Kamis, 28 Juni 2012

Jejak Langkah Saung Kecil: Gelembung di Batas Cakrawala

Jogja, 26 Juni 2012
"Gelembung masih membumbung
Mengangkasakan mimpi yang sempat tereja
Gelembung masih mengerjap harap
Tak terpisah, tak terenggang"

Saung kecil duduk di puncak tertinggi sebuah gedung. Menyaksikan hari yang perlahan merayap menuju senja. Menyaksikan Tuhan yang menyapukan warna menjingga pada jejak mentari tergelincir.

Angin meniup nakal, mencandai saung kecil. Saung kecil hanya tersenyum padanya. Di acungkannya peniup gelembung ke atas. Sang angin girang menyerbunya dan segera saja puluhan gelembung tercipta. Saung kecil kembali tersenyum. Paling tidak, ia tahu bahwa angin pun sedang menemaninya mencakung di sana. Cukup bagi saung kecil.

Gelembung sabun. Agak aneh memang bagi anak seusia saung kecil untuk menyukai mainan itu. Sejak saung kecil belum fasih membaca pun, ia sudah akrab dengan hal itu. Hingga ia selalu betah berendam di bak mandi dan memain-mainkan gelembung sabun. Masa kecil saung kecil. Tapi saung kecil masih tetap menyukainya hingga sekarang. Gelembung sabun. Rapuh memang. Tapi saung kecil punya makna lain tentangnya. Makna yang mungkin bagi kebanyakan orang terlalu dipaksakan dan tidak masuk akal. Tentang keberadaannya.

Lantas kenapa menciptakan sesuatu hanya untuk mengetahui bahwa sesuatu itu akan menghilang dengan cepat? Bukan, bukan itu tujuan gelembung sabun mengada. Ia mengada sebagai cermin. Ketika gelembung sabun itu terbentuk, ia sangat dekat dengan diri peniup. Ia akan merefleksikan seperti apa potret diri sang peniup. Ia akan menyerap energi yang terpancar dari diri sang peniup. Cermin. Sang peniup dipaksa meluncur pada titik keberadaan, sebuah lorong kehidupannya. Ia ada. Gelembung sabun pun ada. Mereka ada untuk sebuah tujuan.

Ketika gelembung membumbung tinggi, ia laksana seorang dengan tekad luar biasa untuk mewujudkan harapannya. Meski dengan segala kerapuhan dan keterbatasannya, ia hanya ingin menggenggam harapan yang terpantul di sekitarnya dengan erat. Hingga beberapa sampai pada tempat tujuan, sedang beberapa lainnya pecah di tengah jalan. Gelembung sabun mempertaruhkan nyawa demi harapan-harapan itu. Hingga sang takdir yang merenggangkannya.

Seperti itulah manusia. Mengada di dunia dengan dibekali Semangat yang luar biasa untuk mencapai harapan-harapan. Satu tujuan yang sama. Berangkat dari titik yang sama. Menyerap dan memantulkan apa yang ditemui di sepanjang perjalanannya. Tapi takdir jualah yang bicara. Ada yang berakhir dengan pencapaian itu dan ada yang berakhir dengan beberapa harap yang masih tergenggam. Gagalkah ia yang masih menggenggam harap? Tentu saja tidak. Tuhan akan memungut mimpi-mimpi itu dan mengubahnya menjadi cahaya atas diri manusia itu. Tuhan memeluknya. Karena Ia tahu manusia seperti apa yang menggenggam mimpi itu hingga akhir. Masih hidup dalam semangatnya.

Angin kembali mencandai saung kecil. Saung kecil memeluk lutut, menengadahkan pandangnya. Ia membiarkan wajahnya terpapar angin. Sapuan warna senja mulai tampak di batas sana. Adakah gelembung sabun yang saung kecil tiupkan sedari tadi telah hinggap pada batas cakrawala itu? Satu saja? Atau meskipun tidak akan pernah ada, saung kecil tetap bangga. Gelembung itu menyisakan jejak semangat dalam diri saung kecil. Sapuan jingga telah menyempurna dalam balutan adzan senja itu.


PS. Hidup haruslah menyerap dan memantulkan, bercermin dan menjadi cermin. Lalu biarkan Tuhan meletakkannya satu-per-satu pada bingkai di mana kau akan tepat ada bersamanya.

Sabtu, 09 Juni 2012

Jejak langkah saung kecil: Jaring Reminisense

Jogja, 9 Juni 2012

"Hey, kau siapa?"
"Nyata kah kau?"
Saung kecil terhenti pada pertanyaan-pertanyaan itu. Matanya memandang pada satu titik jauh di depan sana. Tepat satu tahun yang lalu. Pada tanggal yang sama. Pada tempat yang sama. Pada siang hari yang sama. Hanya orang-orang yang tak sama.

Saung kecil duduk bersendiri di tempat ini. Tepat satu tahun yang lalu, ia duduk bersama seseorang yang hingga sekarang menjadi misteri baginya. Satu tahun yang lalu, ada perbincangan yang menghangatkan saung kecil dengan seseorang itu. Perbincangan yang bagi saung kecil terlalu menakjubkan. Terlalu menjaring. Bahkan jika mungkin itu adalah sosok yang muncul dari khayalan saung kecil.

Saung kecil menghembuskan napas. Masih warna yang sama yang ada di hadapannya kini. Saung kecil mengingat senyum itu. Mengingat perbincangan yang mengalir itu. Mengingat pemikiran-pemikiran itu. Jejalan yang menjadi saksi. Saung kecil bahkan masih mengingat aroma yang menguar dari semesta. Pada hari itu. Setahun lalu.

Sehelai daun kering memaksa lepas dari ranting dan memilih untuk melewati tatapan saung kecil. Rebah di tanah. Saung kecil tersadar. Ini hari sudah berbeda dengan setahun lalu. Ini hari saung kecil sendiri. Saung kecil bahkan tak mengenalnya. Tak ada yang mengenalnya. Tapi perbincangan itu, saung kecil seperti telah lama mengenalnya.

Saung kecil berdiri, menantang angin. Ia menunggu. Mungkinkah seseorang itu juga tengah mengingat pertemuan setahun lalu itu bersama saung kecil? Mungkinkah seseorang itu bersepakat bahwa tiga jam setahun lalu itu terlalu sayang jika hanya menjadi tiga jam saja?

Angin menggesek pucuk-pucuk daun. Renyah mengulum harap saung kecil.


PS. Kau mungkin pernah bertemu seseorang yang sangat mengena. Diam-diam kau selalu merindukannya. Bahkan jika kau dan dia hanya bertemu sekali dan tak pernah ada kedua kali.

Senin, 04 Juni 2012

Jejak Langkah Saung Kecil: Celah di antara Lintasan Pemikiran

Jogja, 4 Juni 2012

Sepoi angin itu menyapa saung kecil. Kali ini saung kecil tengah duduk bersendiri. Baru saja ia bersama seorang temannya. Melakukan kembali perenungan. Membadaikan kembali pemikiran-pemikiran. Sudah sekian lama saung kecil tak lagi terlibat dalam pemikiran abstrak, dan ia rindu.

Saung kecil mencoba merasai apa yang terjadi dengannya kini. Mencoba memberi ruang pada logika. Ya, dalam hal-hal tertentu, terkadang orang cenderung mengikuti hukum konsensus. Melepaskan segala hakikat yang melekat pada hal itu sejatinya. Mencoba menyusun ulang tentang definisinya. Tapi, apakah kita tidak berhak untuk mempertanyakan esensinya dan lantas mengikut saja dengan arus tren yang semakin saja bergerak ke arah kontinum yang berlawanan?

Saung kecil baru menyadari bahwa ia dan temannya itu kini tengah belajar hal yang sama. Mungkin mereka mengawali dengan sesuatu yang salah. Mungkin ada sesal yang sama yang melanda mereka. Mungkin otak mereka selalu diterjang badai. Pemikiran. Mempertanyakan apa yang orang lain bilang "jalani saja". Tapi mereka sama-sama menyadari, cepat atau lambat, mereka akan melalui fase ini. Dan mereka memang harus belajar tentang hal itu.

Tapi saung kecil dan temannya itu merasa terkadang harus berbentrokan antara idealisme dan hukum konsensus yang ada sekarang itu. Dan itu yang memicu badai pemikiran. Mereka sama-sama idealis, mereka sama-sama cenderung untuk melogika. Sementara mereka belajar dengan patner yang bertolak belakang.

"Ini perbedaan karakter dan perbedaan budaya" Saung kecil dan temannya sepakat dengan kalimat itu. Karakter saung kecil mungkin setipe dengan karakter temannya itu, tapi mungkin sangat berbeda dengan orang lain. Budaya didikan yang diterima saung kecil mungkin setipe dengan budaya didikan yang diterima temannya itu, tapi mungkin berbeda dengan budaya didikan orang.

"Penerimaan," kata teman saung kecil. Ya, dalam hal yang sama-sama mereka hadapi ini memang kata itulah yang mungkin menjadi kuncinya. Saung kecil pun sebenarnya sudah terlalu fasih untuk berbicara tentang segala perbedaan yang mewarna kehidupan ini. Saung kecil telah terdoktrin hal itu selama hampir empat tahun mengenyam pendidikan di kota ini. Ya, penerimaan itulah yang akan mengisi celah di antara timbunan logika. Tapi sebelum itu, Saung kecil tentu saja harus membuat celahnya terlebih dahulu.

Di sini, saung kecil bingung bagaimana caranya membuat celah itu. Tanpa meruntuhkan konstruksi yang ada di pikirannnya. Saung kecil hanya butuh celah di antaranya. Itu saja. Dan kemudian saung kecil dapat meletakkan kata 'penerimaan' di sana. Tapi apakah dengan begitu saung kecil harus menggeser letak kata 'pilihan' dan 'kesempatan'? Untuk siapa sebenarnya kedua kata itu? Dalam konteks apa? Batasan definisi yang seperti apa? Dan apakah kata 'penerimaan' mengenal definisi-definisi itu?

Saung kecil menghela napas. Mungkin ini saatnya ia mulai membuat celah. Tuhan ingin Saung kecil lebih mendekat pada sapuan warna yang Ia poleskan pada dunia ini. Sebelum Saung kecil terlambat. Belajar. Mungkin Saung kecil dan temannya tengah ditempa Tuhan agar kelak menjadi manusia yang tidak sekedar raga.


PS. Tuhan tidak menyembunyikan satu warna pun untuk Ia sapukan ke dalam kehidupan ini, termasuk warna abu-abu. Warna yang membuat manusia berpikir, mendefinisi, dan memutuskan.