RSJ dr. Radjiman Wediodiningrat, Lawang, Malang |
Satu bulan menakjubkan kemarin mengubah pandangan saya tentang rumah sakit jiwa. Selama ini meskipun saya sudah sejak tahun 2008 menggauli psikologi, saya masuk dalam golongan orang yang takut dengan kaum-kaum yang memiliki gangguan jiwa. Selama di S1 pun saya memilih untuk bagian psikologi orang normal kebanyakan saja. Tapi S2 ternyata berkata lain. Tuhan menginginkan saya menyentuh bagian abnormalitas manusia. Skenario Tuhan memang selalu menarik. Mungkin ini maksud Tuhan menempatkan saya kuliah S2 profesi klinis, salah satunya biar saya tidak antipati dengan orang-orang yang kejiwaannya kurang dari batas normal. Biar pandangan saya tentang mereka berubah.
Hari pertama kedua PKPP (Praktek Kerja Profesi Psikologi) di RSJ. dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, Malang tak disangkal membuat bulu kuduk saya meremang. Tidak hanya karena mendapatkan cerita-cerita mistis di lingkungan rumah sakit, tapi juga takut kalau-kalau tetiba para pasien itu melakukan hal-hal yang membahayakan orang lain. Kalau ini film, genrenya adalah horror-thriller. Well, meskipun saya juga penggemar film thriller tapi kalau menghadapi situasinya secara langsung ngeri juga kali. Dan beberapa peraturan yang disarankan pihak rumah sakit untuk para mahasiswa praktek membuat saya nyaris tidak bisa membedakan itu berbicara masalah mistis atau thriller -__-. Misalnya saja, mahasiswa baik cewek maupun cowok, kalau sudah maghrib tidak boleh keluar sendirian. Tidak boleh ngalamun. Sebisa mungkin jangan membawa handphone di tangan kalau sedang keluar asrama. Begitu maghrib, cucian (bagi yang mencuci) dimasukkan ke dalam asrama. Dan peraturan lainnya. Kalau dibilang thriller, bener juga karena kalau kita keluar sendirian (apalagi bagi cewek), rawan untuk diganggu oleh pasien, termasuk ketika kita terlihat memegang handphone. Kalau dibilang horror pun juga ada kemungkinannya, mengingat banyak perawat bangsal yang kemudian mencetuskan isu horror tersebut kepada kami. Bahkan beberapa waktu lalu pihak yang menayangkan acara Uji Nyali di sebuah stasiun televisi itu ingin menjadikan RSJ ini sebagai setting acaranya akan tetapi tidak diperbolehkan oleh kepala RSJ. Okesip, saya insomnia abis di hari pertama kedua itu.
Tapi semuanya berubah sejak negara api menyerang. Ketika sudah berinteraksi dengan para pasien bangsal, saya mulai berani. Tidak seseram yang saya bayangkan sebelumnya. Saya membayangkan harus sangat berhati-hati saat ngobrol dengan pasien karena sewaktu-waktu pasien itu bisa kambuh. Tapi ternyata kita bisa mengobrol dengan mereka seperti kita ngobrol dengan orang biasa. Yaa memang kita berhati-hati, jangan sampai membuat mereka tersinggung atau membuka kembali hal yang menjadikan dia kambuh. Intinya, jangan sampai kita membuka dan kemudian tidak bisa menutupnya kembali.
Dan yasudah, begitu saja. Hari-hari selanjutnya saya bersama teman-teman mendapatkan teman-teman baru. Setiap hari selaluu saja tertawa melihat tingkah mereka. Pun mereka suatu saat bisa sangat memukau kami. Atau kadang-kadang dibingungkan oleh cerita pengalaman mereka hidup di dunia yang mereka ciptakan sendiri. So interesting.
Di saat yang lain pun, saya menjadi mempertanyakan, sebenarnya siapakah yang lebih normal, kita atau mereka? Karena mereka di sini sangat berkembang, bisa beraktivitas, memiliki kehidupan yang teratur, dan teman-teman yang mendukung. Tapi ketika mereka sudah keluar dari rumah sakit (dinyatakan bisa rawat jalan), banyak yang hanya bertahan beberapa bulan atau beberapa minggu saja di rumah. Setelah itu mereka balik lagi ke rumah sakit karena kambuh. Why? Mereka sehat ketika di rumah sakit tapi sakit ketika kembali ke rumah. Why? Sungguh ironis. Tapi memang tidak semuanya seperti itu sih. Yang kemudian sembuh dan tidak balik lagi juga adaa.
Kami bertujuh belas dibagi dalam empat kelompok. Masing-masing kelompok mendapatkan jatah dua bangsal. Semakin lama kami bisa masuk kehidupan mereka, bisa dekat dengan mereka. Jika berpapasan di jalan, mereka menyapa kami dan memanggil nama kami, bahkan mereka yang bukan kami ambil sebagai klien. Atau kadang-kadang mereka bergerombol dan mengajak kami jalan-jalan di sore hari. Persis seperti seorang teman. Saya pun mulai menganggap mereka sama seperti orang-orang biasa.
Ketakutan saya terhadap mereka pun menghilang. Mereka juga sama seperti kita kok. Kalau kita memperlakukan mereka dengan baik, mereka juga akan baik sama kita. Hal yang rada mengerikan dari para pasien sih beberapa dari mereka ada yang suka ngegodain cewek-cewek gitu bahkan sampai ke pelecehan seksual. Ada yang ketika ketemu di jalan, tetiba dipepet sama pasien laki-laki tak dikenal, digodain atau dikasih bunga. Ada yang dikasih surat dan diajak menikah. Ada yang colek-colek, ada yang sok-sok'an mau memeluk, bahkan ada yang menunjukkan ketegangan *tiiit* nya pada kami. Hii, untung saya tidak ikut mengalami hal terakhir yang saya sebutkan itu. Teman saya yang mengalaminya saat ngobrol dengan pasien itu. Hanya itu saja kengeriannya, tidak sampai diteror atau dicelakai dikejar-kejar macam film thriller. No, not at all. Mereka jinak kok..jinak-jinak merpati.
Lepas dari semua tetek bengek kampus atau profesionalitas, berinteraksi dengan mereka selama sebulan kemarin membuat saya bersyukur. Saya, keluarga saya, dan siapapun yang membaca ini, meskipun ada saat-saat sulit dalam kehidupan, tapi kita masih diberi kesehatan jiwa. Tuhan masih menganugerahi kita kekuatan untuk melewati masa-masa sulit itu sehingga kita masih punya "diri sendiri". Mereka-mereka, para pasien itu, seperti layaknya badan tanpa jiwa. Mereka hidup tapi mati. Mereka kehilangan diri mereka sendiri. Sangat menyedihkan.
Tapi akan selalu ada harapan. Mereka tetap bisa melanjutkan hidup. Mereka tetap bisa meraih cita-cita. Seperti kata dosen kami "it's fine. Meskipun halusinasi dan waham atau apapun gangguannya itu masih ada, sepanjang dia tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain, it's fine.". Seperti pula kata panitia saat lomba layang-layang untuk pasien dalam rangka memperingati hari kesehatan jiwa sedunia, "Dengan layang-layang, kita melihat langit seperti keluarga skizofrenia melihat harapan. Tidak mudah melayangkan layang-layang itu, seperti pula butuh perjuangan orang-orang dengan skizofrenia dan keluarganya dalam melihat harapan kesembuhan."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar