Selasa, 28 Mei 2013

SD Negeri Kutoarjo 1, Riwayatmu Kini


Rabu, 29 Mei 2013


Beberapa hari lalu saya diajak bapak berkunjung ke SD saya dulu, SD Negeri Kutoarjo 1. Bapak memang sedang menerima proyek nglatih drama untuk perpisahan SD beberapa minggu lagi. Nah, berhubung saya dan kakak saya sedang pulang kampung, kami sekeluarga "ikut" latihan, sekaligus napak tilas kalau bagi saya dan kakak saya. Komentar saya ketika memasuki kembali gedung sekolah itu: "Wow, beda banget ya sekarang?". Jelas lah banyak terjadi perubahan dalam kurun waktu 11 tahun sejak saya lulus dari sana. Dari yang terlihat secara fisik bangunannya, hingga karakter anak-anaknya (dari hasil observasi saya) pun berbeda jauh.

Dari jaman saya sekolah dulu, secara gampang gedung dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama (depan) berisi deretan ruang kelas dengan ruang guru terletak di tengah-tengah barisan. Bagian kedua (di belakang kelas dibatasi oleh taman) adalah deretan aula, kamar mandi, perpustakaan, dan UKS. Saya menyusuri deretan ruang kelas, mengintip dari balik kaca jendelanya. Perbedaan yang paling mencolok adalah sekarang semuanya sudah berkeramik. Semasa saya sekolah, satu-satunya ruangan yang berkeramik adalah ruang guru. Melongok ke dalam kelas, tidak banyak yang berubah, tempat duduknya masih sama, bangku jaman dulu yang di bagian ujung tengah meja terdapat lubang bulat. SD saya sudah ada sejak jaman penjajahan belanda. Pada jaman dahulu, siswa-siswanya menulis dengan bulu yang ujungnya dicelupkan pada tinta. Nah, lubang di meja itu dimaksudkan untuk tempat menaruh botol tinta.

Bentuk bangku yang seperti itu menampung cukup banyak siswa. Saya ingat dulu di kelas-kelas awal (kelas 1-3) teman sekelas saya cukup banyak, sekitar 50an anak. Sehingga banyak bangku yang diisi oleh 3 anak, padahal idealnya satu bangku kapasitas 2 anak. Di sebelah kiri gedung kelas dulunya adalah rumah milik Bu Lis, guru bahasa jawa. Dulu kami sering bermain-main di halaman rumah Bu Lis ini. Tapi sekarang sudah dibangun mushalla, sudah sejak beberapa tahun yang lalu sih.

Beralih ke bagian belakang deretan kelas. Formasi semasa saya sekolah, di paling kiri (belakang rumah Bu Lis) ada UKS. Jarang ada yang mau ke UKS, suasananya surem di sini. Di sebelahnya ada perpustakaan dan ruang baca. Perpustakaan ini entah kenapa suasananya juga surem, gelap, jadi jarang yang berkunjung ke perpustakaan. Ngomong masalah perpustakaan, saya jadi ingat dulu pas awal-awal kelas 4 saya pernah main kejar-kejaran sama seorang teman. Pas kejar-kejaran itu kepergok sama guru agama, beliau bilang "Daripada oyak-oyak'an (kejar-kejaran) mending nyapu perpus" sambil mengangsurkan dua buah sapu pada kami. Haha, unforgetable. Di sebelah perpustakaan ada aula. Aula ini disebut-sebut sebagai pusat keangkeran sekolah. Macam-macam saja cerita yang beredar. Kami tidak ada yang berani masuk ruang aula sendirian. Harus bersama-sama, atau minimal berdua. Saya inget pada satu hari Jum'at, anak laki-laki melaksanakan sholat jum'at di masjid agung seberang alun-alun sedangkan anak perempuan sholat dzuhur di aula. Sembari menunggu waktu jum'atan selesai, kami sok-sokan mengungkap misteri aula. Jadi menurut mitos, makhluk halus bakal menampakkan diri apabila ada cermin. Lalu kami pun mempraktekkan hal tersebut. Kami mengarahkan cermin ke satu sudut di aula. Setelah beberapa saat, tiba-tiba saja salah satu temen saya menjerit. Kami pun lari tunggang-langgang. Setelah agak tenang, teman saya tersebut bercerita kalau dia melihat ada sesosok anak laki-laki duduk menghadap ke barat, matanya melotot merah. Hanya dia yang melihat "penampakan" itu. Tentang keakuratannya, entahlah, saya pun juga tidak melihat apa-apa saat kejadian.

Di sebelah aula ada jalan pintas menuju SD belakang, SD Prajuritan. Dulu pintu ini jadi pintu favorit kalau telat upacara pas hari senin. Kenapa? Karena siswa yang telat tetap bisa masuk ke area sekolah tanpa harus menunggu upacara selesai, termasuk saya yang sering telat. Saya suka masuk lewat samping SD Prajuritan, terus masuk lewat pintu kecil itu. Beres. Tau-tau pas selesai upacara saya udah ada di kelas aja. haha. Di sebelah pintu masuk rahasia itu adalah deretan koperasi (menjual alat-alat tulis), gudang (tempat penyimpanan alat drumband), dan satu ruang lagi terletak di antaranya, kalau tidak salah sih digunakan sebagai ruang guru juga karena yang di gedung depan tidak cukup, saya agak2 lupa. Haha. Di depan deretan ruang ini ada taman kecil. Di sebelah kanan deretan ruang-ruang itu di pisahkan jalan kecil, ada deretan kamar mandi. Ada tiga kamar mandi dan kesemuanya gedhe-gedhe (bisa dibayangkanlah perbandingan antara kamar mandi jaman belanda dengan jaman sekarang). Dulu juga nggak ada yang berani ke kamar mandi sendirian, pasti bawa temen. Di sebelah deretan kamar mandi ada tempat parkir. Banyak siswa yang pergi ke sekolah dengan naik sepeda. Tempat parkir ini tempat yang paling jarang saya kunjungi. Tentu saja, jarak sekolah dengan rumah saya cukup ditempuh dengan jalan kaki. Di depan tempat parkir ada lapangan basket, kadang-kadang kami menggunakan lapangan itu pada saat jam olah raga. Tapi masih lebih sering olahraga di alun-alun kutoarjo sih, depan sekolah ini.hehe.

Di sebelah tempat parkir ada kantin Pak Slamet. Kantin Pak Slamet ini cukup populer di kalangan kami, bahkan anak-anak SMP 16 (dulu letaknya di sebelah SD) sering njajan di situ. Sekalian mbathi liat anak-anak SD yang imut kali ya motivasinya. Haha.

Nah, gedung belakang inilah yang formasinya sudah banyak berubah. UKS jelas sudah tidak di tempatnya dulu. Bangunan mushalla memanjang dari depan sampai belakang, entah sekarang UKS pindah ke mana. Perpustakaan sekarang sekaligus gudang. Aula kini sudah dipugar, temboknya diruntuhkan sehingga tampak seperti pendhapa. Aura surem sudah lenyap. Ruang-ruang setelahnya hingga tempat parkir tidak ada perubahan kecuali perubahan jadi keramik. Kantin Pak Slamet sudah diperluas, ditambah meja dan kursi untuk makan, juga dikeramik. Overall, secara fisik, nuansa klasik dan ornamen kekunoan belanda'nya sudah tersamarkan. Meski masih ada beberapa properti "kuno" yang dipertahankan, tapi kalah dengan renovasi-renovasi modern itu.

Beralih pada proses latihan, seperti kebiasaan bapak, menggabungkan konsep drama dan musik live yaitu menggunakan gamelan. Gamelan yang pokok saja seperti bonang, saron, dan gong. Gamelan yang sama yang pernah saya dan beberapa teman mainkan pada masa kelas 6. Saat itu acara perkemahan sekolah (persami), saya dan beberapa teman diberi tugas untuk mempertunjukkan pertunjukan musik gamelan. Yeah, well, saya kebagian memegang peking, semacam saron tapi dia konsepnya dua kali ketukan dari saron, jadi untuk memainkannya dituntut kecepatan tangan. Rada susah memang ketika harus memainkan gendhing yang bertempo cepat. Dulu bonang dipegang sama Dani, saron dipegang sama Sekar. Dan gegara nggak ada yang bisa mainin peking selain saya, maka saya disuruh ikut pesta siaga sekecamatan. Padahal sebenernya saya tidak masuk dalam tim perwakilan sekolah. Entahlah saya harus bangga atau sedih. haha. Selama latihan, rekaman-rekaman ingatan itu bermunculan.

Saya juga sedikit berbincang dengan guru olahraga dan seni, masih sama dari semenjak saya SD dulu, Pak Ali. Anak-anak SD sekarang besar-besar (secara fisik) dan kata beliau banyak slentingan dari rekan-rekannya "Pantesan betah jadi guru olahraga, lha wong bocahe wis gedhe-gedhe ngono". Haha, yah, sekedar selentingan nakal saja. Memang, harus saya akui, sekarang saya kalah besar dengan anak-anak SD. Bahkan jika saya bergabung bersama mereka, orang nggak akan tahu kalau saya hampir 10tahun lebih tua dari mereka. Itu poin pertama yang sangat terlihat mencolok. Hal lain, saya sedikit kaget ketika mencuri dengar percakapan mereka. Mereka sekarang lebih banyak berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Well, ke mana bahasa Jawa? Kutoarjo bisa dibilang ndeso, dulu saya dan teman-teman saya tidak ada yang berkomunikasi (informal) dengan bahasa Indonesia, semua dikemas dengan bahasa jawa sehari-hari. Tapi sekarang kok menghilang ya? Mereka masih orang Jawa, tetapi komunikasi sehari-hari mereka tidak menggunakan bahasa Jawa. Gejala apa ini? Jujur saya prihatin. Orang tua jaman sekarang nyatanya lebih suka mengajarkan anak berbicara keseharian dalam bahasa Indonesia, anak tidak dikenalkan interaksi dengan bahasa daerahnya sendiri. Mungkin ungkapan "wong jawa ilang jawane" sudah mulai tampak menggejala di masyarakat Jawa dalam beberapa dekade ini.

Yea, mungkin perubahan yang saya temui itu hanya sekelumit dari perubahan-perubahan yang terjadi. Everybody's changing, kalau kata lagu. Tapi at least pasca saya napak tilas kemarin, banyak perenungan-perenungan yang terjadi dalam diri saya.        

Minggu, 19 Mei 2013

Cinta Beda Agama: Candu yang Mematikan

Senin, 20 Mei 2013

Selamat hari kebangkitan nasional! Semoga semangat untuk bangkit dari segala macam bentuk keterpurukan selalu menjiwa dalam diri kita :D

Tanggal kebangkitan nasional ini mengingatkan saya akan sesuatu. Dan anehnya beberapa hari belakangan ini juga pikiran saya berkutat tentang hal itu. Bermula dari beberapa hari yang lalu ketika saya mengurus sesuatu di kampus. Secara kebetulan saya bertemu dengan kakak tingkat yang dulu juga satu organisasi. Sebut saja namanya Mbak K. Saya jadi ingat suatu kisah dalam satu fase hidupnya di mana dia terpuruk dan menghambat prosesnya menyelesaikan skripsi. Di saat saya mencapai tahap-tahap akhir dalam mengerjakan skripsi, dia masih berada di tengah-tengah (well, info itu saya dapat dari budhe'nya yang kebetulan ketemu di jalan dan mengobrol). Padahal dia angkatan dua tahun di atas saya. "Sejak dia putus sama pacarnya, dia jadi males-malesan nglanjutin skripsinya," begitu tutur budhenya kala itu.

Oh ya? Saya sendiri sebenarnya mengenal mantan pacar mbak K itu, sebut saja namanya mas A. Dia juga satu organisasi dengan saya. Mereka juga berada dalam satu organisasi lain di mana saya tidak ikut di dalamnya, sebut saja organisasi T. Sejauh pengamatan saya dan menurut cerita-cerita yang saya dengar dari teman-teman, mereka ini pasangan yang ideal. Sungguh nyaris sempurna. Kecuali satu, beda agama. Mbak K beragama katholik dan mas A adalah seorang protestan. Keduanya kristen memang, tapi dalam perkembangan sejarahnya dulu (masa martin luther, kalau tidak salah ingat), kristen itu kemudian pecah menjadi 2, yaitu kristen katholik dan kristen protestan. Dan segala macam aturan dan hukum-hukumnya berbeda, sudah menjadi dua agama yang berbeda, bukan lagi sekedar tataran aliran.

Sementara itu, di organisasi T tersebut, ada sepasang lagi yang juga memiliki nasib yang sama. Sama-sama beda agama dan sama-sama lebih tua ceweknya selisih setahun. Sebut saja Y dan mbak L. Y adalah teman seangkatan saya, agamanya Islam. Sedangkan mbak L beragama protestan. Mereka pun disebut-sebut sebagai pasangan yang serasi. Nah entah karena apa, mungkin karena terlalu senasib, mereka putusnya pun bareng-bareng. Beberapa waktu setelah putus semuanya, secara mengejutkan saya mendapat kabar bahwa mas A sekarang jadian dengan mbak L. Nah lho! Kok semacam menikung ya? Mereka semua satu organisasi pulak! Tapi dengan begitu semuanya ada di jalur kebenaran. Mas A dan mbak L satu agama, protestan, sehingga hubungan mereka bukanlah hubungan terlarang. Yah, Tuhan memang lebih mengerti yang terbaik untuk kita.
Ketika salib dan tasbih menyatu

Hikmah itu pun menyambar dalam kehidupan saya. Satu fase dalam hidup saya pernah hampir terjebak dalam cinta beda agama, semasa saya sekolah. Sistem plotting kelas yang diberlakukan oleh sekolah saya adalah dengan mengelompokkan siswa-siswa yang beragama non-islam ke dalam satu kelas dari total 6 kelas. Sekolah saya adalah sekolah umum, bukanlah sekolah yang berbasis agama. Tapi memang kebijakannya seperti itu, mungkin untuk memudahkan jadwal pelajaran agama, agar siswa yang beragama non mendapatkan pelajaran agama mereka di waktu yang bersamaan, sehingga tidak mengganggu mata pelajaran yang lain. Nah, kebetulan saya ditempatkan di kelas campuran tersebut. Separuh dari isi kelas beragama non-islam. Sejak itulah saya sedikit mengenal tentang pandangan-pandangan dari agama yang beragam, bagaimana itu katholik, bagaimana itu protestan.

Nah, entah bagaimana mulanya, saya terlibat flirting diam-diam dengan salah seorang teman saya. Sayangnya dia protestan. Awalnya saya tidak menyadari kehadirannya, hingga lama-lama saya tersadar bahwa ada sesuatu yang berbeda yang ia tunjukkan kepada saya (itu sih kalau saya nggak keGRan.haha). Mungkin karena kami masih terlalu lugu, nggak ada yang berani ngomong duluan. Akhirnya yah cuma flirting dan kode-kode an. Sampai akhirnya kami tidak lagi bersekolah di sekolah yang sama dan lost contact. Awalnya memang sedih dan bahkan saya tetap menyimpan perasaan itu hingga bertahun-tahun. Hingga kemudian saya tersadar bahwa itulah jalan yang dipilihkan Tuhan kepada kami. Ya, dulu kami tidak berada di jalan yang benar, sehingga Tuhan meluruskannya. Mungkin iya kami menyimpan perasaan yang sama, tapi kami tidak berada dalam jalur keyakinan yang sama. Saya Islam, dia protestan. Sakit memang ketika sama-sama tertarik tetapi terhalang oleh tembok keyakinan. Bisa sih kita menabrak tembok itu. Tapi ke depannya pastilah lebih sulit. Mungkin kita bisa menghancurkan beberapa tembok di awal, tapi tembok yang berada di ujung, yang paling menentukan, nggak pernah bisa kita hancurkan. Tembok menuju ke pernikahan. Pacaran boleh saja beda agama, tapi dalam pernikahan, agama apapun melarang pernikahan beda agama. Dan bisa dibayangkan bagaimana rasa sakitnya ketika sudah menyambung hati tapi tetap tidak bisa menikah. Saya bersyukur karena Tuhan tidak membiarkan kami terus berkontak, Tuhan tidak mengizinkan kami pacaran. Tuhan menghentikan laju perasaan itu di hati kami masing-masing. Tuhan tidak ingin saya maupun dia terluka.         

Dan begitu sajalah. Cinta beda agama itu candu yang mematikan. Entah kenapa sejauh saya mengenal orang-orang non-Islam, menurut saya mereka lebih bisa menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi nilai toleransi dalam beragama. Mungkin karena itu lah orang-orang non-Islam banyak memukau orang Islam dan menjadikannya nyaman dalam berinteraksi. Tapi kembali lagi, Tuhan berbicara di sini. Tuhan tahu apa yang kita butuhkan. 

Dan hari kebangkitan nasional sendiri, selain hari perenungan tentang perjuangan bangkit dari keterpurukan, bagi saya pribadi juga sekaligus perenungan tentang makna perbedaan agama. Tanggal ini ada di antara keduanya.   

Selasa, 14 Mei 2013

Kembalinya si Laptop Addict Beraksi

Rabo, 15 Mei 2013
11.05am @PPTIK

Sejenak katarsis.

Belakangan ini aku semakin menyadari kecenderungan laptop addict yang menjangkiti diriku entah sejak kapan. Pastinya sejak aku kenal dengan benda itu, sejak benda itu bisa dibilang menjadi alat vital bagi mahasiswa, sejak benda itu menjadi hiburan di kos selain radio, dan sejak aku bisa memperoleh koneksi internet secara gratis di area kampus.

Aku bisa betah berjam-jam duduk di depan laptop, entah itu mengerjakan tugas, nulis-nulis nggak jelas, ngeplay mp3, nonton film, atau nggak sekedar nge-game. Haha..beberapa semester lalu aku sempat dijuluki "gamers" sama temen-temen kos. Kalau nonton film si memang sudah jadi candu semua anak kos dari semester awal dulu. Biasanya kami nonton film sambil makan atau nggak kalau pas weekend. Jadi bisa kebayang kan bagaimana tuntutan tugas dan budaya di kalangan mahasiswa kos itu ikut memperkuat kecenderunganku untuk menjadi laptop addict. Ikut memperkuat bukan berarti satu-satunya alasan yang menjadikanku lho, bukan berarti aku menimpakan kesalahan pada eksternal. Tetep semuanya balik ke pilihanku. Toh, nyatanya, temen kosku yang lain dengan tuntutan tugas dan gaya hidup di kos'an yang sama, dia nggak se-addicted aku. 

Dan, bagi seorang laptop addict sepertiku, bisa dibayangkan seperti apa rasanya hidup tanpa laptop. Hampa. Don't know what to do. Kepengen nge-skip waktu, meloncat ke waktu dimana aku bisa pegang benda itu lagi. Itu yang kurasakan selama setengah bulan kemarin. My laptop keep in dying on me. Mati total. Sebenarnya masalahnya bukan pada software atau apapun perangkat di dalamnya. Masalahnya terdapat pada casing layar laptop. Di bagian engsel antara layar dan keyboard (engsel buka-tutup laptop) patah. Mulai retak sudah sejak tahun 2011 akhir sebenarnya, tapi tak biarin, toh masih bisa dipakai. Makin ke sini makin parah retaknya, yang tadinya cuma sebelah kiri, eh, yang kanan ikut-ikutan retak. Retaknya juga makin lebar. Mungkin karena ke mana-mana selalu tak bawa kali ya, jadi sering ketindih di dalam tas. 
Kenampakan laptop


Awal 2013, pas udah nggak ada lagi orang yang berani buka-tutup laptopku selain yang punya, laptop tak bawa ke service center'nya di kawasan Casa Grande. Mbak-mbak frontlinernya pun nggak berani buka laptopnya buat liat kerusakannya dan kode seri laptop. Emang cuma yang punya yang masih berani nyiksa laptopnya dengan buka-tutup itu. haha. Kata mbaknya, itu yang rusak adalah casingnya, nggak ngefek ke softwarenya. Solusinya ganti casing. But, the problem is, casing laptop dengan tipe seri punyaku itu udah enggak diproduksi lagi. "Satu-satunya solusi ya ganti laptop, mbak." Semprul, pikirku. Pupus sudah harapanku menyembuhkan casing layar laptop yang retak. Yasih, laptopku laptop lama, Juli 2008, pantes kalau udah nggak diproduksi lagi spare part'nya mengingat perkembangan mode sekarang ini melesat. 

Akhirnya kuputuskan untuk tetap setia sama laptopku itu. Nothing to lose, toh, nggak mengganggu data-data dan software di dalemnya. Aku masih bisa beraktivitas dengan laptopku itu. Bukan pelit si, tapi sejak kecil aku dibiasakan untuk "selama barang itu masih bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhanmu, pakailah sekalipun sudah usang atau ketinggalan jaman, sampai barang itu benar-benar rusak tidak bisa kamu gunakan lagi." Orang tuaku, sebagaimana layaknya kebanyakan orang tua, melarang adanya budaya konsumtif di kalangan kami, anggota keluarganya. Tapi kali ini, sepertinya aku yang lebih kolot dibandingkan mereka. Beberapa kali orang tuaku menyarankan untuk ganti laptop, tapi aku yang selalu meyakinkan mereka bahwa laptopku baik-baik saja, masih bisa dipakai, dan belum perlu untuk ganti. Entah, mungkin karena aku udah sayang banget sama laptopku itu, dia udah kayak ringkasan hidupku selama hampir lima tahun ini. Semuanya ada di dalamnya, termasuk katarsis-katarsisku yang seabrek itu. Yasih, meski tiap kali buka atau nutup laptop selalu ada bunyi "Ctaak! Krieet.." yang menyertainya. Dan lalu tiap kali orang yang mendengar bunyi laptopku itu selalu bergidik ngeri. Kadang-kadang pun kalau di bawa di tangan dalam kondisi layar terbuka, dia bisa nutup sendiri dengan tidak elegan.
Bagian engsel yang patah

Hari-hari terakhir di bulan April, laptopku makin rewel. Kadang-kadang ketika dinyalain, yang tampak di layar hanyalah warna putih. Semacam LCD yang bocor. Padahal nggak bocor, kabel yang berfungsi untuk menampilkan tampilan layar rada bergeser kalau kita buka laptopnya kurang pas di engselnya, maybe, i don't really know about that. Soalnya di engselnya itu memang tempat saluran kabel-kabel yang menghubungkan antara software di dalem sama layarnya, jadi menurut analisisku, kalau kabelnya geser, ya gambarnya nggak bisa ketampil. Gitu nggak si? Nggak tau juga si, anak IT yang lebih tau pastinya. Hal yang memperkuat analisisku selain kabel-kabel itu jadi terlihat setelah engselnya patah, tiap kali layarnya tak goyang-goyang dikit di bagian engselnya, gambarnya bisa tertampil lagi. Dan yah, begitu saja lah. Kadang-kadang cara itu berhasil dan kadang juga nihil. Kalau pas nihil yaudah, aku beralih ke baca-baca buku yang belum sempat kutamatkan.

Hari terakhir aku bisa melihat laptopku nyala adalah tanggal 1 Mei. Sudah. Lepas itu laptopku bemar-benar nggak mau nyala, hanya mau menampilkan layar putih, tak terlihat apa-apa. Jika sebelum-sebelumnya cara shaking the LCD bisa kadang-kadang berhasil, kali ini sama sekali nol. Besoknya sama. Dan besoknya lagi masih tetap sama. Dan ya, itu berarti laptopku sudah tutup usia. Sedih? Banget. Bisa dibilang aku kehilangan secara bertubi. Belum genap sebulan dari kematian salah satu anggota keluargaku, Popo (ya meski dia seekor hamster tapi aku menganggapnya sebagai bagian dari keluarga), sekarang aku kehilangan barang yang udah kuanggap sebagai saranaku merangkum hidup. Nggak bisa katarsis, nggak bisa menuangkan ide, terputus dari dunia internet. Komplet sudah. Sejak itu waktuku lebih banyak kuhabiskan dengan nonton tv dan baca buku. Kamarku semacam pindah di kamar temanku yang punya televisi. Di balik itu ada hikmahnya memang, aku jadi membaca buku-buku yang udah dibeli tapi belum sempat kebaca. Well, aku masih tetap bisa menambah pengetahuan kan, meski rasanya capek karena harus terus membaca tanpa bisa nonton film, nge-game, dan internetan. 

Sampai pada titik kulminasi kejenuhanku, aku pulang. Sebenarnya di rumah pun keadaannya sama. Televisi rusak. Tapi diam-diam aku bersyukur punya ibu yang jarang-jarang bawa netbooknya ke sekolah (haha, jahat banget), dan ada koneksi speedy di rumah, so thanks God. Haha.

Dan akhirnya lahirlah Si Silva yang sekarang kugunakan ini. 13 Mei 2013, she's officially mine. Alhamdulillah :D
My Silva :)

Dan mulai sekarang, petualangan si laptop addict kembali dimulai.....