Laman
Label
- Halo Purworejo (9)
- Psychology (35)
- random (55)
- Ruang Cinta (6)
- Ruang Sastra (8)
- Sekuel Saung Kecil (68)
- Serba Serbi Dunia (23)
- Song's story (11)
Selasa, 28 Mei 2013
SD Negeri Kutoarjo 1, Riwayatmu Kini
Rabu, 29 Mei 2013
Beberapa hari lalu saya diajak bapak berkunjung ke SD saya dulu, SD Negeri Kutoarjo 1. Bapak memang sedang menerima proyek nglatih drama untuk perpisahan SD beberapa minggu lagi. Nah, berhubung saya dan kakak saya sedang pulang kampung, kami sekeluarga "ikut" latihan, sekaligus napak tilas kalau bagi saya dan kakak saya. Komentar saya ketika memasuki kembali gedung sekolah itu: "Wow, beda banget ya sekarang?". Jelas lah banyak terjadi perubahan dalam kurun waktu 11 tahun sejak saya lulus dari sana. Dari yang terlihat secara fisik bangunannya, hingga karakter anak-anaknya (dari hasil observasi saya) pun berbeda jauh.
Dari jaman saya sekolah dulu, secara gampang gedung dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama (depan) berisi deretan ruang kelas dengan ruang guru terletak di tengah-tengah barisan. Bagian kedua (di belakang kelas dibatasi oleh taman) adalah deretan aula, kamar mandi, perpustakaan, dan UKS. Saya menyusuri deretan ruang kelas, mengintip dari balik kaca jendelanya. Perbedaan yang paling mencolok adalah sekarang semuanya sudah berkeramik. Semasa saya sekolah, satu-satunya ruangan yang berkeramik adalah ruang guru. Melongok ke dalam kelas, tidak banyak yang berubah, tempat duduknya masih sama, bangku jaman dulu yang di bagian ujung tengah meja terdapat lubang bulat. SD saya sudah ada sejak jaman penjajahan belanda. Pada jaman dahulu, siswa-siswanya menulis dengan bulu yang ujungnya dicelupkan pada tinta. Nah, lubang di meja itu dimaksudkan untuk tempat menaruh botol tinta.
Bentuk bangku yang seperti itu menampung cukup banyak siswa. Saya ingat dulu di kelas-kelas awal (kelas 1-3) teman sekelas saya cukup banyak, sekitar 50an anak. Sehingga banyak bangku yang diisi oleh 3 anak, padahal idealnya satu bangku kapasitas 2 anak. Di sebelah kiri gedung kelas dulunya adalah rumah milik Bu Lis, guru bahasa jawa. Dulu kami sering bermain-main di halaman rumah Bu Lis ini. Tapi sekarang sudah dibangun mushalla, sudah sejak beberapa tahun yang lalu sih.
Beralih ke bagian belakang deretan kelas. Formasi semasa saya sekolah, di paling kiri (belakang rumah Bu Lis) ada UKS. Jarang ada yang mau ke UKS, suasananya surem di sini. Di sebelahnya ada perpustakaan dan ruang baca. Perpustakaan ini entah kenapa suasananya juga surem, gelap, jadi jarang yang berkunjung ke perpustakaan. Ngomong masalah perpustakaan, saya jadi ingat dulu pas awal-awal kelas 4 saya pernah main kejar-kejaran sama seorang teman. Pas kejar-kejaran itu kepergok sama guru agama, beliau bilang "Daripada oyak-oyak'an (kejar-kejaran) mending nyapu perpus" sambil mengangsurkan dua buah sapu pada kami. Haha, unforgetable. Di sebelah perpustakaan ada aula. Aula ini disebut-sebut sebagai pusat keangkeran sekolah. Macam-macam saja cerita yang beredar. Kami tidak ada yang berani masuk ruang aula sendirian. Harus bersama-sama, atau minimal berdua. Saya inget pada satu hari Jum'at, anak laki-laki melaksanakan sholat jum'at di masjid agung seberang alun-alun sedangkan anak perempuan sholat dzuhur di aula. Sembari menunggu waktu jum'atan selesai, kami sok-sokan mengungkap misteri aula. Jadi menurut mitos, makhluk halus bakal menampakkan diri apabila ada cermin. Lalu kami pun mempraktekkan hal tersebut. Kami mengarahkan cermin ke satu sudut di aula. Setelah beberapa saat, tiba-tiba saja salah satu temen saya menjerit. Kami pun lari tunggang-langgang. Setelah agak tenang, teman saya tersebut bercerita kalau dia melihat ada sesosok anak laki-laki duduk menghadap ke barat, matanya melotot merah. Hanya dia yang melihat "penampakan" itu. Tentang keakuratannya, entahlah, saya pun juga tidak melihat apa-apa saat kejadian.
Di sebelah aula ada jalan pintas menuju SD belakang, SD Prajuritan. Dulu pintu ini jadi pintu favorit kalau telat upacara pas hari senin. Kenapa? Karena siswa yang telat tetap bisa masuk ke area sekolah tanpa harus menunggu upacara selesai, termasuk saya yang sering telat. Saya suka masuk lewat samping SD Prajuritan, terus masuk lewat pintu kecil itu. Beres. Tau-tau pas selesai upacara saya udah ada di kelas aja. haha. Di sebelah pintu masuk rahasia itu adalah deretan koperasi (menjual alat-alat tulis), gudang (tempat penyimpanan alat drumband), dan satu ruang lagi terletak di antaranya, kalau tidak salah sih digunakan sebagai ruang guru juga karena yang di gedung depan tidak cukup, saya agak2 lupa. Haha. Di depan deretan ruang ini ada taman kecil. Di sebelah kanan deretan ruang-ruang itu di pisahkan jalan kecil, ada deretan kamar mandi. Ada tiga kamar mandi dan kesemuanya gedhe-gedhe (bisa dibayangkanlah perbandingan antara kamar mandi jaman belanda dengan jaman sekarang). Dulu juga nggak ada yang berani ke kamar mandi sendirian, pasti bawa temen. Di sebelah deretan kamar mandi ada tempat parkir. Banyak siswa yang pergi ke sekolah dengan naik sepeda. Tempat parkir ini tempat yang paling jarang saya kunjungi. Tentu saja, jarak sekolah dengan rumah saya cukup ditempuh dengan jalan kaki. Di depan tempat parkir ada lapangan basket, kadang-kadang kami menggunakan lapangan itu pada saat jam olah raga. Tapi masih lebih sering olahraga di alun-alun kutoarjo sih, depan sekolah ini.hehe.
Di sebelah tempat parkir ada kantin Pak Slamet. Kantin Pak Slamet ini cukup populer di kalangan kami, bahkan anak-anak SMP 16 (dulu letaknya di sebelah SD) sering njajan di situ. Sekalian mbathi liat anak-anak SD yang imut kali ya motivasinya. Haha.
Nah, gedung belakang inilah yang formasinya sudah banyak berubah. UKS jelas sudah tidak di tempatnya dulu. Bangunan mushalla memanjang dari depan sampai belakang, entah sekarang UKS pindah ke mana. Perpustakaan sekarang sekaligus gudang. Aula kini sudah dipugar, temboknya diruntuhkan sehingga tampak seperti pendhapa. Aura surem sudah lenyap. Ruang-ruang setelahnya hingga tempat parkir tidak ada perubahan kecuali perubahan jadi keramik. Kantin Pak Slamet sudah diperluas, ditambah meja dan kursi untuk makan, juga dikeramik. Overall, secara fisik, nuansa klasik dan ornamen kekunoan belanda'nya sudah tersamarkan. Meski masih ada beberapa properti "kuno" yang dipertahankan, tapi kalah dengan renovasi-renovasi modern itu.
Beralih pada proses latihan, seperti kebiasaan bapak, menggabungkan konsep drama dan musik live yaitu menggunakan gamelan. Gamelan yang pokok saja seperti bonang, saron, dan gong. Gamelan yang sama yang pernah saya dan beberapa teman mainkan pada masa kelas 6. Saat itu acara perkemahan sekolah (persami), saya dan beberapa teman diberi tugas untuk mempertunjukkan pertunjukan musik gamelan. Yeah, well, saya kebagian memegang peking, semacam saron tapi dia konsepnya dua kali ketukan dari saron, jadi untuk memainkannya dituntut kecepatan tangan. Rada susah memang ketika harus memainkan gendhing yang bertempo cepat. Dulu bonang dipegang sama Dani, saron dipegang sama Sekar. Dan gegara nggak ada yang bisa mainin peking selain saya, maka saya disuruh ikut pesta siaga sekecamatan. Padahal sebenernya saya tidak masuk dalam tim perwakilan sekolah. Entahlah saya harus bangga atau sedih. haha. Selama latihan, rekaman-rekaman ingatan itu bermunculan.
Saya juga sedikit berbincang dengan guru olahraga dan seni, masih sama dari semenjak saya SD dulu, Pak Ali. Anak-anak SD sekarang besar-besar (secara fisik) dan kata beliau banyak slentingan dari rekan-rekannya "Pantesan betah jadi guru olahraga, lha wong bocahe wis gedhe-gedhe ngono". Haha, yah, sekedar selentingan nakal saja. Memang, harus saya akui, sekarang saya kalah besar dengan anak-anak SD. Bahkan jika saya bergabung bersama mereka, orang nggak akan tahu kalau saya hampir 10tahun lebih tua dari mereka. Itu poin pertama yang sangat terlihat mencolok. Hal lain, saya sedikit kaget ketika mencuri dengar percakapan mereka. Mereka sekarang lebih banyak berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Well, ke mana bahasa Jawa? Kutoarjo bisa dibilang ndeso, dulu saya dan teman-teman saya tidak ada yang berkomunikasi (informal) dengan bahasa Indonesia, semua dikemas dengan bahasa jawa sehari-hari. Tapi sekarang kok menghilang ya? Mereka masih orang Jawa, tetapi komunikasi sehari-hari mereka tidak menggunakan bahasa Jawa. Gejala apa ini? Jujur saya prihatin. Orang tua jaman sekarang nyatanya lebih suka mengajarkan anak berbicara keseharian dalam bahasa Indonesia, anak tidak dikenalkan interaksi dengan bahasa daerahnya sendiri. Mungkin ungkapan "wong jawa ilang jawane" sudah mulai tampak menggejala di masyarakat Jawa dalam beberapa dekade ini.
Yea, mungkin perubahan yang saya temui itu hanya sekelumit dari perubahan-perubahan yang terjadi. Everybody's changing, kalau kata lagu. Tapi at least pasca saya napak tilas kemarin, banyak perenungan-perenungan yang terjadi dalam diri saya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
jd inget saat sd dulu,,aku kira bangku 'classic"nya udh d ganti, trnyata msh to
BalasHapus