Rabu, 20 Februari 2013

"Anak Polah Bapa Kepradah", Lha Nek Bapa Polah??

Kamis, 21 Februari 2013

"Anak polah bapa kepradah". Bagi orang jawa, sesanti ini tidaklah asing di telinga. Artinya adalah ketika seseorang melakukan kesalahan, banyak orang yang menyalahkan ayah atau orang tua seseorang itu. Ini semacam dengan peribahasa "Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga". Menyalahkan memang gampang. Orang-orang menyalahkan ayah dari anak, dan ayah yang tersalahkan tersebut kemudian menyalahkan anaknya. Lantas, sang anak menyalahkan ayahnya dan orang-orang. Menyalahkan bukanlah tindakan yang dewasa, tapi menyalahkan itu memang gampang. Jadi, melakukan tindakan yang tidak dewasa adalah hal yang gampang, tak pandang siapa dan berapa pun usia yang melakukannya. Pribadi dewasa sejajar dengan pribadi matang.

Sekarang mungkin kita jadi seorang anak. Tapi suatu saat kelak kita akan menjadi orang tua. Ketidakmatangan diri orang tua berlanjut pada ketidakmatangan diri anak. Orang tua galau menjadikan anak tak mengerti apa yang harus dilakukannya untuk menjadi "benar". "Benar" di mata orang tuanya, maupun "benar" di mata orang-orang. Identitas anak pun menjadi kacau karena semuanya terlihat abu-abu baginya. Bahkan, ia pun mungkin rancu akan ke"benar"an dirinya.

Ketika orang tua berubah-ubah dalam menentukan peraturan tak tertulis bagi anak, anak menjadi susah untuk memilah mana yang harus ia lakukan dan mana yang tidak boleh ia lakukan. Ketika anak dibenarkan oleh orang tua saat mengutarakan keinginannya untuk melakukan tindakan A, anak memasukkan kalimat "perbuatan A adalah benar" ke dalam otaknya. Anak merasa dipercaya. Lantas, ketika tiba-tiba orang tua menyalahkan anak karena telah melakukan tindakan A, anak merasa kacau. Ia merasa tidak dipercaya, dan ia tidak bisa menentukan apakah kalimat "perbuatan A adalah benar" masih pantas tersimpan dalam otaknya, ataukah seharusnya ia ganti menjadi "perbuatan A adalah salah". Akibatnya di lain waktu, ia menjadi ragu-ragu untuk melakukan sesuatu. Dalam dirinya terjadi pertaruhan. Jika ia sedang beruntung, maka ia akan dibenarkan dan dipercaya. Sedangkan jika ia sedang tidak beruntung, maka ia akan disalahkan. Ragu. Sedangkan ragu bukanlah ciri pribadi yang matang.

Ketika seorang anak sedang berada di posisi apes dalam pertaruhan itu, banyak yang kemudian langsung mengganti kalimat dalam otaknya menjadi "perbuatan A adalah salah", karena ia berhadapan dengan figur yang lebih kuat dari dirinya. Akan tetapi, tindakan yang tidak dewasa merupakan tindakan yang mudah dilakukan, tak pandang siapa dan berapa pun usianya. Jadi, bukankah figur yang kita nilai kuat belum tentu selalu matang dan "benar"? Sangat mungkin dalam diri orang tua juga terjadi mekanisme yang sama dengan sang anak. Ragu. Tapi keraguan yang muncul adalah keraguan akan dirinya, yang mungkin sekali merupakan efek dari kerancuan yang ia dapat dari masa lalunya -ketika ia menjadi seorang anak. Bukankah sudah disebutkan bahwa ketika seorang anak tak mengerti apa yang harus dilakukannya untuk menjadi "benar" itu akan berlanjut pada kerancuan atas ke"benar"an dirinya? Dan bukankah setiap anak kelak akan menjadi orang tua yang akan berhubungan dengan anak? Lantas, apakah kita akan diam saja ketika kita tahu mekanisme apa yang terjadi dalam diri kita, diri orang tua kita, dan dalam hubungan kita dengan orang tua?

It's time to think about it..and it's time to grow up

1.20pm