Kamis, 26 April 2012

Tujuh Tokoh Cerita Hari Itu

Memoar Senin, 23 April 2012

Di suatu gerbong kereta: 07.00 am
Tokoh 1: Duduk manis sembari membaca buku pinjaman dari seorang temannya. Sesekali matanya ia tumbukkan ke arah hijau panorama di luar dari balik jendela kereta.
Tokoh 2: Duduk di bangku pojok, menyandarkan punggung pada dinding gerbong. Asyik membaca buku sembari sesekali mencoret-coretkan sesuatu di dalamnya dengan bolpennya.
Tokoh 3: Duduk melamun hingga datang seorang bapak dan kemudian mereka mengobrol sepanjang perjalanan
Tokoh 4: Memejamkan matanya dengan damai, asyik berkelana ke alam mimpi a.k.a tidur.
Tokoh 5: Sehati dengan tokoh 4, memejamkan matanya dengan damai sembari memeluk sebuah bungkusan besar yang sangat berharga.

Dalam cerita ini, mereka akan ada di tempat yang sama, di waktu yang sama, dengan pikiran dan perasaan yang berbeda.


Sampai di stasiun tujuan, Stasiun kutoarjo: 08.00 am
"Gimana, kalian mau mampir ke rumahku atau nunggu di terminal buat langsung ke tempat Mbak Dwi? Mampir ke rumahku dulu aja yuk!" ajak tokoh 1.
"Langsungan aja lah, kita tunggu di perempatan deket terminal itu ya? Jangan lama-lama lho!" sahut tokoh 4 mengambil keputusan.
"Okay." Tokoh 1 pun bergegas menuju angkutan bertuliskan jalur A, angkot yang akan membawanya menuju rumah untuk meletakkan tas ranselnya. Tokoh 1 memang berniat untuk sekalian pulang ke rumahnya setelah acara di tempat temannya itu selesai. Baru saja ia meletakkan pantatnya pada tempat duduk angkot, ia melihat tokoh 3 berlari-lari kecil dan ikut masuk ke dalam angkot.
"Lho, kok kamu ikut? Mampir semua dulu jadinya?" tanya tokoh 1 dengan nada bingung.
"Nggak. Aku aja, sekalian mau titip tas juga," jawab tokoh 3 nyengir sambil menunjuk pada tas ranselnya. Tokoh 1 mengangguk-angguk meski masih merasa bingung. Sampai di rumah, mereka di sambut baik oleh bapak tokoh 1. Tokoh 1 pun bergegas mengganti tasnya dengan tas cangkong kecil yang lebih pas dengan acara yang akan dihadiri itu. Setelah menyantap sedikit jajanan yang disajikan, mereka pun kembali menunggu angkot yang membawa mereka ke terminal. Di sana, tokoh 2,4, dan 5 sudah menunggu. Tak berapa lama, angkot berwarna coklat bertuliskan angka 4 datang. Mereka segera masuk dan angkutan itu melaju.


Sebuah rumah di Kemiri Kidul: tepat pukul 9
Tokoh 1, tokoh 2, tokoh 3, tokoh 4, dan tokoh 5 bersalaman dengan para penerima tamu yang berjajar di barisan depan. Janur kuning yang terpasang di sana ikut menyambut kedatangan kelima tokoh itu. Kursi yang tersedia belum terisi penuh sehingga mereka dapat dengan mudahnya menemukan keberadaan tokoh 6 dan tokoh 7. Tempat duduk ketujuh tokoh itu berada di samping tempat ijab kabul sehingga hanya dapat melihat kedua mempelai tampak samping.

Acara ijab kabul yang sedianya dijadwalkan jam 9 akhirnya terlaksana pada jam 9.30. Suasana riuh pun berubah menjadi hening nan khidmat. Utusan dari studio foto dan video merangsek maju mendekati TKP ijab kabul, termasuk tokoh 3 yang ikut mendokumentasikan moment berharga itu dengan kamera yang dibawa oleh tokoh 1.
"Jangan-jangan dia nggak bisa pake'nya. Cuma ngepaske gambarnya aja tapi tombolnya nggak dipencet," kata tokoh 6 mengungkapkan kekhawatirannya kepada tokoh 7 yang duduk di sampingnya, tokoh 1, dan tokoh 4 yang duduk di belakangnya.
"Iya. Udah dengan gaya profesional ternyata nggak kerekam tu lho, sama aja." Kali ini tokoh 4 yang bersuara disambut oleh tawa tokoh 1, tokoh 6, dan tokoh 7.

Prosesi pengucapan ijab dan kabul pun berlangsung. Mempelai laki-laki mengucapkan kalimat sakral itu dengan lancar dan penuh semangat '45. Wuih, semangat sekali, batin tokoh 1. Tapi entah kenapa terdengar cekikik kecil dari para tamu undangan yang datang, kemudian pengucapan ijab kabul itu diulangi. Lhoh, kenapa?? Entah, pasti ada yang salah.
"Saudara ... (nama disamarkan), saya nikahkan dengan anak saya ... (nama disamarkan), dengan mas kawin seperangkat alat sholat yang dibayar tunai"
"Saya terima nikahnya ... (nama disamarkan) dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai"
"Sah?"
"SAH.."
"Alhamdulillah."
Setelah diulangi, kali ini dinyatakan sah. Alhamdulillah. Waah, mbak dwi sudah jadi istri orang sekarang. :)

Lantas kedua mempelai masuk ke dalam untuk berganti busana.
"Besok kalau kamu nikah mas kawinnya puisi ya? heheheh.." seru tokoh 5 dari arah seberang tokoh 1. "Haha..boleh, boleh. Kamu besok juga mas kawinnya itu mesti sama mbak M***," sahut tokoh 1 (#eh). Never mind, it's just a joke :P
Musik mengalun mengisi kekosongan. Para utusan studio foto dan video pun berganti mengambil gambar para tamu undangan. Tokoh 3 kembali ke tempat duduknya. Keenam tokoh yang lain akhirnya menghela nafas lega setelah tahu bahwa tokoh 3 berhasil mengambil video dengan benar. Haha.

Ketujuh tokoh kembali duduk diam-diam di kursinya sambil menanti giliran diangsurkannya piring sajian makan dari pemuda leladen. Mata mereka berbinar menyambutnya dan lantas menyantap dengan lahap hingga tak tersisa. Memang, keberangkatan pagi buta dari Jogja membuat mereka belum ada yang menyentuh makanan hingga saat itu. Belum lagi tokoh 1 menyelesaikan sisa suapan, asap rokok mulai bertebaran menyerbunya. What?? Not good at all, batin tokoh 1. Tokoh 1 pun segera menyelesaikan suapannya dengan megap-megap sebelum akhirnya pindah ke tempat duduk di depan tokoh 2 dan tokoh 5.


Prosesi pernikahan adat jawa: 10.30
Mempelai perempuan duduk di kursi penganten. Ketika mempelai laki-laki datang dari arah pintu masuk dengan diiringi oleh kedua orang tuanya, mempelai perempuan juga berjalan menuju mempelai laki-laki. Pun dengan diiringi oleh kedua orang tuanya. Sampai pada suatu tempat mereka berdua berhadap-hadapan, mereka pun saling melempar daun suruh. Lantas, mempelai laki-laki menginjakkan kakinya pada sebutir telur hingga pecah dan mempelai perempuan membersihkan kaki suaminya tersebut. Lantas mereka berdua berjalan beriringan dengan dipandu oleh ayah dari mempelai perempuan menggunakan selembar kain merah. Mereka duduk kembali di singgasana pelaminan. Selanjutnya acara pangkon timbang, kacar-kucur dan serangkaian kegiatan simbolis lainnya dalam adat jawa. Diakhiri dengan sungkeman kepada orang tua kedua belah pihak mempelai. Di sini, tiba-tiba saja perasaan tokoh 1 mengharu biru. Bagaimana rasanya ketika kita meminta doa restu kepada kedua orang tua kita untuk memutuskan hidup bersama suami atau istri pilihan? Bagaimana rasanya ketika kita harus ikhlas melepaskan anak kesayangan kita untuk hidup berumah tangga bersama seseorang yang dipercaya mampu menjaga anak kita? Ya, bagaimana rasanya? Ah, kita akan melewati fase itu. Suatu hari nanti.

Lantas, acara ceramah oleh seorang kyai memecah keheningan dengan lelucon-leluconnya yang khas. Tentang bagaimana seharusnya mengarungi hidup berumah tangga itu, tentang bagaimana menghargai suami/istri, dan mertua. "It's all about expectation. How we can reach the equilibrium together with our spouse," batin tokoh 1.
Pembahasan yang mengena dibalut dengan humor-humor yang menggelitik dari pak kyai memenuhi halaman depan rumah mbak dwi. Dan satu yang mengena bagi ketujuh tokoh: doa-doa bagi yang belum menemukan jodoh. Dan pesannya adalah segeralah menikah biar rezekinya bertambah.
"Wah, tadi gimana doanya? Bapaknya cepet banget ngucapinnya, aku susah ngingetnya," kata tokoh 1 kepada tokoh 2 dan tokoh 5. Tokoh 1 terlihat antusias sekali ingin mengingat doa bagi yang belum menemukan jodoh. Ungkapan dari hati terdalam agaknya. Haha. (Peace ya tokoh 1..!)
"Tenang, tenang, aku hafal kok. Mau aku kasih?" tokoh 2 menanggapi dengan tergelak. Hm..memang di usia-usia segini mungkin itulah hal yang cukup sensitif untuk dibahas. Mengingat banyak juga teman-teman lain seusia mereka yang sudah memutuskan untuk melabuhkan bahtera rumah tangga bersama seorang pasangan hingga akhir hayat. (Etciee..)


Bergambar bersama: 11.30 am
"Teman-teman dari Mbak dwi dan mas bambang dipersilakan untuk bergambar bersama." Suara dari pranatacara membahana. Ketujuh tokoh dengan semangat berdiri dan bersiap untuk "bergambar bersama". Agak aneh memang, ada kosakata baru dari situ. Bagi yang bingung, FYI, bergambar bersama adalah sama dengan berfoto bersama.
Ketujuh tokoh naik ke atas pelaminan untuk "bergambar bersama" kedua mempelai. Kemudian bersalam hangat sembari mengucapkan doa kepada kedua mempelai. Ketujuh tokoh lantas berpamitan.


Es buah pojok lapangan kemiri: 11.50 am
Tokoh 6 dan tokoh 7 melajukan motornya. Sementara tokoh 1, tokoh 2, tokoh 3, tokoh 4, dan tokoh 5 berdiri di pinggir jalan, menunggu angkot bertuliskan jalur 4 lewat.
"Aah..ada es buah tuh. Nge-es dulu aja yuk, angkotnya lama, haus banget aku." Tokoh 4 berkata sambil megap-megap kehausan seperti ikan yang kehabisan air. Tokoh 1 paham, ini pasti gara-gara minuman yang diambil oleh bapak-bapak sebelah tempat duduknya. Jadi ceritanya, minuman tokoh 4 ini udah habis dan mau minta minuman milik tokoh 1 yang terlihat masih lumayan banyak. Tokoh 1 menunjuk pada kursi kosong tempat dia meletakkan minumannya. Dan yaah..matanya tertumbuk pada seorang bapak-bapak yang tengah asyik menyeruput minuman milik tokoh 1 ini dengan tatapan tak bersalah. Oh, okay, cukup tahu aja, batin tokoh 1 masih dengan tatapan tak mengerti.

Okay, balik lagi, kelima tokoh berjalan menuju suatu sudut lapangan tempat nongkrong penjual es buah. Kelima tokoh itu pun memesan es dan menyeruputnya dengan ganas. Mentari terik itu memang tengah menyorot bumi tanpa ampun.
Aah..segarnya air es ini. Biipbiiip.biipbiiib. Satu pesan masuk. "Kalian di mana?" Sms dari tokoh 6. "Minum es di pojok lapangan." Dan ternyata tokoh 6 dan tokoh 7 sudah di jalan dan tengah berada di warung makan bergenre fastfood di kecamatan sebelah. Yasudah.


Angkot bertuliskan angka 4, pojok seberang lapangan.
Kelima tokoh yang tersisa (minus tokoh 6 dan tokoh 7), memutuskan untuk berjalan menghampiri angkutan umum yang sedang ngetem di sudut seberang. Kalau belum penuh angkot tidak akan berjalan. Jika ada dua orang di dalam angkot dan ditambah dengan 5 orang, maka angkot diperkirakan akan segera melaju. Masuklah kelima tokoh itu ke dalam angkot. Panas pengap segera menyerang. Setelah beberapa saat, angkot pun melaju. Di pojokan tempat mereka minum es, beberapa anak masuk ke dalam angkot (mereka juga tamu undangan pernikahan itu). Tambah pengaplah suasana di dalam. Tokoh 1 kegencet di sudut. Kegencet oleh para alien. Sumpeh, cewek sendiri ini guweh di sini, rutuk tokoh 1 sambil mengibas-ibaskan tangannya. Kepanasan.


Pasar kutoarjo: 1.00 pm
"Ini beneran mau jalan kaki? atau ngangkot aja? Panas lho.." kata tokoh 1.
"Jalan aja. Deket kan sini-situ"
"Iya. Kalau kamu capek ada yang mau gendong lho." Gubraak! siapa itu yang bilang?? Mana sini, mau aku bacok orangnya! (tokoh 1 memaki-maki sambil mengacungkan parang).
Jadilah kelima tokoh berjalan kaki dari pasar kutoarjo menuju senepo. Jalanan yang menjadikan tokoh 1 serasa back to memory. Masa-masa SD dan SMP. Pun dengan tokoh 4 yang pernah menjadikan jalan-jalan itu sebagai tempat tumbuhnya ketika sekolah dulu. Back to memory.
Kelima tokoh itu melepas penat di rumah tokoh 1. Di teras rumah, sudah menunggu tokoh 6 dan tokoh 7 yang ternyata sudah sampai duluan. Tokoh 2, tokoh 3, tokoh 4, dan tokoh 5 menunggu jadwal kereta jam 3 sore nanti. Sekedar minum dan makan camilan seadanya. Sesekali gurauan mencuat di antara mereka. Tak ketinggalan tokoh 1 pun ikut terkena korbannya. "Mati gue," rutuk tokoh 1. Sudahlah, biarkan saja mereka bicara. Akhirnya tokoh 1 pun membiarkan teman-temannya yang lain memberikan 'pukulan-pukulan' terhadapnya. Mungkin tokoh 1 sudah capek. Makin dilayani makin menjadi, dan pengabaian adalah bentuk yang paling cocok untuk meredakannya. Haha.


Pamit: 2.30 pm
Setelah kenyang menyantap mie ayam dari tetangga belakang rumah tokoh 1, tibalah saatnya pulang ke Jogja. Tokoh 1 tetap tinggal di kutoarjo, di rumahnya. Motor milik tokoh 7 didaulat untuk menjadi transportasi bolak-balik mengantarkan tokoh 2, tokoh 3, tokoh 4, dan tokoh 5 sampai stasiun. Mereka berboncengan bertiga biar cepat. Kloter pertama adalah tokoh 2, tokoh 4, dan tokoh 5. Kemudian tokoh 2 balik lagi. Lalu berangkatlah tokoh 7 mengantar tokoh 2 dan tokoh 3 menuju stasiun. Lantas kloter terakhir adalah penunggang motor: tokoh 7 dan tokoh 6. Dengan begitu, rumah tokoh 1 secara resmi menjadi lengang.
Tokoh 1 pun segera mencakung dalam kamarnya. Berbagi cerita bersama kedua orang tuanya.


PS. Selamat buat Mbak Dwi dan Mas Bambang yang sudah mulai melabuhkan bahtera rumah tangga. Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawwadah, warrohmah. Amiin.

Rabu, 25 April 2012

Tujuh Tokoh Cerita Hari Itu

Memoar Senin, 23 April 2012

Di suatu gerbong kereta: 07.00 am
Tokoh 1: Duduk manis sembari membaca buku pinjaman dari seorang temannya. Sesekali matanya ia tumbukkan ke arah hijau panorama di luar dari balik jendela kereta.
Tokoh 2: Duduk di bangku pojok, menyandarkan punggung pada dinding gerbong. Asyik membaca buku sembari sesekali mencoret-coretkan sesuatu di dalamnya dengan bolpennya.
Tokoh 3: Duduk melamun hingga datang seorang bapak dan kemudian mereka mengobrol sepanjang perjalanan
Tokoh 4: Memejamkan matanya dengan damai, asyik berkelana ke alam mimpi a.k.a tidur.
Tokoh 5: Sehati dengan tokoh 4, memejamkan matanya dengan damai sembari memeluk sebuah bungkusan besar yang sangat berharga.

Dalam cerita ini, mereka akan ada di tempat yang sama, di waktu yang sama, dengan pikiran dan perasaan yang berbeda.  


Sampai di stasiun tujuan, Stasiun kutoarjo: 08.00 am
"Gimana, kalian mau mampir ke rumahku atau nunggu di terminal buat langsung ke tempat Mbak Dwi? Mampir ke rumahku dulu aja yuk!" ajak tokoh 1.
"Langsungan aja lah, kita tunggu di perempatan deket terminal itu ya? Jangan lama-lama lho!" sahut tokoh 4 mengambil keputusan.
"Okay." Tokoh 1 pun bergegas menuju angkutan bertuliskan jalur A, angkot yang akan membawanya menuju rumah untuk meletakkan tas ranselnya. Tokoh 1 memang berniat untuk sekalian pulang ke rumahnya setelah acara di tempat temannya itu selesai. Baru saja ia meletakkan pantatnya pada tempat duduk angkot, ia melihat tokoh 3 berlari-lari kecil dan ikut masuk ke dalam angkot.
"Lho, kok kamu ikut? Mampir semua dulu jadinya?" tanya tokoh 1 dengan nada bingung.
"Nggak. Aku aja, sekalian mau titip tas juga," jawab tokoh 3 nyengir sambil menunjuk pada tas ranselnya. Tokoh 1 mengangguk-angguk meski masih merasa bingung. Sampai di rumah, mereka di sambut baik oleh bapak tokoh 1. Tokoh 1 pun bergegas mengganti tasnya dengan tas cangkong kecil yang lebih pas dengan acara yang akan dihadiri itu. Setelah menyantap sedikit jajanan yang disajikan, mereka pun kembali menunggu angkot yang membawa mereka ke terminal. Di sana, tokoh 2,4, dan 5 sudah menunggu. Tak berapa lama, angkot berwarna coklat bertuliskan angka 4 datang. Mereka segera masuk dan angkutan itu melaju.  


Sebuah rumah di Kemiri Kidul: tepat pukul 9
Tokoh 1, tokoh 2, tokoh 3, tokoh 4, dan tokoh 5 bersalaman dengan para penerima tamu yang berjajar di barisan depan. Janur kuning yang terpasang di sana ikut menyambut kedatangan kelima tokoh itu. Kursi yang tersedia belum terisi penuh sehingga mereka dapat dengan mudahnya menemukan keberadaan tokoh 6 dan tokoh 7. Tempat duduk ketujuh tokoh itu berada di samping tempat ijab kabul sehingga hanya dapat melihat kedua mempelai tampak samping. Acara ijab kabul yang sedianya dijadwalkan jam 9 akhirnya terlaksana pada jam 9.30. Suasana riuh pun berubah menjadi hening nan khidmat. Utusan dari studio foto dan video merangsek maju mendekati TKP ijab kabul, termasuk tokoh 3 yang ikut mendokumentasikan moment berharga itu dengan kamera yang dibawa oleh tokoh 1.
 "Jangan-jangan dia nggak bisa pake'nya. Cuma ngepaske gambarnya aja tapi tombolnya nggak dipencet," kata tokoh 6 mengungkapkan kekhawatirannya kepada tokoh 7 yang duduk di sampingnya, tokoh 1, dan tokoh 4 yang duduk di belakangnya.
"Iya. Udah dengan gaya profesional ternyata nggak kerekam tu lho, sama aja." Kali ini tokoh 4 yang bersuara disambut oleh tawa tokoh 1, tokoh 6, dan tokoh 7.

Prosesi pengucapan ijab dan kabul pun berlangsung. Mempelai laki-laki mengucapkan kalimat sakral itu dengan lancar dan penuh semangat '45. Wuih, semangat sekali, batin tokoh 1. Tapi entah kenapa terdengar cekikik kecil dari para tamu undangan yang datang, kemudian pengucapan ijab kabul itu diulangi. Lhoh, kenapa?? Entah, pasti ada yang salah.
"Saudara ... (nama disamarkan), saya nikahkan dengan anak saya ... (nama disamarkan), dengan mas kawin seperangkat alat sholat yang dibayar tunai"
"Saya terima nikahnya ... (nama disamarkan) dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai" "Sah?"
"SAH.."
"Alhamdulillah." Setelah diulangi, kali ini dinyatakan sah. Alhamdulillah. Waah, mbak dwi sudah jadi istri orang sekarang. :)

Lantas kedua mempelai masuk ke dalam untuk berganti busana.
"Besok kalau kamu nikah mas kawinnya puisi ya? heheheh.." seru tokoh 5 dari arah seberang tokoh 1. "Haha..boleh, boleh. Kamu besok juga mas kawinnya itu mesti sama mbak M***," sahut tokoh 1 (#eh). Never mind, it's just a joke :P
Musik mengalun mengisi kekosongan. Para utusan studio foto dan video pun berganti mengambil gambar para tamu undangan. Tokoh 3 kembali ke tempat duduknya. Keenam tokoh yang lain akhirnya menghela nafas lega setelah tahu bahwa tokoh 3 berhasil mengambil video dengan benar. Haha.

Ketujuh tokoh kembali duduk diam-diam di kursinya sambil menanti giliran diangsurkannya piring sajian makan dari pemuda leladen. Mata mereka berbinar menyambutnya dan lantas menyantap dengan lahap hingga tak tersisa. Memang, keberangkatan pagi buta dari Jogja membuat mereka belum ada yang menyentuh makanan hingga saat itu. Belum lagi tokoh 1 menyelesaikan sisa suapan, asap rokok mulai bertebaran menyerbunya. What?? Not good at all, batin tokoh 1. Tokoh 1 pun segera menyelesaikan suapannya dengan megap-megap sebelum akhirnya pindah ke tempat duduk di depan tokoh 2 dan tokoh 5..  

Prosesi pernikahan adat jawa: 10.30
Mempelai perempuan duduk di kursi penganten. Ketika mempelai laki-laki datang dari arah pintu masuk dengan diiringi oleh kedua orang tuanya, mempelai perempuan juga berjalan menuju mempelai laki-laki. Pun dengan diiringi oleh kedua orang tuanya. Sampai pada suatu tempat mereka berdua berhadap-hadapan, mereka pun saling melempar daun suruh. Lantas, mempelai laki-laki menginjakkan kakinya pada sebutir telur hingga pecah dan mempelai perempuan membersihkan kaki suaminya tersebut. Lantas mereka berdua berjalan beriringan dengan dipandu oleh ayah dari mempelai perempuan menggunakan selembar kain merah. Mereka duduk kembali di singgasana pelaminan. Selanjutnya acara pangkon timbang, kacar-kucur dan serangkaian kegiatan simbolis lainnya dalam adat jawa. Diakhiri dengan sungkeman kepada orang tua kedua belah pihak mempelai. Di sini, tiba-tiba saja perasaan tokoh 1 mengharu biru. Bagaimana rasanya ketika kita meminta doa restu kepada kedua orang tua kita untuk memutuskan hidup bersama suami atau istri pilihan? Bagaimana rasanya ketika kita harus ikhlas melepaskan anak kesayangan kita untuk hidup berumah tangga bersama seseorang yang dipercaya mampu menjaga anak kita? Ya, bagaimana rasanya? Ah, kita akan melewati fase itu. Suatu hari nanti.

Lantas, acara ceramah oleh seorang kyai memecah keheningan dengan lelucon-leluconnya yang khas. Tentang bagaimana seharusnya mengarungi hidup berumah tangga itu, tentang bagaimana menghargai suami/istri, dan mertua.
"It's all about expectation. How we can reach the equilibrium together with our spouse," batin tokoh 1. Pembahasan yang mengena dibalut dengan humor-humor yang menggelitik dari pak kyai memenuhi halaman depan rumah mbak dwi. Dan satu yang mengena bagi ketujuh tokoh: doa-doa bagi yang belum menemukan jodoh. Dan pesannya adalah segeralah menikah biar rezekinya bertambah.
"Wah, tadi gimana doanya? Bapaknya cepet banget ngucapinnya, aku susah ngingetnya," kata tokoh 1 kepada tokoh 2 dan tokoh 5. Tokoh 1 terlihat antusias sekali ingin mengingat doa bagi yang belum menemukan jodoh. Ungkapan dari hati terdalam agaknya. Haha. (Peace ya tokoh 1..!)
"Tenang, tenang, aku hafal kok. Mau aku kasih?" tokoh 2 menanggapi dengan tergelak. Hm..memang di usia-usia segini mungkin itulah hal yang cukup sensitif untuk dibahas. Mengingat banyak juga teman-teman lain seusia mereka yang sudah memutuskan untuk melabuhkan bahtera rumah tangga bersama seorang pasangan hingga akhir hayat. (Etciee..)  


Bergambar bersama: 11.30 am
"Teman-teman dari Mbak dwi dan mas bambang dipersilakan untuk bergambar bersama." Suara dari pranatacara membahana. Ketujuh tokoh dengan semangat berdiri dan bersiap untuk "bergambar bersama". Agak aneh memang, ada kosakata baru dari situ. Bagi yang bingung, FYI, bergambar bersama adalah sama dengan berfoto bersama. Ketujuh tokoh naik ke atas pelaminan untuk "bergambar bersama" kedua mempelai. Kemudian bersalam hangat sembari mengucapkan doa kepada kedua mempelai. Ketujuh tokoh lantas berpamitan.  


Es buah pojok lapangan kemiri: 11.50 am
Tokoh 6 dan tokoh 7 melajukan motornya. Sementara tokoh 1, tokoh 2, tokoh 3, tokoh 4, dan tokoh 5 berdiri di pinggir jalan, menunggu angkot bertuliskan jalur 4 lewat.
"Aah..ada es buah tuh. Nge-es dulu aja yuk, angkotnya lama, haus banget aku." Tokoh 4 berkata sambil megap-megap kehausan seperti ikan yang kehabisan air. Tokoh 1 paham, ini pasti gara-gara minuman yang diambil oleh bapak-bapak sebelah tempat duduknya. Jadi ceritanya, minuman tokoh 4 ini udah habis dan mau minta minuman milik tokoh 1 yang terlihat masih lumayan banyak. Tokoh 1 menunjuk pada kursi kosong tempat dia meletakkan minumannya. Dan yaah..matanya tertumbuk pada seorang bapak-bapak yang tengah asyik menyeruput minuman milik tokoh 1 ini dengan tatapan tak bersalah. Oh, okay, cukup tahu aja, batin tokoh 1 masih dengan tatapan tak mengerti.

Okay, balik lagi, kelima tokoh berjalan menuju suatu sudut lapangan tempat nongkrong penjual es buah. Kelima tokoh itu pun memesan es dan menyeruputnya dengan ganas. Mentari terik itu memang tengah menyorot bumi tanpa ampun. Aah..segarnya air es ini. Biipbiiip.biipbiiib. Satu pesan masuk. "Kalian di mana?" Sms dari tokoh 6. "Minum es di pojok lapangan." Dan ternyata tokoh 6 dan tokoh 7 sudah di jalan dan tengah berada di warung makan bergenre fastfood di kecamatan sebelah. Yasudah.  


Angkot bertuliskan angka 4, pojok seberang lapangan.
Kelima tokoh yang tersisa (minus tokoh 6 dan tokoh 7), memutuskan untuk berjalan menghampiri angkutan umum yang sedang ngetem di sudut seberang. Kalau belum penuh angkot tidak akan berjalan. Jika ada dua orang di dalam angkot dan ditambah dengan 5 orang, maka angkot diperkirakan akan segera melaju. Masuklah kelima tokoh itu ke dalam angkot. Panas pengap segera menyerang. Setelah beberapa saat, angkot pun melaju. Di pojokan tempat mereka minum es, beberapa anak masuk ke dalam angkot (mereka juga tamu undangan pernikahan itu). Tambah pengaplah suasana di dalam. Tokoh 1 kegencet di sudut. Kegencet oleh para alien. Sumpeh, cewek sendiri ini guweh di sini, rutuk tokoh 1 sambil mengibas-ibaskan tangannya. Kepanasan.


 Pasar kutoarjo: 1.00 pm
"Ini beneran mau jalan kaki? atau ngangkot aja? Panas lho.." kata tokoh 1.
"Jalan aja. Deket kan sini-situ"
"Iya. Kalau kamu capek ada yang mau gendong lho." Gubraak! siapa itu yang bilang?? Mana sini, mau aku bacok orangnya! (tokoh 1 memaki-maki sambil mengacungkan parang). Jadilah kelima tokoh berjalan kaki dari pasar kutoarjo menuju senepo. Jalanan yang menjadikan tokoh 1 serasa back to memory. Masa-masa SD dan SMP. Pun dengan tokoh 4 yang pernah menjadikan jalan-jalan itu sebagai tempat tumbuhnya ketika sekolah dulu. Back to memory.

Kelima tokoh itu melepas penat di rumah tokoh 1. Di teras rumah, sudah menunggu tokoh 6 dan tokoh 7 yang ternyata sudah sampai duluan. Tokoh 2, tokoh 3, tokoh 4, dan tokoh 5 menunggu jadwal kereta jam 3 sore nanti. Sekedar minum dan makan camilan seadanya. Sesekali gurauan mencuat di antara mereka. Tak ketinggalan tokoh 1 pun ikut terkena korbannya. "Mati gue," rutuk tokoh 1. Sudahlah, biarkan saja mereka bicara. Akhirnya tokoh 1 pun membiarkan teman-temannya yang lain memberikan 'pukulan-pukulan' terhadapnya. Mungkin tokoh 1 sudah capek. Makin dilayani makin menjadi, dan pengabaian adalah bentuk yang paling cocok untuk meredakannya. Haha.  


Pamit: 2.30 pm
Setelah kenyang menyantap mie ayam dari tetangga belakang rumah tokoh 1, tibalah saatnya pulang ke Jogja. Tokoh 1 tetap tinggal di kutoarjo, di rumahnya. Motor milik tokoh 7 didaulat untuk menjadi transportasi bolak-balik mengantarkan tokoh 2, tokoh 3, tokoh 4, dan tokoh 5 sampai stasiun. Mereka berboncengan bertiga biar cepat. Kloter pertama adalah tokoh 2, tokoh 4, dan tokoh 5. Kemudian tokoh 2 balik lagi. Lalu berangkatlah tokoh 7 mengantar tokoh 2 dan tokoh 3 menuju stasiun. Lantas kloter terakhir adalah penunggang motor: tokoh 7 dan tokoh 6.

Dengan begitu, rumah tokoh 1 secara resmi menjadi lengang. Tokoh 1 pun segera mencakung dalam kamarnya. Berbagi cerita bersama kedua orang tuanya.


PS. Selamat buat Mbak Dwi dan Mas Bambang yang sudah mulai melabuhkan bahtera rumah tangga. Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawwadah, warrohmah. Amiin.

Rabu, 18 April 2012

Jejak Langkah Saung Kecil: Something Called ...

Jogja, 18 April 2012

Saung kecil duduk diam-diam di bangku paling pojok yang ada di ruangan itu. Ruangan yang hanya berisi lima belas buah kursi. Di area depan ruangan berisi satu buah meja besar dengan tiga kursi berjajar dan satu kursi di depannya, ditambah dengan satu meja komputer lengkap dengan kursinya.

Kemarin, saung kecil duduk di tempat yang sama, menyimak temannya yang sedang presentasi dan mungkin sedikit kewalahan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh ketiga dosen di depannya.

Pendadaran. Satu kata yang cukup ampuh membuat bulu kuduk mahasiswa merinding. Cukup ampuh juga membuat mahasiswa mendadak terserang psikosomatis. Dan ini belum giliran si saung kecil. Saat ini ia masih serupa kepompong yang sembunyi dalam cangkangnya mengais kekuatan yang bisa membuatnya siap menjadi kupu-kupu.

Mata-mata cemas, mata-mata harap memenuhi ruangan itu. Kemarin, ada gurau yang mewarna dan ada setitik air yang mengembun di pelupuk mata. Sekarang, ada nada cukup meninggi, dada yang mendebar. Tak ada yang menggenang dari mata cemas itu. Tapi begitu saja tumpah ketika lepas semua beban dan melangkah ke luar ruangan. Serasa membuang puluhan ton meteorit kembali ke luar angkasa.

Lulus. Revisi. Mereka semua. Satu per satu teman-temanku melepaskan meteor itu. "Kamu kapan? kasih tahu ya kalau mau pendadaran?" Saung kecil hanya bisa melongo demi mendengar pertanyaan itu. "Doa'in secepatnya aja ya"


PS. Adalah terharu ketika menyaksikan perjuangan teman-teman kita di medan laga ujian pendadaran. Selamat dan sukses untuk kalian yang sudah melewatinya dengan segenap jiwa dan raga.

Selasa, 10 April 2012

Jejak Langkah Saung Kecil: Pilihan dan Diri Kita

Jogja, 10 April 2012


"Merokok itu pilihan." Itu bukan suara saung kecil. Suara berat itu berasal dari orang di sebelahnya. Teman saung kecil.

"Para perokok itu pasti tahu kalau rokok itu membahayakan dan merusak tubuh mereka secara perlahan. Tapi ya mereka tetap saja merokok," kata teman si saung kecil lagi.

"Sebenarnya apa sih yang mereka cari?" Kali ini baru saung kecil angkat bicara.

Teman saung kecil diam sejenak, menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskannya membentuk abstraksi asap.

"Kenikmatan," sahutnya. Masih menyelami batangan itu seakan-akan sedang menginternalisasikan apa yang baru saja ia katakan ke dalam aktivitas merokoknya. Saung kecil menunggu.

"Seorang perokok pasti mendapatkan kenikmatan dalam rokok. Dan itu seperti candu. Ketika kau lupa tidak menghisapnya di suatu saat, kau akan merasakan tidak enak di mulutmu. Atau merasa ada sesuatu yang kurang terpuaskan."

Saung kecil manggut-manggut mendengar penjelasan temannya itu. Ia lirik temannya itu. Masih saja dengan gaya elegan menghisap batangan yang menyala di ujungnya dan menghembuskannya dengan bermacam abstrak.

"Ooh, begitu. Lantas orang bebas memilih akan terus memuaskan keinginan itu atau melepaskannya," ujar saung kecil, lebih mirip bergumam kepada dirinya sendiri.

"Ho'oh, seperti itulah kira-kira." Teman saung kecil menyahut mantap. Kali ini ia mematikan nyala di ujung batangan yang sudah memendek itu. Kemudian lanjutnya, "tapi yang perlu ditekankan adalah jangan sampai kita menjudge bahwa orang-orang seperti itu adalah jelek. Sejelek-jeleknya dia tetap ada sisi baiknya. Selama ini masyarakat sering terjebak oleh konsensus umum dan lantas merendahkan, menjauhi kaum yang istilahnya menyimpang dari garis lurus."

Saung kecil masih manggut-manggut. Penjelasan temannya itu tidak seratus persen ia benarkan dan tidak seratus persen juga ia salahkan. Saung kecil hanya mencoba memahami posisi siapa yang sedang berbicara. Temannya yang seorang perokok memberikan pandangan seperti itu terhadap aktivitas merokok dan orang-orang yang berkecimpung di dalamnya. Sedangkan saung kecil yang tidak hidup di lingkungan perokok punya pandangan yang lain.

Saung kecil sangat setuju bahwa merokok adalah pilihan, sejalur dengan sifat hidup itu sendiri: bahwa hidup adalah pilihan. Tapi bukankah pilihan kitalah yang menunjukkan siapa sebenarnya diri kita? Lebih dari apa yang bisa terucapkan oleh mulut kita yang fasih berdusta.

Seperti pilihan untuk merokok atau tidak merokok itu sendiri. Semua orang tahu efek dan bahaya yang ditimbulkan oleh batangan itu. Lantas kita kemudian bisa menilai orang seperti apa yang memilih merokok dan orang seperti apa yang memilih tidak merokok.

Ketika orang memilih merokok itu pun terlebih dulu ia harus memilih motivasi apa yang ia gunakan sehingga memilih jalan itu. Apakah dengan dalih konformitas kesetiakawanan sosial lantas orang ikut-ikutan merokok. Ataukah dengan dalih supaya terlihat gaul dan keren. Ataukah bahkan dengan dalih karena mati gaya dan selalu merasa tidak puas kalau tidak merokok. Setiap pilihan itu menunjukkan orang seperti apakah diri kita sebenarnya.

Senja mulai merayap. Saung kecil dan temannya beranjak dari tempat mereka melepas penat. Sudah saatnya kembali ke rumah masing-masing. Di persimpangan jalan di mana mereka berbeda arah, saung kecil sempat melihat temannya itu mengeluarkan satu batang lagi dari sebuah kotakan berukuran genggaman tangan. Kemudian menyulutnya dengan segenap perasaan. Nikmat.



PS. Cobalah untuk sekedar bercermin pada pilihan-pilihan yang sudah kita ambil dalam hidup kita selama ini. Seperti itulah diri kita sebenarnya.

Minggu, 08 April 2012

Paradoksal Malam

Minggu, 8 Apr 12
9.23 pm

Masih rintik yang mengagumi malam. Masih dingin yang berbalas sapa dengan kubangan air, memunculkan riak yang girang mengaburkan bayang.

Instrumentalia Canon dari Pacebelle yang diarransemen oleh kyoko fukada ini masih mengalun. Dentingan yang elegan memasuki gendang telinga. Memunculkan sulur-sulur damai. Masih dingin mungkin bagi semua penghuni kos ini sehingga lebih memilih meringkuk ke dalam selimut dan mematikan lampu kamar.

Aku butuh cahaya. Dan di sinilah aku. Berpadu dengan rintik romantisme yang selalu saja membawa reminisense. Beberapa belas tahun lalu, beberapa tahun lalu, beberapa bulan lalu, beberapa minggu lalu, beberapa hari lalu, beberapa jam lalu, beberapa menit lalu...

Sepintas lalu aku merasa terhenyak pada apa yang kutemui di layar laptop..sebuah foto cover.."Remember Who You Are". Tulisan itu yang terpampang di sana. Remember who I am? Aku ini siapa sebenarnya? Apakah aku sudah layak mendapatkan apa yang kudapatkan sekarang? Apakah aku sudah melakukan apa yang seharusnya kulakukan? Apakah aku sudah merasa seperti apa yang sewajarnya kurasakan?

...(Kubiarkan malam membenamkan kuku-kuku dinginnya pada kulitku)..
...(Kubiarkan pula Canon yang dimainkan oleh Kyoko Fukada mengalun berulang-ulang: Hangat)...