Senin, 28 November 2011

Tiga Hari Untuk Selamanya (Part #1)

Senin, 28 Nov '11
10.21 pm

Flash back beberapa hari yang lalu..3 hari yang penuh arti. Kau akan setidaknya sedikit tahu tentang kehidupan yang tak pernah kau jalani sebelumnya. Kuliah lapangan Metode Penelitian Kualitatif (baca: MPK) di Desa Panggang, Gunung Kidul memang bener-bener membuat kita melek tentang bermacam fenomena yang nggak biasa kita temukan. Pertama, jalan menuju ke sana aja udah Subhanallah asyik banget. Sepanjang jalan yang bikin spot jantung bagi yang tahu gimana rasanya di jalan, kita disuguhi pemandangan alam yang menakjubkan. Allah hobi banget ya bikin lukisan yang nggak bisa tertandingi? Hehe..Medan jalan memang agak mengerikan. Belokan yang tajam dan tanjakan yang nggak kira-kira itu bikin mobil salah seorang teman nggak kuat dan mundur hingga tertahan oleh batu yang sengaja difungsikan sebagai rem. Bagi yang nggak terbiasa di medan jalan seperti itu memang bisa terjadi hal yang tidak diinginkan kalau nggak hati-hati banget. Tapi so far, perjalanan yang sangat menyenangkan dengan berayun naik turun macam itu. haha.

Kedua, ketika kau masuk kecamatan Panggang, kau akan tercengang karena sinyal t****msel yang katanya menjangkau seluruh pelosok itu ternyata sinyalnya timbul tenggelam, pun dengan I***sat. Provider yang iklannya ngajarin alay-lah yang merajai sinyal di sana (baca: XLalu). Ketiga, budaya jawa masih sangat kental di sana. Kami kelompok satu terdiri dari 8 butir: aku, Umi, Galih, Nadya, Nisa, Juno, Reyhan, dan Halim, kedapetan jatah bertempat di rumah Pak Santoso di dusun Legundi. Kami diterima baik oleh keluarga. Ternyata di keluarga itu terdapat 3 generasi. Generasi pertama adalah Bu parti dan suaminya (mbah), generasi kedua adalah Pak Santosa dan istrinya yang bernama Mbak Endang, dan generasi ketiga adalah si kecil Avin yang baru berusia 3 tahun. Tadinya kupikir Mbak Endang itu kakaknya Avin, jebul malah ibunya. Busyet, masih muda banget..mungkin malah lebih muda dari umur kami. FYI di sana memang banyak yang nikah muda.

Kondisi rumahnya sederhana..beralas semen (baca: mester), dan sandal selalu terpakai. Penerangan berasal dari bohlam lampu yang menyala kuning temaram. Kamar yang kami para cewek tempati berisi satu dipan yang cukup untuk 2 orang dan satu almari pakaian. 3 orang lainnya tidur di kasur yang digelar di lantai sebelah dipan, salah satunya diriku. Sedangkan para cowok tidur di ruang tamu. Kamar mandi ada di luar, tetapi tidak jauh..tapi toilet yang terletak di sebelah kamar mandi itu tidak berpintu sehingga jika mau menggunakannya harus dijagain salah satu teman. Ingat, harus hemat air karena di sana air itu beli. Daerah GK memang susah mendapatkan air sehingga harus membeli tanki-tanki air yang harganya pun tidak murah. Benar-benar bikin kita bersyukur karena di daerah tempat tinggal kita mendapatkan air gratis dari sumur, tidak pernah kekeringan. Berasa KKN lagi tau nggak si..berinteraksi dengan masyarakat. Cuma bedanya pada kondisi rumah pondokan, lebih berasa kkn dengan kondisi rumah yang sederhana semacam ini dibandingkan waktu kkn sendiri. haha..

Mata pencaharian mayoritas masyarakat adalah bertani. Tapi sawah di sini hanya tanam sekali setahun dan panen sekali setahun. Sistem pengairan hanya tadah hujan. Jadi sepanjang bukan musim tanam dan musim panen, kegiatan di sawah bisa dibilang vakum. Kegiatan beralih ke (jw: arti harfiah adalah hutan, tapi disini bisa dibilang semacam ladang). Di wanawana inilah mereka mengurusi tanaman jagung, kacang, dan ketela. Hampir setiap rumah juga memiliki ternak sapi, kambing, ayam. Uniknya, kepemilikan ternak ini bukan difungsikan sebagai produksi semacam susu sapi, telur ayam, dan yang lainnya. Ternak-ternak ini berfungsi sebagai cadangan ketika si empunya sudah kepepet nggak ada penghasilan karena gagal panen atau akan melangsungkan suatu hajat, mereka akan menjual ternak yang mereka punya.

Hal yang lebih unik lagi adalah budaya masyarakatnya. Sebagian besar dari mereka berpendidikan tertinggi SMP. Selepas SMP beberapa ada yang mencari kerja ke kota. Bagi bungdes (baca: bunga desa), mereka cenderung untuk tinggal di rumah membantu pekerjaan rumah tangga atau ikut membantu berladang, dan menunggu datangnya seorang lelaki yang akan melamarnya. Angka pernikahan usia muda tergolong cukup tinggi. Terbukti dengan keluarga pak Santosa yang rumahnya di huni oleh 3 generasi. Mereka yang menikah, kebanyakan suami mengikuti istri (tinggal bersama orang tua pihak istri), tidak seperti yang terjadi pada budaya jawa pada umumnya yang cenderung patrilinear dengan istri yang ikut suami. Meskipun menurut hasil wawancara kami dengan salah seorang warga, hal semacam itu tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Menurutnya kalau yang tinggal di rumah orang tua istrinya itu karena tidak ada yang menjaga dan sekalian menemani orang tuanya yang makin merenta. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa memang banyak yang menganut budaya ikut ortu cewek, termasuk pak Santosa ini. Percakapan malam pertama dengan keluarga Pak Santosa diwarnai cerita tentang anak dan cucu Bu Parti, dan sedikit menyinggung tentang kegiatan dan mata pencaharian masyarakat. Belum ada fokus tema penelitian karena memang kami harus mencari letak permasalahannya dengan building rapport semacam itu...

# To be continued..


Rabu, 23 November 2011

Mbolang With My Pal

Kamis, 24 Nov '11
1.52 am

Dini hari..lagi aku terjaga dari lelapku yang tanpa sengaja. Dan pasti, mata ini masih sulit untuk kembali terpejam. Ia memaksaku untuk mengarungi alam maya (baca: onlen). Dan aku masih nggak percaya kalau ini sudah hari kamis! Nggak berasa ganti harinya ya kalau kita ketiduran? haha..So, mari kita buat saja ini hari Rabu..

Rabu yang semacam memutari kota Jogja bersama seorang sahabat (baca: alien). Bukan sengaja untuk kenalan pada setiap jalan di kota pelajar ini, tapi kami memang benar-benar melindasnya untuk mencari beberapa tempat penelitian. Berbekal alamat (yang Insya Allah bukan alamat palsu) dan selembar koyak peta Jogja, kami siap menantang jalan. Meski petir menyambar, meski puluhan ninja menghadang, kami menantang dengan tegar (sst, semua itu hanya dramatisasi saja). Kali ini baru survey tempat penelitiannya si sahabat dan koordinasi dengan ketua kelompok industri salah satu makanan khas jogja itu. Ada yang menarik perhatianku dan menggelitik tanya: sebagian besar industri khas suatu kota, baik makanan maupun benda kerajinan, menyatu dalam sebuah kampung. Jadi kalau di Solo kita mengenal kampung batik laweyan, di daerah belakang Malioboro kita mengenal kampung bakpia patuk, di Bantul kita mengenal kampung kerajinan kulit Manding, dan dimana lagi kita mengenal kampung apa lagi. Semacam ada komunitas pengrajin yang bertempat tinggal menyatu di satu kampung.

Lantas bagaimana industri khas suatu daerah itu bisa menjadi satu kampung? Apakah terlebih dahulu dibentuk suatu kampung yang khusus diperuntukkan bagi suatu industri dan kemudian bagi siapa yang tertarik dalam produksi itu dipersilahkan untuk menempati rumah-rumah yang tersedia di situ (semacam rumah dinas, barangkali)? Atau di sebuah kampung yang sudah berpenghuni, ada seseorang atau sekelompok yang memprakarsai terbentuknya kampung industri tertentu dan memberdayakan para tetangganya untuk ikut bergabung dalam memproduksi makanan/barang kerajinan khas tersebut? Lantas bagaimana kondisi psikologis masyarakat di dalamnya jika yang terjadi adalah mereka menempati "rumah dinas", bukankah mereka butuh penyesuaian diri dengan tempat tinggal baru dan bekerja sama dengan orang-orang baru? Bagaimana pula kondisi psikologis masyarakat di dalamnya jika yang terjadi adalah masyarakat pemberdayaan tadi, yang berarti mereka suka-nggak suka, mau-nggak mau harus mau dan suka ikut bergabung dalam industri khas yang tengah diberdayakan oleh sang pemrakarsa. Bukankah bagi mereka yang nggak suka, ada semacam keterpaksaan dan penyesuaian yang lebih untuk dapat menyukai aktivitas baru mereka? Dan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin konyol itu berhasil membuat sahabat saya garuk-garuk tembok sebelum akhirnya ia menyarankan untuk menanyakan sendiri pada yang mengalaminya. Mendengar itu pun saya juga hanya bisa garuk-garuk pohon dan manggut-manggut membenarkan sarannya itu. Masuk akal juga sarannya. Haha..

Setelah mendapat contact person ibu ketua kelompok industrinya, kami cabut dari daerah yang baru pertama kali kujamah setelah 3 tahun menghuni Jogja (jujur banget!). Kami menuju kos-kos'an sahabatku tadi dan jreng, jreng, jreng dia menyodoriku sebutir gitar dan aku menerimanya dengan tercengang nggak bisa berkata dan tidak bisa melakukan apa-apa. Lebay kalau ini, kejadian sebenarnya adalah kami sudah sepakat bahwa aku akan belajar gitar. Ciee..sok-sok'an nggitar, padahal biasanya juga tukang pegang sapu doang. Cuma gara-gara bentuk antara mereka berdua mirip, aku jadi menggemari gitar, penasaran apa siih bedanya gitar sama sapu?

Menggenjrenglah kami..dan senar-senar gitar yang aduhai itu minta dipetik ternyata. Ya sudah, dari pada mereka ngambek dan memutuskan untuk demo, kami menuruti permintaan mereka untuk dipetik. Waah, senar-senar itu beneran minta dihajar sepertinya, karena gara-gara menuruti permintaan mereka, ujung jari-jari kiriku sakit dan kapalen! haha..But, it's okay, sebutir gitar yang teronggok di kos-kosan sahabatku itu berhasil membuatku makin penasaran untuk memetik barisan senar nan manja itu. Oh ya, FYI alias sekedar info, kata "memetik" tidak sama dengan "menggenjreng". Dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar memang pasangan kata gitar yang lazim digunakan adalah "memetik gitar". Tapi ternyata aku baru menyadari kalau antara "memetik gitar" dan "menggenjreng gitar" berada dalam kutub yang berbeda. Memetik gitar ternyata jauh lebih susah karena kita perlu memperhatikan ketukan lagu secara lebih detail. Waktu aku dengan muka polos menanyakan bagaimana cara tahu ketukannya, sahabatku tadi dengan santai+nyengir ra cetho menjawab "insting". Oh, iya, iya..tanpa rasa curiga aku meng-iya-kan saja jawabannya itu. Tapi kemudian muncul pertanyaan baru yang sampai sekarang cukup membuat galau: Bagaimana caranya memunculkan insting itu? Dan aku semakin galau karena dia cuma bisa tertawa dan tidak memberikan jawaban apapun! Ck,ck,ck..Jadi pelajaran moralnya adalah kau harus bersiap menghadapi ketidak cetho-an jika kau memutuskan menjadi murid dari sesosok alien, karena percayalah, alien itu tidak cetho! hahaha..peace lho my pal! :P

Tengah hari lewat dikit..cabut untuk kembali ke cangkangku (baca: kos-kosan) karena mendung mengundang. Untung aku memenuhi undangan mendung yang dilayangkan pada seluruh makhluk di bumi Jogja, kalau tidak aku pasti terjebak hujan mengganas di jalanan..Hujan tahu kalau aku lebih suka mencandainya di balkon depan kamar, pesona hujan akan lebih tampak menawan jika dilihat dari sana. Tsaah! :D

Okay, kurang dari sejam lagi udah subuh ini..Selamat hari Kamis, selamat berburu berkah hari ini. Dan terima kasih Allah, atas keberkahan yang Kau berikan di hari Rabu :)

Random: Sesore rabu, aku dan seorang teman kos (baca: Ajeng) menjadi blog walker dan menemukan adanya konspirasi cinta segitiga antara 3 lelaki..apakah mereka maho? haha..*lupakan

PS. Song for this early morning: Seperti Pelangi - Dygta. Gara-gara ng-play beberapa lagu dygta yang ada di playlist sahabatku tadi, aku jadi ng-play beberapa lagu dygta yang ada di playlistku juga. They're kinda my all time fovorite songs, hehe. Dan satu ini yang menurutku best of the best diantara mereka. :)

Senin, 21 November 2011

Bocah? Tak Lagi Bocah?

Selasa, 22 Nov '11
00.58 am

Dini hari ini..bukan belum tidur, tapi barusaja terbangun. Bangun dengan perasaan rindu yang tiba-tiba akan perbincangan itu. Perbincangan yang membuat kita makin haus akan apa yang sebenarnya terjadi pada hidup ini. Kini serasa kering. Pada siapa? Mungkin ada yang kupikir seharusnya bisa berkelana di alam itu. Tapi ternyata belum, masih serupa bocah yang memandang batu sebagai sekedar penghalang langkah kaki kecilnya.
Kita sudah bukan lagi seorang bocah, bukan? Mungkin memang suatu waktu kita akan merasa nyaman ketika ada di diri kebocahan kita. Just hanging out, fun, share about common things. Tapi, sisi 'tak lagi bocah' kita akan mengering ketika kita terlalu terlena pada pesonanya. Suatu waktu kita perlu membasahinya dengan 'more than just common things'. Ya, seseorang yang 'tak lagi bocah' akan memandang batu sebagai sesuatu yang lunak, misalnya. Atau batu sebagai representasi kehidupan lain selain bumi. Entah sebagai apapun itu, ia mampu melihat apa yang tidak terlihat dan tidak tersadari oleh orang lain.
Mungkin kita masih jauh dari dimensi 'tak lagi bocah'. Tapi bukankah kita punya pilihan untuk itu? Step backward, stay stuck, or step forward. Kita bisa memain-mainkan langkah kita selagi itu perlu. Tapi satu hal yang sampai kapanpun tidak bisa kita ubah-ubah sesuka hati kita: WAKTU.
Jadi, dimensi mana yang akan kita pilih sebagai tempat berpijak? Dan manusia seperti apa yang kita inginkan ada dalam diri kita?

PS. Song of this time: A Whole New World - Celine Dion feat Peabo Bryson. Berharap menemukan dunia baru. :)