaskyesti haha bole besok ya kalo uda up to 70% :P nyahaha
October 23, 2011 at 12:07pm

Leni Rahmida: ada kan up 70% tgl 28-30 ini, di Amplaz tapi
October 23, 2011 at 1:44pm

Cahya Aya RuLin: @Leni Rahmida uda beli len... T.T jangan buat saya kepingin..
October 31, 2011 at 2:22pm
Itu terakhir kita bertemu hingga hari ini. Sejak itu, nomormu nggak aktif. Kau pun tak pernah kelihatan di kampus. Aku membiarkan. Mungkin sibuk, pikirku. Lama-lama, aku kangen kamu, Ay. Kau benar-benar seperti menghilang, meluncur ke planet lain. Berbagai social media yang kau ikuti pun sudah tak lagi kau urusi.

Berulang kali aku mencoba menghubungimu. Aku ingat kau punya beberapa nomor. Sms delivered. Aku tunggu. Tak ada balasan. Aku meneleponmu. Nihil. Nada tersambung, tapi tak ada respon. Aku mulai putus asa. Kubiarkan. Hingga rindu itu membuncah. Aku mencoba menghubungimu lagi. "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif" Hanya suara operator itu yang kudengar. Dari ketiga nomormu. Parah.

Salahku memang, aku tidak tahu di mana kos'mu. Jarak kos'mu yang jauh dari kampus membuatku belum sempat mengunjungimu. Pun dengan teman-teman yang lain. Tidak ada yang tahu tempat kosmu, tidak ada yang tahu bagaimana cara menghubungimu.

Rumah. Ya. Rumahku dan rumahmu masih satu kabupaten. Tapi, aku pun tak tahu rumahmu. Lagi-lagi jarak. Dan sebelum kuliah, aku dan kamu tak saling kenal. Bahkan, aku mencarimu melalui situs DAA universitas. Data mahasiswa. Status kemahasiswaanmu tidak aktif pada semester 8 ini. Artinya, kamu tak registrasi atau sengaja mengambil cuti. Lantas, aku harus mencarimu ke mana lagi?

Tak hanya satu, dua orang yang menanyakan keberadaanmu padaku. Banyak, Ay. Tiap kali aku ke kampus, ketemu teman-teman, mereka selalu menanyakanmu padaku. Lantas, aku harus menjawab bagaimana? Aku pun kehilangan jejakmu. Bahkan yang paling gila adalah ketika seseorang yang tak kukenal, menghubungiku lewat private message di sebuah social media. Ia menanyakan keberadaanmu! Bagaimana mungkin ia yang sama sekali tak mengenalku (bahkan tak pernah tahu dan bertemu) bisa secara tiba-tiba menghubungiku hanya untuk menanyakan keberadaanmu. Aku tak tahu..dan aku semakin diingatkan bahwa aku kehilanganmu.

8 Juli 2012. Happy Birthday, Ay..Ini hari kamu berulang tahun. Aku nggak ngerti bagaimana caraku mengucapkan selamat padamu? Pada angin? Aku tak yakin ia akan bertiup sampai pada kediamanmu. Pada bintang menggantung di langit sana? Aku tak yakin kau tengah melihat pada langit yang sama.

Aku kangen kamu, Ay. Aku nggak tahu kamu kangen sama aku atau nggak. Atau bahkan mungkin kau sudah tak lagi mengingatku? Pedih. Karena aku mengingat bagaimana kita sering menghabiskan waktu bersama. Menggeje bersama. Kadang beramai-ramai dengan aiy, luhab, dwi, diah, susan, leni. Kadang pun kita hanya melewatkannya berdua saja. Mengerjakan tugas, becanda, membolang bersama. Kau selalu bisa menghidupkan suasana dengan leluconmu yang kadang tak terduga. Tapi terkadang kau pun bisa diam seribu bahasa. Bukan. Bukan karena kau sedih atau sedang ada masalah. Kau diam karena kau terlalu asyik dengan HPmu. Haha. Menyebalkan memang. Kita bersebelahan tapi tak saling bicara. Tapi itu konyol. Dan aku bisa tertawa sendiri kala mengingatnya. Oh ya, kau ingat, kita bahkan punya basecamp. Kamar kosku dan sebuah warung makan murah meriah dekat kosku. Kini, sudah lama kamar kosku sepi. Aku pun ke warung cuma membeli makanan dibungkus. Terkadang rasanya hampa, Ay..

Aku nggak tahu kamu akan membaca tulisanku ini atau nggak. Aku hanya ingin berbagi denganmu lagi. Seperti dulu. Dan aku pikir hanya tulisan ini yang mampu kuhadirkan untukmu saat ini. Semoga kau masih berada di planet yang sama denganku.


PS. Happy Birthday..semoga diberi usia yang berkah. Semoga kau selalu mendapatkan yang terbaik dalam hidupmu.Selalu menjadi Aya yang lebih baik dari hari kemarin..dan menapaki hidup dengan lebih hidup..hidup dengan pemaknaan..lebih dari sekedar menggelinding bersama waktu..dan temukan Allah di setiap hembus nafas.

I miss you so much, Ay..     



Sabtu, 07 Juli 2012

Kau Telah Siap Berlabuh, Kawan

Sabtu, 7 Jul 12
10.53pm

Pagi tadi, satu lagi anak manusia yang melalui fase kehidupan barunya. Menikah. Seorang sahabat dekat. Dalam balutan kebaya merah, ia terlihat bagai bunga yang tengah mekar. Ranum.

Ya. Bunga itu ada di sana. Bersanding dengan lelaki pilihan. Senyum yang senantiasa merekah tak mampu menyembunyikan rasa yang membuncah di dada. Tangan mereka menyatu. Menggenggam harap untuk selalu seiya sekata dalam melabuhkan bahtera kasih sayang. 

Ya. Sahabat kita di sana. Janji suci telah terucap. Kini ia telah menjadi wanita pilihan. Bahagia rasanya menyaksikan sahabat kita bertumbuh dan akhirnya melalui fase baru dalam hidupnya. Satu langkah lagi mendekat menyempurna. Cinta mereka kini selalu disaksikan oleh Tuhan. Pengungkapan cinta yang paling romantis. Tatapan mata yang paling meneduhkan. Pelukan yang paling hangat. Senyum yang paling mendamaikan. Ciuman yang paling lembut. Tak ada yang menyaingi dahsyatnya rasa itu di dunia ini. Karena bahkan, Tuhan pun tak segan turut menyatukan cintaNYA pada dua insan manusia yang berikrar dalam suatu pernikahan suci atas namaNYA. Hingga tak lama lagi sahabat kita menjadi wanita seutuhnya. Ibu. Ah, betapa fase itu menjelma menjadi hal yang paling berharga. Bukankah wanita itu mulia? Bukankah surga itu di bawah telapak kaki Ibu?

Ya. Sahabat kita di sana. Ada setangkup sedih yang menghinggap di dada ini. Bukan, bukan sedih dalam artian tunggal. Bercampur. Entah apa nama rasa itu. Mungkinkah rasa kehilangan? Mungkinkah rasa cemburu? Mungkinkah terlalu jahat jikalau rasa itu hadir? Entah. Terkadang masih melihatnya sama seperti setahun lalu, dua tahun lalu, beberapa tahun lalu. Perkenalan singkat. Bahkan mungkin kenal begitu saja dari teman-teman lain yang saling menyebut nama kita, bukan berhadapan dan mengulurkan tangan. Lantas, waktu membawa kita bergulir melalui putarannya. Kita larut dalam permainan labirin atasnya. Suatu saat, kita bertemu pada titik tawa, canda, dan senyum. Suatu saat lain, kita bertemu pada titik tangis, kecewa, marah. Suatu saat lain lagi, kita memilih untuk menyusuri labirin itu sendiri. Tapi kita juga akan selalu merindukan titik di mana kita saling menyatu. Dan di kala ada yang mulai tersesat, kita membantunya menemukan jalan pulang. Pertemuan. Kita hanyalah anak manusia yang belajar bersama-sama menyusuri labirin itu.

Dan kini, sahabat kita itu telah memiliki labirin baru. Ia menyusurinya bersama lelaki pilihan. Mungkin dengan dua orang anaknya, atau lebih, kelak tak lama lagi. Labirin mereka terbangun jauh lebih indah. Jauh lebih berwarna. Labirin milik kita terlalu kanak-kanak. Penghuninya berkurang satu. Pindah. Labirin itu kini tak akan sama seperti dulu. Ada satu ruang kosong di dalamnya. Apakah ini yang namanya kehilangan? Terkadang melongok pada labirin baru milik sahabat kita. Begitu bercahaya. Apakah ini yang namanya cemburu? Apapun itu nama rasa yang mungkin hadir terasai, pintu labirin kanak-kanak ini akan selalu terbuka untuk sahabat kita itu. Barangkali untuk sesekali menyusurinya kembali bersama-sama. Atau memberi kabar bahagia. Atau bahkan untuk sekedar menyapa.

Untukmu, sahabat, selamat merasai fase kehidupan baru. Semoga menjadi keluarga sakinah, mawadah, warohmah. Amin.
Bertukar kabarlah pada kami. Kami masih akan bertukar tawa, canda, senyum, air mata. Kami masih akan berputar dalam labirin waktu. Berikanlah senyum terindahmu pada kami. Selalu. Terima kasih atas warna yang kau sapukan pada labirin kanak-kanak ini. You have to remember this: We love you, Annisa Luhabsari :*


Luhab-Eko's Wedding

Selasa, 03 Juli 2012

Kami Masih Bersama Menyusun Keping Mimpi (Setahun Sudah)

Selasa, 3 Juli 12
10.56 pm

Tepat setahun yang lalu. 2-3 Juli 2011. Ya. Setahun lalu. Lembaran itu dimulai. Di tempat itu, aku berucap tekad mengenyam mimpi. Saat itu aku belum sepenuhnya percaya atas apa yang terjadi pada diriku.

Allah memang Maha Mengetahui. Ia menunjukkanku jalan menuju apa yang kubutuhkan. Menuju apa yang selama ini kusebut "mimpi".

28 Juni 2011. Ya. Aku yakin itu namaku yang tertulis di sana. Bersama dengan 25 nama lainnya. Inikah jawaban Allah atas kegundahanku selama ini? Di saat aku mulai melemah, mulai tertatih menyusun keping-keping mimpi itu sendirian, Allah menunjukkan jalan-Nya. Allah tidak membiarkanku sendirian berada di jalan ini. Allah menempatkanku ke dalam suatu wadah. Wadah tempatku menyusun keping-keping mimpi. Wadah yang diharapkan dapat membuatku makin mendekat kepada-Nya.

2-3 Juli 2011. Di tempat yang jauh dari keramaian itu, selama dua hari penuh, kami ditempa. Kami disiapkan untuk memasuki dunia baru kami. Bukan benar-benar baru memang, sebagian besar sudah memulai meski masih terseok, termasuk aku. Sebagian lainnya memang sudah cukup matang berada di dunia itu.

Entah, waktu itu berbagai macam perasaan bercampur aduk. Rasa syukur yang membuncah, terharu, tidak percaya, dan entah rasa lain yang tak punya nama mungkin. Aku yakin, 25 anak lainnya pun merasakan hal yang sama.

2 Juli. Berangkat pagi-pagi sekali. Sampai lokasi, kami dibekali berbagai materi dan motivasi. Sore masing-masing kelompok menampilkan sesuatu. Di sini, canda tawa dan keakraban di antara kami mulai mencair. Dan malamnya adalah hal yang paling berkesan bagiku. Kami menyebutnya istana lilin. Kami duduk melingkar, mengelilingi lilin-lilin yang menyala redup. Lilin yang ditata dengan formasi tertentu sehingga terbaca nama wadah mimpi kami ini. Malam yang penuh perenungan. Perjalanan hidup kita masing-masing, mimpi-mimpi kita, jejak langkah kita, hingga kita bisa berada di sini saat ini. Masing-masing dari kami berbagi pengalaman dan saling berucap harapan. Istana lilin. Hingga satu per satu nyala lilin meredup dan padam. Tak ada lagi nyala yang tersisa. Istana lilin. Sungguh, saat itu, aku merasa Allah tengah memelukku erat. Allahu Rohim.

3 Juli. Hari yang mengaduk-aduk emosi. Kami diajak berselancar dan menyelam dalam berbagai macam emosi. Permainan imajinasi. Masih tentang hidup yang kita jalani. Menguakkan memory. Reminisense. Aku ingat, saat itu, aku hanya ingin bertemu dan melihat wajah kedua orang tuaku. Aku ingin memeluk mereka. Ada suatu amanah lain dari dunia kuliah yang harus kujalani selama dua bulan penuh mulai keesokan harinya. Dan aku hanya ingin bertemu kedua orang tuaku sebelum aku menjalaninya. Aku ingin mengucapkan bahwa aku sangat mencintai mereka. Tapi aku tak bisa pulang. Aku tak bisa memeluk mereka hingga keberangkatanku esok hari. Dan..saat aku mendengar suara mereka dari seberang telepon, lidahku kelu. Linang bening sudut mata menetes. Entah. Materi hari itu hanya mengingatkanku pada bapak dan ibu. Mereka jua lah yang selalu membangunkanku kala terjatuh saat menyusun keping-keping mimpi itu. Karena mereka punya keping mimpi yang sama. Lantas, adzan Maghrib mengiringi kepulangan kami ke rumah masing-masing. Acara itu selesai. Kami menyebutnya pdkt. Banyak hikmah yang kami dapatkan dari sana.

Kini kami ada dalam satu wadah besar. Di pundak kami masing-masing kini memikul sebuah amanah. Tanggung jawab terhadap diri sendiri, dan tanggung jawab kepada Allah tentu saja. Untuk melanjutkan menyusun keping mimpi. Kini tak lagi sendirian.

3 Juli 2012. Hari ini. Tepat setahun. "Lantas apa yang sudah kau buktikan kepada dunia,hei ilalang kecil?" Kataku di depan cermin. "Sudah cukup banggakah kau sekarang dengan namamu dalam wadah itu, sehingga kau terlena?"

Aku menciut. Sudah. Cukup untuk hal-hal yang membuatmu terlena. Sudah saatnya kamu bangkit, menyusun keping dengan lebih mantab dan terarah. Amanah terbesarmu adalah berjuang menyusun keping mimpi di jalan Allah.
Ya Allah, tuntunlah kami dalam menapaki jalan hidup yang Engkau pilihkan untuk kami ini agar dapat mencapai ridho-Mu. Amin. 

PS. Jalan kita masih panjang, kawan. Tetaplah bergandengan tangan, berjuang bersama-sama. Allah is always with us. Keep fight, keep smile! Allahu Akbar! 


FLP Generasi XIII

 

Senin, 02 Juli 2012

Gadis Itu Bernama Chita

Minggu, 1 Juli '12

Howdy,howdy! Kali ini aku pengen cerita something funny. Bisa dibilang lucu, bisa dibilang memprihatinkan, bisa juga dibilang luar biasa. Ini pertama kalinya aku menceritakan tingkah polah saudara sepupuku. Namanya Tegar dan Ega. Kakak beradik. Masih SD. Tegar naik kelas 5 dan Ega naik kelas 2.

Hari Minggu siang mereka datang bersama ibunya (bulikku). Ketika kedua sepupu sedang asyik bermain komputer bersama bapak, sang bulik bercerita tentang perbedaan sifat kedua anaknya.

Pertama Tegar. Tegar ini anaknya cenderung pemalu kepada lawan jenis. Suatu saat sepulang sekolah, Tegar ini mengeluh kepada ibunya kalau ia jijik melihat teman perempuannya.
"Mak, Anggi ki jian, njijiki banget. Huek. Njijiki banget pokok'e. Hiiih!" (Ma, Anggi menjijikkan sekali. Huek. Pokoknya menjijikkan. Hiiih!)
"Kenapa? Korengen?" (korengen adl bekas luka)
"Ora. Anggi mosok nganggo kathok cekak banget!" (Nggak. Masak Anggi pake' celana pendek banget-hotpant!)
"Halah. Paling kowe yo seneng, ndelokke terus to?" (Halah. Palingan kamu juga seneng, ngliatin terus to?)
"Hiih, ora. Njijiki malah!" (Hiih, nggak. Menjijikkan malah!)
Kesimpulan dari percakapan itu adalah Tegar tidak suka dengan perempuan yang mengumbar tubuhnya. Meski agak-agak rancu juga. Itu pertanda dia benar tidak suka atau karena belum suka aja? Mengingat usia yang masih belia? -__-

Lain dengan kakaknya, Ega justru cukup populer di antara teman perempuannya. Pernah pulang sekolah, Ega sudah disamperin sama dua cewek temen sekelasnya. Setelah ganti pakaian, Ega pergi main sama temennya itu. Entah ke mana. Ketika Tegar pulang sekolah, ibunya nanyain Ega main ke mana (mereka satu sekolah).
"Kae isih pacaran. Njagong'e dempet-dempetan," jawab Tegar sambil lalu. (Itu masih pacaran. Duduknya mepet).
-__-

Sementara itu, ada satu orang anak perempuan kecil yang usianya satu tahun di bawah Ega. Namanya Chita. Di lingkungan tempat tinggal mereka, hanya Chita yang seumuran dengan Ega. Jadi ceritanya mereka sering main bareng. Chita sering main ke rumah Ega untuk mewarnai bersama. Ega ini seringkali menyiksa Chita. Menyiksa di sini dalam artian disuruh-suruh, bahkan bisa sampai main tangan.Dan Chita'nya mau-mau saja. Poor Chita..Pas Chita udah capek jadi orang yang disuruh-suruh mulu sama Ega, Chita ngambek dan bilang sama ibunya kalau nggak mau main lagi sama Ega. Tapi keesokan harinya, dari halaman rumahnya, Chita udah kembali berteriak-teriak memanggil Ega. Udah ngajak main bareng lagi aja tu anak! Haha. Dan Chita pun kembali rela disuruh-suruh.

Suatu hari, Tegar tidak tega melihat Chita yang menderita. Ia pun memanggil Chita untuk bermain bersamanya saja. Ketika Chita berjalan menuju ke arah Tegar, Ega sontak berteriak "Chita! Mrene! Karo aku wae!" (Chita! Sini! Sama aku aja!) Woot,woot..ungkapan rasa cemburu kah? Anak sekecil itu? Aduuuh.. #geleng-geleng kepala.

Oh ya, ada satu lagi. Tapi aku lupa tokoh perempuan ciliknya siapa. Intinya suatu hari Ega pernah foto berdua dengan salah seorang perempuan. Fotografer dan koreografernya adalah pamannya Ega. Si Paman ini agak-agak nakal, sengaja mengarahkan gaya pose foto sehingga tampak seperti dua bocah yang lagi ciuman, padahal senyatanya tidak sedang ciuman. Entah disadari atau tidak, Ega sangat suka dengan hasil foto yang satu itu. Bahkan, Ega mengajak patner perempuannya itu untuk berkunjung kembali ke rumah pamannya agar difoto lagi. Gubraaak! Ada-ada aja ini bocah!

Tapi teteep..patner in crime'nya Ega adalah Chita. Pokoknya, kalau terlalu sering bersama Chita, Ega kesal dan tidak suka. Tetapi ketika udah lama nggak ketemu, tak urung, Chita-lah orang yang paling dicari oleh Ega. Begitu pula dengan Chita. Kalau terlalu capek dinakali, Chita tidak suka dengan Ega. Tapi giliran lama nggak lihat, bakalan nyari juga.

Hmm..could it be love? Ya. Tapi cinta di sini bukan layaknya cinta yang dialami kaum remaja dan galauers kebanyakan. Cinta di sini masih dalam arti luas dan murni. Tidak ada tendensi yang mengarah kepada intimacy. Yang mereka rasakan hanyalah berbagi. Atau mungkin yang sebenarnya terjadi adalah bibit-bibit cinta intimacy itu sudah mulai tertanam dalam otak anak-anak akibat dari pendidikan yang mereka terima? Pro dan kontra. Abu-abu.

But, apapun itu, tingkah laku anak-anak terkadang sangat menggelikan ketika kita memandangnya dari kotak orang dewasa. Mungkin apa yang dialami Tegar sama Ega itu biasa aja bagi lingkungan pergaulan mereka. Karena mereka berperilaku sesuai apa yang mereka rasakan. Tapi bagi kita yang udah lebih gedhe, tentu membayangkan kalau hal itu terjadi pada orang-orang seusia kita, yang berperilaku dengan didasari pemikiran, lebih dari sekedar rasa. And that's very funny, you know. Hahahaa...

Sampai ketika mereka pamit pulang, aku sempat menggoda Ega "salam ya buat Chita!" Haha.
#Piss sepupu

Kamis, 28 Juni 2012

Jejak Langkah Saung Kecil: Gelembung di Batas Cakrawala

Jogja, 26 Juni 2012
"Gelembung masih membumbung
Mengangkasakan mimpi yang sempat tereja
Gelembung masih mengerjap harap
Tak terpisah, tak terenggang"

Saung kecil duduk di puncak tertinggi sebuah gedung. Menyaksikan hari yang perlahan merayap menuju senja. Menyaksikan Tuhan yang menyapukan warna menjingga pada jejak mentari tergelincir.

Angin meniup nakal, mencandai saung kecil. Saung kecil hanya tersenyum padanya. Di acungkannya peniup gelembung ke atas. Sang angin girang menyerbunya dan segera saja puluhan gelembung tercipta. Saung kecil kembali tersenyum. Paling tidak, ia tahu bahwa angin pun sedang menemaninya mencakung di sana. Cukup bagi saung kecil.

Gelembung sabun. Agak aneh memang bagi anak seusia saung kecil untuk menyukai mainan itu. Sejak saung kecil belum fasih membaca pun, ia sudah akrab dengan hal itu. Hingga ia selalu betah berendam di bak mandi dan memain-mainkan gelembung sabun. Masa kecil saung kecil. Tapi saung kecil masih tetap menyukainya hingga sekarang. Gelembung sabun. Rapuh memang. Tapi saung kecil punya makna lain tentangnya. Makna yang mungkin bagi kebanyakan orang terlalu dipaksakan dan tidak masuk akal. Tentang keberadaannya.

Lantas kenapa menciptakan sesuatu hanya untuk mengetahui bahwa sesuatu itu akan menghilang dengan cepat? Bukan, bukan itu tujuan gelembung sabun mengada. Ia mengada sebagai cermin. Ketika gelembung sabun itu terbentuk, ia sangat dekat dengan diri peniup. Ia akan merefleksikan seperti apa potret diri sang peniup. Ia akan menyerap energi yang terpancar dari diri sang peniup. Cermin. Sang peniup dipaksa meluncur pada titik keberadaan, sebuah lorong kehidupannya. Ia ada. Gelembung sabun pun ada. Mereka ada untuk sebuah tujuan.

Ketika gelembung membumbung tinggi, ia laksana seorang dengan tekad luar biasa untuk mewujudkan harapannya. Meski dengan segala kerapuhan dan keterbatasannya, ia hanya ingin menggenggam harapan yang terpantul di sekitarnya dengan erat. Hingga beberapa sampai pada tempat tujuan, sedang beberapa lainnya pecah di tengah jalan. Gelembung sabun mempertaruhkan nyawa demi harapan-harapan itu. Hingga sang takdir yang merenggangkannya.

Seperti itulah manusia. Mengada di dunia dengan dibekali Semangat yang luar biasa untuk mencapai harapan-harapan. Satu tujuan yang sama. Berangkat dari titik yang sama. Menyerap dan memantulkan apa yang ditemui di sepanjang perjalanannya. Tapi takdir jualah yang bicara. Ada yang berakhir dengan pencapaian itu dan ada yang berakhir dengan beberapa harap yang masih tergenggam. Gagalkah ia yang masih menggenggam harap? Tentu saja tidak. Tuhan akan memungut mimpi-mimpi itu dan mengubahnya menjadi cahaya atas diri manusia itu. Tuhan memeluknya. Karena Ia tahu manusia seperti apa yang menggenggam mimpi itu hingga akhir. Masih hidup dalam semangatnya.

Angin kembali mencandai saung kecil. Saung kecil memeluk lutut, menengadahkan pandangnya. Ia membiarkan wajahnya terpapar angin. Sapuan warna senja mulai tampak di batas sana. Adakah gelembung sabun yang saung kecil tiupkan sedari tadi telah hinggap pada batas cakrawala itu? Satu saja? Atau meskipun tidak akan pernah ada, saung kecil tetap bangga. Gelembung itu menyisakan jejak semangat dalam diri saung kecil. Sapuan jingga telah menyempurna dalam balutan adzan senja itu.


PS. Hidup haruslah menyerap dan memantulkan, bercermin dan menjadi cermin. Lalu biarkan Tuhan meletakkannya satu-per-satu pada bingkai di mana kau akan tepat ada bersamanya.

Sabtu, 09 Juni 2012

Jejak langkah saung kecil: Jaring Reminisense

Jogja, 9 Juni 2012

"Hey, kau siapa?"
"Nyata kah kau?"
Saung kecil terhenti pada pertanyaan-pertanyaan itu. Matanya memandang pada satu titik jauh di depan sana. Tepat satu tahun yang lalu. Pada tanggal yang sama. Pada tempat yang sama. Pada siang hari yang sama. Hanya orang-orang yang tak sama.

Saung kecil duduk bersendiri di tempat ini. Tepat satu tahun yang lalu, ia duduk bersama seseorang yang hingga sekarang menjadi misteri baginya. Satu tahun yang lalu, ada perbincangan yang menghangatkan saung kecil dengan seseorang itu. Perbincangan yang bagi saung kecil terlalu menakjubkan. Terlalu menjaring. Bahkan jika mungkin itu adalah sosok yang muncul dari khayalan saung kecil.

Saung kecil menghembuskan napas. Masih warna yang sama yang ada di hadapannya kini. Saung kecil mengingat senyum itu. Mengingat perbincangan yang mengalir itu. Mengingat pemikiran-pemikiran itu. Jejalan yang menjadi saksi. Saung kecil bahkan masih mengingat aroma yang menguar dari semesta. Pada hari itu. Setahun lalu.

Sehelai daun kering memaksa lepas dari ranting dan memilih untuk melewati tatapan saung kecil. Rebah di tanah. Saung kecil tersadar. Ini hari sudah berbeda dengan setahun lalu. Ini hari saung kecil sendiri. Saung kecil bahkan tak mengenalnya. Tak ada yang mengenalnya. Tapi perbincangan itu, saung kecil seperti telah lama mengenalnya.

Saung kecil berdiri, menantang angin. Ia menunggu. Mungkinkah seseorang itu juga tengah mengingat pertemuan setahun lalu itu bersama saung kecil? Mungkinkah seseorang itu bersepakat bahwa tiga jam setahun lalu itu terlalu sayang jika hanya menjadi tiga jam saja?

Angin menggesek pucuk-pucuk daun. Renyah mengulum harap saung kecil.


PS. Kau mungkin pernah bertemu seseorang yang sangat mengena. Diam-diam kau selalu merindukannya. Bahkan jika kau dan dia hanya bertemu sekali dan tak pernah ada kedua kali.

Senin, 04 Juni 2012

Jejak Langkah Saung Kecil: Celah di antara Lintasan Pemikiran

Jogja, 4 Juni 2012

Sepoi angin itu menyapa saung kecil. Kali ini saung kecil tengah duduk bersendiri. Baru saja ia bersama seorang temannya. Melakukan kembali perenungan. Membadaikan kembali pemikiran-pemikiran. Sudah sekian lama saung kecil tak lagi terlibat dalam pemikiran abstrak, dan ia rindu.

Saung kecil mencoba merasai apa yang terjadi dengannya kini. Mencoba memberi ruang pada logika. Ya, dalam hal-hal tertentu, terkadang orang cenderung mengikuti hukum konsensus. Melepaskan segala hakikat yang melekat pada hal itu sejatinya. Mencoba menyusun ulang tentang definisinya. Tapi, apakah kita tidak berhak untuk mempertanyakan esensinya dan lantas mengikut saja dengan arus tren yang semakin saja bergerak ke arah kontinum yang berlawanan?

Saung kecil baru menyadari bahwa ia dan temannya itu kini tengah belajar hal yang sama. Mungkin mereka mengawali dengan sesuatu yang salah. Mungkin ada sesal yang sama yang melanda mereka. Mungkin otak mereka selalu diterjang badai. Pemikiran. Mempertanyakan apa yang orang lain bilang "jalani saja". Tapi mereka sama-sama menyadari, cepat atau lambat, mereka akan melalui fase ini. Dan mereka memang harus belajar tentang hal itu.

Tapi saung kecil dan temannya itu merasa terkadang harus berbentrokan antara idealisme dan hukum konsensus yang ada sekarang itu. Dan itu yang memicu badai pemikiran. Mereka sama-sama idealis, mereka sama-sama cenderung untuk melogika. Sementara mereka belajar dengan patner yang bertolak belakang.

"Ini perbedaan karakter dan perbedaan budaya" Saung kecil dan temannya sepakat dengan kalimat itu. Karakter saung kecil mungkin setipe dengan karakter temannya itu, tapi mungkin sangat berbeda dengan orang lain. Budaya didikan yang diterima saung kecil mungkin setipe dengan budaya didikan yang diterima temannya itu, tapi mungkin berbeda dengan budaya didikan orang.

"Penerimaan," kata teman saung kecil. Ya, dalam hal yang sama-sama mereka hadapi ini memang kata itulah yang mungkin menjadi kuncinya. Saung kecil pun sebenarnya sudah terlalu fasih untuk berbicara tentang segala perbedaan yang mewarna kehidupan ini. Saung kecil telah terdoktrin hal itu selama hampir empat tahun mengenyam pendidikan di kota ini. Ya, penerimaan itulah yang akan mengisi celah di antara timbunan logika. Tapi sebelum itu, Saung kecil tentu saja harus membuat celahnya terlebih dahulu.

Di sini, saung kecil bingung bagaimana caranya membuat celah itu. Tanpa meruntuhkan konstruksi yang ada di pikirannnya. Saung kecil hanya butuh celah di antaranya. Itu saja. Dan kemudian saung kecil dapat meletakkan kata 'penerimaan' di sana. Tapi apakah dengan begitu saung kecil harus menggeser letak kata 'pilihan' dan 'kesempatan'? Untuk siapa sebenarnya kedua kata itu? Dalam konteks apa? Batasan definisi yang seperti apa? Dan apakah kata 'penerimaan' mengenal definisi-definisi itu?

Saung kecil menghela napas. Mungkin ini saatnya ia mulai membuat celah. Tuhan ingin Saung kecil lebih mendekat pada sapuan warna yang Ia poleskan pada dunia ini. Sebelum Saung kecil terlambat. Belajar. Mungkin Saung kecil dan temannya tengah ditempa Tuhan agar kelak menjadi manusia yang tidak sekedar raga.


PS. Tuhan tidak menyembunyikan satu warna pun untuk Ia sapukan ke dalam kehidupan ini, termasuk warna abu-abu. Warna yang membuat manusia berpikir, mendefinisi, dan memutuskan.

Senin, 28 Mei 2012

Kebebasan Berpendapat dan Berdiskusi?

Beberapa waktu lalu sempat santer terdengar di berbagai media pemberitaan tentang ricuhnya diskusi dari seorang tokoh reformist Islam: Irshad Manji. Beliau adalah seorang muslim Kanada yang gemas dengan keadaan kaum muslim dan ingin mengadakan reformasi-reformasi yang ada di dalamnya. Kedatangan Irshad Manji ke Indonesia, termasuk ke kota tempatku menuntut ilmu (Jogja) dimaksudkan untuk diskusi mengenai buku terbarunya yang berjudul "Allah, Liberty, and Love". Sebelumnya, beliau pernah menulis buku yang menuai banyak kontroversi dengan adanya pengakuan bahwa dirinya adalah seorang lesbian. Dan ya, dapat dipastikan, diskusi itu mendapat kecaman, bahkan hingga muncul tindakan anarkis dari kelompok FPI. Di Jogja sendiri, setelah pihak UGM membatalkan adanya diskusi tersebut dengan alasan keamanan, diskusi tetap berlanjut dengan berpindah lokasi di LKiS. Gedung tersebut tak luput dari aksi anarkis dari kelompok-kelompok Islam yang tidak setuju. 

Pro-kontra pun segera saja merebak di kalangan pemerhati masalah ini. Ada yang mengecam Irshad dan banyak yang menyesalkan aksi anarkis itu. Berbagai seruan yang menyoal kebebasan berpendapat dan berdiskusi pun menjadi perbincangan yang akrab menghiasi pemberitaan dan sosial media. Beberapa bahkan ada yang mengkutubkan kepada berbagai aliran keagamaan yang melatarbelakangi peristiwa kontroversial ini. 

Okay, rasanya aku tak perlu berbicara panjang lebar soal idealisme masing-masing pihak itu. Aku pun bahkan tak mengerti sama sekali hal itu. Bisa dibilang aku selama ini prek dengan segala perbedaan yang tumbuh di tubuh Islam sendiri. Aku bukan seseorang yang dibesarkan di lingkungan dengan basis keagamaan yang kuat. Pengetahuanku tentang agama hanya sebatas yang diajarkan di sekolah. Dan bukankah materi-materi pelajaran agama Islam di sekolah umum tidak pernah membahas segala macam perbedaan itu? Jadi sampai sekarang pun, jika aku ditanya aliran keagamaanku apa, aku menjawab Islam. Saja. Aku menjalankan ibadah sesuai dengan apa yang ada di dalam Al-Qur'an, bukan apa yang diajarkan pada masing-masing aliran itu. 

Lho, kok malah jadi nggak nyambung? Yaudah lah nggak pa-pa curcol dikit. haha. Yang jelas, sebelum aku melanjutkan pembicaraan ini, aku menegaskan kalau aku di sini berbicara atas nama diri pribadiku. Tanpa tendensi apapun. Tanpa memihak pada salah satu pihak atau aliran. Aku merasa perlu menjelaskan ini di awal mengingat permasalahan ini sangat-sangat kontroversial. Jadi, no offense lhoh yaa... :D


Banyak pihak yang menyesalkan sikap UGM yang seolah mengekang kebebasan berpendapat dan berdiskusi. "Padahal UGM sebagai institusi pendidikan seharusnya terbuka dengan adanya diskusi-diskusi semacam ini," kata mereka. "Katanya kita sudah hidup di zaman demokrasi. Mana nyatanya?" seru mereka lagi.  Maka muncullah anggapan bahwa UGM gagal menjadi contoh institusi pendidikan yang mampu mewadahi kekritisan mahasiswanya.

Menurutku, tolong digaris bawahi, MENURUTKU, kalau yang dipermasalahkan adalah kebebasan berpendapat, kebebasan untuk berdiskusi, sebenarnya bukan hanya sesederhana itu. Berbicara dan mengeluarkan pendapat tidaklah sama dengan mengeluarkan kentut yang hanya berefek sebentar kemudian hilang. Emang yo berbicara itu tidak menimbulkan dampak? Justru sangat besar. Orang akan menilai dirimu dari omonganmu. Dan orang awam juga akan menilai tamengmu seperti apa yang kamu omongkan. Misalnya yang ngomong itu seseorang yang ikut organisasi tertentu. Sebenarnya dia ngomong itu atas kepentingan dia sebagai dia pribadi, ngomong sesuai pikirannya bukan sesuai visi-misi organisasi. Tapi orang awam yang mendengar, most of them, cenderung mengkaitkan siapa yang berbicara dengan organisasi yang dibawa. 


MENURUTKU, bukan masalah kebebasan berpendapat atau keterkekangan berpendapat. Tapi lebih karena strategi pembicara untuk masuk ke audience. Nek di indonesia rusuh, menurutku wajar. Lha nilai-nilai yang dibawa jelas bertentangan dengan nilai masyarakat kebanyakan di indonesia. Analoginya itu sama dengan ulama yang mengajak berdiskusi tentang bid'ah pada masyarakat yang masih memegang kepercayaan animisme. Yo jelas masyarakat akan bertindak secara anarkis to? Jadi yang bikin anarkis bukan karena agama, bukan karena akademik. Tapi karena keyakinan yang dipegang selama ini seakan-akan dicela secara frontal. Memang bener kalau orang-orang yang bertindak anarkis itu belum tentu paham tentang apa sebenarnya yang ingin didiskusikan. Bisa jadi buku yang akan dibedah ini sama sekali tidak berkaitan dengan buku sebelumnya yang kontroversial, bisa jadi hanya membahas hal-hal universal yang semua orang cenderung menyepakatinya. Namun, bukankah sejarah itu mempengaruhi cara pandang seseorang? Irshad Manji, dalam riwayat hidupnya pernah menulis buku yang kontroversial, bukan tidak mungkin dalam buku-buku selanjutnya yang bertema hampir sama juga cenderung kontroversial. Karena seorang penulis pasti melibatkan pemikiran pribadinya, memasukkan karakter dirinya ke dalam tulisan yang ia buat meski tidak seluruhnya. Dan seorang penulis pasti memiliki kepentingan atas tulisannya. 

Aku pribadi justru setuju dengan pembatalan pelaksanaan diskusi di UGM. Menurut informasi yang kudapat, penyelenggara acara diskusi itu adalah UGM. Di saat-saat terakhir menjelang pelaksanaan diskusi, rektor mengambil sikap membolehkan diskusi itu tetap berjalan, hanya saja lokasi diskusi dipindah di LKiS. Ketika orang-orang mengecam kebijakan itu, aku mencoba mencermati lebih dalam alasan di balik pemindahan lokasi tersebut. Kemungkinan yang kudapatkan, para akademisi tidak membolehkan diskusi itu pada saat ini karena nyadar kalau bakal terjadi rusuh dan anarkis. Mereka nyadar kalau sasaran audience irshad manji kurang tepat untuk saat ini. Kecuali kalau Indonesia udah sebagian besar berpaham liberal, itu fine-fine aja. Diskusi irshad manji itu bagus banget sebenernya kalau utk orang-orang yang liberal. Aku sempat membaca beberapa bab buku Irshad Manji yang sangat kontroversial "Beriman Tanpa Rasa Takut", dan aku diam-diam memuji atas kekritisan beliau dan kecerdasan beliau. Jarang ada orang yang mempertanyakan apa yang sudah diyakininya sepenuh hati. Tapi sekali lagi, perbedaan budaya dan latar belakang kehidupan beliau berbeda dengan kita yang ada di Indonesia. Di Indonesia, masih banyak orang yang tidak setuju dengan liberalisme. Kalau untuk Indonesia, harusnya dilihat dulu rating/respon masyarakat pada buku itu, baru diadakan diskusi. Dan penting untuk melihat riwayat respon terhadap buku sebelumnya pada masyarakat sasaran diskusi.  Atau kalau memang dengan alasan kebebasan berdiskusi, toh diskusi itu tidak harus dengan bertatap muka, dan menyiapkan waktu khusus. Bisa lewat sosial media, kan, kalau tema yang diusung memungkinkan banyak tindakan anarkis. Jangan langsung dibuka untuk masyarakat umum untuk diskusi kali pertamanya. 



Kadang-kadang orang tu berlindung dibalik kebebasan berpendapat, padahal sebenarnya dia mungkin mendukung prinsip yang diusung si pembicara. Nggak dilihat dulu kalau kebebasan berpendapat itu bukan cuma sampai pada mengemukakan pendapat tapi juga pendapat itu menuai dampak di belakangnya. Banyak orang gembar-gembor kebebasan berpendapat, tapi lupa sesuatu yang lebih penting dari itu: esensi dari pendapat yang akan disampaikan.  Ini menyangkut masalah keyakinan, man! Nggak bisa disamakan dengan diskusi ilmiah. Dalam diskusi ilmiah, semuanya memang harus didasarkan pada bukti empiris yang rasional. Masalah keyakinan nggak bisa dibahas secara ilmiah. Gunakan pisau keyakinan untuk bicara masalah keyakinan dan gunakan pisau teori untuk bicara masalah ilmiah. 


Aku bukannya mendukung tindakan anarkis itu. Aku cuma mencoba melihat dan meraba sudut pandang mereka. Karena yang ada selama ini masing-masing pihak masih memakai sepatunya sendiri kan? Para pendukung diskusi mengutuk tindakan para anarkis karena tindakan para anarkis itu tidak bisa dibenarkan menurut mereka. Sebaliknya para anarkis mengutuk tindakan para pendukung diskusi karena tindakan para pendukung diskusi itu tidak bisa dibenarkan menurut mereka. Belum ada yang mencoba menyelami dari sudut pandang pihak lawan. Selalu ada alasan dibalik tindakan seseorang, bukan?

Once again, semua yang tertulis di sini adalah MENURUTKU. No tendency. No offense at all. 

Senin, 28 Mei '12

Rabu, 16 Mei 2012

Jejak Langkah Saung Kecil: The Great New Spot

Jogja, 16 Mei 2012
3.40pm

"Finally I found it!" Pekik saung kecil. Pekikannya itu terbawa angin yang segera saja menerpa tubuh mungil saung kecil. Saung kecil memejamkan matanya sebentar, membiarkan angin itu membelai setiap jengkal tubuhnya. Angin memang lebih terasa menggila dibandingkan tempat kediaman saung kecil biasanya. Segar.

Saung kecil membuka matanya. Ia memandang sekeliling. Dari tempatnya berdiri sekarang, kini ia bisa melihat dunia dengan lebih luas. Ia bisa melihat gedung yang jangkauan letaknya jauh dari tempat saung kecil sekarang. Ia bisa melihat keluasan langit di atas sana. Gegana nyaris tak terhalang. Ia bisa melihat pucuk-pucuk pohon. Ia bisa merasakan pelukan angin.

Saung kecil tak bisa berhenti tersenyum. Kini ia duduk. Melepas penat. Wajahnya menengadah. Beberapa awan terserak tercandai angin. Perlahan serakan-serakan itu menyatu kembali membentuk formasi yang entah, menurut saung kecil bentuk awan tak pernah sama. Dan saung kecil selalu takjub olehnya.

Dalam hati, saung kecil bertekad menjadikan tempat itu sebagai tempat baru baginya. Sudah sekian lama ia mencari tempat seperti itu, dan kali inilah pencarian itu menemukan muaranya. Di sini. Di tempat saung kecil berdiri sekarang. Di tempat saung kecil menantang angin sekarang. Saung kecil merentangkan tangannya, matanya terpejam. Dihirupnya nafas panjang biar memenuhi paru-parunya dengan kesegaran melimpah ini.

"I love you!" seru saung kecil pada tempat itu sebelum ia beranjak.


PS. Menemukan tempat berpijak yang fit perfectly dengan apa yang kita cari selama ini, itu bagaikan menemukan sebelah hati kita yang hilang.

Jejak Langkah Saung Kecil: Sepeda Merk 'Sepeda Kampus'

Jogja, 16 Mei 2012

Siang menjelang sore itu, Saung kecil melangkahkan kaki ke sebuah gardu pos satpam.
"Pak, kalau mau pinjem sepeda kampus, gimana?" tanya saung kecil dengan polos. Bapak penjaga pos satpam itu memandang saung kecil sejenak sebelum akhirnya menerangkan aturan main dan menyodorkan buku untuk menuliskan identitas. Mungkin dalam benaknya mengatakan saung kecil adalah mahasiswa katrok karena belum pernah sama sekali menggunakan fasilitas sepeda kampus. Padahal fasilitas sepeda kampus itu sudah cukup lama diberlakukan di universitas tempat saung kecil kuliah.

"Jadi sepeda kampus itu beroperasinya dari stasiun ke stasiun (ada pos pemberhentian di titik-titik tertentu yang disebut stasiun). Ini tujuannya mau ke mana? Nanti pengembaliannya di stasiun tujuan, anda beraktivitas di sana. Setelah itu kalau mau balik lagi ke sini, pinjam lagi di stasiun sana. Lama peminjaman maksimal 30 menit," jelas bapak penjaga itu lagi sembari saung kecil mengisi identitasnya di buku yang tadi disodorkan kepadanya. Mendengar itu, saung kecil agak terlongo. Dalam bayangan saung kecil, sepeda kampus bebas dibawa ke mana pun dengan meninggalkan KTM dan dikembalikan di stasiun asal maksimal jam 4 sore. Bayangan itu bubar seketika. Demi mendengar penuturan bapak itu, saung kecil memutar otak. Tempat yang hendak ditujunya itu tidak terdapat stasiun sepeda kampus.

"Kedokteran hewan, Pak." Saung kecil menjawab mantap. Saung kecil sebenarnya tidak ada rencana sama sekali untuk berkunjung ke fakultas tersebut. Itu hanya akal-akalan saung kecil saja demi menjawab pertanyaan bapak penjaga dan demi diluluskan proposal peminjamannya. Stasiun sepeda kampus yang terdekat dengan tempat tujuan saung kecil adalah kedokteran hewan. Karena itulah saung kecil memutuskan untuk mengembalikan sepeda itu di stasiun kedokteran hewan selepas urusannya selesai.

"Oh, ya. Bisa. Di kedokteran hewan ada stasiunnya. Silakan, ini kuncinya." Saung kecil menerima kunci yang diangsurkan oleh bapak itu, dan mencari sepeda dengan nomor kunci yang sama.

Seerr..melajulah saung kecil melintasi jalan kampus. Saung kecil santai mengayuh sepeda. Ada perasaan bangga karena kini dirinya tengah bertengger di atas sadel sebuah sepeda dengan merk "sepeda kampus". Kebanggaan yang tidak rasional barangkali, karena dari jaman dahulu bentuk sepeda tetaplah seperti itu. Dan itu bukan pertama kalinya saung kecil bersentuhan dengan benda yang bernama sepeda kayuh. Tapi saung kecil tak peduli. Ini kali pertamanya ia menggunakan fasilitas sepeda kampus yang namanya moncer seantero jagad itu.

Saung kecil melajukan sepeda menuju tempat tujuan sebenarnya. Setelah urusan selesai, barulah ban sepeda itu menggelinding menuju stasiun kedokteran hewan. Bayangan saung kecil, setiap petugas di stasiun asal akan mengontak pihak stasiun tujuan sebagai bentuk pengawasan keamanan sepeda. Dalam benak saung kecil, hal itu bisa terjadi karena sistem peminjaman sebenarnya bersifat online. Jadi saung kecil memutuskan 'mampir' ke stasiun kedokteran hewan seperti yang ia katakan kepada bapak penjaga, alih-alih langsung berbalik ke stasiun asal dengan nomor sepeda yang sama. Saung kecil yang belum mengetahui sistem main sepeda kampus memilih untuk berada pada jalur aman.

"Lho, kamu kok ada di sini?" Sebuah seruan mengagetkan saung kecil. Saat itu saung kecil tengah berjalan berkeliling kampus kedokteran hewan dan kampus peternakan yang kebetulan letaknya bersebelahan. Mencari suasana baru, mencari tempat tongkrongan baru.
"Hey, kamu toh. Iya, nyobain sepeda kampus tadi, muter-muter," kata saung kecil sambil nyenger kepada temannya itu. Sudah cukup lama saung kecil tak bertemu dengan temannya itu. Kebetulan teman saung kecil berkuliah di tempat yang sedang dikunjungi saung kecil ini.
Sungguh suatu kebetulan yang mungkin terlalu kebetulan bagi saung kecil. Di pos pengembalian sepeda tadi, bapak penjaga bertanya apakah saung kecil kuliah di situ (kedokteran hewan atau peternakan). Dan dengan spontan tanpa tedeng aling-aling, saung kecil menjawab asal saja "Nggak, Pak. Ini mau ketemu teman". Hm..Tuhan memang pandai membuat umatnya tidak melakukan kebohongan, pikir saung kecil. Tuhan benar-benar mempertemukan saung kecil dengan temannya.
"Ya ampun. Sendirian?" teman saung kecil setengah tak percaya.
"Yup," sahut saung kecil mantap. Mereka pun mengobrol sebentar sebelum teman saung kecil beranjak mengunjungi kos temannya dan saung kecil beranjak pulang dengan meminjam sepeda kampus lagi. 

Kali ini saung kecil tak perlu berlama-lama berada di pos satpam peminjaman. Ia toh sudah tahu bagaimana prosedurnya. Hanya obrolan singkat basa-basi dengan bapak penjaga. Saung kecil sempat bingung ke mana arah menuju stasiun awal tadi. maklum, saung kecil memang agak low spasial memory, sering lupa arah dan jalan pulang. Beruntung, saung kecil tidak tersesat dan dapat menemukan stasiun awal tempat saung kecil meminjam pertama kali. Masuk parkiran, mengunci sepeda, kemudian menyerahkan kunci kepada bapak penjaga. Tak lupa saung kecil mengucapkan terima kasih dengan nyenger lebar kepada bapak penjaga itu. Lantas, saung kecil kembali memasuki sebuah gedung tempatnya mencakung seharian itu.


PS. Tidak ada salahnya mencoba menggunakan fasilitas umum meskipun kita sudah memiliki fasilitas itu secara pribadi. Hanya untuk mengetahui bagaimana mekanisme penggunaan fasilitas umum tersebut. Atau bahkan sekedar untuk berinteraksi dengan bapak-bapak pengawas fasilitas itu. Hal-hal yang terkadang bisa menjadi pelepas penat paling efektif.

Sabtu, 05 Mei 2012

Dimensi, Siluet, Tabir (Masih saja Merapal)

"Aku tak mengerti"
"Kau tak mengerti?"
"Karena aku bukan seperti itu!"
"Sedikit pun??"
"Ya. sedikit pun."
Kau terpana. Ada sayat yang sedikit saja menguakkan tabir itu. Selintas kita saling melihat. Hanya siluet. Kau makin garang menyayatnya agar koyak siluet itu, dan nyata yang ada di hadapanmu. Harapmu. Tapi tabir itu mengeras. Baginya, satu sayat itu cukup untukmu.

"Tidak!"
"Kenapa? Toh, kau masih bisa melihatnya"
"Melihatnya katamu? Bagaimana aku bisa melihatnya sementara kau masih tegak di sini?"
"Kau belum seutuhnya melihat"
Kau makin garang. Aku mengamatimu dari celah sayatan. Sangat cukup bagiku. Tanpa sayat itu pun aku bisa melihatmu.

"Berhentilah menyayat!"
Kau menghentikan parangmu di udara. Rahangmu mengeras dan aku bisa melihatnya hanya dari siluetmu.
"Rupanya kau sudah melupakannya!"
"Aku bahkan selalu mengingatnya, selalu merapalnya"
"Lantas?!"
"Bagaimana mungkin rapalan dengan segala reminisense itu nyata jika berjalan dalam dimensi yang berbeda? Mungkin kita punya rapalan yang sama, mungkin kita punya jalan setapak dengan motif yang sama. Tapi warna tak pernah sama."
"Ya. Dan aku benci warna siluet. Salah?"
"Tidak. Kau tetap bisa melihatku, bukan?"
Kau terdiam, tertunduk, masih memegang parang. Aku melangkah. Kutinggalkan kau dalam dimensiku. Atau sebenarnya kautinggalkan aku dalam dimensimu? Kita berjalan. Jalan yang sama, tapi warna tak pernah sama. Sedang dimensi selalu penuh warna.  



6/5/12
Merapal racau
3.30 am

Jumat, 04 Mei 2012

Jejak Langkah Saung Kecil: Just Try It (Sepenggal Obrolan dengan Waria)

Jogja, 28Apr 12


Sore itu, saung kecil sedang duduk diam-diam di sebuah halte bus. Kali ini saung kecil akan menghadiri suatu pertemuan rutin bersama teman-teman komunitasnya. Di samping saung kecil, duduk dua orang yang sedang asyik bergantian berpotret dengan sebuah kamera DSLR.

Saung kecil duduk diam-diam sambil sesekali mengamati mereka. Bukan, ia mengamati kamera DSLR yang dipakai oleh mereka. Maklum, tahun-tahun belakangan ini saung kecil lumayan tertarik dengan dunia fotografi. Sedang asyik mengamati, dari arah pintu masuk halte, datang sesosok yang cukup membuat bulu kuduk saung kecil menegak. Bukan! Bukan lantaran kakinya tidak menapak di tanah, melainkan sosok itu adalah sosok yang ambigu: setengah laki-laki dan setengah perempuan. Dan tep..dia duduk persis di sebelah kanan saung kecil. Mati gue, pikir saung kecil.

Saung kecil memang tidak suka berurusan dengan makhluk yang berjenis kelamin tak jelas tersebut. Dengan gerakan yang sangat pelan, saung kecil menggeser pantatnya sedikit ke arah kiri. Okay, personal space yang cukup untuknya.

"Kuliah di mana jeng?"
Hah? Bulu kuduk saung kecil kembali meremang. Sosok itu, mencondongkan badannya mendekat ke arah saung kecil. Saung kecil menengok dan wajah sosok itu tepat ada di hadapannya. Saung kecil menjawab pertanyaan itu dengan singkat. Kedua telapak tangannya mendadak menjadi sedingin es. Tapi agaknya waria itu belum puas, karena ia melontarkan pertanyaan-pertanyaan lain seputar identitas saung kecil. Saung kecil berdoa dalam hati agar dirinya tidak diculik suatu saat nanti oleh orang ini. Apalagi setelah mendengar pertanyaan: "Di daerah sana (daerah asal saung kecil) warianya banyak juga nggak?" Saung kecil hanya bisa menjawab "tidak tahu" dengan tatapan melongo tak mengerti. Sepanjang hidupnya saung kecil tidak pernah punya ide untuk mengikuti kehidupan waria, ya mana bisa tahu jumlah waria di daerahnya. Saung kecil sempat berpikiran jangan-jangan bakal diminta untuk mengkoordinasikan para waria yang ada di daerahnya. Oh tidaaaak!

"Semalem saya ngurusin orang sakit, ada mahasiswa cowok cakep usianya sekitar 20 tahunan, meninggal gara-gara HIV. Kasihan banget deh bener itu cowok. Cakep-cakep tapi kena HIV. Beneran deh cakep banget!" Jujur, demi mendengar cerita mbak-mbak waria itu, saung kecil rada merasa risih karena sosok yang disebelahnya itu sangat mengagumi makhluk yang sebenarnya berjenis kelamin sama dengan dia secara kodratnya. Lebih-lebih ketika si waria itu terlihat heboh mengomentari penampilan sesosok waria lain yang sedang melintas di seberang jalan. Saung kecil semakin merasa bagai seorang pesakitan. Sementara kedua mas-mas yang asyik dengan DSLRnya hanya mampu memandangi saung kecil dengan tatapan prihatin bercampur geli.

Well, karena sudah terlanjur kena aib, saung kecil mencoba untuk menanggapi saja cerita demi cerita yang dituturkan oleh waria itu. Saung kecil mulai memberanikan diri untuk ikut berpendapat, tidak sekedar menjawab apa yang ditanyakan waria itu kepadanya.

Not too bad. Dari pembicaraan yang mereka lakukan, saung kecil merasa sosok yang sedang ngobrol dengannya ini bukanlah tipe penggoda, melainkan tipe makhluk yang bergenre waria pemerhati sosial. Dia bekerja atas nama dinas sosial yang sering diundang untuk memberikan penyuluhan-penyuluhan. Ia juga tampak peduli dengan pendidikan. Diam-diam saung kecil memuji sosok ambigu di sebelahnya itu. Hingga bus yang mereka tunggu datang. Tanpa pernah tahu sebelumnya, ternyata mereka menunggu bus dengan jalur yang sama.


PS. Kadang kala ketakutan tak beralasan itu berasal dari ketidaktahuan kita akan hal itu. Ketika kita mau sedikit saja tahu, kita akan bilang semuanya baik-baik saja.