Senin, 26 Mei 2014

Elegi Angkutan Umum



Keberadaan angkutan umum di jogjakarta agaknya telah mengalami pergeseran. Beberapa tahun yang lalu ketika saya menginjakkan kaki pertama kali ke jogja untuk mengenyam pendidikan di tahun 2008, masih banyak dijumpai angkutan umum bersliweran melewati kampus. Bagi saya yang ke mana-mana naik angkot, saya tidak merasa kesulitan menemukan angkot ini. Saya bahkan lebih hapal jurusan-jurusan angkot dibandingkan teman saya yang asli jogja. Haha. Tapi memang bagaimanapun juga saya tidak terlalu fleksibel mengenai tempat tujuan, hanya sebatas yang dilalui angkutan umum saja. Tapi toh tempat-tempat tujuan penting saya semuanya terlewati oleh angkutan umum. Sebutlah stasiun tugu atau gamping ketika saya akan pulang ke kampung halaman saya. Toga mas kalau saya mau mencari dan membeli buku. Malioboro kalau saya mau berjalan-jalan, dll.

Akan tetapi, sebagai yang bisa juga disebut pengamat angkutan umum, tahun-tahun belakangan ini mulai sulit menemukan angkutan umum. Bukan punah, tapi mungkin armadanya berkurang. Harus menunggu minimal 30 menit dulu baru angkutan yang kita butuhkan datang.

Ada apa sebenarnya dengan perangkotan di jogjakarta? Bisa jadi karena keberadaan angkot mulai tergusur oleh transjogja. Orang lebih nyaman menggunakan transjogja yang ber-AC dibandingkan angkot biasa sehingga pihak manajemen perangkotan mengurangi jumlah armada yang beroperasi untuk menekan kerugian yang didapat. Bisa jadi.

Atau bisa jadi pula keberadaan angkutan umum lebih tergusur oleh kendaraan pribadi. Semakin menjamurnya kemudahan kredit kendaraan pribadi, semakin orang mendapatkan kendaraan pribadi tersebut dengan mudah dan cepat. Dengan berbekal uang muka yang hanya berapa persennya dari harga asli, orang merasa diuntungkan. Ujungnya sama juga, yang tadinya ke mana-mana naik angkot sekarang tidak lagi. Peminat berkurang, jumlah armada pun dikurangi.

Dan tahu apa efeknya kalau hampir semua orang memilih menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum? Yup, maceet meen! Semakin banyak kemacetan yang terjadi, semakin banyak orang yang mengumpat, dan semakin banyak orang yng stres. Gimana negara ini mau sehat mental?

PS. Ditulis di dalam bus kota jogja-kutoarjo.

Sabtu, 10 Mei 2014

Beri Ruang, Beri Jarak, Beri Rasa



Hello there! Weitts, malem minggu nih sekarang *kerling*. Gimana malem mingguan kamu? Asyik? Atau manyun bete? Hati-hati, bisa jadi penyebab pertengkaran kalian adalah masalah jarak. Tentang LDR nih? Ih, enggak juga. Jarak yang mau dibahas di sini lebih pada jarak personal emosional, bukan jarak secara fisik. 

Meski LDR, belum tentu lho tidak dekat secara emosi. Dan meski jarak fisik dekat setiap hari ketemu juga belum tentu dekat pula secara emosionalnya. Baik pacaran jarak dekat maupun jarak jauh bergerak dalam satu kontinum. Di satu titik bisa menjadikan hubungan sehat dan di titik yang satunya bisa menjadikan hubungan rusak.

Apa penyebabnya? Salah satunya adalah jarak. Pernah nggak kamu punya temen lama yang jaraang banget kontak? Makin ke sini makin nggak pernah. Lama-lama bisa lupa kan kalau punya teman dia? Atau pernah juga nggak kamu setiap hari makan bakso terus nggak diselingi dengan makanan lain. Kira-kira apa yang kamu rasakan? Bosen dan lama-lama mungkin akan muak lalu tidak mau melihat bakso lagi, bukan?

Nah, jarak dalam suatu hubungan seperti itu lah analoginya. Bagi yang LDR, kalau saling menghubungi saja males, lama-lama jarak kalian semakin menjauh dan bahkan bisa terlupa lalu hilang, persis sama dengan analogi teman lama tadi itu. Bagi yang setiap hari setiap jam ketemuan juga biasanya banyak berantem. Karena apa? Karena makin kamu tahu semua hal tentang dia secara live dan makin kamu selalu bersama dia, kamu jadi meributkan hal-hal kecil. Karena sebagian orang ada yang belum siap menerima kenyataan tentang perbedaan sifat atau pikiran. Semakin kamu tahu banyak sampai hal yang sekecil-kecilnya, semakin banyak pula perbedaan di antara kalian yang kamu ketahui. Bisa jadi kamu menjadi syok dan menuntut dia berubah mengikuti kebiasaanmu. Nggak akan pernah jadi! Manusia itu diciptakan berbeda, nggak bisa semuanya sama. Kamu juga mungkin akan bosen karena setiap hari selalu monoton aktivitasnya. Lama-lama bisa jadi kamu muak melihat dirinya, seperti analogi makan bakso tadi itu.

Ini namanya Hukum Gossen. Hayoo ada yang masih ingat pelajaran ekonomi nggak? Hukum Gossen I berbunyi "Jika pemenuhan kebutuhan akan suatu jenis barang dilakukan secara terus-menerus, maka rasa nikmatnya mula-mula akan tinggi, namun semakin lama kenikmatan tersebut semakin menurun sampai akhirnya mencapai batas jenuh". See?

Jarak dalam suatu hubungan, hubungan apapun itu kecuali kepada Tuhan, memang terkadang diperlukan. Ketika nggak ada jarak kamu akan terasa pengap dan kehilangan pijakan. Kamu jadi kehilangan kesadaran, kehilangan logika, bahkan kehilangan rasa rindu. Karena dalam suatu perjalanan kamu butuh untuk berhenti sejenak, beristirahat barang sebentar untuk merenungkan perjalanan yang sudah kalian lalui, meresapi makna perjalanan yang sedang kalian lalui, dan merencanakan untuk perjalanan yang akan kalian lalui. Kamu akan bisa melihat dengan jelas di sana. Jika dalam perjalanan yang sudah kamu lalui itu terdapat kekurangan, sebisa mungkin kamu meminimalisir hal itu akan terjadi lagi di kemudian hari. 

Jika kamu saja tidak punya waktu untuk merenungkan semuanya, bagaimana mungkin kamu mengetahui apa yang kurang dan perlu diperbaiki? Toh, dengan memberi kesempatan untuk merenung, kamu akan lebih bisa merasai segala sesuatunya dan menghirup wanginya jalan yang sudah kalian lalui itu. Wangi cinta. Ketika semua rasa, warna dan wewangian itu sudah terangkum menjadi satu, kalian bisa melanjutkan perjalanan dan bersiaplah untuk menyambut hal-hal yang jauh lebih indah.



PS. Sometimes kita butuh jarak untuk melihat. Ketika semuanya tanpa jarak, kita terasa pengap, kita hilang pijakan, kita terengah-engah. Terkadang boleh lah kita berhenti sejenak. Memberi ruang untuk segala rasa dan pikir. Memberi ruang untuk mendengarkan hati nurani. Memberi ruang berarti memberi jarak. Tak harus terlalu berjarak. Kita tahu sejauh mana jarak yang kita perlukan untuk merasa dan memikir. 
Salam lovers!

Kamis, 08 Mei 2014

A Day With Tulus



Live in concert Tulus bersama Wardah beauty cosmetic tanggal 6 Mei kemarin menyisakan kesan yang amazing. Terutama bagi saya yang untuk pertama kalinya dalam hidup memutuskan untuk menonton konser secara langsung. Acara bertajuk A Day With Tulus itu berlangsung di Purna Budaya UGM dari jam 7-10 malam.

Selama ini saya tidak pernah tertarik dengan menonton konser secara langsung. Dua alasan saya simple. Pertama, kalau konser itu gratis, saya hampir bisa dipastikan tidak mendapatkan apa-apa karena tubuh saya yang kecil akan tenggelam berada di kerumuman orang itu dan tidak bisa melihat panggung. Kedua, kalau saya berada di konser di mana saya bisa duduk dengan tenang dan melihat dengan jelas yang ada di panggung, berarti konser itu menunjukkan angka uang. Semakin tinggi angka uang, semakin kita bisa melihat dengan leluasa dan puas. Nah, saya kepengennya tetap bisa melihat dengan jelas tanpa ketutupan tapi tanpa mengeluarkan biaya juga. Hampir tidak mungkin, bukan?

Dari berbagai pemusik yang pernah menjadikan Jogja sebagai salah satu destinasi konsernya, ada tiga penyanyi yang saya kepengen banget nonton yaitu Rick Price, Andre Hehanusa, dan Tulus. Rick Price penyanyi berkebangsaan barat era 90an. Saya suka banget lagu-lagu beliau. Sayang waktu itu karena artis international jadi harga tiketnya tidak terjangkau kantong saya. Andre Hehanusa juga penyanyi dari era 90an. Meskipun penyanyi domestik namun karena Om Andre ini, you know lah, setenar apa beliau itu, jadi harga tiketnya pun masih kurang ramah untuk saya. Bisa terjangkau sih tapi itu untuk kelas yang bisa dipastikan berdesak-desakan.

Nah, si Tulus ini nih yang gratis. Kali ini. Yup, saya juga surprise mendengarnya karena konser Tulus sebelum-sebelumnya di Jogja tidak pernah gratis. Konsernya besok bulan Juni pun tidak gratis. Sudah dari sekitar seminggu sebelum hari-H, saya sudah mendengar iklannya di radio. Konsernya ini dalam rangka road show wardah beauty cosmetic di mana si Tulus ini menjadi brand ambassador dari Wardah. Karena kerjasama dengan Wardah itulah konser beliau kali ini gratis, tidak seperti biasanya.

Saya kepengen banget nonton, tapi saya nggak tau mau nonton sama siapa (saya nggak tau siapa teman saya yang suka Tulus) dan sebenarnya saya sudah skeptis duluan karena kan gratis pasti lah desak-desakan dan bisa dipastikan saya yang kecil ini tenggelam di antara ribuan penonton lain di depan saya. Saya jadi memutuskan untuk mendengarkan interviewnya saja di Swaragama FM sejam sebelum konsernya. Tapi menit-menit terakhir, ketika sudah open gate juga sih, teman saya mengubah dunia saya. Haha.

Jadi waktu itu saya seperti biasa berkeliling lantai 2 mencari pasukan makan malam. Sampai pada saya menanyai teman saya "Galih kamu makan nggak?" "Nggak mbak, aku mau nonton konser." "Hah? Kamu mau nonton Tulus?" "Iyaa." "Aaa aku mauu!" Di situ saya galau. Pengen banget nonton mumpung gratis dan ada teman nonton tapi kalau di sana desak-desakan aku nggak mau. Akhirnya aku mau dengan syarat kalau aku nggak bisa ngeliat panggung aku pulang. Haha. "Buru mbak udah mau mulai". Demi Tulus, saya menunda makan saya. Saya bergegas ke kamar, papasan dengan teman saya yang baru pulang dan menanyai saya mau makan nggak. Saya bilang enggak mau nonton Tulus. Ferna, teman saya yang lain denger dari dalam kamarnya "Hah? Ada Tulus mbak? Aku ikuut, tungguu!"

Akhirnya kami bertiga -yang tahu Tulus- berangkat ngebut. Sudah mulai pembukaan jadi masuknya enggak perlu pake antri. Sudah penuh sih, tapi karena duduk lesehan, jadi bisa lumayan kelihatan lah. Kami kemudian ketemu dengan dua teman kos yang lain ternyata, Sinta dan Yuli. Kami maju dan menempatkan posisi di tengah.

Dibuka dengan orkestra dari UGM. Band pembuka selanjutnya adalah Batiga. Band asal Jogja. Entahlah saya juga baru tahu saat itu kalau ada band Jogja namanya Batiga. Drummernya itu temannya Galih ternyata, oalah. Sekitar jam 9 baru deh, Tulus.

Begitu Tulus menyapa penontonnya, langsung riuh suasana gedung Purna Budaya. Apalagi ketika Tulus mulai melantunkan satu persatu lagunya. Aaaah melting. Selama sekitar satu jam lebih dikit, Tulus membawakan 10 lagunya. Dimulai dari Baru, Jatuh Cinta, Gajah, Diorama, Jangan Cintai Aku Apa Adanya, Tuan Nona Kesepian, Teman Hidup, Bumerang, Sewindu, dan Sepatu sebagai lagu penutup. Semua lagunya dibawakan langsung, enggak lipsync, dan semuanya mengajak penonton untuk beryanyi bersama. Beberapa lagunya merupakan curahan hati asli dari Tulus sendiri. Energi khusuknya jadi lebih berasa ketika lagu itu dilantunkannya.

Jam setengah 11 selesai. Energi positifnya benar-benar masih terasa. Saya sampai nggak bisa tidur habis itu. Haha. Puaslah untuk sebuah konser gratis dari Tulus. Tulus lho, bukan artis yang kacangan lagu-lagunya.

Untuk menggambarkan kebuncahan rasa itu memang nggak bisa disubstitusikan dengan kata, akan berbeda rasanya ketika membaca laporan tentang konser dengan menonton konsernya secara langsung. Setiap orang punya rasa membuncahnya sendiri-sendiri. Bagi saya sendiri, saya akan meneriakkan ini "Tulus, that was awesome, you rock meen!!"

Penampilan grup orchestra UGM. cam: Ferna

















Performansi dari Batiga. cam: Swarin






Penampilan Tulus. Cam: Ferna

Cuplikan performansi Tulus "Jangan Cintai Aku Apa Adanya". Cam: Ferna


Cuplikan performansi Tulus "Sewindu". Cam: Ferna



Cuplikan performansi Tulus "Sepatu". Cam: Ferna









Selasa, 06 Mei 2014

Cerita Seorang Phobia Anjing

Bayangkan ketika loe phobia anjing dan harus bertamu ke rumah orang yang anjingnya aja ada dua biji. Loe sebelumnya nggak ngerti kalau yang mau loe datengin itu nasrani dan punya penjaga. Rumahnya aja loe musti nanya-nanya orang dulu baru ketemu. Begitu permisi, pintu dibuka jebreet 2 anjing keluar dan ngelilingin loe sambil menggonggong. Yang punya rumah ngebentak penjaganya. Dua anjing itu menjauh, tapi nggak juga terlalu jauh, hanya beberapa langkah menjauh.

Terus pas loe lagi menyampaikan maksud kedatangan kepada pemilik rumah, suara nafas anjing itu terdengar, meski posisi si anjing ada di luar rumah. Blank semua apa yang mau loe sampaikan. Akhirnya dengan susah payah sambil berusaha terlihat tenang, loe menyampaikan intinya saja. Mana sempat memikirkan basa-basi apapun.

Bayangkan ketika dalam situasi seperti itu, anjing yang seekor masuk ke dalam rumah, ngedeketin loe. Dua centimeter aja jarak antara moncongnya dan lutut loe. Nyaris bersentuhan. Jantung rasanya kek mau copot.  Freeze. Akhirnya pas mau balik, loe dengan mencabut dulu urat malu, minta tolong empunya rumah untuk nganterin loe melewati anjing-anjingnya.

Fiuuh, dan bahkan berpuluh menit setelah keluar dari bahaya itu, kaki loe masih lemes rasanya. Deg-degannya aja masih berasa. Kampreet. Tapi at least loe bersyukur masih selamet idup enggak ada yang kurang dari daging loe *sigh*

PS. Gue tau kenapa gue phobia anjing. Itu pasti karena gue kucing :o