Kemarin saya bercerita bagaimana selama satu bulan saya berinteraksi bersama ODS (orang dengan skizofrenia) membuka pintu persepsi saya tentang mereka.
Skenario Tuhan memang udah fit perfectly banget. Dari awal, Tuhan kasih masuk saya di bangsal yang berisi pasien-pasien kocak. Dan Alhamdulillah nya, saya juga dikasih kelompok kerja yang santai tidak terlalu mikir ribet. Yah, resonansi juga kali ya. Saya yang nggak suka terlalu mikir ribet juga bergabung dengan orang-orang seperti itu. Ada lho yang hampir semua anggota kelompoknya adalah orang-orang perfectionist, bikin stress aja. Haha.
Balik ke bangsal. Kami dijatah 2 bangsal per kelompok. Karena waktu kami hanya 4 minggu maka pembagiannya adalah satu minggu di bangsal pertama, minggu kedua pindah bangsal, minggu ketiga intervensi dan PHN (home visit), dan minggu terakhir untuk pembuatan laporan dan ujian.
Minggu pertama jatah kelompok 4 (Vincent, Mbak Ria, Icha, dan saya) di bangsal M. Bangsal laki-laki. Yang kami ambil sebagai klien adalah pasien yang sudah di bed luar. Jadi setiap bangsal, tempat pasien dibagi dua ruangan. Pertama ruangan dalam yang dikunci dan mereka hanya dikeluarkan ketika makan. Mereka ini pasien yang masih labil. Sedangkan ruangan luar pasiennya sudah kooperatif, boleh berjalan-jalan ke luar dengan batas jam malam adalah jam 9. Di bangsal M ini interaksi di antara para pasiennya baik. Mereka suka gojeg, bahkan dengan para perawat bangsal.
Seiring membangun kedekatan dengan mereka (karena meskipun sudah tidak stay di bangsal itu, kami masih sering bolak-balik ke bangsal untuk melanjutkan asesmen dan intervensi), para pasien yang ada di bangsal bagian luar itu sering terlihat bergerombol dan bersama-sama. Kami sering berpapasan di jalan kemudian saling sapa dan mengobrol.
Beberapa kali, mereka datang ke asrama cewek dan memanggil-manggil nama kami bertiga. Persis seperti anak kecil yang mengajak temannya bermain. Mereka pun pernah mengawal saya dan teman-teman saya untuk pergi ke instalasi gizi (ruang makan mahasiswa) pada malam hari. Atau mereka yang sengaja nongkrong di depan instalasi gizi pada jam makan mahasiswa hanya untuk bertemu dan mengobrol bersama kami. So sweet.. Di satu sisi mengharukan, tapi di sisi lain juga mengkhawatirkan. Saya dan teman saya sampai hampir takut jika terlalu attach dengan mereka dan sulit untuk dettach ketika sudah selesai nantinya. Ketika seorang klien sulit untuk dettach dengan psikolognya, berarti psikolog tersebut gagal.
Dari empat kelompok, hanya klien-klien kelompok 4 lah yang sampai segitunya. Kami bertiga pernah sampai sengaja mengabaikan ketika mereka memanggil dari luar asrama. Bilang aja lagi tidur atau lagi pergi, demi biar mereka tidak terlalu bergantung dengan kami karena kalau mereka bergantung, berarti kami gagal. Tapi syukurlah lambat laun mereka bisa lepas. Meskipun masih kadang-kadang nongkrong di depan asrama, tetapi tidak seintens sebelumnya.
Di bangsal M ada seorang pasien inventaris, Mbah D. Beliau sudah sepuh dan sudah 30sekian tahun menghuni bangsal itu. Sudah tidak punya keluarga sehingga dibiarkan ada di sana karena keberadaannya di sana juga membantu. Beliau sudah selama kurang lebih 3 tahun ini berhenti minum obat dan tidak pernah kambuh. Hebaat! Di bangsal M, beliau bisa dibilang asisten perawat. Beliau lah yang membantu perawat-perawat mengurusi para pasien, termasuk membagikan minuman dan makanan tambahan dari dapur. Kalau ada yang ngeyel, akan dibentak dan dimarahi oleh beliau. Beliau pula lah yang bertugas mengantarkan buku laporan harian pasien ke kantor. Bahkan beliau hafal semua kunci pintu dan gembok yang digunakan di bangsal M. Supeer, benar-benar asisten tanpa tanda jasa.
Ada satu cerita lucu tentang Mbah D yang kami dapatkan dari perawat. Suatu ketika dulu, Mbah D pernah dipindahkan ke bangsal lansia. Baru beberapa hari di sana, Mbah D demam. Ternyata Mbah D tidak betah ada di bangsal itu. Mbah D sudah terlalu nyaman dengan bangsal M. Bisa disebut bangsal M lah rumah Mbah D. Beliau lebih merasa berharga di bangsal ini. Hahahaha.
Selain Mbah D, ada juga yang lansia, namanya Mbah M. Mbah M ini jalannya ngesot dan sedang dibiasakan untuk belajar berdiri dan berjalan dengan kakinya. Mbah M ini tidak kooperatif tapi tidak membahayakan orang lain. Malah sering dijadikan bahan gojek dan mainan bagi teman-teman, perawat, dan mahasiswa praktek. Jahat sih sebenarnya, tapi lucu dan bully'an kami hanya bersifat gojeg kok, percayalah.
Mbah M ini pronounsationnya sudah nggak jelas. Misal mengatakan "jaluk duwite" dipangkas sama beliau menjadi "luk wite". Kami suka bermain-main dengan Mbah M. Mbah M mau melakukan yang diperintahkan, biasanya gerakan menembak, disuruh berdiri, dan macak ganteng. Nah, kalau dia sudah merasa melakukan apa yang kami perintahkan, dia minta uang atau minta rokok. Kalau kita tidak memberi atau kita tinggal pergi, Mbah M akan memasang ekspresi depresi (yang biasanya melongo kosong), memukulkan tangannya ke kepala sembari mengeluh "waa yok opo iki?!". Sumfah Mbah, njenengan tren gahol seantero bangsal. Sehari nggak ngegodain Mbah M rasanya nggak afdol. hahaha *ketawa devil*
Ada juga yang tangannya diiket ke kursi gegara pernah ngebunuh dua temennya. Ada yang suka menclok di pintu jeruji. Ada yang mengaku-ngaku menjadi teman sebelah bednya. Kasian sekali dia tidak mau mengakui namanya sendiri *geleng-geleng*
Ada pula skandal yang terjadi di antara para pasien. Jadi ada dua pasien yang hobinya duduk di depan pintu jeruji. Mereka berhadap-hadapan, saling mendekat, elus-elus, dan cium-cium. Cowok sama cowok. Oh my gosh area 17+ ini! tapi kami tertawa ngakak dibuatnya.
Di balik tingkah yang aneh dan kadang-kadang nggak nyambung, mereka bisa sangat memukau di saat-saat tertentu. Beberapa dari mereka taat beribadah, rajin sholat. Bahkan kami pernah melihat salah satu pasien yang mengaji bakda sholat maghrib.
Perawat bangsal pun sangat baik kepada kami maupun pasien. Mereka lebih menempatkan pasien tersebut sebagai teman, bukan seorang pesakitan. Amazing lah bertemu dengan orang-orang di bangsal M itu. Besok kita bahas orang-orang di bangsal G yang juga tak kalah amazing.
Skenario Tuhan memang udah fit perfectly banget. Dari awal, Tuhan kasih masuk saya di bangsal yang berisi pasien-pasien kocak. Dan Alhamdulillah nya, saya juga dikasih kelompok kerja yang santai tidak terlalu mikir ribet. Yah, resonansi juga kali ya. Saya yang nggak suka terlalu mikir ribet juga bergabung dengan orang-orang seperti itu. Ada lho yang hampir semua anggota kelompoknya adalah orang-orang perfectionist, bikin stress aja. Haha.
Balik ke bangsal. Kami dijatah 2 bangsal per kelompok. Karena waktu kami hanya 4 minggu maka pembagiannya adalah satu minggu di bangsal pertama, minggu kedua pindah bangsal, minggu ketiga intervensi dan PHN (home visit), dan minggu terakhir untuk pembuatan laporan dan ujian.
Minggu pertama jatah kelompok 4 (Vincent, Mbak Ria, Icha, dan saya) di bangsal M. Bangsal laki-laki. Yang kami ambil sebagai klien adalah pasien yang sudah di bed luar. Jadi setiap bangsal, tempat pasien dibagi dua ruangan. Pertama ruangan dalam yang dikunci dan mereka hanya dikeluarkan ketika makan. Mereka ini pasien yang masih labil. Sedangkan ruangan luar pasiennya sudah kooperatif, boleh berjalan-jalan ke luar dengan batas jam malam adalah jam 9. Di bangsal M ini interaksi di antara para pasiennya baik. Mereka suka gojeg, bahkan dengan para perawat bangsal.
Seiring membangun kedekatan dengan mereka (karena meskipun sudah tidak stay di bangsal itu, kami masih sering bolak-balik ke bangsal untuk melanjutkan asesmen dan intervensi), para pasien yang ada di bangsal bagian luar itu sering terlihat bergerombol dan bersama-sama. Kami sering berpapasan di jalan kemudian saling sapa dan mengobrol.
Beberapa kali, mereka datang ke asrama cewek dan memanggil-manggil nama kami bertiga. Persis seperti anak kecil yang mengajak temannya bermain. Mereka pun pernah mengawal saya dan teman-teman saya untuk pergi ke instalasi gizi (ruang makan mahasiswa) pada malam hari. Atau mereka yang sengaja nongkrong di depan instalasi gizi pada jam makan mahasiswa hanya untuk bertemu dan mengobrol bersama kami. So sweet.. Di satu sisi mengharukan, tapi di sisi lain juga mengkhawatirkan. Saya dan teman saya sampai hampir takut jika terlalu attach dengan mereka dan sulit untuk dettach ketika sudah selesai nantinya. Ketika seorang klien sulit untuk dettach dengan psikolognya, berarti psikolog tersebut gagal.
Dari empat kelompok, hanya klien-klien kelompok 4 lah yang sampai segitunya. Kami bertiga pernah sampai sengaja mengabaikan ketika mereka memanggil dari luar asrama. Bilang aja lagi tidur atau lagi pergi, demi biar mereka tidak terlalu bergantung dengan kami karena kalau mereka bergantung, berarti kami gagal. Tapi syukurlah lambat laun mereka bisa lepas. Meskipun masih kadang-kadang nongkrong di depan asrama, tetapi tidak seintens sebelumnya.
Di bangsal M ada seorang pasien inventaris, Mbah D. Beliau sudah sepuh dan sudah 30sekian tahun menghuni bangsal itu. Sudah tidak punya keluarga sehingga dibiarkan ada di sana karena keberadaannya di sana juga membantu. Beliau sudah selama kurang lebih 3 tahun ini berhenti minum obat dan tidak pernah kambuh. Hebaat! Di bangsal M, beliau bisa dibilang asisten perawat. Beliau lah yang membantu perawat-perawat mengurusi para pasien, termasuk membagikan minuman dan makanan tambahan dari dapur. Kalau ada yang ngeyel, akan dibentak dan dimarahi oleh beliau. Beliau pula lah yang bertugas mengantarkan buku laporan harian pasien ke kantor. Bahkan beliau hafal semua kunci pintu dan gembok yang digunakan di bangsal M. Supeer, benar-benar asisten tanpa tanda jasa.
Ada satu cerita lucu tentang Mbah D yang kami dapatkan dari perawat. Suatu ketika dulu, Mbah D pernah dipindahkan ke bangsal lansia. Baru beberapa hari di sana, Mbah D demam. Ternyata Mbah D tidak betah ada di bangsal itu. Mbah D sudah terlalu nyaman dengan bangsal M. Bisa disebut bangsal M lah rumah Mbah D. Beliau lebih merasa berharga di bangsal ini. Hahahaha.
Selain Mbah D, ada juga yang lansia, namanya Mbah M. Mbah M ini jalannya ngesot dan sedang dibiasakan untuk belajar berdiri dan berjalan dengan kakinya. Mbah M ini tidak kooperatif tapi tidak membahayakan orang lain. Malah sering dijadikan bahan gojek dan mainan bagi teman-teman, perawat, dan mahasiswa praktek. Jahat sih sebenarnya, tapi lucu dan bully'an kami hanya bersifat gojeg kok, percayalah.
Mbah M ini pronounsationnya sudah nggak jelas. Misal mengatakan "jaluk duwite" dipangkas sama beliau menjadi "luk wite". Kami suka bermain-main dengan Mbah M. Mbah M mau melakukan yang diperintahkan, biasanya gerakan menembak, disuruh berdiri, dan macak ganteng. Nah, kalau dia sudah merasa melakukan apa yang kami perintahkan, dia minta uang atau minta rokok. Kalau kita tidak memberi atau kita tinggal pergi, Mbah M akan memasang ekspresi depresi (yang biasanya melongo kosong), memukulkan tangannya ke kepala sembari mengeluh "waa yok opo iki?!". Sumfah Mbah, njenengan tren gahol seantero bangsal. Sehari nggak ngegodain Mbah M rasanya nggak afdol. hahaha *ketawa devil*
Ada juga yang tangannya diiket ke kursi gegara pernah ngebunuh dua temennya. Ada yang suka menclok di pintu jeruji. Ada yang mengaku-ngaku menjadi teman sebelah bednya. Kasian sekali dia tidak mau mengakui namanya sendiri *geleng-geleng*
Ada pula skandal yang terjadi di antara para pasien. Jadi ada dua pasien yang hobinya duduk di depan pintu jeruji. Mereka berhadap-hadapan, saling mendekat, elus-elus, dan cium-cium. Cowok sama cowok. Oh my gosh area 17+ ini! tapi kami tertawa ngakak dibuatnya.
Di balik tingkah yang aneh dan kadang-kadang nggak nyambung, mereka bisa sangat memukau di saat-saat tertentu. Beberapa dari mereka taat beribadah, rajin sholat. Bahkan kami pernah melihat salah satu pasien yang mengaji bakda sholat maghrib.
Perawat bangsal pun sangat baik kepada kami maupun pasien. Mereka lebih menempatkan pasien tersebut sebagai teman, bukan seorang pesakitan. Amazing lah bertemu dengan orang-orang di bangsal M itu. Besok kita bahas orang-orang di bangsal G yang juga tak kalah amazing.
Lorong |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar