Rabu, 23 April 2014

Membaca, Membaca, Membaca

Rabo, 23 April 2014
10.15 pm



Selamat hari buku!
Kita semua tahu bahwa kita sudah dicekoki pernyataan tentang buku adalah jendela dunia. Tapi, berapa banyak dari kita yang benar-benar mengejawantahkan maknanya ke dalam kehidupan sehari-hari? Saya sendiri belum sepenuhnya yakin sudah menjiwai buku dalam kehidupan saya, meskipun saya yakin untuk menempatkan membaca di urutan pertama dalam hobi saya. Ah, daripada berteori atau berkoar-koar tentang idealisme, menyerukan kepada orang-orang untuk gemar membaca, saya lebih baik berkaca dari petualangan saya sendiri sepanjang saya mengenal benda bernama buku.

Perjalanan saya bersama buku dimulai ketika saya berusia 5 tahun. Kali pertama saya bisa membaca. Saya masih ingat buku yang saya gunakan untuk belajar membaca adalah buku anak-anak berjudul "Didi Anak Rajin." Saya seperti nggak lelah mencoba mengeja huruf demi hurufnya. Saya memang sudah mulai sedikit demi sedikit dikenalkan dengan huruf sejak usia 4 tahun, saat saya mogok sekolah TK nol kecil sehingga saya di rumah bersama bapak saya yang saat itu sering disibukkan dengan mengetik tulisan untuk media massa. Alhasil sembari bapak mengetik sekaligus mulai mengenalkan huruf kepada saya.

Sejak saya berhasil membaca buku "Didi Anak Rajin", saya jadi ketagihan belajar membaca. Entah, seingat saya saat itu saya sangat senang karena tanggapan keluarga begitu antusias mengetahui saya bisa membaca. Yah, bukankah perilaku yang berhasil cenderung diulang? Ternyata itu juga berlaku untuk anak kecil, mhihihi. Buku kedua yang saya baca adalah buku berjudul "Murni". Jika "Didi Anak Rajin" porsinya lebih banyak untuk gambar ilustrasi, buku "Murni" ini gambar ilustrasinya hanya kira-kira 3 atau 4 halaman sekali. Jika "Didi Anak Rajin" hanya setebal kira-kira 10 halaman, buku "Murni" setebal kira-kira 50an halaman. Tapi saya berusaha untuk membaca dan memahami isi cerita itu.

Cara saya dalam memahami cerita pada waktu itu seperti kerja dua kali. Jadi pertama, saya tahu dulu tulisan itu bacanya apa. Setelah kira-kira 2 atau 3 kalimat saya tahu bacanya apa, kemudian saya ulang lagi membaca dari awal dengan tujuan untuk merangkaikan maksud dari 2 atau 3 kalimat itu. Begitu. Lama memang. Tapi seorang anak kecil berusia 5 tahun pada waktu itu sedang sangat selo waktunya sehingga mau menghabiskan waktu dengan hal seperti itu.

Urutan buku selanjutnya yang saya baca, saya sudah tidak ingat. Saya hanya ingat mulai SD sekitar kelas 2 atau 3, saya mulai menyukai membaca Goosebump. Hayo ada yang suka juga nggak dengan serial buku goosebump? Awal mula saya kenal dengan buku itu adalah saat orang tua saya mengajak berlibur ke Jogja dengan tujuan liburan hanya di satu tempat: toko buku Gramedia! Setelah dipikir-pikir, wow sekali orang tua saya demi mengenalkan anak-anaknya kepada toko buku saja harus naik bis selama dua jam, beda provinsi pulak, epic beneer dah! *jempol*

Buku pilihan saya dan kakak saya adalah goosebump 1 yang judulnya Selamat Datang di Rumah Mati, sama 1 komik doraemon. Tentang doraemon, itu memang kartun kesayangan kami berdua dulu. Sedangkan untuk goosebump, kami belum ada referensi sebelumnya. Kami hanya tertarik karena membaca ringkasan cerita di cover belakang buku itu. Haha.  

Ada juga dulu majalah Bobo. Setiap hari kamis kalau tidak salah ingat, ada orang datang ke rumah mengantarkan majalah Bobo yang dilanggan oleh orang tua saya. Ada yang masih inget nggak tentang cerita keluarga Bobo, Puteri Nirmala, Bona dan Rong-rong, dan Paman Kikuk? Saya suka banget itu. Pokoknya jika majalah Bobo sudah datang, saya sering berebut dengan kakak saya untuk membacanya.

Selama SMP, hampir seminggu sekali saya meminjam buku di perpustakaan sekolah. Sekolah menjadwal peminjaman buku perpustakaan untuk kelas 1, 2, dan 3 secara bergantian. Untuk meminjam lho, bukan membaca. Kalau membaca sih boleh kapan saja. Kelas 1 hanya boleh meminjam buku pada hari senin dan selasa. Kelas 2 hari rabo dan kamis, sedangkan kelas 3 hari jumat dan sabtu. Lama peminjaman selama seminggu. Kalau telat ngembaliin didenda seratus rupiah per harinya. Buku yang paling sering saya pinjam adalah buku-buku karangan Kahlil Gibran. Saya juga baca karya dari beberapa angkatan pengarang seperti Robohnya Surau Kami, Harimau-Harimau, Perempuan di Titik Nol, buku-bukunya N.H. Dini, dll saya lupa, mhihihi. Tapi seingat saya, saya malah kurang bisa menikmati novel angkatan balai pustaka. Corak bahasanya cenderung ke melayu soalnya dan saya kurang tertarik. Oh ya, saya juga malah menyukai membaca majalah-majalah jawa kayak Jaka Lodhang, Panjebar Semangat, dll. Macem mbah-mbah aja bacaannya :p.

Selama SMA, saya pun demikian, tempat favorit adalah perpustakaan. Kebetulan memang perpustakaan sekolah saya menjadi perpustakaan percontohan bagi sekolah-sekolah se-kabupaten, jadi ruang bacanya pun nyaman menurut saya, bikin betah berlama-lama di sana. Kebiasaan anak jurusan Bahasa, tiap kali ada jam pelajaran kosong, pasti larinya ke perpustakaan. Dari guru-gurunya juga mengkondisikan siswa mencintai perpustakaan jadi image anak perpustakaan di sekolah saya jauh dari kata cupu. Di SMA ini saya mulai kenal dan keranjingan sama yang namanya teenlit (novel remaja). Tapi ya nggak cuma itu sih, saya baca yang lain juga kayak punyanya Mira W sama majalah sastra horizon. Oh ya, Harry Potter juga baru saya baca di SMA, padahal temen SD saya dulu waktu kelas 6 sudah membaca buku itu di kelas tapi saya baru tergerak untuk membaca waktu SMA, telat ya. Saya suka males kalau bukunya terlalu tebal soalnya, pun sampai sekarang, hehe. Bukti bahwa saya belum menjiwai buku dengan sepenuh hati ya, masih pilih-pilih. hahaha.. Ada satu buku yang kemudian memberi saya inspirasi untuk menyukai dunia psikologi. Sebuah novel berjudul Garis Tepi Seorang Lesbian. Sejak membaca novel itu, saya jadi tertarik kenapa ada orang yang lesbi dan gay dan itu yang mendorong saya pada satu kata: Psikologi. 

Semenjak masuk kuliah, intensitas membaca novel malah semakin menurun. Awal-awal kuliah saya masih membaca beberapa novel, termasuk Recto Verso dan Perahu Kertas. Mulai sekitar semester 5, saya sudah semakin jarang membaca novel. Sekarang apalagi, makin jarang. Sekarang untuk membaca satu novel saja membutuhkan waktu sebulan lebih. Saya memang masih membaca, tapi bacaan saya kemudian beralih ke artikel-artikel pendek yang ada di internet atau tulisan-tulisan di blog orang. Selebihnya, saya seperti kekurangan waktu. Tapi saya rindu untuk membaca novel. Saya merasa sekarang mulai menjauh dari novel-novel. Tidak benar-benar menjauh sebenarnya. Setiap ada pameran buku, saya berusaha menyempatkan datang ke sana dan membeli buku. Tapi buku-buku itu seringkali saya taruh di waiting list. Yang penting dikumpulin dulu, entah membacanya kapan. Saat ini saja ada 3 novel yang belum saya selesaikan membacanya. Sedih.

Dan sedihnya saya, mungkin bisa juga disebut salah sih, saya lebih berantusias membaca novel dibandingkan texbook referensi bahan kuliah. Haha. Saya menyukai bacaan yang berhubungan dengan kuliah saya, tetapi yang berupa buku aplikatif, bukan buku teori dengan bahasa yang sangat-sangat ilmiah. Membaca novel saja sepertinya tidak punya waktu, apalagi membaca buku referensi teori? Oke, ini salah, jangan ditiru. Satu bukti lagi bahwa saya sepertinya memang belum menjiwai buku secara penuh, masih pilih-pilih. Jadi di hari buku ini, nggak ada salahnya untuk menata ulang rencana agenda sehari-hari, sisihkan waktu sedikit saja untuk membaca. Ketika kilas balik perjalanan kita bersama sang buku, timbul semangat baru untuk kembali membaca. Saya sangat rindu membaca, sesungguhnya.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar