Stasiun Kutoarjo (01/08) |
Minggu, 3 Agustus 2014
Lebaran sebagai tradisi identik dengan 4 hal: mudik, macet, semua harga naik, dan larisnya tempat wisata.
Mudik, jelas, bagi orang-orang rantau di seluruh penjuru nusantara, moment lebaran dirasa paling pas untuk pulang dan berkumpul dengan sanak family berkat adanya libur serentak nasional selama kurang lebih satu minggu. Dampak ke belakangnya jelas menimbulkan macet lalu lintas karena penduduk di ujung nusantara mana pun sebagian besar meluangkan waktunya untuk pulang ke kampung halaman pada moment lebaran ini. Yang namanya macet, yaa tahu sendiri lah, perjalanan yang harusnya bisa ditempuh dalam waktu 4 jam dalam kondisi normal misalnya, bisa jadi molor menjadi 6-8 jam tergantung tingkat keparahan macetnya. Mudik dan kemacetan nggak usah dibahas lebih lanjut lagi ya. Itu topik paling utama yang menghiasi berita-berita di media, jadi tahu sendiri lah ya kayak mana gambaran mudik dan macet itu.
Oke, daripada bosen ngebahas mudik dan macet, beralih saja lah ke isu nomor 3: Semua harga naik. Yang ini saya nggak tahu pasti apa sebabnya. Kalau mau agak intelektual sedikit sih, mungkin ini terkait dengan prinsip ekonomi, equilibrium antara penawaran dan permintaan. Jadi, musim lebaran kan banyak orang yang membeli-beli, entah baju entah bahan makanan atau apapun itu. Nah, banyaknya permintaan itu tidak seimbang dengan ketersediaan barang sehingga harganya dinaikkan agar bisa menjadi seimbang. Termasuk juga harga angkutan umum juga naik karena mobilitas orang di musim lebaran meningkat dari hari biasanya. Itu penjelasan dari segi yang sedikit ilmiah. Tapi si dulu waktu kecil saya sering, ungg entah dibohongin atau beneran, dibilang kalau harga-harga pada naik karena penjual-penjual itu butuh duit buat lebaran dan buat kasih wisit (uang saku) ke anak-anaknya. Okesip, abaikan alasan tidak masuk akal ini.
Dan di era lebaran bisa dipastikan tempat-tempat wisata penuh berjubel. Moment liburan (agak) panjang sering dimanfaatkan untuk berlibur ke tempat wisata bersama sanak family atau teman-teman lama. Masa-masa lebaran seperti ini ada dua jenis foto yang bertebaran di sosial media. Pertama foto keluarga besar, settingnya biasanya di suatu ruangan di sebuah rumah, atau bisa juga di beranda rumah. Yah pokoknya setting-setting yang mengindikasikan rumah atau kampung halaman. Kedua, foto yang bersetting di sebuah tempat wisata. Personilnya bisa keluarga, bisa juga teman-teman.
oke, bagian yang berkumpul bersama dengan keluarga itu bisa dibilang hukumnya fardhu ain. Tidak sama hukumnya dengan bagian pergi bertamasya di saat lebaran, bukan? Tetapi bagi sebagian besar orang, merasa tidak afdol jika tidak piknik di saat lebaran. How come? Saya rasa tidak ada alasan yang masuk akal untuk membenarkan hal itu. Tapi sepertinya hal itu sudah membudaya dalam masyarakat kita. Pembelaan apa sih yang sebenarnya digunakan? Coba nih, waktu lebaran otomatis harga tiket masuk tempat wisata memberlakukan edisi lebaran, which is lebih mahal dari biasanya. Belum perjalanan menuju destinasi wisata yang macetnya minta ampun bisa menghabiskan waktu di jalan dua kali lipat lebih banyak dari waktu tempuh normal. Belum lagi sudah sampai di tempat wisata, di sana penuh sesak. Mau menikmati apa?? Dan percaya tidak percaya, destinasi wisata terfavorit waktu lebaran adalah pantai! Nggak di kota kecil seperti daerah saya, nggak di kota besar seperti jogja, sama aja. Saya nggak paham kenapa -__-.
Daerah tempat tinggal simbah saya dekat dengan pesisir. Dulu waktu kecil tiap kali lebaran ke tempat simbah, selalu ditanya "wis maring segara po rung?" (udah main ke pantai belum?), seperti sudah mentradisi kalau lebaran itu ritualnya main ke pantai. Dulu waktu kecil sih memang saya dan saudara-saudara saya sering jalan-jalan waktu kumpul di rumah eyang. Tapi kebanyakan berdestinasi ke rumah kerabat yang mungkin jarang kontak seperti eyang buyut atau besannya eyang saya. Jarang ketika kemudian menuju ke tempat wisata.
Entah saya terkena doktrin dari orang tua atau dari budhe-budhe saya ataukah saya yang menarik kesimpulan sendiri bahwa sangat tidak asyik ketika berlibur ke tempat wisata di saat musim lebaran. Alasannya ya itu, tidak bisa menikmati tempat wisata, kalau di pantai misalnya, ya tidak bisa menikmati indah dan syahdunya suasana pantai, plus tarif masuknya lebih mahal. Kecuali kalau momentnya occasional banget. Misalnya benar-benar bisa bertemu teman-teman atau saudara itu hanya sekali setahun waktu lebaran itu, dan atau tempat yang akan dituju benar-benar hanya bisa dikunjungi waktu liburan panjang lebaran karena sangat jauh dari tempat tinggal. Tapi tren yang marak di masyarakat biasanya tidak dalam situasi yang exceptional seperti itu. Dari segi orangnya, sering bertemu, yaa minimal lebih dari sekali dalam setahun. Dari segi tempatnya, tempat tersebut bisa dikunjungi kapanpun dalam artian terjangkau jaraknya. Tapi kok ya masiih saja ngotot main ke sana waktu lebaran. Bisa toh kita ke tempat itu di lain kesempatan bersama orang-orang yang sama? Kenapa harus pas lebaran?
Ujung-ujungnya yang terjadi yaa macet lagi. Sesak lagi. Berjubel lagi. kemarin hari jumat, saya harus kembali ke perantauan karena tuntutan tugas. Kepadatan stasiun kutoarjo meningkat sekitar 5 kali lipat dari biasanya. Tidak hanya mereka-mereka yang memang harus kembali ke rantau, tetapi juga mereka-mereka yang meniatkan perjalanan mereka untuk piknik. Rata-rata ke jogja. Naik Prameks. Itulah juga mengapa penumpang prameks kepadatannya meningkat 3 kali lipat. Saya terpojok berdiri di sudut pintu, hanya bisa menggerakkan kaki seperempat langkah ke samping. Ke depan atau belakang pun tidak bisa. Sudah itu saja. Pun laju kereta jadi lebih pelan karena beban muatan yang berlebih. Yang biasanya hanya satu jam perjalanan kutoarjo-jogja, molor jadi hampir 2 jam perjalanan.
Mudik, jelas, bagi orang-orang rantau di seluruh penjuru nusantara, moment lebaran dirasa paling pas untuk pulang dan berkumpul dengan sanak family berkat adanya libur serentak nasional selama kurang lebih satu minggu. Dampak ke belakangnya jelas menimbulkan macet lalu lintas karena penduduk di ujung nusantara mana pun sebagian besar meluangkan waktunya untuk pulang ke kampung halaman pada moment lebaran ini. Yang namanya macet, yaa tahu sendiri lah, perjalanan yang harusnya bisa ditempuh dalam waktu 4 jam dalam kondisi normal misalnya, bisa jadi molor menjadi 6-8 jam tergantung tingkat keparahan macetnya. Mudik dan kemacetan nggak usah dibahas lebih lanjut lagi ya. Itu topik paling utama yang menghiasi berita-berita di media, jadi tahu sendiri lah ya kayak mana gambaran mudik dan macet itu.
Oke, daripada bosen ngebahas mudik dan macet, beralih saja lah ke isu nomor 3: Semua harga naik. Yang ini saya nggak tahu pasti apa sebabnya. Kalau mau agak intelektual sedikit sih, mungkin ini terkait dengan prinsip ekonomi, equilibrium antara penawaran dan permintaan. Jadi, musim lebaran kan banyak orang yang membeli-beli, entah baju entah bahan makanan atau apapun itu. Nah, banyaknya permintaan itu tidak seimbang dengan ketersediaan barang sehingga harganya dinaikkan agar bisa menjadi seimbang. Termasuk juga harga angkutan umum juga naik karena mobilitas orang di musim lebaran meningkat dari hari biasanya. Itu penjelasan dari segi yang sedikit ilmiah. Tapi si dulu waktu kecil saya sering, ungg entah dibohongin atau beneran, dibilang kalau harga-harga pada naik karena penjual-penjual itu butuh duit buat lebaran dan buat kasih wisit (uang saku) ke anak-anaknya. Okesip, abaikan alasan tidak masuk akal ini.
Dan di era lebaran bisa dipastikan tempat-tempat wisata penuh berjubel. Moment liburan (agak) panjang sering dimanfaatkan untuk berlibur ke tempat wisata bersama sanak family atau teman-teman lama. Masa-masa lebaran seperti ini ada dua jenis foto yang bertebaran di sosial media. Pertama foto keluarga besar, settingnya biasanya di suatu ruangan di sebuah rumah, atau bisa juga di beranda rumah. Yah pokoknya setting-setting yang mengindikasikan rumah atau kampung halaman. Kedua, foto yang bersetting di sebuah tempat wisata. Personilnya bisa keluarga, bisa juga teman-teman.
oke, bagian yang berkumpul bersama dengan keluarga itu bisa dibilang hukumnya fardhu ain. Tidak sama hukumnya dengan bagian pergi bertamasya di saat lebaran, bukan? Tetapi bagi sebagian besar orang, merasa tidak afdol jika tidak piknik di saat lebaran. How come? Saya rasa tidak ada alasan yang masuk akal untuk membenarkan hal itu. Tapi sepertinya hal itu sudah membudaya dalam masyarakat kita. Pembelaan apa sih yang sebenarnya digunakan? Coba nih, waktu lebaran otomatis harga tiket masuk tempat wisata memberlakukan edisi lebaran, which is lebih mahal dari biasanya. Belum perjalanan menuju destinasi wisata yang macetnya minta ampun bisa menghabiskan waktu di jalan dua kali lipat lebih banyak dari waktu tempuh normal. Belum lagi sudah sampai di tempat wisata, di sana penuh sesak. Mau menikmati apa?? Dan percaya tidak percaya, destinasi wisata terfavorit waktu lebaran adalah pantai! Nggak di kota kecil seperti daerah saya, nggak di kota besar seperti jogja, sama aja. Saya nggak paham kenapa -__-.
Daerah tempat tinggal simbah saya dekat dengan pesisir. Dulu waktu kecil tiap kali lebaran ke tempat simbah, selalu ditanya "wis maring segara po rung?" (udah main ke pantai belum?), seperti sudah mentradisi kalau lebaran itu ritualnya main ke pantai. Dulu waktu kecil sih memang saya dan saudara-saudara saya sering jalan-jalan waktu kumpul di rumah eyang. Tapi kebanyakan berdestinasi ke rumah kerabat yang mungkin jarang kontak seperti eyang buyut atau besannya eyang saya. Jarang ketika kemudian menuju ke tempat wisata.
Entah saya terkena doktrin dari orang tua atau dari budhe-budhe saya ataukah saya yang menarik kesimpulan sendiri bahwa sangat tidak asyik ketika berlibur ke tempat wisata di saat musim lebaran. Alasannya ya itu, tidak bisa menikmati tempat wisata, kalau di pantai misalnya, ya tidak bisa menikmati indah dan syahdunya suasana pantai, plus tarif masuknya lebih mahal. Kecuali kalau momentnya occasional banget. Misalnya benar-benar bisa bertemu teman-teman atau saudara itu hanya sekali setahun waktu lebaran itu, dan atau tempat yang akan dituju benar-benar hanya bisa dikunjungi waktu liburan panjang lebaran karena sangat jauh dari tempat tinggal. Tapi tren yang marak di masyarakat biasanya tidak dalam situasi yang exceptional seperti itu. Dari segi orangnya, sering bertemu, yaa minimal lebih dari sekali dalam setahun. Dari segi tempatnya, tempat tersebut bisa dikunjungi kapanpun dalam artian terjangkau jaraknya. Tapi kok ya masiih saja ngotot main ke sana waktu lebaran. Bisa toh kita ke tempat itu di lain kesempatan bersama orang-orang yang sama? Kenapa harus pas lebaran?
Ujung-ujungnya yang terjadi yaa macet lagi. Sesak lagi. Berjubel lagi. kemarin hari jumat, saya harus kembali ke perantauan karena tuntutan tugas. Kepadatan stasiun kutoarjo meningkat sekitar 5 kali lipat dari biasanya. Tidak hanya mereka-mereka yang memang harus kembali ke rantau, tetapi juga mereka-mereka yang meniatkan perjalanan mereka untuk piknik. Rata-rata ke jogja. Naik Prameks. Itulah juga mengapa penumpang prameks kepadatannya meningkat 3 kali lipat. Saya terpojok berdiri di sudut pintu, hanya bisa menggerakkan kaki seperempat langkah ke samping. Ke depan atau belakang pun tidak bisa. Sudah itu saja. Pun laju kereta jadi lebih pelan karena beban muatan yang berlebih. Yang biasanya hanya satu jam perjalanan kutoarjo-jogja, molor jadi hampir 2 jam perjalanan.
Penuhnya penumpang prameks (01/08) |
Turun di stasiun Tugu, langsung disambut pemandangan sesaknya sepanjang jalan malioboro. Huah, apa sih yang orang-orang nikmati di kerumuman itu? Saya saja selama hampir 6 tahun berada di Jogja, tidak pernah menjadikan malioboro sebagai tempat nongkrong saat malam minggu. Rame, bikin capek dan tua di jalan doang meen! Itu baru malem minggu yang setiap seminggu sekali ada. Bayangkan kalau pas musim liburan gini seperti apa padetnya. Malioboro baru terlihat pesonanya ketika dalam kondisi tidak terlalu ramai. Lebih bisa diresapi nuansa historis dan budayanya. Bayangin aja kamu belanja-belanji di malioboro yang penuh sesak gitu, bisa tuh milih-milih barangnya dengan tenang? Lagi asyik pilih-pilih udah disergap kerumuman orang-orang yang misuh karena kamu pilihnya kelamaan. Nggak asyik. Bandingkan dengan kamu nyari barang di malioboro saat suasana santai tidak terlalu riuh, kamu bisa kan pilih-pilih santai, kalau perlu sambil ngobrol ngalor ngidul dengan penjualnya kali aja dia kasih harga sangat miring khusus buat kamu berkat keramahanmu dengan beliau.
Ujung jalan malioboro. Diambil sembari menunggu taksi (01/08) |
Satu lagi, kalau kamu doyan banget foto, ini juga perlu dipertimbangkan. Di saat yang penuh sesak, background fotomu adalah kerumunan orang. Kadang-kadang malah ada orang yang jahil asal timbrung di belakang kamu. Rese. Belum nanti kalau di hasil fotonya, enggak kelihatan sama sekali kamu lagi ada di tempat wisata mana. Suram sekali hidupmu. Bandingkan kalau pas suasana nggak terlalu ramai, kamu bisa dapat background foto landscape malioboro atau pantai atau tempat wisata manapun yang kamu kunjungi, lebih memorable. asiik. Coba deh, lebih manfaat yang mana hayo loh?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar