Jumat, 28 Januari 2011

Gelembung Sabun, Simpul, dan Cermin

Senja mengukir bisu ini. Aku mencoba mencari desir angin, agar kutahu ku tak sendirian. Lagi. Karena dulu aku pun seperti ini, mencoba mencari-cari ke mana perginya hembusan yang menyejukkan itu. Tapi kala itu aku gagal menemukannya. Dan kali ini aku berharap ia sudi bersamaku di sini, sekedar menemaniku melamun atau berbincang dengan lembayung. Perlahan, belaian lembut itu kurasakan. Aku tersenyum. Ya, desir anginku datang. Aku tak sendirian lagi sekarang.

“Apa kamu mencintaiku?”

Pertanyaan yang klise memang. Tapi itu cukup membuatku dilanda kebimbangan, meski sudah ratusan kali kudengar kata-kata semacam itu terlontar dari mulut orang-orang.

“Apa hanya kebisuan yang bisa kau berikan untukku? Selalu saja begini!” protesnya.

“Mungkin..ya.” Ya, aku sendiri ragu apakah aku benar-benar mencintainya atau ini sebuah keterpaksaan? Dipaksa oleh keputusasaanku di lorong penantian. Mungkin aku lelah sendirian, berdiam diri di lorong itu, menanti sesuatu yang tak pasti. Mungkin juga kali ini aku telah menemukan seseorang yang memang benar-benar pantas kucintai, setelah aku bertemu dengan Badra. Setahun ini hubunganku dengan Badra sangat menyenangkan. Badra memberikan semua yang dibutuhkan oleh hatiku. Tapi kemudian aku ragu benarkah Badra memang orang yang berhasil menyelami hatiku atau inilah pelampiasanku karena hatiku terlalu haus akan cinta.

“Aku tahu jawabanmu itu bukan jawaban dari hati,” katanya datar.

“Bagaimana kamu bisa tahu?”

“Aku tahu..karena cinta itu terletak di hati dan karena aku mencintaimu, aku bisa mengetahui hatimu.” Perkataannya itu membuatku terdiam. Entah karena bingung atau lebih karena semua itu benar?

“Sudahlah, kamu terlihat letih. Lagipula ini sudah malam, sebaiknya kamu istirahat.” Kemudian lanjutnya, “Tapi aku minta satu hal, cobalah selami hatiku. Please..”

Badra. Tiba-tiba saja aku merasa begitu kasihan kepada laki-laki itu. Sejak pertama kali mengenalnya, aku menemukan ketulusan cinta lekat dalam tatapan matanya. Sementara aku? Aku hanya bisa takluk dalam tatapannya dan aku mengira aku benar-benar mencintainya. Justru ketika aku mulai berpikir untuk mencintainya itulah keraguan menyusupi hatiku. Kini aku mulai sadar, yang selalu hadir di benakku, di mimpiku adalah masa laluku, bukan Badra. Aku masih terpasung pada cinta masa laluku. Masih.

*

Hujan mengguyur, masih menderas kala aku berteduh di depan kelas sepulang sekolah. Sepintas aku menatap sosok laki-laki itu, berlarian di bawah hujan menuju pintu gerbang. Ya, laki-laki itulah yang selama ini aku hanya mampu memandanginya diam-diam. Lelaki itu adalah dirimu. Aku jatuh cinta pada caramu menatapku dan caramu menyapaku. Bukan seperti layaknya memandang dan menyapa kepada adik kelas, kau lebih memperlakukanku seperti sahabat.

Itu kali pertama aku menyadari bahwa aku jatuh hati padamu. Itu kali pertama. Dan kini, kali pertama itu sampailah pada kali terakhir tanpa sempat pesan hati ini tersampaikan padamu.

“Nad, lulus itu menyenangkan. Kita akan benar-benar merasakan betapa berharganya usaha kita untuk meraihnya dan itulah yang menyebabkan kita selangkah lebih maju dari sebelumnya. Tapi sisi hati kita terbelah. Sisi yang lain kesedihan. Sedih berpisah dengan orang-orang yang kita sayangi, bahkan jauh dari orangtua karena mungkin kita harus melanjutkan kuliah di lain kota.” Hanya itu yang kamu ucapkan di hari kelulusanmu. Hanya air mata pula yang sanggup kupersembahkan untukmu, tanpa perlu berkata-kata. Aku berlari pulang.

“Nad, ada titipan dari Mas Arga, ambil aja di atas rak itu,” kata Sheila menunjuk sebuah kotak berbalut ungu kertas kado. Ada rasa miris ketika tahu barang itu sampai padaku melalui titipan. Tapi aku tahu tidak seharusnya mempermasalahkannya karena aku mungkin bukanlah seorang yang spesial untukmu. Malas, aku bangkit dari tempat tidur Sheila menjangkau kotak itu.

“Dia bilang apa?” Sheila berhenti membaca, berusaha mengingat-ingat.

“Dia cuma tanya kenapa kamu nggak masuk hari ini. Kenapa?”
Aku menggeleng. Dan mendesah. Kado itu adalah sebuah boneka beruang yang memegang hati bertuliskan “I love you”. Dan sebuah surat. Tanpa kusadari sepenuhnya, aku sudah berlari ke jalanan menuju rumahmu. Surat itu masih kugenggam erat dan semakin erat tatkala rumahmu terkunci rapat. Kosong. Kalian telah pindah. Hari-hariku gelap.
Senja itu, kembali kuhembus napas penat. Aku letih padamu. Entah berapa ratus kali balon gelembung sabun itu kutiupkan dan sekian ratus kali pula gelembung itu pecah sebelum sampai padamu. Apa kau tak pernah tahu, aku yang selalu menyambangimu di redup senja? Apa kau tak pernah tahu, aku yang selalu meniupkan gelembung sabun itu untukmu? Aku letih. Aku ingin menyerah. Ingin rasanya aku membungkusmu saja dalam kotak rapi dan mungkin tak akan kubuka lagi. Sempat aku berpikir inilah yang kau mau, membiarkan diriku sendiri dalam tanya. Tapi entah kenapa setiap kali kutiupkan gelembung sabun itu, sebanyak itu pula cinta ini bertambah. Kalian, kamu dan gelembung sabun itu, terlalu kuat untuk dipisahkan oleh keputusasaan.

Kamu pasti bertanya-tanya kenapa hanya sebatas gelembung sabun. Ya, karena gelembung sabun itulah hal yang paling bisa mewakili perasaanku. Dia rapuh, tapi di balik kerapuhan itu, ia berusaha untuk tetap melambung dan memantulkan apa yang ada di sekitarnya. Seperti itulah diriku. Aku rapuh dan aku hanya bisa menatapmu pada gelembung yang memantulkan wajahmu dengan segala yang ada padamu. Tapi aku tak bisa menggapainya. Aku terlalu takut kehilanganmu karena gelembung sabun akan pecah ketika disentuh. Jadi aku hanya bisa memandangimu saja dari bawah tanpa kau tahu. Biarlah kau tak pernah tahu meski 3 tahun aku meniupkannya di ladang belakang rumahmu.

“Maaf, kalau boleh tahu, kamu ini siapa? Apa dari dulu memang sering kemari?” Sebuah suara membangunkanku dari lamunan. Aku memandang laki-laki itu, tak suka.

“Maaf, selama ini aku memperhatikanmu meniup gelembung sabun itu diam-diam,” katanya penuh penyesalan. Kuabaikan perkataannya. Aku justru terkejut akan kehadirannya. Bagaimana mungkin aku bisa tidak menyadari bahwa sudah ada penghuni baru di rumahmu, padahal hampir setiap hari aku mengunjungi rumahmu untuk sekedar menyapa dan bercerita padamu. Dia tidak seharusnya ada di sini, seharusnya kamulah yang menyapaku dan berbincang denganku saat ini, jerit batinku.

Aku membencinya. Aku membenci Badra. Tapi aku tidak bisa membenci senjamu dan gelembung sabun meski dia telah mengusikku. Dia selalu mengajakku bicara dan bahkan ikut meniup balon gelembung sabun itu, padahal aku hanya ingin berdua saja denganmu.

“Kenapa hanya gelembung sabun ini yang kau pakai untuk melamun?” tanya Badra sambil menghembus keras selaput sabun hingga terpecah menjadi balon kecil-kecil.

“Kamu nggak akan pernah mengerti,” jawabku pendek.

“Kenapa?” Aku terdiam. Badra mengulangi pertanyaannya ketika menyadari keterdiamanku.

“Karena kamu nggak akan pernah mengerti jika kukatakan hanya dengan inilah aku bisa berbincang dengan kekasihku!” Entah, ada dorongan kuat untukku menangis dan untuk begitu saja mempercayakan air mataku membanjir di depannya, seorang lelaki yang baru saja kukenal. Semenjak kepergianmu, aku tidak pernah menangis karena aku terlampau bingung untuk menentukan hal mana yang sebaiknya kutangisi terlebih dahulu. Setelah tiga tahun ini, hanya Badra-lah yang mengurai simpul-simpul kebingunganku menjadi sistematis. Pertanyaannya membuatku tersadar akan apa yang sebenarnya merupakan awal dari semua itu.

“Aku tahu kamu nggak bisa cerita sekarang. Kamu pasti masih bingung harus mulai dari mana. Terkadang segala permasalahan dalam hidup kita merupakan urutan dan berkesinambungan hingga kita kebingungan menguraikannya. Kapan-kapan kalau kamu sudah menemukan permulaannya, ceritakanlah padaku,” bisiknya lembut. Aku hanya bisa mengangguk. Sekali lagi, ia telah berhasil membuka simpul kebingunganku.
Senja-senja berikutnya sering kuhabiskan bersama Badra, untuk bercerita atau sekedar menangis. Hanya menangis.

“Badra, bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanyaku di suatu mendung senja. Badra menoleh ke arahku sambil menautkan kedua alisnya. Aku tahu isyarat itu.

“Kenapa, sih, kita baru menyadari cinta itu datang saat seseorang yang kita cintai itu pergi dan menghilang begitu saja?”

“Mungkin, jika tidak ada perpisahan, kita justru tidak akan pernah tahu apakah cinta telah datang dan menyapa kita.” Badra terdiam sejenak. Kemudian sambil menghadapkan wajahku ke arahnya, dia bicara dalam satu tarikan napas panjang. “Tapi jangan lupa, kita tidak hanya punya satu cermin. Jika cermin itu jauh kau jangkau, kau masih punya cermin lain yang juga butuh kau raih dan kau perhatikan, lebih dari sekedar gelembung sabun.”

Aku tidak begitu paham. Tapi mungkinkah yang Badra maksud cermin yang lain itu adalah dirinya sendiri? Tatapan matanyalah yang mengatakan hal itu. Dan hingga aku menyadari sepenuhnya, tatapnya masih hinggap di pelupuk mataku. Tapi aku tak bisa. Kutundukkan wajahku, tak ingin menyimpan tatap itu lebih lama lagi. Aku mengingkarinya dalam kerapuhanku.

Sejak Badra menginginkan menjadi cermin bagiku, aku jarang berkunjung ke rumahnya. Terlalu menyakitkan bila senja kita justru menjadi saksi cinta antara aku dan Badra. Tragis. Kutahu kau pun akan terluka karenanya. Tapi bukankah senja di belakang rumahmu dan gelembung sabun itulah satu-satunya cara kita berbincang? Aku tidak bisa kehilangan kedua hal itu. Akan lebih menyakitkan. Lalu apa yang harus kulakukan agar tetap bisa bersamamu? Sejujurnya aku pun tak mampu menjauh dari Badra karena dialah yang membantuku mengurai simpul ruwet pikiranku hingga kelak aku dapat menemukan ujungnya. Ya, hal itulah yang membuatku menjatuhkan pilihan padanya. Untuk satu hal, menemukan ujung dari simpul kebingungan. Dirimulah yang kuharap akan kutemui di ujung itu.

*

Senja suram ini kembali aku bersua denganmu. Sendirian saja, tanpa ditemani Badra. Aku yang memintanya. Berpuluh gelembung sabun telah kutiupkan dan kini mereka melingkupiku dengan segala auramu. Tanpa lelah terus kuciptakan gelembung-gelembung itu agar aku bisa selalu menatapmu meski hanya dalam benda bening itu. Kubiarkan mereka mengikuti ke mana angin membawanya. Aku semakin terpikat pesonanya.

Aku enggan berkedip agar tak kehilangan tiap detil lekuk wajahmu di sana. Angin masih bertiup bersahabat dan aku terkejut menyadari apa yang sedang terjadi. Pada bening gelembung sabun yang dibawa angin ke arah kiri, aku mendapati dirimu tersenyum riang berlarian bergandeng tangan dengan seorang perempuan. Kupikir itulah kita. Tapi ternyata dugaanku menipuku. Perempuan itu bukan aku, tapi seorang lain yang dengannya kamu terlihat bahagia. Segera kupalingkan wajah, tak ingin melihatnya lagi hingga mereka terpercah satu per satu.

Kutiupkan kembali berpuluh gelembung sabun, berharap kutemui bayang wajah kita di sana. Kali ini angin membawanya terbang ke arah kanan. Kutemui diriku berlarian di atas duri-duri tajam. Aku kesakitan, telapak kakiku terluka tapi aku tersenyum dalam tangis itu, entah karena apa. Kucari-cari sosokmu. Di manakah kau saat aku tengah berjuang melewati jalan berduri itu? Pencarianku sia-sia. Kutiupkan lagi berpuluh gelembung sabun. Aku ingin melihatmu. Angin kembali berlari ke kiri. Tapi hal yang sama terulang. Kau masih bersama perempuan itu. Aku panik, nafasku memburu. Kali ini kupaksa angin bertiup ke kanan. Aku masih saja berlarian, bergelut dengan duri-duri itu. Ke mana kamu? Kemana kita? Kemana tawa bahagia kita itu?

Sisa-sisa kesadaran memaksaku melempar kotak sabun itu jauh-jauh, separuh isinya berserak tak berdaya membasahi tanah kering. Aku marah padanya, padamu, pada gelembung itu. Benarkah aku marah? Atau sebenarnya lebih karena rasa takut dan putus asa? Entahlah. Ada satu simpul yang kurasa terlewatkan oleh Badra, atau mungkin ia tak mampu mengurainya. Karena simpul itu adalah jiwaku dan jiwamu. Aku butuh jiwamu untuk menguraikannya.

Aku menangkap sosok itu. Seorang lelaki yang dulu pernah sangat kukagumi. Seorang lelaki yang sampai sekarang masih kutunggu kehadirannya.

“Mas Arga!” seruku melambai girang pada lelaki itu, padamu. Kau pun melambai ke arahku, tak kalah girang.

“Nadya! Nggak nyangka banget bisa ketemu kamu di sini. Kebetulan ada hal yang ingin kusampaikan padamu.” Aku berdebar. Ada apa ini?
Kau mengajakku ke sebuah kafe dan memesan minuman.

“O iya, tadi kamu bilang ada yang ingin kau sampaikan, apa itu?” tanyaku memecah keheningan oleh rasa canggung. Kau tak segera menjawab, justru menatapku dalam-dalam. Jantungku berpacu kencang jauh meninggalkan waktu yang menyiput. Mungkinkah inilah saatnya kau akan membawaku ke dalam hidupmu?

“Aku tahu, aku nggak bisa memungkiri perasaan ini meski tiga tahun kita lalui tanpa ada komunikasi. Aku masih bisa merasakannya karena kau pun masih menyimpan rasa yang sama. Tapi..” Kau tak meneruskan kata-katamu. Aku masih berdebar menunggu detik yang akan kulalui. Kau menyodorkan sesuatu padaku.

“Maaf, jika ini membuatmu kecewa. Tapi mungkin inilah yang terbaik untuk kita berdua. Sekali lagi maaf.” Bulir menghangat mulai menetes di pipiku membasahi selembar kertas di tanganku. Itu undangan pernikahanmu dengan seorang gadis, bukan diriku. Kucari tatap teduhmu yang sekian detik lalu masih kurasakan. Tapi kau tak jua menjemput tatap harapku. Aku tahu kau tak sanggup. Dan satu bulir itu menetes juga dari pelupuk matamu.

Aku berlari. Semakin kencang kuberlari, semakin menderas isakku. Kuakui aku memang menyukai kejujuran. Terima kasih karena kau telah memberiku kejujuran itu. Meski pada akhirnya aku tidak sanggup untuk tetap tegar menerima kejujuran itu. Maaf aku pergi, karena tidak seharusnya kaulihat sedih ini. Aku ingin kau merengkuh kebahagiaanmu seutuhnya tanpaku.

Beribu gelembung sabun berkelebat di benakku. Memutar film kehidupanku. Aku, kamu, air mata, simpul, dan cermin itu. Ketika kuteteskan air mata itu untukmu, simpul semakin membingungkan. Namun ketika cermin mamantulkan kilau bening air mataku, simpul itu terurai, tak lagi menemui segala keruwetan. Aku tersadar, Badra lah cermin itu.

Badra masih duduk di sampingku, menyimak tiap detil cerita dan air mataku. Sabun itu telah mengering, tak bisa lagi untuk menciptakan gelembung-gelembung sabun untukmu. Kuputuskan untuk membuang kotak sabun itu jauh-jauh seperti aku membuang keragu-raguanku terhadap Badra. Kini gelembung sabun telah kuganti dengan sebuah cermin. Cermin yang di dalamnya aku dapat melongok kenyataan, bukan hanya sebuah kesemuan. Aku ingin belajar mencintai Badra sepenuhnya. Dia tak hanya orang yang bisa mengurai simpul kebingunganku, ia juga yang mampu membuat simpul kebahagiaan untukku. Maaf, senja di belakang rumahmu telah kupinta menjadi saksi cinta antara aku dan Badra.

Desir anginku datang. Aku tak lagi sendirian sekarang.

_Fini_
11 maret 2010