11.05am @PPTIK
Sejenak katarsis.
Belakangan ini aku semakin menyadari kecenderungan laptop addict yang menjangkiti diriku entah sejak kapan. Pastinya sejak aku kenal dengan benda itu, sejak benda itu bisa dibilang menjadi alat vital bagi mahasiswa, sejak benda itu menjadi hiburan di kos selain radio, dan sejak aku bisa memperoleh koneksi internet secara gratis di area kampus.
Aku bisa betah berjam-jam duduk di depan laptop, entah itu mengerjakan tugas, nulis-nulis nggak jelas, ngeplay mp3, nonton film, atau nggak sekedar nge-game. Haha..beberapa semester lalu aku sempat dijuluki "gamers" sama temen-temen kos. Kalau nonton film si memang sudah jadi candu semua anak kos dari semester awal dulu. Biasanya kami nonton film sambil makan atau nggak kalau pas weekend. Jadi bisa kebayang kan bagaimana tuntutan tugas dan budaya di kalangan mahasiswa kos itu ikut memperkuat kecenderunganku untuk menjadi laptop addict. Ikut memperkuat bukan berarti satu-satunya alasan yang menjadikanku lho, bukan berarti aku menimpakan kesalahan pada eksternal. Tetep semuanya balik ke pilihanku. Toh, nyatanya, temen kosku yang lain dengan tuntutan tugas dan gaya hidup di kos'an yang sama, dia nggak se-addicted aku.
Dan, bagi seorang laptop addict sepertiku, bisa dibayangkan seperti apa rasanya hidup tanpa laptop. Hampa. Don't know what to do. Kepengen nge-skip waktu, meloncat ke waktu dimana aku bisa pegang benda itu lagi. Itu yang kurasakan selama setengah bulan kemarin. My laptop keep in dying on me. Mati total. Sebenarnya masalahnya bukan pada software atau apapun perangkat di dalamnya. Masalahnya terdapat pada casing layar laptop. Di bagian engsel antara layar dan keyboard (engsel buka-tutup laptop) patah. Mulai retak sudah sejak tahun 2011 akhir sebenarnya, tapi tak biarin, toh masih bisa dipakai. Makin ke sini makin parah retaknya, yang tadinya cuma sebelah kiri, eh, yang kanan ikut-ikutan retak. Retaknya juga makin lebar. Mungkin karena ke mana-mana selalu tak bawa kali ya, jadi sering ketindih di dalam tas.
Kenampakan laptop |
Awal 2013, pas udah nggak ada lagi orang yang berani buka-tutup laptopku selain yang punya, laptop tak bawa ke service center'nya di kawasan Casa Grande. Mbak-mbak frontlinernya pun nggak berani buka laptopnya buat liat kerusakannya dan kode seri laptop. Emang cuma yang punya yang masih berani nyiksa laptopnya dengan buka-tutup itu. haha. Kata mbaknya, itu yang rusak adalah casingnya, nggak ngefek ke softwarenya. Solusinya ganti casing. But, the problem is, casing laptop dengan tipe seri punyaku itu udah enggak diproduksi lagi. "Satu-satunya solusi ya ganti laptop, mbak." Semprul, pikirku. Pupus sudah harapanku menyembuhkan casing layar laptop yang retak. Yasih, laptopku laptop lama, Juli 2008, pantes kalau udah nggak diproduksi lagi spare part'nya mengingat perkembangan mode sekarang ini melesat.
Akhirnya kuputuskan untuk tetap setia sama laptopku itu. Nothing to lose, toh, nggak mengganggu data-data dan software di dalemnya. Aku masih bisa beraktivitas dengan laptopku itu. Bukan pelit si, tapi sejak kecil aku dibiasakan untuk "selama barang itu masih bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhanmu, pakailah sekalipun sudah usang atau ketinggalan jaman, sampai barang itu benar-benar rusak tidak bisa kamu gunakan lagi." Orang tuaku, sebagaimana layaknya kebanyakan orang tua, melarang adanya budaya konsumtif di kalangan kami, anggota keluarganya. Tapi kali ini, sepertinya aku yang lebih kolot dibandingkan mereka. Beberapa kali orang tuaku menyarankan untuk ganti laptop, tapi aku yang selalu meyakinkan mereka bahwa laptopku baik-baik saja, masih bisa dipakai, dan belum perlu untuk ganti. Entah, mungkin karena aku udah sayang banget sama laptopku itu, dia udah kayak ringkasan hidupku selama hampir lima tahun ini. Semuanya ada di dalamnya, termasuk katarsis-katarsisku yang seabrek itu. Yasih, meski tiap kali buka atau nutup laptop selalu ada bunyi "Ctaak! Krieet.." yang menyertainya. Dan lalu tiap kali orang yang mendengar bunyi laptopku itu selalu bergidik ngeri. Kadang-kadang pun kalau di bawa di tangan dalam kondisi layar terbuka, dia bisa nutup sendiri dengan tidak elegan.
Bagian engsel yang patah |
Hari-hari terakhir di bulan April, laptopku makin rewel. Kadang-kadang ketika dinyalain, yang tampak di layar hanyalah warna putih. Semacam LCD yang bocor. Padahal nggak bocor, kabel yang berfungsi untuk menampilkan tampilan layar rada bergeser kalau kita buka laptopnya kurang pas di engselnya, maybe, i don't really know about that. Soalnya di engselnya itu memang tempat saluran kabel-kabel yang menghubungkan antara software di dalem sama layarnya, jadi menurut analisisku, kalau kabelnya geser, ya gambarnya nggak bisa ketampil. Gitu nggak si? Nggak tau juga si, anak IT yang lebih tau pastinya. Hal yang memperkuat analisisku selain kabel-kabel itu jadi terlihat setelah engselnya patah, tiap kali layarnya tak goyang-goyang dikit di bagian engselnya, gambarnya bisa tertampil lagi. Dan yah, begitu saja lah. Kadang-kadang cara itu berhasil dan kadang juga nihil. Kalau pas nihil yaudah, aku beralih ke baca-baca buku yang belum sempat kutamatkan.
Hari terakhir aku bisa melihat laptopku nyala adalah tanggal 1 Mei. Sudah. Lepas itu laptopku bemar-benar nggak mau nyala, hanya mau menampilkan layar putih, tak terlihat apa-apa. Jika sebelum-sebelumnya cara shaking the LCD bisa kadang-kadang berhasil, kali ini sama sekali nol. Besoknya sama. Dan besoknya lagi masih tetap sama. Dan ya, itu berarti laptopku sudah tutup usia. Sedih? Banget. Bisa dibilang aku kehilangan secara bertubi. Belum genap sebulan dari kematian salah satu anggota keluargaku, Popo (ya meski dia seekor hamster tapi aku menganggapnya sebagai bagian dari keluarga), sekarang aku kehilangan barang yang udah kuanggap sebagai saranaku merangkum hidup. Nggak bisa katarsis, nggak bisa menuangkan ide, terputus dari dunia internet. Komplet sudah. Sejak itu waktuku lebih banyak kuhabiskan dengan nonton tv dan baca buku. Kamarku semacam pindah di kamar temanku yang punya televisi. Di balik itu ada hikmahnya memang, aku jadi membaca buku-buku yang udah dibeli tapi belum sempat kebaca. Well, aku masih tetap bisa menambah pengetahuan kan, meski rasanya capek karena harus terus membaca tanpa bisa nonton film, nge-game, dan internetan.
Sampai pada titik kulminasi kejenuhanku, aku pulang. Sebenarnya di rumah pun keadaannya sama. Televisi rusak. Tapi diam-diam aku bersyukur punya ibu yang jarang-jarang bawa netbooknya ke sekolah (haha, jahat banget), dan ada koneksi speedy di rumah, so thanks God. Haha.
Dan akhirnya lahirlah Si Silva yang sekarang kugunakan ini. 13 Mei 2013, she's officially mine. Alhamdulillah :D
My Silva :) |
Dan mulai sekarang, petualangan si laptop addict kembali dimulai.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar