Jumat, 22 April 2016

Wahai Perempuan

Memperingati hari kartini, sejumlah artikel di lini masa kompas menyajikan tulisan mengenai pernikahan. Ya, pernikahan dini sekarang ini nampaknya makin menjamur saja. Lulus SMA, baru bekerja setahun atau dua tahun sudah galau ingin cepat-cepat menikah. Padahal usia mereka saja masih remaja. Mereka berdalih jika menikah muda, jarak usia dengan anaknya kelak tidak terlalu jauh dan tampak seperti seumuran. Kayak mereka bangga ketika masih terlihat muda dan cantik tidak kalah cantik dengan anaknya.


Banyak artikel kesehatan dan psikologi yang membahas bahaya menikah usia remaja. Dari segi kesehatan, perempuan usia belasan tahun pembentukan rahimnya belum begitu kuat, sehingga dikhawatirkan berpengaruh bagi kesehatan bayi dan ibu yang mengandungnya. Jika ditilik dari segi psikologis, masa remaja adalah masa yang penuh gejolak. Perkembangan emosi remaja belum stabil sehingga dikhawatirkan berpengaruh bagi perkembangan anaknya, baik semasa dalam kandungan maupun ketika sudah lahir kelak berkaitan dengan pola asuh. Rentang usia remaja sendiri dalam psikologi berkisar antara 12-21 tahun. Jadi, bagi yang berusia 21 tahun berbahagialah karena kalian masih tergolong remaja! Haha. 

Untuk dapat menghasilkan generasi yang baik harus dididik dengan pola asuh yang tepat pula. Harus dari orang tua yang secara kognitif dan emosional sudah matang. Apa kabar lah itu anak kalau orang tuanya aja masih labil alay. Nggak heran kalau perkembangannya anak-anak kecil sekarang makin miris. Saat anak rewel, orang tua bingung bertindak bagaimana, akhirnya kasih dah tu si anak gadget untuk mainan biar diem nangis/amarahnya. Nggak usah kaget kalau misal dia lebih lengket sama gadget dibandingkan sama orang tuanya sendiri. Atau sebaliknya orang tua yang lebih senang berkutat dengan handphone nya dibandingkan berbagi cerita dengan anaknya sendiri. Nggak usah kaget kalau si anak jadi cari perhatiannya di luar rumah dan nantinya pas remaja dia jadi fakir asmara yang ngemis-ngemis cinta. Miris. Itu baru contoh kecilnya saja. Masih banyak contoh-contoh lain di sekitar kita yang kalau ditelusur berasal dari kekurangmatangan orang tua dalam pola asuh semasa kecil.

Menurut kepala BKKBN, usia ideal menikah untuk perempuan adalah di atas 21 tahun dan untuk laki-laki adalah 25 tahun, pas tepat dari sisi psikologis memang individu masuk usia dewasa mulai usia 22 tahun. Mulai usia 22 tahun individu mulai matang secara kognitif dan emosionalnya. Tentang dia mau langsung mengambil usia minimal (awal banget masuk masa dewasa) untuk menikah atau memilih untuk mempersiapkan dulu hingga cukup stabil dan lebih matang, itu pilihan. Kamu tahu mana yang terbaik.

Tapi baguslah sekarang pemerintah juga agaknya sudah lebih menyadari hal itu. Saya sih, mendukung kalau undang-undang perkawinan direvisi. Kalau saya yang ngerevisi, jadi minimal usia menikah bagi perempuan adalah 23 tahun :P. Kita hargai lah Kartini yang sudah memperjuangkan hak-hak perempuan, biar meminimalisir terjadinya KDRT. Karena seseorang yang dewasa, sudah bisa memilah dan menilai mana perilaku suami yang wajar dan mana yang tidak, sudah bisa bernegosiasi dalam menyelesaikan permasalahan rumah tangga secara bijaksana!

Nih, dua artikel dari kompas yang kudu dibaca:
http://health.kompas.com/read/2014/03/18/0913545/Mengapa.Pria.Sebaiknya.Menikah.pada.Usia.25.Wanita.21.?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd


http://health.kompas.com/read/2016/04/06/180000123/Mengapa.Pernikahan.Usia.Remaja.Seharusnya.Dilarang?utm_campaign=related&utm_medium=mobile-kompas&utm_source=health&

Kamis, 21 April 2016

Kepada Friendzoner

Seorang teman bercerita kepada saya. Ia sedang galau karena ada lelaki yang mencintainya dan rela menjadi yang kedua, atau setidaknya ia rela mengantri dan menunggu jikalau suatu saat nanti teman saya ini putus dengan pacarnya.

Setiap hari mereka intens BBM, bahkan telepon hampir setiap hari selama berjam-jam. Teman saya ini melayani dan selalu menanggapi obrolan lelaki itu tanpa sepengetahuan pacarnya. Chat history nya dengan lelaki ini selalu ia end chat karena ia takut pacarnya akan membaca. Semua teman yang ia curhati mengatakan bahwa ia selingkuh. Teman saya ini tidak terima jika disebut selingkuh karena ia jujur dengan lelaki itu bahwa ia sudah memiliki pacar dan akan setia dengan pacarnya tersebut. Ia pun mengatakan kepada lelaki itu bahwa ia hanya menganggapnya sebagai kakak dan sahabat. Lelaki ini tidak keberatan sembari tetap bersikeras untuk menunggu teman saya ini dengan mengatakan tidak ada yang tahu tentang takdir, toh masih pacar belum menikah. Yasudah. Teman saya merasa tidak salah.


Saya mengatakan bahwa secara perasaan mungkin teman saya ini setia dengan pacarnya. Namun, yang menjadikannya masuk kategori selingkuh adalah niat menyembunyikannya. Dalam berhubungan, tidak mungkin dan justru salah jika kamu lantas menghentikan komunikasi dengan teman lawan jenis lain. Apa yang spesial dari selingkuh? Karena ia DISEMBUNYIKAN. Seberapa intim sih pembicaraan kamu dengan teman lawan jenis sehingga kamu merasa perlu menyembunyikannya dari pasangan? Justru dengan jujur kepada pasangan, berarti kita menghargai pasangan dan bisa sebagai sarana kontrol diri jika mungkin komunikasi kamu dengan lawan jenis lain itu dirasa semakin tidak sehat.

Kepada teman saya, ada dua pilihan yang bisa ia ambil. Jujur dan ceritakan apa adanya kepada sang pacar, atau stop semua kontak dengan lelaki “selingkuhan” itu. Teman saya tidak bisa menjawab. Teman saya tidak mau jika memutuskan komunikasi dengan lelaki itu karena ia akan merasa sangat jahat dengannya. Sudah cintanya ditolak, ditolak pula niat baik untuk berkomunikasi dan bersilaturahmi. Teman saya tidak tega melakukannya. Akan tetapi, ia pun tidak mau berterus terang dengan pacarnya perihal ini. Alasannya, ia yakin pacarnya pasti menyuruh teman saya ini men-delete contact BBM lelaki itu. Ujungnya akan sama juga.  

Mendengar cerita teman saya tentang bagaimana lelaki itu mengungkapkan perasaannya dan harapannya jika kelak suatu hari nanti bla bla bla membuat saya tidak habis mengerti dengan interaksi kedua anak ini. Teman saya selalu menegaskan kepada lelaki ini bahwa tidak mungkin putus dengan pacarnya karena kedua keluarga juga sudah saling setuju dan teman saya sangat mencintai pacarnya. Teman saya selalu meminta lelaki ini untuk memupus rasanya. Sementara lelaki ini selalu menegaskan kepada teman saya bahwa ia tidak apa-apa jika di posisi demikian, tidak apa-apa jika menderita menyimpan rasa ini, sambil terus mengungkapkan keyakinannya bahwa takdir tidak ada yang tahu, selama belum menikah Tuhan masih membolehkan berusaha.

Bhay. Nggak akan kelar-kelar nah itu urusan! Orang macam lelaki ini sudah menyerahkan dirinya untuk jadi yang kedua, jadi simpanan, jadi selingkuhan. Jadi mau seberapa keras usaha teman saya meyakinkan bahwa mereka tidak mungkin bersama akan sia-sia. Karena orang-orang seperti ini memang sudah memposisikan dirinya sebagai simpanan atau friendzone atau apalah. Dalam pikiran lelaki ini, tidak apa-apa bukan sebagai yang pertama asalkan masih bisa mengobrol masih bisa bertemu masih bisa menjadi superhero ketika suatu saat teman saya ini membutuhkan teman curhat. Asal dia masih mau membalas BBM berarti pintu masih terbuka, begitu barangkali pikiran lelaki ini. Toh dengan adanya komunikasi yang kontinyu, bisa sebagai sarana pembuktian bahwa cinta lelaki ini lebih besar daripada cinta pacar teman saya itu.

Teman saya ini memang bukan pemberi harapan palsu, tetapi, ia membuka pintu dan secara tidak langsung mungkin sedang menarik dirinya sendiri dalam pusaran. Teman saya tidak ingin berbuat jahat kepada lelaki itu dengan tidak membalas pesannya dan tidak ingin PHP, tetapi dengan karakter lelaki ini yang demikian, teman saya justru sebenarnya sedang berbuat lebih jahat. Dengan meladeni terus obrolan dan ajakan lelaki ini, semakin lelaki ini memupuk rasa cintanya dan merasa bahwa teman saya juga mencintainya. “Kalau tidak cinta, kenapa dia masih mau bales BBM, masih mau telepon, dan masih mau ketemu?”, begitu yang ada di pikiran orang dengan tipe karakter seperti lelaki ini. Lelaki seperti ini hanya bisa menghentikan laju perasaannya jika tidak ada tanggapan dari si perempuan. Baru dia sadar bahwa si perempuan memang benar-benar tidak mencintainya.

Tetapi di sisi lain saya paham kenapa teman saya juga semacam tidak tegas kepada dirinya. Antara mau tetapi tidak mau, ingin tetapi tidak ingin. Rancu. Dan yang bikin miris, di luar sana banyak perempuan-perempuan yang tidak tegas terhadap perhatian salah sasaran dari seorang lelaki. Oh, berlaku juga sebaliknya. Sekarang juga banyak lelaki lemah yang tidak tegas terhadap perhatian salah sasaran dari seorang perempuan. Kenapa bisa nggak tegas sih? Yup, karena dia masih mendapatkan manfaat nih dari si lelaki ini: perhatian. Jadi semacam ban serep. Cadangan kalau pas pacarnya cuek. Tidak sadar bahwa dengan begitu lama-lama kamu membandingkan pasangan dengan selingkuhan. Selingkuhan selalu ada saat dibutuhkan. Iya lah, orang kamu yang sengaja nyari, jadi terlihat selalu ada.

Rasionalisasi yang sama juga terjadi pada sepasang mantan. (((sepasang))). Ada yang tetap menghubungi mantannya dan mengobrol menunjukkan perhatian basa-basi dengan dalih tidak mau memutus tali silaturahmi. Itu benar dan baik, jika, kondisinya kedua belah pihak sama-sama netral tidak ada harapan apapun (harapan balikan tentunya).
 Tetapi, jika salah satu pihak saja menyimpan harapan agar bisa balikan suatu hari nanti, berarti silaturahmi itu tidak murni. Di balik kegiatan silaturahmi itu tersimpan niat dan usaha mengambil hati kembali, bersikap sok-sok care siapa tahu suatu hari nanti si dia akan menyadari bahwa akulah yang lebih perhatian. Sungguh silaturahmi yang tidak sehat dan lebih pantas diakhiri saja silaturahminya.

Dan kenapa saya menuis ini? Karena hari ini adalah hari kartini! Wahai perempuan, come on, kamu bisa lebih peka dan mengerti apa yang sebenarnya lelaki mau.    

Antara Memberi dan Mendapatkan

Tujuan berhubungan itu apa si? Untuk memberi atau untuk mendapatkan?
Memberi dan mendapatkan dong! Yup, pada akhirnya memang seperti itu. Tapi sadarkah jika antara "memberi" dan "mendapatkan" itu berbeda makna? "mendapatkan" merupakan suatu hadiah dari apa yang sudah kita lakukan. Karena kita memberi lantas kita akan mendapatkan. Hukum kausalitas. Sebab-akibat.


Tujuan dan starting poin dalam membina hubungan menjadi penentu seberapa kualitas hubungan tersebut. Keinginan memberi berasal dari keinginan berbagi. Itu terjadi ketika kebutuhan cintamu dari lahir hingga dewasa sudah terpenuhi dari orang tua dan orang-orang sekitar, kamu punya cinta berlebih sehingga kamu ingin membagikannya kepada orang lain. Starting poin itu disebut mencintai untuk memberi.


Beda halnya dengan tujuan mencintai untuk mendapatkan cinta. Starting poinnya berarti kamu kekurangan cinta, kurang perhatian dari entah orang tua atau orang-orang di sekitarmu sehingga kamu mencari orang yang bisa memberikanmu cinta. Dengannya kamu merasa dicintai dan diperhatikan. Jadilah ketika orang itu dirasa kurang memberikan perhatian, kamu marah.
  
Jadi, kamu berada di starting poin mana?