Senin, 28 Mei 2012

Kebebasan Berpendapat dan Berdiskusi?

Beberapa waktu lalu sempat santer terdengar di berbagai media pemberitaan tentang ricuhnya diskusi dari seorang tokoh reformist Islam: Irshad Manji. Beliau adalah seorang muslim Kanada yang gemas dengan keadaan kaum muslim dan ingin mengadakan reformasi-reformasi yang ada di dalamnya. Kedatangan Irshad Manji ke Indonesia, termasuk ke kota tempatku menuntut ilmu (Jogja) dimaksudkan untuk diskusi mengenai buku terbarunya yang berjudul "Allah, Liberty, and Love". Sebelumnya, beliau pernah menulis buku yang menuai banyak kontroversi dengan adanya pengakuan bahwa dirinya adalah seorang lesbian. Dan ya, dapat dipastikan, diskusi itu mendapat kecaman, bahkan hingga muncul tindakan anarkis dari kelompok FPI. Di Jogja sendiri, setelah pihak UGM membatalkan adanya diskusi tersebut dengan alasan keamanan, diskusi tetap berlanjut dengan berpindah lokasi di LKiS. Gedung tersebut tak luput dari aksi anarkis dari kelompok-kelompok Islam yang tidak setuju. 

Pro-kontra pun segera saja merebak di kalangan pemerhati masalah ini. Ada yang mengecam Irshad dan banyak yang menyesalkan aksi anarkis itu. Berbagai seruan yang menyoal kebebasan berpendapat dan berdiskusi pun menjadi perbincangan yang akrab menghiasi pemberitaan dan sosial media. Beberapa bahkan ada yang mengkutubkan kepada berbagai aliran keagamaan yang melatarbelakangi peristiwa kontroversial ini. 

Okay, rasanya aku tak perlu berbicara panjang lebar soal idealisme masing-masing pihak itu. Aku pun bahkan tak mengerti sama sekali hal itu. Bisa dibilang aku selama ini prek dengan segala perbedaan yang tumbuh di tubuh Islam sendiri. Aku bukan seseorang yang dibesarkan di lingkungan dengan basis keagamaan yang kuat. Pengetahuanku tentang agama hanya sebatas yang diajarkan di sekolah. Dan bukankah materi-materi pelajaran agama Islam di sekolah umum tidak pernah membahas segala macam perbedaan itu? Jadi sampai sekarang pun, jika aku ditanya aliran keagamaanku apa, aku menjawab Islam. Saja. Aku menjalankan ibadah sesuai dengan apa yang ada di dalam Al-Qur'an, bukan apa yang diajarkan pada masing-masing aliran itu. 

Lho, kok malah jadi nggak nyambung? Yaudah lah nggak pa-pa curcol dikit. haha. Yang jelas, sebelum aku melanjutkan pembicaraan ini, aku menegaskan kalau aku di sini berbicara atas nama diri pribadiku. Tanpa tendensi apapun. Tanpa memihak pada salah satu pihak atau aliran. Aku merasa perlu menjelaskan ini di awal mengingat permasalahan ini sangat-sangat kontroversial. Jadi, no offense lhoh yaa... :D


Banyak pihak yang menyesalkan sikap UGM yang seolah mengekang kebebasan berpendapat dan berdiskusi. "Padahal UGM sebagai institusi pendidikan seharusnya terbuka dengan adanya diskusi-diskusi semacam ini," kata mereka. "Katanya kita sudah hidup di zaman demokrasi. Mana nyatanya?" seru mereka lagi.  Maka muncullah anggapan bahwa UGM gagal menjadi contoh institusi pendidikan yang mampu mewadahi kekritisan mahasiswanya.

Menurutku, tolong digaris bawahi, MENURUTKU, kalau yang dipermasalahkan adalah kebebasan berpendapat, kebebasan untuk berdiskusi, sebenarnya bukan hanya sesederhana itu. Berbicara dan mengeluarkan pendapat tidaklah sama dengan mengeluarkan kentut yang hanya berefek sebentar kemudian hilang. Emang yo berbicara itu tidak menimbulkan dampak? Justru sangat besar. Orang akan menilai dirimu dari omonganmu. Dan orang awam juga akan menilai tamengmu seperti apa yang kamu omongkan. Misalnya yang ngomong itu seseorang yang ikut organisasi tertentu. Sebenarnya dia ngomong itu atas kepentingan dia sebagai dia pribadi, ngomong sesuai pikirannya bukan sesuai visi-misi organisasi. Tapi orang awam yang mendengar, most of them, cenderung mengkaitkan siapa yang berbicara dengan organisasi yang dibawa. 


MENURUTKU, bukan masalah kebebasan berpendapat atau keterkekangan berpendapat. Tapi lebih karena strategi pembicara untuk masuk ke audience. Nek di indonesia rusuh, menurutku wajar. Lha nilai-nilai yang dibawa jelas bertentangan dengan nilai masyarakat kebanyakan di indonesia. Analoginya itu sama dengan ulama yang mengajak berdiskusi tentang bid'ah pada masyarakat yang masih memegang kepercayaan animisme. Yo jelas masyarakat akan bertindak secara anarkis to? Jadi yang bikin anarkis bukan karena agama, bukan karena akademik. Tapi karena keyakinan yang dipegang selama ini seakan-akan dicela secara frontal. Memang bener kalau orang-orang yang bertindak anarkis itu belum tentu paham tentang apa sebenarnya yang ingin didiskusikan. Bisa jadi buku yang akan dibedah ini sama sekali tidak berkaitan dengan buku sebelumnya yang kontroversial, bisa jadi hanya membahas hal-hal universal yang semua orang cenderung menyepakatinya. Namun, bukankah sejarah itu mempengaruhi cara pandang seseorang? Irshad Manji, dalam riwayat hidupnya pernah menulis buku yang kontroversial, bukan tidak mungkin dalam buku-buku selanjutnya yang bertema hampir sama juga cenderung kontroversial. Karena seorang penulis pasti melibatkan pemikiran pribadinya, memasukkan karakter dirinya ke dalam tulisan yang ia buat meski tidak seluruhnya. Dan seorang penulis pasti memiliki kepentingan atas tulisannya. 

Aku pribadi justru setuju dengan pembatalan pelaksanaan diskusi di UGM. Menurut informasi yang kudapat, penyelenggara acara diskusi itu adalah UGM. Di saat-saat terakhir menjelang pelaksanaan diskusi, rektor mengambil sikap membolehkan diskusi itu tetap berjalan, hanya saja lokasi diskusi dipindah di LKiS. Ketika orang-orang mengecam kebijakan itu, aku mencoba mencermati lebih dalam alasan di balik pemindahan lokasi tersebut. Kemungkinan yang kudapatkan, para akademisi tidak membolehkan diskusi itu pada saat ini karena nyadar kalau bakal terjadi rusuh dan anarkis. Mereka nyadar kalau sasaran audience irshad manji kurang tepat untuk saat ini. Kecuali kalau Indonesia udah sebagian besar berpaham liberal, itu fine-fine aja. Diskusi irshad manji itu bagus banget sebenernya kalau utk orang-orang yang liberal. Aku sempat membaca beberapa bab buku Irshad Manji yang sangat kontroversial "Beriman Tanpa Rasa Takut", dan aku diam-diam memuji atas kekritisan beliau dan kecerdasan beliau. Jarang ada orang yang mempertanyakan apa yang sudah diyakininya sepenuh hati. Tapi sekali lagi, perbedaan budaya dan latar belakang kehidupan beliau berbeda dengan kita yang ada di Indonesia. Di Indonesia, masih banyak orang yang tidak setuju dengan liberalisme. Kalau untuk Indonesia, harusnya dilihat dulu rating/respon masyarakat pada buku itu, baru diadakan diskusi. Dan penting untuk melihat riwayat respon terhadap buku sebelumnya pada masyarakat sasaran diskusi.  Atau kalau memang dengan alasan kebebasan berdiskusi, toh diskusi itu tidak harus dengan bertatap muka, dan menyiapkan waktu khusus. Bisa lewat sosial media, kan, kalau tema yang diusung memungkinkan banyak tindakan anarkis. Jangan langsung dibuka untuk masyarakat umum untuk diskusi kali pertamanya. 



Kadang-kadang orang tu berlindung dibalik kebebasan berpendapat, padahal sebenarnya dia mungkin mendukung prinsip yang diusung si pembicara. Nggak dilihat dulu kalau kebebasan berpendapat itu bukan cuma sampai pada mengemukakan pendapat tapi juga pendapat itu menuai dampak di belakangnya. Banyak orang gembar-gembor kebebasan berpendapat, tapi lupa sesuatu yang lebih penting dari itu: esensi dari pendapat yang akan disampaikan.  Ini menyangkut masalah keyakinan, man! Nggak bisa disamakan dengan diskusi ilmiah. Dalam diskusi ilmiah, semuanya memang harus didasarkan pada bukti empiris yang rasional. Masalah keyakinan nggak bisa dibahas secara ilmiah. Gunakan pisau keyakinan untuk bicara masalah keyakinan dan gunakan pisau teori untuk bicara masalah ilmiah. 


Aku bukannya mendukung tindakan anarkis itu. Aku cuma mencoba melihat dan meraba sudut pandang mereka. Karena yang ada selama ini masing-masing pihak masih memakai sepatunya sendiri kan? Para pendukung diskusi mengutuk tindakan para anarkis karena tindakan para anarkis itu tidak bisa dibenarkan menurut mereka. Sebaliknya para anarkis mengutuk tindakan para pendukung diskusi karena tindakan para pendukung diskusi itu tidak bisa dibenarkan menurut mereka. Belum ada yang mencoba menyelami dari sudut pandang pihak lawan. Selalu ada alasan dibalik tindakan seseorang, bukan?

Once again, semua yang tertulis di sini adalah MENURUTKU. No tendency. No offense at all. 

Senin, 28 Mei '12

Rabu, 16 Mei 2012

Jejak Langkah Saung Kecil: The Great New Spot

Jogja, 16 Mei 2012
3.40pm

"Finally I found it!" Pekik saung kecil. Pekikannya itu terbawa angin yang segera saja menerpa tubuh mungil saung kecil. Saung kecil memejamkan matanya sebentar, membiarkan angin itu membelai setiap jengkal tubuhnya. Angin memang lebih terasa menggila dibandingkan tempat kediaman saung kecil biasanya. Segar.

Saung kecil membuka matanya. Ia memandang sekeliling. Dari tempatnya berdiri sekarang, kini ia bisa melihat dunia dengan lebih luas. Ia bisa melihat gedung yang jangkauan letaknya jauh dari tempat saung kecil sekarang. Ia bisa melihat keluasan langit di atas sana. Gegana nyaris tak terhalang. Ia bisa melihat pucuk-pucuk pohon. Ia bisa merasakan pelukan angin.

Saung kecil tak bisa berhenti tersenyum. Kini ia duduk. Melepas penat. Wajahnya menengadah. Beberapa awan terserak tercandai angin. Perlahan serakan-serakan itu menyatu kembali membentuk formasi yang entah, menurut saung kecil bentuk awan tak pernah sama. Dan saung kecil selalu takjub olehnya.

Dalam hati, saung kecil bertekad menjadikan tempat itu sebagai tempat baru baginya. Sudah sekian lama ia mencari tempat seperti itu, dan kali inilah pencarian itu menemukan muaranya. Di sini. Di tempat saung kecil berdiri sekarang. Di tempat saung kecil menantang angin sekarang. Saung kecil merentangkan tangannya, matanya terpejam. Dihirupnya nafas panjang biar memenuhi paru-parunya dengan kesegaran melimpah ini.

"I love you!" seru saung kecil pada tempat itu sebelum ia beranjak.


PS. Menemukan tempat berpijak yang fit perfectly dengan apa yang kita cari selama ini, itu bagaikan menemukan sebelah hati kita yang hilang.

Jejak Langkah Saung Kecil: Sepeda Merk 'Sepeda Kampus'

Jogja, 16 Mei 2012

Siang menjelang sore itu, Saung kecil melangkahkan kaki ke sebuah gardu pos satpam.
"Pak, kalau mau pinjem sepeda kampus, gimana?" tanya saung kecil dengan polos. Bapak penjaga pos satpam itu memandang saung kecil sejenak sebelum akhirnya menerangkan aturan main dan menyodorkan buku untuk menuliskan identitas. Mungkin dalam benaknya mengatakan saung kecil adalah mahasiswa katrok karena belum pernah sama sekali menggunakan fasilitas sepeda kampus. Padahal fasilitas sepeda kampus itu sudah cukup lama diberlakukan di universitas tempat saung kecil kuliah.

"Jadi sepeda kampus itu beroperasinya dari stasiun ke stasiun (ada pos pemberhentian di titik-titik tertentu yang disebut stasiun). Ini tujuannya mau ke mana? Nanti pengembaliannya di stasiun tujuan, anda beraktivitas di sana. Setelah itu kalau mau balik lagi ke sini, pinjam lagi di stasiun sana. Lama peminjaman maksimal 30 menit," jelas bapak penjaga itu lagi sembari saung kecil mengisi identitasnya di buku yang tadi disodorkan kepadanya. Mendengar itu, saung kecil agak terlongo. Dalam bayangan saung kecil, sepeda kampus bebas dibawa ke mana pun dengan meninggalkan KTM dan dikembalikan di stasiun asal maksimal jam 4 sore. Bayangan itu bubar seketika. Demi mendengar penuturan bapak itu, saung kecil memutar otak. Tempat yang hendak ditujunya itu tidak terdapat stasiun sepeda kampus.

"Kedokteran hewan, Pak." Saung kecil menjawab mantap. Saung kecil sebenarnya tidak ada rencana sama sekali untuk berkunjung ke fakultas tersebut. Itu hanya akal-akalan saung kecil saja demi menjawab pertanyaan bapak penjaga dan demi diluluskan proposal peminjamannya. Stasiun sepeda kampus yang terdekat dengan tempat tujuan saung kecil adalah kedokteran hewan. Karena itulah saung kecil memutuskan untuk mengembalikan sepeda itu di stasiun kedokteran hewan selepas urusannya selesai.

"Oh, ya. Bisa. Di kedokteran hewan ada stasiunnya. Silakan, ini kuncinya." Saung kecil menerima kunci yang diangsurkan oleh bapak itu, dan mencari sepeda dengan nomor kunci yang sama.

Seerr..melajulah saung kecil melintasi jalan kampus. Saung kecil santai mengayuh sepeda. Ada perasaan bangga karena kini dirinya tengah bertengger di atas sadel sebuah sepeda dengan merk "sepeda kampus". Kebanggaan yang tidak rasional barangkali, karena dari jaman dahulu bentuk sepeda tetaplah seperti itu. Dan itu bukan pertama kalinya saung kecil bersentuhan dengan benda yang bernama sepeda kayuh. Tapi saung kecil tak peduli. Ini kali pertamanya ia menggunakan fasilitas sepeda kampus yang namanya moncer seantero jagad itu.

Saung kecil melajukan sepeda menuju tempat tujuan sebenarnya. Setelah urusan selesai, barulah ban sepeda itu menggelinding menuju stasiun kedokteran hewan. Bayangan saung kecil, setiap petugas di stasiun asal akan mengontak pihak stasiun tujuan sebagai bentuk pengawasan keamanan sepeda. Dalam benak saung kecil, hal itu bisa terjadi karena sistem peminjaman sebenarnya bersifat online. Jadi saung kecil memutuskan 'mampir' ke stasiun kedokteran hewan seperti yang ia katakan kepada bapak penjaga, alih-alih langsung berbalik ke stasiun asal dengan nomor sepeda yang sama. Saung kecil yang belum mengetahui sistem main sepeda kampus memilih untuk berada pada jalur aman.

"Lho, kamu kok ada di sini?" Sebuah seruan mengagetkan saung kecil. Saat itu saung kecil tengah berjalan berkeliling kampus kedokteran hewan dan kampus peternakan yang kebetulan letaknya bersebelahan. Mencari suasana baru, mencari tempat tongkrongan baru.
"Hey, kamu toh. Iya, nyobain sepeda kampus tadi, muter-muter," kata saung kecil sambil nyenger kepada temannya itu. Sudah cukup lama saung kecil tak bertemu dengan temannya itu. Kebetulan teman saung kecil berkuliah di tempat yang sedang dikunjungi saung kecil ini.
Sungguh suatu kebetulan yang mungkin terlalu kebetulan bagi saung kecil. Di pos pengembalian sepeda tadi, bapak penjaga bertanya apakah saung kecil kuliah di situ (kedokteran hewan atau peternakan). Dan dengan spontan tanpa tedeng aling-aling, saung kecil menjawab asal saja "Nggak, Pak. Ini mau ketemu teman". Hm..Tuhan memang pandai membuat umatnya tidak melakukan kebohongan, pikir saung kecil. Tuhan benar-benar mempertemukan saung kecil dengan temannya.
"Ya ampun. Sendirian?" teman saung kecil setengah tak percaya.
"Yup," sahut saung kecil mantap. Mereka pun mengobrol sebentar sebelum teman saung kecil beranjak mengunjungi kos temannya dan saung kecil beranjak pulang dengan meminjam sepeda kampus lagi. 

Kali ini saung kecil tak perlu berlama-lama berada di pos satpam peminjaman. Ia toh sudah tahu bagaimana prosedurnya. Hanya obrolan singkat basa-basi dengan bapak penjaga. Saung kecil sempat bingung ke mana arah menuju stasiun awal tadi. maklum, saung kecil memang agak low spasial memory, sering lupa arah dan jalan pulang. Beruntung, saung kecil tidak tersesat dan dapat menemukan stasiun awal tempat saung kecil meminjam pertama kali. Masuk parkiran, mengunci sepeda, kemudian menyerahkan kunci kepada bapak penjaga. Tak lupa saung kecil mengucapkan terima kasih dengan nyenger lebar kepada bapak penjaga itu. Lantas, saung kecil kembali memasuki sebuah gedung tempatnya mencakung seharian itu.


PS. Tidak ada salahnya mencoba menggunakan fasilitas umum meskipun kita sudah memiliki fasilitas itu secara pribadi. Hanya untuk mengetahui bagaimana mekanisme penggunaan fasilitas umum tersebut. Atau bahkan sekedar untuk berinteraksi dengan bapak-bapak pengawas fasilitas itu. Hal-hal yang terkadang bisa menjadi pelepas penat paling efektif.

Sabtu, 05 Mei 2012

Dimensi, Siluet, Tabir (Masih saja Merapal)

"Aku tak mengerti"
"Kau tak mengerti?"
"Karena aku bukan seperti itu!"
"Sedikit pun??"
"Ya. sedikit pun."
Kau terpana. Ada sayat yang sedikit saja menguakkan tabir itu. Selintas kita saling melihat. Hanya siluet. Kau makin garang menyayatnya agar koyak siluet itu, dan nyata yang ada di hadapanmu. Harapmu. Tapi tabir itu mengeras. Baginya, satu sayat itu cukup untukmu.

"Tidak!"
"Kenapa? Toh, kau masih bisa melihatnya"
"Melihatnya katamu? Bagaimana aku bisa melihatnya sementara kau masih tegak di sini?"
"Kau belum seutuhnya melihat"
Kau makin garang. Aku mengamatimu dari celah sayatan. Sangat cukup bagiku. Tanpa sayat itu pun aku bisa melihatmu.

"Berhentilah menyayat!"
Kau menghentikan parangmu di udara. Rahangmu mengeras dan aku bisa melihatnya hanya dari siluetmu.
"Rupanya kau sudah melupakannya!"
"Aku bahkan selalu mengingatnya, selalu merapalnya"
"Lantas?!"
"Bagaimana mungkin rapalan dengan segala reminisense itu nyata jika berjalan dalam dimensi yang berbeda? Mungkin kita punya rapalan yang sama, mungkin kita punya jalan setapak dengan motif yang sama. Tapi warna tak pernah sama."
"Ya. Dan aku benci warna siluet. Salah?"
"Tidak. Kau tetap bisa melihatku, bukan?"
Kau terdiam, tertunduk, masih memegang parang. Aku melangkah. Kutinggalkan kau dalam dimensiku. Atau sebenarnya kautinggalkan aku dalam dimensimu? Kita berjalan. Jalan yang sama, tapi warna tak pernah sama. Sedang dimensi selalu penuh warna.  



6/5/12
Merapal racau
3.30 am

Jumat, 04 Mei 2012

Jejak Langkah Saung Kecil: Just Try It (Sepenggal Obrolan dengan Waria)

Jogja, 28Apr 12


Sore itu, saung kecil sedang duduk diam-diam di sebuah halte bus. Kali ini saung kecil akan menghadiri suatu pertemuan rutin bersama teman-teman komunitasnya. Di samping saung kecil, duduk dua orang yang sedang asyik bergantian berpotret dengan sebuah kamera DSLR.

Saung kecil duduk diam-diam sambil sesekali mengamati mereka. Bukan, ia mengamati kamera DSLR yang dipakai oleh mereka. Maklum, tahun-tahun belakangan ini saung kecil lumayan tertarik dengan dunia fotografi. Sedang asyik mengamati, dari arah pintu masuk halte, datang sesosok yang cukup membuat bulu kuduk saung kecil menegak. Bukan! Bukan lantaran kakinya tidak menapak di tanah, melainkan sosok itu adalah sosok yang ambigu: setengah laki-laki dan setengah perempuan. Dan tep..dia duduk persis di sebelah kanan saung kecil. Mati gue, pikir saung kecil.

Saung kecil memang tidak suka berurusan dengan makhluk yang berjenis kelamin tak jelas tersebut. Dengan gerakan yang sangat pelan, saung kecil menggeser pantatnya sedikit ke arah kiri. Okay, personal space yang cukup untuknya.

"Kuliah di mana jeng?"
Hah? Bulu kuduk saung kecil kembali meremang. Sosok itu, mencondongkan badannya mendekat ke arah saung kecil. Saung kecil menengok dan wajah sosok itu tepat ada di hadapannya. Saung kecil menjawab pertanyaan itu dengan singkat. Kedua telapak tangannya mendadak menjadi sedingin es. Tapi agaknya waria itu belum puas, karena ia melontarkan pertanyaan-pertanyaan lain seputar identitas saung kecil. Saung kecil berdoa dalam hati agar dirinya tidak diculik suatu saat nanti oleh orang ini. Apalagi setelah mendengar pertanyaan: "Di daerah sana (daerah asal saung kecil) warianya banyak juga nggak?" Saung kecil hanya bisa menjawab "tidak tahu" dengan tatapan melongo tak mengerti. Sepanjang hidupnya saung kecil tidak pernah punya ide untuk mengikuti kehidupan waria, ya mana bisa tahu jumlah waria di daerahnya. Saung kecil sempat berpikiran jangan-jangan bakal diminta untuk mengkoordinasikan para waria yang ada di daerahnya. Oh tidaaaak!

"Semalem saya ngurusin orang sakit, ada mahasiswa cowok cakep usianya sekitar 20 tahunan, meninggal gara-gara HIV. Kasihan banget deh bener itu cowok. Cakep-cakep tapi kena HIV. Beneran deh cakep banget!" Jujur, demi mendengar cerita mbak-mbak waria itu, saung kecil rada merasa risih karena sosok yang disebelahnya itu sangat mengagumi makhluk yang sebenarnya berjenis kelamin sama dengan dia secara kodratnya. Lebih-lebih ketika si waria itu terlihat heboh mengomentari penampilan sesosok waria lain yang sedang melintas di seberang jalan. Saung kecil semakin merasa bagai seorang pesakitan. Sementara kedua mas-mas yang asyik dengan DSLRnya hanya mampu memandangi saung kecil dengan tatapan prihatin bercampur geli.

Well, karena sudah terlanjur kena aib, saung kecil mencoba untuk menanggapi saja cerita demi cerita yang dituturkan oleh waria itu. Saung kecil mulai memberanikan diri untuk ikut berpendapat, tidak sekedar menjawab apa yang ditanyakan waria itu kepadanya.

Not too bad. Dari pembicaraan yang mereka lakukan, saung kecil merasa sosok yang sedang ngobrol dengannya ini bukanlah tipe penggoda, melainkan tipe makhluk yang bergenre waria pemerhati sosial. Dia bekerja atas nama dinas sosial yang sering diundang untuk memberikan penyuluhan-penyuluhan. Ia juga tampak peduli dengan pendidikan. Diam-diam saung kecil memuji sosok ambigu di sebelahnya itu. Hingga bus yang mereka tunggu datang. Tanpa pernah tahu sebelumnya, ternyata mereka menunggu bus dengan jalur yang sama.


PS. Kadang kala ketakutan tak beralasan itu berasal dari ketidaktahuan kita akan hal itu. Ketika kita mau sedikit saja tahu, kita akan bilang semuanya baik-baik saja.

Rabu, 02 Mei 2012

Jejak Langkah Saung Kecil: Kidung Damai Lembar Pertama

Selasa 1 Mei 2012

"This is may day," desis saung kecil. Ditatapnya lekat-lekat cahaya lilin yang ada di depannya. Ruangan di sekeliling saung kecil gelap, pun di luar hanya pekat malam yang didapat.

Bias cahaya lilin itu memproyeksikan slide reminisense dalam benak saung kecil. Belasan tahun lalu kala ia mulai bisa mengingat samar-samar. Berlarian ke sana-kemari dalam balutan baju yang warna-warni. Sebentar-sebentar melendot di pangkuan ibunya. Lantas ketika ingatannya mulai jelas, saung kecil bisa mengingat hampir semua kejadian yang ia lalui bersama teman-teman sebayanya. Dengan balutan seragam yang beberapa tahun kemudian berganti warna. Saung kecil ingat betapa ia merasa bangga tiap kali warna seragam yang ia kenakan sudah berganti dari yang sebelumnya. Itu berarti pengalaman baru dan teman-teman baru baginya.

Saung kecil mengalihkan pandangannya ke cahaya orange yang dipancarkan oleh sang lilin. "...hingga sekarang saat kau tak pernah lagi memakai seragam, tak pernah lagi berdiri tangan hormat kepada bendera dengan sangat bangga...", batin saung kecil. Slide berhenti memutar. Sekarang saung kecil menatap lekat-lekat pada nyala lilin yang meliuk elegan. Di situlah pikiran saung kecil terangkum.

"Waktu..selama ini, kugunakan untuk apa waktuku? Sudahkah aku menjadi manusia yang sebenar-benarnya manusia seperti apa yang dititahkan Tuhan kepadaku?" "Belum," sahut diri saung kecil menjawab sendiri pertanyaan itu.
"Kalau begitu, mulai sekarang jadilah seperti layaknya manusia. Lekas! waktu terus beputar!"
Saung kecil terkedip kala api lilin itu meliuk resah. Saung kecil mengedarkan pandangnya pada sekitar. Masih gelap. Angin di luar pelan-pelan bertiup menggila. Saung kecil menutup jendela kamarnya, membiarkan sisa angin menabrakkan tubuhnya pada kusen kayu itu dan memantul. Saung kecil kembali dalam lingkaran perenungannya. Di depannya, cahaya itu kembali meliuk elegan.

Saung kecil membiarkan tatapnya terus jatuh pada cahaya itu. Pelan-pelan hangatnya merayapi tubuh saung kecil. Saung kecil tahu, kehangatan itu bukan dari nyala sepotong lilin yang ada di hadapannya. Hangat itu adalah pelukan Tuhan. Bulir bening menghinggapi pipinya. Saung kecil merasa sangat damai, hingga ia tak tahu lagi bagaimana caranya untuk mengungkapkan rasa syukur itu. Syukur atas nafas yang masih mengada, syukur atas limpahan berkah yang selalu mengikutinya, syukur atas pelukan hangat dari Sang Pencipta yang selalu ada untuknya.

Saung kecil masih menggayutkan dirinya dengan manja kepada Tuhannya. Malam itu, saung kecil hanya ingin berdua saja dengan Tuhan.


PS. Ada harga yang tak pernah bisa terbayarkan, harga ketika kamu merasakan kehangatan dan kasih sayang Allah saat Dia merengkuhmu dalam dekap-Nya. Subhanallah..Alhamdulillah..Allahu Akbar