Kamis, 24 April 2014

Kecamatan Loano, Purworejo

Kecamatan Loano merupakan Kecamatan di Purworejo yang kaya akan peninggalan sejarah. Salah satu bukti peninggalan sejarah itu terangkum dalam sebuah kitab kuno berjudul "Babad Tanah Loano".


Pada sekitar abad ke-13 Masehi telah berdiri Kerajaan Loano. Nama Loano ini bermula dari kisah perjalanan Ki Betoro Loano yang mengembara hingga sampai ke pinggir Kali Bogowonto dan menemukan bunga "Lo" di sekitar Kali Bogowonto, sehingga beliau menjadikan daerah ini sebagai daerah Perdikan Loano. Seiring dengan waktu, tanah perdikan ini semakin lama semakin berkembang sehingga beliau mendirikan kerajaan kecil bernama Loano.
Alkisah "Babad Tanah Loano" menjadi sering membumi bagi masyarakat Loano. Kisah yang paling menarik dari cerita Babad Tanah Loano adalah ketika Pangeran Anden Loano menikah dengan Retno Marlangen yang berasal dari Majapahit, ternyata tidak mendapat tempat di hati Pangeran Joyokusumo. Kehidupan puteri yang telah menikah ini singkat cerita diganggu oleh pangeran ini. Hingga pada akhirnya antara Pangeran Anden Loano dengan Pangeran Jaya Kusuma menjadi panas sampai pada perang tanding, hingga Pangeran Anden Loano mengalami kekalahan. Pertarungan ini berlanjut sampai pada turun tangan dari Ki Betoro Loano. Raja-raja Loano adalah: Ki Betoro Loano, Anden Loano I, Anden Loano II, dan Anden Loano III.
Kecamatan Loano memiliki luas wilayah 53km2. Jumlah penduduk 45.606 (data sensus tahun 2000) dengan kepadatan penduduk 869. Kecamatan Loano terbagi menjadi 21 desa/kelurahan, 
  1. Banyuasin Kembaran
  2. Banyuasin Separe
  3. Guyangan
  4. Jetis
  5. Kali Glagah
  6. Kalikalong
  7. Kalinongko
  8. Kalisemo
  9. Karangrejo
  10. Kebongunung
  11. Kedungpoh
  12. Kemejing
  13. Loano
  14. Maron
  15. Mudalrejo
  16. Ngargosari
  17. Rimun
  18. Sedayu
  19. Tepansari
  20. Tridadi
  21. Trirejo
Di Kecamatan Loano, terdapat sebuah masjid yang dibangun oleh Sunan Geseng. Masjid Loano ini dibangun dengan 16 umpak kayu dan dilengkapi dengan lempengan baja yang dibuat lengkung sedemikian rupa guna menahan guncangan apabila terjadi gempa bumi. Bisa dibilang Loano ini merupakan pusat budaya pada masa silam. Tanah Loano merupakan bekas kerajaan, pun pernah menjadi tempat singgah Sunan Geseng sehingga hawa-hawa religius kental di banyak bangunannya. Sampai-sampai makam di desa Loano ada tiga golongan yaitu golongan dari silsilah kerajaan, golongan dari tokoh-tokoh Islam yang singgah di desa tersebut, dan golongan rakyat biasa. Semua hal itulah yang menjadi kekayaan Loano. 

Rabu, 23 April 2014

Membaca, Membaca, Membaca

Rabo, 23 April 2014
10.15 pm



Selamat hari buku!
Kita semua tahu bahwa kita sudah dicekoki pernyataan tentang buku adalah jendela dunia. Tapi, berapa banyak dari kita yang benar-benar mengejawantahkan maknanya ke dalam kehidupan sehari-hari? Saya sendiri belum sepenuhnya yakin sudah menjiwai buku dalam kehidupan saya, meskipun saya yakin untuk menempatkan membaca di urutan pertama dalam hobi saya. Ah, daripada berteori atau berkoar-koar tentang idealisme, menyerukan kepada orang-orang untuk gemar membaca, saya lebih baik berkaca dari petualangan saya sendiri sepanjang saya mengenal benda bernama buku.

Perjalanan saya bersama buku dimulai ketika saya berusia 5 tahun. Kali pertama saya bisa membaca. Saya masih ingat buku yang saya gunakan untuk belajar membaca adalah buku anak-anak berjudul "Didi Anak Rajin." Saya seperti nggak lelah mencoba mengeja huruf demi hurufnya. Saya memang sudah mulai sedikit demi sedikit dikenalkan dengan huruf sejak usia 4 tahun, saat saya mogok sekolah TK nol kecil sehingga saya di rumah bersama bapak saya yang saat itu sering disibukkan dengan mengetik tulisan untuk media massa. Alhasil sembari bapak mengetik sekaligus mulai mengenalkan huruf kepada saya.

Sejak saya berhasil membaca buku "Didi Anak Rajin", saya jadi ketagihan belajar membaca. Entah, seingat saya saat itu saya sangat senang karena tanggapan keluarga begitu antusias mengetahui saya bisa membaca. Yah, bukankah perilaku yang berhasil cenderung diulang? Ternyata itu juga berlaku untuk anak kecil, mhihihi. Buku kedua yang saya baca adalah buku berjudul "Murni". Jika "Didi Anak Rajin" porsinya lebih banyak untuk gambar ilustrasi, buku "Murni" ini gambar ilustrasinya hanya kira-kira 3 atau 4 halaman sekali. Jika "Didi Anak Rajin" hanya setebal kira-kira 10 halaman, buku "Murni" setebal kira-kira 50an halaman. Tapi saya berusaha untuk membaca dan memahami isi cerita itu.

Cara saya dalam memahami cerita pada waktu itu seperti kerja dua kali. Jadi pertama, saya tahu dulu tulisan itu bacanya apa. Setelah kira-kira 2 atau 3 kalimat saya tahu bacanya apa, kemudian saya ulang lagi membaca dari awal dengan tujuan untuk merangkaikan maksud dari 2 atau 3 kalimat itu. Begitu. Lama memang. Tapi seorang anak kecil berusia 5 tahun pada waktu itu sedang sangat selo waktunya sehingga mau menghabiskan waktu dengan hal seperti itu.

Urutan buku selanjutnya yang saya baca, saya sudah tidak ingat. Saya hanya ingat mulai SD sekitar kelas 2 atau 3, saya mulai menyukai membaca Goosebump. Hayo ada yang suka juga nggak dengan serial buku goosebump? Awal mula saya kenal dengan buku itu adalah saat orang tua saya mengajak berlibur ke Jogja dengan tujuan liburan hanya di satu tempat: toko buku Gramedia! Setelah dipikir-pikir, wow sekali orang tua saya demi mengenalkan anak-anaknya kepada toko buku saja harus naik bis selama dua jam, beda provinsi pulak, epic beneer dah! *jempol*

Buku pilihan saya dan kakak saya adalah goosebump 1 yang judulnya Selamat Datang di Rumah Mati, sama 1 komik doraemon. Tentang doraemon, itu memang kartun kesayangan kami berdua dulu. Sedangkan untuk goosebump, kami belum ada referensi sebelumnya. Kami hanya tertarik karena membaca ringkasan cerita di cover belakang buku itu. Haha.  

Ada juga dulu majalah Bobo. Setiap hari kamis kalau tidak salah ingat, ada orang datang ke rumah mengantarkan majalah Bobo yang dilanggan oleh orang tua saya. Ada yang masih inget nggak tentang cerita keluarga Bobo, Puteri Nirmala, Bona dan Rong-rong, dan Paman Kikuk? Saya suka banget itu. Pokoknya jika majalah Bobo sudah datang, saya sering berebut dengan kakak saya untuk membacanya.

Selama SMP, hampir seminggu sekali saya meminjam buku di perpustakaan sekolah. Sekolah menjadwal peminjaman buku perpustakaan untuk kelas 1, 2, dan 3 secara bergantian. Untuk meminjam lho, bukan membaca. Kalau membaca sih boleh kapan saja. Kelas 1 hanya boleh meminjam buku pada hari senin dan selasa. Kelas 2 hari rabo dan kamis, sedangkan kelas 3 hari jumat dan sabtu. Lama peminjaman selama seminggu. Kalau telat ngembaliin didenda seratus rupiah per harinya. Buku yang paling sering saya pinjam adalah buku-buku karangan Kahlil Gibran. Saya juga baca karya dari beberapa angkatan pengarang seperti Robohnya Surau Kami, Harimau-Harimau, Perempuan di Titik Nol, buku-bukunya N.H. Dini, dll saya lupa, mhihihi. Tapi seingat saya, saya malah kurang bisa menikmati novel angkatan balai pustaka. Corak bahasanya cenderung ke melayu soalnya dan saya kurang tertarik. Oh ya, saya juga malah menyukai membaca majalah-majalah jawa kayak Jaka Lodhang, Panjebar Semangat, dll. Macem mbah-mbah aja bacaannya :p.

Selama SMA, saya pun demikian, tempat favorit adalah perpustakaan. Kebetulan memang perpustakaan sekolah saya menjadi perpustakaan percontohan bagi sekolah-sekolah se-kabupaten, jadi ruang bacanya pun nyaman menurut saya, bikin betah berlama-lama di sana. Kebiasaan anak jurusan Bahasa, tiap kali ada jam pelajaran kosong, pasti larinya ke perpustakaan. Dari guru-gurunya juga mengkondisikan siswa mencintai perpustakaan jadi image anak perpustakaan di sekolah saya jauh dari kata cupu. Di SMA ini saya mulai kenal dan keranjingan sama yang namanya teenlit (novel remaja). Tapi ya nggak cuma itu sih, saya baca yang lain juga kayak punyanya Mira W sama majalah sastra horizon. Oh ya, Harry Potter juga baru saya baca di SMA, padahal temen SD saya dulu waktu kelas 6 sudah membaca buku itu di kelas tapi saya baru tergerak untuk membaca waktu SMA, telat ya. Saya suka males kalau bukunya terlalu tebal soalnya, pun sampai sekarang, hehe. Bukti bahwa saya belum menjiwai buku dengan sepenuh hati ya, masih pilih-pilih. hahaha.. Ada satu buku yang kemudian memberi saya inspirasi untuk menyukai dunia psikologi. Sebuah novel berjudul Garis Tepi Seorang Lesbian. Sejak membaca novel itu, saya jadi tertarik kenapa ada orang yang lesbi dan gay dan itu yang mendorong saya pada satu kata: Psikologi. 

Semenjak masuk kuliah, intensitas membaca novel malah semakin menurun. Awal-awal kuliah saya masih membaca beberapa novel, termasuk Recto Verso dan Perahu Kertas. Mulai sekitar semester 5, saya sudah semakin jarang membaca novel. Sekarang apalagi, makin jarang. Sekarang untuk membaca satu novel saja membutuhkan waktu sebulan lebih. Saya memang masih membaca, tapi bacaan saya kemudian beralih ke artikel-artikel pendek yang ada di internet atau tulisan-tulisan di blog orang. Selebihnya, saya seperti kekurangan waktu. Tapi saya rindu untuk membaca novel. Saya merasa sekarang mulai menjauh dari novel-novel. Tidak benar-benar menjauh sebenarnya. Setiap ada pameran buku, saya berusaha menyempatkan datang ke sana dan membeli buku. Tapi buku-buku itu seringkali saya taruh di waiting list. Yang penting dikumpulin dulu, entah membacanya kapan. Saat ini saja ada 3 novel yang belum saya selesaikan membacanya. Sedih.

Dan sedihnya saya, mungkin bisa juga disebut salah sih, saya lebih berantusias membaca novel dibandingkan texbook referensi bahan kuliah. Haha. Saya menyukai bacaan yang berhubungan dengan kuliah saya, tetapi yang berupa buku aplikatif, bukan buku teori dengan bahasa yang sangat-sangat ilmiah. Membaca novel saja sepertinya tidak punya waktu, apalagi membaca buku referensi teori? Oke, ini salah, jangan ditiru. Satu bukti lagi bahwa saya sepertinya memang belum menjiwai buku secara penuh, masih pilih-pilih. Jadi di hari buku ini, nggak ada salahnya untuk menata ulang rencana agenda sehari-hari, sisihkan waktu sedikit saja untuk membaca. Ketika kilas balik perjalanan kita bersama sang buku, timbul semangat baru untuk kembali membaca. Saya sangat rindu membaca, sesungguhnya.   

Selasa, 22 April 2014

Maut Menjemputmu, Nak

Rabo, 23 April 2014
9.11 am


RIP.
Pagi ini satu lagi makhluk kembali kepada Tuhannya. Seekor kucing. Menghembuskan nafas terakhirnya tadi pagi sekitar jam setengah delapan di dalam kardusnya. Kucing itu bukan peliharaan saya, pun saya tidak mengenalnya lama.

Kemarin siang sepulang kuliah saya kaget ketika masuk pintu depan. Ada benda hitam teronggok di tengah-tengah barisan motor. Di situ memang garasi. Semula kupikir itu kantong plastik item, tapi kemudian ketika dia bergerak, saya kaget. Ternyata itu seekor anak kucing. Kedua kakinya lumpuh, tidak bisa buat berdiri. Jangankan berdiri, menggeser badannya saja dia tidak mampu. Hanya kepala dan kaki depannya saja yang bisa dia gerakkan. Saya dekati dan mengelus-elus kepalanya sejenak. Dia mengeong lirih, hampir tidak terdengar. Tatapan matanya sayu penuh harap. Kemudian saya berlalu bergegas naik karena saya belum sholat dzuhur padahal sudah jam 2.

Sampai di tangga, saya mikir. Itu kucing masuk dari mana? Pintu depan selalu terkunci. Satu-satunya tempat keluar masuk kucing adalah lantai 2 karena kucing bisa lompat dari atap rumah sebelah dan masuk lewat pager lantai 2. Tapi dia aja nggak bisa jalan loh. Apa emaknya yang sengaja "buang" anaknya di sini? Terus kalau itu kucing dibiarin teronggok di situ, bisa-bisa dia kelindes motor kalau yang nggak nyadar masukin motor langsung dinaikin dari luar. Bentuknya persis kayak kantong plastik, item, nggak ada belangnya sedikit pun. Lantas saya balik turun lagi. Menuju gudang, nyari kalau-kalau ada kardus kosong. Dapet. Saya pindahkan anak kucing itu ke dalam kardus dan saya bawa naik ke kamar saya. At least saya bisa kasih dia susu, kalau saya tidak bisa mengobati kakinya. Kasihan kalau dibiarin gitu aja di parkiran.

Saya bikinkan susu dan mencoba buat nyuapin ke dia pakai sendok plastik. Si kucing nggak mau menjilat-jilat susu di sendok yang saya pegang. Dia cuma mengeong. Saya tempelkan di mulutnya pun dia tidak mau menjilatnya. Saya kemudian punya akal, susu itu saya suapkan ke mulutnya begitu dia buka mulut buat ngeong. Berhasil masuk satu tetes. Lumayan lah. Saya tinggal sholat. Selepas sholat, saya coba suapin lagi. Dia menolak dengan memalingkan mukanya ke arah lain. Persis seperti anak kecil yang nggak mau disuapin. "Oh, mungkin dia nggak suka susu," pikirku. Lalu saya coba beri air putih. Tapi reaksinya tetap saja sama. Hanya satu kali lagi saya paksa masukkan saat dia ngeong. Habis itu dia memutuskan untuk nggak ngeong. Oke. Saya pikir mungkin itu cara dia untuk menolak minuman. Saya berhenti memaksa. Akhirnya saya elus-elus kepalanya saja sambil berbicara padanya, kemudian dia tertidur.

Makan malam, saya sengaja beli ayam bakar. Sebenarnya saya jarang makan pakai ayam karena ayam masuk dalam daftar makanan membosankan menurut saya. Tapi demi si kucing, saya beli ayam, saya sisakan sedikit dagingnya buat si kucing, kalau-kalau dia mau. Harapanku pupus lagi. Si kucing nggak mau makan daging itu sama sekali, padahal sudah saya tempelkan ke mulutnya. Ya sudah, saya taroh di kardusnya saja dan saya biarkan di depan pintu kamar saya. Nggak pa pa lah di luar, sudah saya kasih selimut juga kok.

Paginya selepas subuhan, saya tengok dia. Saya coba menyuapinya dengan air putih lagi. Nihil. Yasudah, saya letakkan tempat minum di dalam kardusnya saja siapa tau dia haus bisa minum sendiri. Saya tinggal mandi. Setelah mandi, saya tengok lagi. Astaga, pergerakan nafasnya tidak terlihat! Saya amati sampai lamaa berharap penglihatan saya salah. Tapi hasilnya sama saja. Diam. Tak ada gerakan. Tak ada nafas.

Sedih rasanya. Meskipun dari kemarin sebenarnya juga sudah hopeless dan helpless sejak dia nggak mau minum sama sekali. Kalau kayak manusia, dianya sendiri dari kemarin sudah tidak berharap untuk mempertahankan hidupnya. Mungkin kalau dia bisa ngomong dia dari kemarin bilang "udahlah, aku mati aja. Aku hidup juga nggak bisa apa-apa karena cacat. Mau minta tolong juga aku nggak punya siapa-siapa." Yasudah. Takdir menjemputmu. Yang saya sempat heran, posisi si kucing di akhir hidupnya sangat bagus. Kepalanya ada di utara dengan posisi menghadap ke arah barat. Seperti si kucing sudah siap menghadap Tuhannya dengan posisi sempurna seperti itu. 

Maaf ya puss, aku nggak bisa jagain kamu. Tapi semoga di akhir hidupmu, kamu merasa berharga, kamu merasa punya teman, meskipun hanya satu hari saja. Tuhan menjemputmu, puss. Semoga kau tenang di sisiNya. Amiin.

Teknologi: Membantu atau Memanjakan?



Kita beruntung hidup di zaman sekarang di mana hampir semua kebutuhan kita terpenuhi dengan adanya teknologi. Namun jangan sampai kita menyalahgunakan teknologi. Tagline yang marak tentang teknologi adalah mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Teknologi haruslah digunakan sesuai fungsinya. Sekiranya masih bisa dilakukan tanpa menggunakan teknologi, lakukan itu. Handphone. Fungsi dari handphone adalah sarana komunikasi jika jarak tidak memungkinkan untuk bertemu. Motor, kalau cuma mau pergi jarak dekat yang bisa ditempuh dengan jalan kaki, berjalanlah.

Handphone
Kebiasaan orang kita adalah ikut-ikutan tren. Kalau teman-teman kita semuanya pakai BB (blackberry) kita ikut-ikutan pakai BB. Kalau semua pakai android, kita ikut-ikutan pakai android. Biar nggak ketinggalan info, katanya. Halah, alasan klise. Alasan yang dipakai oleh orang-orang yang krisis identitas. Orang-orang yang demikian itu merasa takut tidak memiliki teman, merasa takut tidak diterima di lingkungan sosialnya. Perasaan takut itu mendorongnya untuk mengikuti apa yang lingkungannya lakukan, sekalipun untuk mencapainya perlu usaha yang sangat berat.

Gini deh konkritnya. Temen-temenmu pakai BB. Handphonemu bukan BB dan kalau mau beli BB, kantongmu belum cukup. Teman-temanmu yang pakai BB sarana komunikasinya beralih dari sms menjadi BBM. Sedangkan kamu nggak bisa BBM-an. Kemudian timbul rasa tersingkirkan dalam hatimu, kamu merasa terpinggirkan dari dunia sosialmu karena itu. Karena kamu terlalu takut untuk nggak punya temen, akhirnya kamu berusaha mati-matian untuk bisa beli BB supaya kamu bisa BBMan dengan temen-temenmu. Padahal sebenarnya ada yang lebih kamu butuhkan, lebih bermanfaat dibandingkan BB.

Menyedihkan sekali mengetahui orang-orang semacam itu. Betapa tidak? Orang seperti itu adalah orang yang sebenarnya memiliki banyak teman tapi dia merasa kesepian. Bukankah merasa kesepian di tempat yang ramai itu berbahaya? Jika kamu salah satunya, berarti tingkat kerentananmu untuk depresi berada pada level tinggi. Memangnya, jika teman-temanmu memakai BB sedangkan kamu enggak, mereka tidak mau lagi bergaul denganmu? Oh, mungkin iya sih kalau kamu selama ini berada di lingkungan yang rasist. Hello, kamu tidak akan kehilangan mereka lho. Mereka tetap akan menganggapmu teman. Dan kalau pun ada info-info penting semacam undangan rapat organisasi atau masalah akademik, mereka tetap akan menyebarkannya lewat sosial media yang lain seperti facebook, twitter, atau bahkan sms jarkom secara personal. Coba deh inget-inget, info-info yang penting itu disebarluaskan di beberapa sosial media yang kira-kira semua orang yang terlibat itu punya kan? tidak hanya lewat BBM atau WA atau Line yang belum semuanya punya kan? Sekarang pun, ketika lingkungan sosial saya lebih banyak kaum-kaum yang jauh di atas saya kondisi ekonominya, info-info penting tetap dijarkomkan melalui sms. Padahal hampir semuanya punya WA, hanya segelintir orang saja dari kami yang tidak punya WA. Tapi mereka memilih untuk tidak meninggalkan yang minoritas ini, mereka tetap peduli.

Sebagian besar kita sudah tergantung pada gadget sebagai sarana komunikasi baik yang jauh maupun yang dekat, dipukul rata. Di antara anak kos saja, sekarang lebih suka komunikasi lewat gadget. Kamar depan dan kamar belakang, mau janjian makan malam bareng, janjiannya lewat sms padahal tahu pasti kalau orangnya ada di kamar. Kenapa harus sms? Bisa kan kita datangi langsung ke kamarnya? Kecuali kalau kita tidak tahu pasti orangnya ada di kamar atau enggak, boleh lah kita sms. Tapi kalau sama-sama tahu ada di kos, kenapa tidak kita gerakkan kaki kita ke kamar teman? Bukan berarti pelit atau sayang pulsa, tapi bukankah lebih sopan dan etis jika kita datang ke kamarnya? Akan terasa ada kedekatan personal juga ketika kita berinteraksi dengan bertatap muka.

Ada satu lagi jenis orang yang menurut saya lebay. Sepasang kekasih yang tidak LDR tetapi setiap hari telepon-teleponan. Lebay kalau menurut saya. Buat apa telepon? Toh masih bisa bertemu langsung. Yaa meskipun mungkin tidak setiap hari ketemu, tapi prevalensi untuk bertemu itu lebih banyak daripada yang LDR. Kenapa musti telepon? Alasan yang paling banyak dikemukakan oleh orang dari golongan ini adalah kangen tapi males mau nyamperin ke kosnya, jauh. Yaelah, ngambang gitu, nggak teges. Kalau kangen, samperin lah. Kalau males hari ini capek, yaudah besok kan masih bisa ketemu. Pembicaraan di telepon itu nanggung, menurut saya, kalau jarak di antara keduanya memungkinkan untuk bertemu. Berkomunikasi dengan bertatap muka akan lebih menambah kedekatan personal karena kita bisa menangkap muatan emosi lawan bicara ketika bertemu langsung. Orang-orang dari golongan yang suka telepon walaupun nggak LDR ini, biasanya lebih sering berbagi cerita lewat telepon sedangkan tiap kali mereka ketemuan hanya untuk makan bareng atau belanja dengan waktu ngobrol sedikit. Kebalik. Seharusnya ketika bertemu langsung, perbanyak saling cerita, mengobrol dari hati ke hati. Nggak harus selalu makan yang menjadi agenda pacaran. Kebanyakan, karena sudah bercerita lewat telepon, mereka sudah kehabisan bahan pembicaraan ketika bertemu. Alhasil agenda mereka hanya makan atau belanja, karena bingung mau ngobrolin apa. Parah meen. Pacaran kalian nggak ada bedanya sama LDR.

Motor
Hayo siapa di sini yang pergi ke mana-mana lebih suka naek motor, ngacung? Sebagian besar dari kita yang memiliki motor, cenderung lebih manja. Ke kampus yang hanya butuh 10 menit jalan kaki, semenjak punya motor jadi males, terasa capek kalau jalan kaki. Padahal dulu sebelum punya motor juga biasa jalan kaki ke kampus. Beli makan, yang sebenarnya bisa ditempuh dengan jalan kaki 10 menit misalnya, semenjak punya motor jadi selalu pakai motor untuk beli makan. Semua-semuanya pakai motor. Kalau disuruh jalan ogah, males atau capek katanya. Padahal juga cuma 10-15 menit jalan kaki. Itu jarak yang dekat. Tapi karena kita terlalu manja dengan motor, kita jadi ketergantungan. Parahnya lagi, lama-lama kita jadi membatalkan kepergian kita gara-gara motornya dipinjem, misalnya. Pantes kalau mahasiswa sekarang banyak yang ngeluh sulit mengontrol berat badan. Diet nggak makan nasi berhari-hari. Nggak sehat meen! Ayolah. Kita punya kaki yang masih sehat. Pakailah buat berjalan. Motor atau kendaraan bermotor lainnya memang penting. Tapi gunakan sebutuhnya saja. Misalnya kita mau pergi ke tempat yang berjarak 10 km jauhnya, nggak mungkin juga kita jalan kaki kan? Tahu sendiri lah kita seberapa butuh kita terhadap kendaraan bermotor, jangan terlalu manja, nggak sehat. Nambah polusi udara juga kan? Katanya mau go green, tapi disuruh jalan kaki nggak mau. Sama aja bo'ong. 

Gadget dan kendaraan bermotor itu sejauh yang saya amati selama ini menjadi isu yang diam-diam menggerogoti mahasiswa dan kaum muda lainnya. Kayak virus. Keberadaannya kadang tidak kita sadari, tapi nyata lambat laun melanda dan mengubah pola pikir kita. Mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Jika sudah menjadi virus manja, teknologi akan lebih mengubah hubungan yang dekat menjadi jauh.
Ayo lah, kita bisa gunakan gadget dan kendaraan bermotor itu dengan lebih bijak. Jangan jadikan mental ini berubah menjadi mental manja. Teknologi itu ada untuk memudahkan kita, bukan untuk memanjakan kita.

Jumat, 18 April 2014

Hey, It's Fashionable!


Foto itu saya ambil beberapa hari lalu, ketika dalam perjalanan berangkat kuliah. Pagi itu saya sedang tergesa-gesa. Saya sudah telat kuliah sekitar 10 menit. Tapi entah kenapa begitu saya melihat mbak-mbak ini di depan saya, saya terlintas ide yang membawa saya untuk memfotonya. Maaf kepada mbak berdua karena saya foto. Tenang, wajah kalian tidak terlihat, saya pun tidak menyebutkan nama kalian karena saya memang tidak tahu. Jadi identitas kalian sepenuhnya aman kok *kalem*.

Apa yang membuat saya tertarik untuk memfoto ini? Apa yang salah? Lokasi pemotretan? Jelas bukan! Saya sudah ribuan kali lewat jalan itu sejak 5 tahun lebih yang lalu. Waktu pemotretan? Hmm, mungkin, bisa jadi, saya salah karena bukannya lari sudah terlambat kuliah, tetapi saya memilih menyempatkan diri untuk memfoto terlebih dahulu *seketika merasa bersalah*. Tapi ada yang lebih menarik perhatian saya sehingga saya rela mengulur sedikit lagi waktu yang itu berarti menambah beberapa detik keterlambatan saya. 

Coba perhatikan cara berpakaian mereka. Mbak yang tidak memakai jilbab, tidak ada yang salah. Hanya saja memang rada kurang rapi. Mungkin karena keburu-buru juga sudah telat kuliah, seperti saya, uhuk. Mari beralih ke mbak yang pakai jilbab. Apa yang kurang bener? Yup, lengan kemejanya. Digulung menjadi tiga perempat, menampakkan sebagian tangannya. Hello Mbak, maaf, anda berjilbab. Sebagai orang yang memakai jilbab, tentu paham kalau perempuan haruslah menutup aurat, sekaligus paham juga bagian mana saja yang disebut aurat perempuan. Dengan lengan kemeja yang digulung seperti itu, auratmu kira-kira kelihatan nggak, Mbak? Toh kemeja itu sebenarnya didesain sebagai lengan panjang, bukan lengan tiga perempat. Kenapa harus membunuh karakter si kemeja? 

Yeah well, you know, it's all about fashion. Mungkin beberapa ada yang berpandangan seperti itu. Memandang bahwa seperti itu wajar sebagai mode gaul, toh banyak orang juga yang berpakaian seperti itu. Ada juga yang merasa bangga kalau ngikutin tren gaul masa kini. Ada. Ngikutin tren mode fashion sih sah-sah saja. Toh juga segalanya dimulai dari penampilan. Tapi memakai pakaian yang memperlihatkan aurat, itu justru penampilan yang paling buruk bagi seorang muslim, bukan? Akan terlihat bahwa perempuan-perempuan berjilbab yang lengan bajunya hanya tiga perempat, justru mengkhianati agamanya. Atas sudah bagus pakai jilbab, tapi bajunya seperti itu, sama aja kayak telanjang. Jujur saja sih, saya pribadi lebih respek sama cewek yang tidak memakai jilbab dibandingkan dengan cewek yang pakai jilbab tapi sebagian lengannya kelihatan. Kalau toh memang ingin sedikit tampil modis dengan lengan kemeja digulung, pakailah manset (kaos lengan panjang untuk rangkapan) di dalamnya sehingga lengan kita tetap tertutup sepenuhnya.

Hayoo, bagi yang masih mengatasnamakan fashion, tren, gaul, or anything like that, renungkan lagi deh apa hakikat memakai pakaian dan menutup aurat itu :)

Sabtu, 12 April 2014

Tulus: Jazzy, Cozy, Glossy

"Ku ingin bernyanyi melekat di telingamu
Bingkai seisi semesta, semua yang bisa bercerita
Ku ingin bernyanyi melekat di dalam hatimu
Bingkai beragam nada, agar semua merdu untukmu”  
(Merdu Untukmu – Tulus)

Ada yang suka sama lagu-lagunya Tulus? Cuungg! Saya mengenal sosok Tulus sekitar akhir tahun 2012 lewat debutnya yang berjudul “Teman Hidup”. Sepanjang tahun 2013 puncakpuncaknya saya menggandrungi penyanyi satu ini. Suaranya bikin melting, bagi saya. Tema lagu-lagunya unik. Tidak hanya mengoleksi semua lagunya, saya pun gemar membuka blognya: palawija.tumblr.com. Comment saya, anak ini betul-betul nyastra. Bahasa yang dia gunakan singkat, konotatif, dan ngena. Sebagian besar temanya adalah tema-tema yang unik. Sederhana tapi sering terlupakan oleh orang lain.

Album pertamanya bertajuk Tulus. Dirilis tahun 2011 sebenarnya, tetapi saya baru mengenalnya tahun 2012. Telat ya. Haha. Album ini berisi 10 lagu: Merdu Untukmu (Intro), Teman Pesta, Kisah Sebentar, Sewindu, Diorama, Tuan Nona Kesepian, Jatuh Cinta, Teman Hidup, Sewindu (Rhodes version), dan Merdu Untukmu (Outro). Setelah itu muncul juga beberapa single seperti Sepatu, Mengagumimu Dari Jauh, Kita Bisa (feat RAN).

Album keduanya bertajuk Gajah, diliris tahun 2014. Album ini berisi: Baru, Bumerang, Bunga Tidur, Tanggal Merah, Gajah, Lagu Untuk Matahari, Satu Hari Di Bulan Juni, Jangan Cintai Aku Apa Adanya. Single Sepatu yang sudah dirilis tahun 2013 itu pun oleh Tulus dimasukkan dalam album Gajah ini.

Saya pribadi memfavoritkan beberapa lagunya. “Sepatu” menurut saya merupakan lagu yang paling elegan baik dari segi isi maupun bahasa. Di sana lah tempat orang-orang yang memaknai perpisahan dengan sisi penerimaan. Lirik lagu ini dari awal sampai akhir merupakan simbol, sebuah analogi yang elegan. Lagu yang penuh makna lagi adalah Gajah, tentang tulusnya persahabatan.

Lagu yang menurut saya paling romantis adalah Teman Hidup (pernah saya bahas beberapa waktu lalu) dan Merdu Untukmu. Lirik lagu Merdu Untukmu saya gunakan untuk pembuka postingan ini. Romantis bukan?

Kalau pas saya pengen ndengerin yang cozy asyik itu semacam Sewindu, Jatuh Cinta, Mengagumimu Dari Jauh, Bumerang, dan Bunga Tidur. Kalau lagi sedikit down, lagu Kita Bisa, Tanggal Merah, dan Lagu Untuk Matahari bisa menjadi Mood booster.

Kalau kamu menyukai lagu dengan lirik yang “tak biasa”, Tulus lah jawaban paling oke. Tidak ada satu pun lagunya yang menggunakan bahasa biasa. Pun dengan postinganpostingan yang ada di blognya. High recommended lah Tulus ini!

Kamis, 03 April 2014

Ada Cinta Untuk Lansia, Ada Doa Untuk Kita

Kamis, 3 Apr 14

What a wonderful day it is!
Kuliah intervensi lansia hari ini agendanya kunjungan ke panti wreda. Ada 11 anak dari kelas kami yang mengambil Intervensi lansia. Jadi kami satu kelas disuruh milih antara intervensi anak, remaja, atau lansia. Saya bersama dengan 10 teman lainnya memilih intervensi lansia. Akan tetapi untuk ke lapangan ini, satu kelas ikut untuk menghandle simbah-simbah lainnya yang tidak diambil kesebelas anak itu.

Atas link dari dosen kami, kami berkunjung ke panti wreda budhi dharma. Letaknya di daerah dekat giwangan. Untuk pembukaan, kami para mahasiswa dan simbah-simbah berkumpul di ruang pertemuan. Perkenalan dan ice breaking. Simbah-simbah itu diajak nyanyi dan njoget. Beberapa simbah sukarelawan untuk menyanyi. Lagu campursari dan lagu kenangan. Entahlah saya tidak paham judulnya apa. Bahkan simbah itu menarik beberapa dari kami mahasiswa untuk turut bernyanyi di depan. Haha lucu sekali.
Simbah berduet dengan Mbak Novi


Setelah itu mbah-mbahnya dibagi kelompok untuk sharing-sharingnya. Satu kelompok dihandle 3 atau 4 teman kami. Sementara kesebelas anak yang mengambil intervensi lansia langsung memilih secara personal simbah mana yang akan dijadikan klien intervensi. Bisa juga dengan cara ikut dalam kelompok terlebih dahulu untuk observasi.

Karena yang ikut di dalam ruang pertemuan itu sudah dibagi dalam kelompok semua, saya iseng memilih untuk menghampiri mbah-mbah yang tidak ikut dalam pertemuan itu. Saya melihat seorang simbah putri yang sedang duduk sendirian di bangku depan kamarnya. Saya hampiri beliau, dan kenalan. Belum lama saya mengobrol, datang rombongan kelompok mbah-mbah yang dihandle teman saya. Mereka duduk di dekat tempat saya. Yasudah, saya mengajak Mbah Surip untuk ikut bergabung dalam kelompok. Tapi pada akhirnya kelompok itu jadi misah menjadi kelompok-kelompok kecil. Beberapa simbah ada yang memilih pindah tempat karena tetiba bau pesing. Entahlah mungkin ada simbah yang tanpa disadari sudah pipis. Maklum, lansia kan memang begitu. Akhirnya saya dan Icha menghandle tiga simbah, yaitu Mbah Surip, Mbah Supinah, dan Mbah Jumari. Kami cerita-cerita. Beruntung, saya dan Icha bisa berbahasa Jawa semua. Cerita tentang keseharian beliau-beliau di panti itu, betah atau enggak, apa yang membuat senang di panti.

Di tengah-tengah sharing, saya menawarkan camilan (tempe goreng dan pisang goreng) yang memang kami sediakan buat mbah-mbahnya. Terus kan masih sisa, Icha menyarankan untuk menawarkan juga pada mbah-mbah yang tidak ikut kami, yang sedang duduk-duduk santai di depan kamarnya. Saya pun lantas menuju satu koridor dan menawarkan ke beliau-beliau baik yang di luar kamar atau yang di dalam. Sampai pada suatu kamar, saya disuruh masuk mendekat saja karena beliau tidak bisa berjalan. Akhirnya saya masuk. Simbah ini ternyata yang menyetel radio. Pas saya sedang bersama Mbah Surip dan kawan-kawan tadi, saya memang mendengar ada yang menyetel musik. Lagu yang diputar adalah lagu-lagu barat era 90an, semacam 98degrees, boys two men, dll. Lagu-lagu era saya. Saya sempat curious bertanya pada Mbah Supinah siapa yang suka nyetel lagu-lagu itu. Mbah Supinah (dengan rada sengak, dan kemudian saya menyadari kalau mungkin gaya bicara beliau sehari-hari memang seperti itu) menjawab tidak tahu. Setelah saya masuk kamar Mbah satu ini, saya jadi tahu "Oh, mbah ini toh yang nyetel lagu. Wah asyik nih," batin saya.
Setelah disuruh masuk, saya menawarkan gorengan itu. "Wah, remen midhangetke radio nggih mbah?" Jujur saya excited pada mbah ini karena di usianya yang sudah lanjut masih hobi mendengarkan lagu. Lagu era 90an pulak, sama seperti kesukaan saya. Sukak aku sama mbah-mbah yang kayak begini modelnya. Nah lhoo! *jedhotin kepala ke tembok*. Kami kemudian berkenalan yang berlanjut pada cerita-cerita.

Namanya Mbah Hartono, usia 81 tahun. Kami asyik bercerita ngalor ngidul. Saya membiarkan mengalir saja. Sebodo lah dengan guideline pertanyaan atau hal-hal krusial ditanyakan yang sudah dibahas kemarin di kelas bersama dosen. Saya tidak mengacu pada itu. Saya hanya membiarkan diri saya ngobrol dengan simbah, seperti layaknya saya ngobrol dengan simbah kandung saya sendiri. Hal apapun. Saya jadi tertahan di kamar beliau. Cerita-cerita dengan beliau. 

Sampai akhirnya Jul, DC, dan Vincent datang menghampiri kamar Mbah Hartono dan memberi kode kalau waktunya sudah habis. Saya tersadar, melihat jam di handphone saya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu lebih. Saya dan teman-teman pun berpamitan kepada Mbah Hartono. Setelah keluar, ternyata teman-teman yang lain sudah pulang. Saya kaget karena ternyata saya terlalu asyik ngobrol dengan Mbah sampai tidak ingat waktu. Oke, mungkin kesalahan saya juga. Saya terlalu asyik sehingga tidak sempat melihat jam di handphone (rada kurang etis juga kan kalau ketika berhadapan dengan klien tapi kitanya pegang hp), plus saya tidak tahu dikasih waktu sampai jam berapa. Hahaha..

Akhirnya saya, Jul, DC, Mbak Sari W, Vincent, dan Mas Cahyo kloter terakhir yang balik ke kandang. Mereka baik hati sekali nungguin saya. Saya jadi terharu. halaah. "Kupikir tadi Swarin disekap sama mbah-mbahnya. Gek mbahnya tadi kan tatto-an gitu." Vincent nyeletuk. Saya ketawa ngakak. Dalam hati saya bilang, iya disekap, disekap untuk ngobrol, habis mbahnya asyik sih meskipun mbah kakung. Eh, tapi menurut hipotesis Vincent, kalau mbah cowok lebih seneng kalau sama mahasiswa cewek, sedangkan mbah cewek lebih seneng kalau sama mahasiswa cowok. Hm..kupikir mungkin bisa diterima akal juga sih, mengingat peran sex dan gender (hayoo inget-inget lagi kuliah gender waktu S1, mhihi).

Kami balik ke kampus lagi karena setelah itu masih ada kuliah lagi sampai jam 5 sore. Wow, I'm very excited. Ngobrol sama lansia itu berasa ngobrol sama Mbah kandung saya sendiri. Asyik. Menyenangkan. Bisa digodain juga. Aiih.. *nakal*  

Terima kasih Tuhan, meskipun saya mengawali hari ini dengan bangun kesiangan (baru bangun jam 7.25 padahal kuliah jam 7.30) sehingga telat 20 menit, tapi saya mengakhiri hari ini dengan perasaan bahagia dan penuh syukur. Mengutip kata dosen saya Bu Indati, selalu ada doa dari para lansia untuk kita. Yup, coba inget-inget, kalau kita berbincang dengan simbah-simbah atau simbah kandung kita sendiri, kita selalu didoakan bukan? 

Jadi tagline kita kali ini adalah "Ada cinta untuk lansia, ada doa untuk kita" :))

Rabu, 02 April 2014

Setiap Orang Punya Catatan Akhir Sekolahnya sendiri

Rabu, 2 April 2014

Pernah menonton film Catatan Akhir Sekolah? Film jaman saya kelas 1 SMA yang dibintangi oleh Vino G Bastian, Marchel candradinata, dan Ramon Y Tungka itu masuk dalam kategori film Indonesia favorit saya. Kemarin saya baru saja menonton ulang film itu untuk kesekian kalinya. Tetap tidak bosan. Bagi saya film Catatan Akhir Sekolah ini berhasil menggambarkan kehidupan SMA yang paling realistis. Tidak melulu soal cinta monyet seperti pada film-film remaja lain yang kacangan abis. Cinta remaja yang dimunculkan dalam film ini hanya sebagai selingan belaka. Motif yang diusung dari awal hingga akhir adalah tentang kreatifitas mereka sebagai seorang yang ingin dianggap di sekolahnya melalui pembuatan film dokumenter sekolah mereka. Menarik.

Oke, saya di sini tidak untuk meresensi film. Urusan review me-review pastilah sudah banyak ulasan yang lebih berbobot dari segi pembahasaan dan marketingnya. Menonton film Catatan Akhir Sekolah membuat kita berkaca pada masa-masa kita SMA dulu. Orang bilang masa yang paling indah itu masa SMA. Ah, tidak juga, kata saya. Bagi saya pribadi, masa SMP lebih menyenangkan daripada masa SMA. Tapi saya tetap punya unforgetable moment di masa SMA saya. Semua orang punya unforgetable moment masing-masing. Dan ini unforgetable moment saya..

Kenakalan-kenakalan waktu SMA
1. Siswa telatan
Saya sering banget yang namanya telat. Saya sudah pernah membahas tentang siswa telatan ini di postingan terdahulu. Di samping jarak antara rumah dan sekolah yang jauh, kebiasaan telat saya juga sudah dimulai sejak SD. Jadi sudah semacam mendarah daging,mhihihi. Baru turun dari angkot, belum juga menyeberang, saya sudah disemprit oleh pak jupri (satpam sekolah) dari kejauhan. Padahal sekolah saya tidak terletak di depan jalan raya, masih harus melalui boulevard dulu. Sekolah saya juga luas. Praktis butuh waktu 7-10 menit jalan dari jalan raya hingga sampai di kelas. Seringkali saya baru sampai di kelas jam 7 kurang 15 atau 20 menit. Padahal sekolah saya masuk jam 06.30. Itu saya masih diuntungkan dengan masuk jam setengah tujuh karena berarti saya berangkat sekolah sebelum anak-anak sekolah lain berangkat sekolah. Sekolah-sekolah lain kan masuk jam 07.00. Sungguh beruntung.
Memang bagi sebagian orang, nggak enaknya telat itu nggak bisa pilih tempat duduk. Tapi toh bagi saya tempat duduk di mana pun sama saja. Waktu kelas X, saya beruntung karena teman sebangku saya (Icha) selalu berangkat lebih awal jadi saya selalu duduk di posisi yang 'aman'. Kelas XI hingga XII jumlah anak di kelas saya hanya ber-20. Saya kelas Bahasa. Sebutannya LD's (Language Department School). Pas kelas XI bangkunya sendiri-sendiri. Posisi duduk saya saat kelas XI nyaris hitam-putih, kalau nggak depan sendiri ya belakang sendiri karena hanya posisi itu yang tersisa bagi yang telat. Tapi nggak masalah sih bagi saya.  Naik kelas XII, sebangku untuk dua anak. Tapi karena kami sekelas sudah dekat dan kompak, kami tidak pernah memikirkan akan sebangku dengan siapa hari ini. Bebas saja. Random. Akibatnya posisi duduk saya saat kelas XII lebih berwarna. Saya sudah pernah merasakan duduk di posisi mana pun sekalipun saya telat. Karena ketika telat, saya tinggal menuju menuju sebelah teman saya yang masih kosong. Bahagianyaa...

2. Makan di Kelas
Meskipun bukan makan nasi atau cemilan yang berat-berat juga, saya sering mencuri-curi makan lolipop milkita atau choki-choki. Dua cemilan itu merupakan cemilan andalan sekelas, laris sekali di kantin. Atau bahkan sekedar mengunyah permen karet untuk mengusir kantuk.

3. Coret-coret random
Saya sering melakukan percakapan-percakapan random dengan diri saya sendiri. Entah itu mengomentari guru atau pikiran-pikiran lain yang tidak berhubungan dengan pelajaran. Kadang-kadang juga malah bikin cerpen atau puisi. Pokoknya sesuatu yang tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya. Dan karena tidak diperbolehkan mengobrol, saya mengkompensasinya dengan mengobrol melalui kertas oret-oretan, dengan diri saya sendiri. Haha.. entah ini merupakan gejala gangguan atau bagaimana :p. Itu saya lakukan kalau ngantuk akut, supaya menjaga mata biar tetep melek. Dan itu berarti saya sering tidak memperhatikan guru.

4. Ganti baju di kelas
Ini terjadi pas pelajaran olah raga. Kami para cewek kadang-kadang malas mengantri kamar mandi untuk berganti baju. Dan karena cowok di kelas kami hanya 3 biji, kami bisa mengusirnya keluar beberapa menit. Pintu kelas di kunci, jendela ditutup. Satu sukarelawan yang berpostur tinggi bertugas menutup kamera CCTV yang terpasang di depan kelas dengan menggunakan plastik kresek hitam. Sudah, kami ganti baju di kelas saja.

5. Menyontek
Ini jarang dilakukan. Hanya satu atau dua soal saja yang bertanya pada teman. Lainnya dikerjakan sendiri. Pada waktu kelas X saya dan Icha sempat jetlag karena pada waktu ulangan umum, tidak ada yang kasak-kusuk cari contekan. Padahal waktu SMP (saya dan Icha satu SMP), hampir seisi kelas bisa diajak kerja sama. Ini, boro-boro nyonto, saya sering saat ulangan umum iseng mengedarkan pandangan ke seluruh isi kelas. Semuanya fokus pada kertas soal masing-masing. Teman-teman baru terlihat nyonto pada saat ujian nasional. Tidak benar-benar menyontek sebenarnya, cuma mencocokan jawaban saja dengan teman.     


Hal random berkesan lainnya semasa SMA
1. Kalau ada jam pelajaran kosong, kami suka maen ke gedung yang baru dibangun. Saat kelas XII, sebelah kelas saya dibangun gedung baru, tingkat. Satu-satunya bangunan yang tingkat di sekolah saya. Dan karena belum difungsikan (sudah selesai tapi belum digunakan), kami suka naik ke lantai dua dan memandang sekitaran sekolah kami dari atas.
2. Tanggal 12 April 2008, bagi siswa yang ikut UM UGM dipulangkan lebih awal untuk persiapan UM tanggal 13 April. Dari kelas bahasa, 3 orang yang ikut UM UGM, Desi, Bob, dan saya. Sebelum pulang, kami bertiga salaman dengan anak sekelas, masuk ke kelas XI bahasa menyalami satu-per satu (tentu saja pas nggak ada gurunya), masuk ke perpustakaan minta doa sama petugas perpus+tukang fotocopy, bahkan masuk ke kantin minta doa sama ibu kantin. Lebay sih sebenarnya, tapi saya merasakan ada kedekatan di sana.
3. Semenjak latihan drama buat ujian praktek sastra indonesia, saya jadi dipanggil adek oleh anak sekelas. Gegaranya, kelompok saya mengambil cerita cinderella. Dan karena saya paling kecil, teman-teman kompak menjadikan saya berperan sebagai monika. Ingat kakak-beradik saudara tiri cinderella yang jahat? Nah, saya jadi adiknya yang suka ikut-ikutan, manja, dan cengeng. Memang sejak latihan drama, nama kami semua berubah mengikuti nama peran yang akan kami mainkan. Jadilah saya dipanggil 'adek'. Mereka sering tengil bilang gini "dek, madosi sinten ting mriki? Adek kok mboten mlebet sekolah, sekolahe ting ngajeng niku to?" (Di dekat SMA saya memang ada SD Pangen). Tengil banget sumfah.
4. Waktu kelas XI ulangan harian agama saya pernah typo. Pertanyaannya adalah apa nama kitab dalam Injil yang membahas tentang nabi muhammad tetapi kitab itu dihilangkan. Jawabannya adalah Barnabas, tetapi saya tulisnya Barbanas. Atas kesalahan cetak itu, saya dianggap betul oleh teman saya yang mengoreksi.
5. Menjelang akhir masa-masa sekolah, ada pembuatan buku angkatan. Temanya bebas, diserahkan ke masing-masing kelas. Tema kelas bahasa adalah perpaduan antara vintage dan modern. Kami mengambil setting reruntuhan bangunan jaman dulu tetapi busananya jaman sekarang. Kami juga berfoto di depan kantor bupati. Dan satu yang membuat saya terkesan. Hari itu untuk pertama kalinya saya berbaring di atas rerumputan dan menatap langit. Memang sih, itu bagian dari skenario foto, tapi tetap saja kan keinginanku sejak dahulu kala akhirnya terkabul.
6. Seminggu sebelum ujian nasional, ada ESQ untuk kelas 3. Tujuannya untuk memotivasi agar kami semangat belajar. Kami dikembalikan kepada hakekat penciptaan, menyadari kekuatan pikiran, dll yang semenjak kuliah saya jadi akrab dengan hal-hal semacam itu. Itu semua disebut teknik imagery. Tapi kan waktu kelas XII itu pertama kalinya dan itu berkesan bagi saya waktu itu.
7. Tanggal 12 Juni 2008, dua hari sebelum pengumuman kelulusan, kelas bahasa perform di GKS. GKS (Gelar Karya Siswa) diadakan setiap dua hari sebelum pengumuman kelulusan kelas XII, dari tahun ke tahun. GKS ini bisa dibilang semacam promnite tapi diadakan siang hari. Dari kelas X sampai kelas XII bebas mau nampilin apa. Kelas bahasa nampilin kompilasi lagu yang diarransemen ulang sama seorang pemusik: Pergi Untuk Kembali (versi ello) - I Love You Bibeh nya The Changchuters - Lagu dangdutnya Malam Terakhir yang dibikin rap - Terima Kasih Guruku. Diakhiri dengan satu per satu dari kami memberikan setangkai bunga mawar untuk guru-guru.
8. Gegara penampilan kami di GKS, beberapa hari setelah lulus, kami diminta pihak sekolah untuk perform kembali. Saat itu sedang ada kunjungan dari SMA Davao, Filipina. Kami diminta untuk perform dalam acara hiburan. Kali ini malam hari, malem jumat lagi, dan kami sudah diperkenalkan dengan nama ex-kelas bahasa. Ada kata "ex" yang ditegaskan. haha, sedih. Tapi seneng aja rasanya bisa tampil di depan bule.. Yasih bulenya juga masih bule filipina, tapi bagi kota kecil kayak purworejo itu hal yang bisa dibilang luar biasa.


Ada yang bilang masa SMA itu masa persahabatan, cinta, dan pesta. Persabatan komplet, pesta juga ada.
Tentang cinta...justru merupakan hal yang jarang ditemukan di sekolah saya. Yaa, beberapa memang ada sih yang dapat pacar satu almamater sendiri, tetapi mereka tidak pernah menjadikan sekolahan sebagai tempat pacaran. Masih bisa profesional lah, masih cukup cerdas untuk membedakan antara tempat belajar dan tempat pacaran.

Ini catatan akhir sekolahku, bagaimana catatan akhir sekolahmu?