Kita beruntung hidup di zaman sekarang di mana hampir semua kebutuhan kita terpenuhi dengan adanya teknologi. Namun jangan sampai kita menyalahgunakan teknologi. Tagline yang marak tentang teknologi adalah mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Teknologi haruslah digunakan sesuai fungsinya. Sekiranya masih bisa dilakukan tanpa menggunakan teknologi, lakukan itu. Handphone. Fungsi dari handphone adalah sarana komunikasi jika jarak tidak memungkinkan untuk bertemu. Motor, kalau cuma mau pergi jarak dekat yang bisa ditempuh dengan jalan kaki, berjalanlah.
Handphone
Kebiasaan orang kita adalah ikut-ikutan tren. Kalau teman-teman kita semuanya pakai BB (blackberry) kita ikut-ikutan pakai BB. Kalau semua pakai android, kita ikut-ikutan pakai android. Biar nggak ketinggalan info, katanya. Halah, alasan klise. Alasan yang dipakai oleh orang-orang yang krisis identitas. Orang-orang yang demikian itu merasa takut tidak memiliki teman, merasa takut tidak diterima di lingkungan sosialnya. Perasaan takut itu mendorongnya untuk mengikuti apa yang lingkungannya lakukan, sekalipun untuk mencapainya perlu usaha yang sangat berat.
Gini deh konkritnya. Temen-temenmu pakai BB. Handphonemu bukan BB dan kalau mau beli BB, kantongmu belum cukup. Teman-temanmu yang pakai BB sarana komunikasinya beralih dari sms menjadi BBM. Sedangkan kamu nggak bisa BBM-an. Kemudian timbul rasa tersingkirkan dalam hatimu, kamu merasa terpinggirkan dari dunia sosialmu karena itu. Karena kamu terlalu takut untuk nggak punya temen, akhirnya kamu berusaha mati-matian untuk bisa beli BB supaya kamu bisa BBMan dengan temen-temenmu. Padahal sebenarnya ada yang lebih kamu butuhkan, lebih bermanfaat dibandingkan BB.
Menyedihkan sekali mengetahui orang-orang semacam itu. Betapa tidak? Orang seperti itu adalah orang yang sebenarnya memiliki banyak teman tapi dia merasa kesepian. Bukankah merasa kesepian di tempat yang ramai itu berbahaya? Jika kamu salah satunya, berarti tingkat kerentananmu untuk depresi berada pada level tinggi. Memangnya, jika teman-temanmu memakai BB sedangkan kamu enggak, mereka tidak mau lagi bergaul denganmu? Oh, mungkin iya sih kalau kamu selama ini berada di lingkungan yang rasist. Hello, kamu tidak akan kehilangan mereka lho. Mereka tetap akan menganggapmu teman. Dan kalau pun ada info-info penting semacam undangan rapat organisasi atau masalah akademik, mereka tetap akan menyebarkannya lewat sosial media yang lain seperti facebook, twitter, atau bahkan sms jarkom secara personal. Coba deh inget-inget, info-info yang penting itu disebarluaskan di beberapa sosial media yang kira-kira semua orang yang terlibat itu punya kan? tidak hanya lewat BBM atau WA atau Line yang belum semuanya punya kan? Sekarang pun, ketika lingkungan sosial saya lebih banyak kaum-kaum yang jauh di atas saya kondisi ekonominya, info-info penting tetap dijarkomkan melalui sms. Padahal hampir semuanya punya WA, hanya segelintir orang saja dari kami yang tidak punya WA. Tapi mereka memilih untuk tidak meninggalkan yang minoritas ini, mereka tetap peduli.
Sebagian besar kita sudah tergantung pada gadget sebagai sarana komunikasi baik yang jauh maupun yang dekat, dipukul rata. Di antara anak kos saja, sekarang lebih suka komunikasi lewat gadget. Kamar depan dan kamar belakang, mau janjian makan malam bareng, janjiannya lewat sms padahal tahu pasti kalau orangnya ada di kamar. Kenapa harus sms? Bisa kan kita datangi langsung ke kamarnya? Kecuali kalau kita tidak tahu pasti orangnya ada di kamar atau enggak, boleh lah kita sms. Tapi kalau sama-sama tahu ada di kos, kenapa tidak kita gerakkan kaki kita ke kamar teman? Bukan berarti pelit atau sayang pulsa, tapi bukankah lebih sopan dan etis jika kita datang ke kamarnya? Akan terasa ada kedekatan personal juga ketika kita berinteraksi dengan bertatap muka.
Ada satu lagi jenis orang yang menurut saya lebay. Sepasang kekasih yang tidak LDR tetapi setiap hari telepon-teleponan. Lebay kalau menurut saya. Buat apa telepon? Toh masih bisa bertemu langsung. Yaa meskipun mungkin tidak setiap hari ketemu, tapi prevalensi untuk bertemu itu lebih banyak daripada yang LDR. Kenapa musti telepon? Alasan yang paling banyak dikemukakan oleh orang dari golongan ini adalah kangen tapi males mau nyamperin ke kosnya, jauh. Yaelah, ngambang gitu, nggak teges. Kalau kangen, samperin lah. Kalau males hari ini capek, yaudah besok kan masih bisa ketemu. Pembicaraan di telepon itu nanggung, menurut saya, kalau jarak di antara keduanya memungkinkan untuk bertemu. Berkomunikasi dengan bertatap muka akan lebih menambah kedekatan personal karena kita bisa menangkap muatan emosi lawan bicara ketika bertemu langsung. Orang-orang dari golongan yang suka telepon walaupun nggak LDR ini, biasanya lebih sering berbagi cerita lewat telepon sedangkan tiap kali mereka ketemuan hanya untuk makan bareng atau belanja dengan waktu ngobrol sedikit. Kebalik. Seharusnya ketika bertemu langsung, perbanyak saling cerita, mengobrol dari hati ke hati. Nggak harus selalu makan yang menjadi agenda pacaran. Kebanyakan, karena sudah bercerita lewat telepon, mereka sudah kehabisan bahan pembicaraan ketika bertemu. Alhasil agenda mereka hanya makan atau belanja, karena bingung mau ngobrolin apa. Parah meen. Pacaran kalian nggak ada bedanya sama LDR.
Motor
Gini deh konkritnya. Temen-temenmu pakai BB. Handphonemu bukan BB dan kalau mau beli BB, kantongmu belum cukup. Teman-temanmu yang pakai BB sarana komunikasinya beralih dari sms menjadi BBM. Sedangkan kamu nggak bisa BBM-an. Kemudian timbul rasa tersingkirkan dalam hatimu, kamu merasa terpinggirkan dari dunia sosialmu karena itu. Karena kamu terlalu takut untuk nggak punya temen, akhirnya kamu berusaha mati-matian untuk bisa beli BB supaya kamu bisa BBMan dengan temen-temenmu. Padahal sebenarnya ada yang lebih kamu butuhkan, lebih bermanfaat dibandingkan BB.
Menyedihkan sekali mengetahui orang-orang semacam itu. Betapa tidak? Orang seperti itu adalah orang yang sebenarnya memiliki banyak teman tapi dia merasa kesepian. Bukankah merasa kesepian di tempat yang ramai itu berbahaya? Jika kamu salah satunya, berarti tingkat kerentananmu untuk depresi berada pada level tinggi. Memangnya, jika teman-temanmu memakai BB sedangkan kamu enggak, mereka tidak mau lagi bergaul denganmu? Oh, mungkin iya sih kalau kamu selama ini berada di lingkungan yang rasist. Hello, kamu tidak akan kehilangan mereka lho. Mereka tetap akan menganggapmu teman. Dan kalau pun ada info-info penting semacam undangan rapat organisasi atau masalah akademik, mereka tetap akan menyebarkannya lewat sosial media yang lain seperti facebook, twitter, atau bahkan sms jarkom secara personal. Coba deh inget-inget, info-info yang penting itu disebarluaskan di beberapa sosial media yang kira-kira semua orang yang terlibat itu punya kan? tidak hanya lewat BBM atau WA atau Line yang belum semuanya punya kan? Sekarang pun, ketika lingkungan sosial saya lebih banyak kaum-kaum yang jauh di atas saya kondisi ekonominya, info-info penting tetap dijarkomkan melalui sms. Padahal hampir semuanya punya WA, hanya segelintir orang saja dari kami yang tidak punya WA. Tapi mereka memilih untuk tidak meninggalkan yang minoritas ini, mereka tetap peduli.
Sebagian besar kita sudah tergantung pada gadget sebagai sarana komunikasi baik yang jauh maupun yang dekat, dipukul rata. Di antara anak kos saja, sekarang lebih suka komunikasi lewat gadget. Kamar depan dan kamar belakang, mau janjian makan malam bareng, janjiannya lewat sms padahal tahu pasti kalau orangnya ada di kamar. Kenapa harus sms? Bisa kan kita datangi langsung ke kamarnya? Kecuali kalau kita tidak tahu pasti orangnya ada di kamar atau enggak, boleh lah kita sms. Tapi kalau sama-sama tahu ada di kos, kenapa tidak kita gerakkan kaki kita ke kamar teman? Bukan berarti pelit atau sayang pulsa, tapi bukankah lebih sopan dan etis jika kita datang ke kamarnya? Akan terasa ada kedekatan personal juga ketika kita berinteraksi dengan bertatap muka.
Ada satu lagi jenis orang yang menurut saya lebay. Sepasang kekasih yang tidak LDR tetapi setiap hari telepon-teleponan. Lebay kalau menurut saya. Buat apa telepon? Toh masih bisa bertemu langsung. Yaa meskipun mungkin tidak setiap hari ketemu, tapi prevalensi untuk bertemu itu lebih banyak daripada yang LDR. Kenapa musti telepon? Alasan yang paling banyak dikemukakan oleh orang dari golongan ini adalah kangen tapi males mau nyamperin ke kosnya, jauh. Yaelah, ngambang gitu, nggak teges. Kalau kangen, samperin lah. Kalau males hari ini capek, yaudah besok kan masih bisa ketemu. Pembicaraan di telepon itu nanggung, menurut saya, kalau jarak di antara keduanya memungkinkan untuk bertemu. Berkomunikasi dengan bertatap muka akan lebih menambah kedekatan personal karena kita bisa menangkap muatan emosi lawan bicara ketika bertemu langsung. Orang-orang dari golongan yang suka telepon walaupun nggak LDR ini, biasanya lebih sering berbagi cerita lewat telepon sedangkan tiap kali mereka ketemuan hanya untuk makan bareng atau belanja dengan waktu ngobrol sedikit. Kebalik. Seharusnya ketika bertemu langsung, perbanyak saling cerita, mengobrol dari hati ke hati. Nggak harus selalu makan yang menjadi agenda pacaran. Kebanyakan, karena sudah bercerita lewat telepon, mereka sudah kehabisan bahan pembicaraan ketika bertemu. Alhasil agenda mereka hanya makan atau belanja, karena bingung mau ngobrolin apa. Parah meen. Pacaran kalian nggak ada bedanya sama LDR.
Motor
Hayo siapa di sini yang pergi ke mana-mana lebih suka naek motor, ngacung? Sebagian besar dari kita yang memiliki motor, cenderung lebih manja. Ke kampus yang hanya butuh 10 menit jalan kaki, semenjak punya motor jadi males, terasa capek kalau jalan kaki. Padahal dulu sebelum punya motor juga biasa jalan kaki ke kampus. Beli makan, yang sebenarnya bisa ditempuh dengan jalan kaki 10 menit misalnya, semenjak punya motor jadi selalu pakai motor untuk beli makan. Semua-semuanya pakai motor. Kalau disuruh jalan ogah, males atau capek katanya. Padahal juga cuma 10-15 menit jalan kaki. Itu jarak yang dekat. Tapi karena kita terlalu manja dengan motor, kita jadi ketergantungan. Parahnya lagi, lama-lama kita jadi membatalkan kepergian kita gara-gara motornya dipinjem, misalnya. Pantes kalau mahasiswa sekarang banyak yang ngeluh sulit mengontrol berat badan. Diet nggak makan nasi berhari-hari. Nggak sehat meen! Ayolah. Kita punya kaki yang masih sehat. Pakailah buat berjalan. Motor atau kendaraan bermotor lainnya memang penting. Tapi gunakan sebutuhnya saja. Misalnya kita mau pergi ke tempat yang berjarak 10 km jauhnya, nggak mungkin juga kita jalan kaki kan? Tahu sendiri lah kita seberapa butuh kita terhadap kendaraan bermotor, jangan terlalu manja, nggak sehat. Nambah polusi udara juga kan? Katanya mau go green, tapi disuruh jalan kaki nggak mau. Sama aja bo'ong.
Gadget dan kendaraan bermotor itu sejauh yang saya amati selama ini menjadi isu yang diam-diam menggerogoti mahasiswa dan kaum muda lainnya. Kayak virus. Keberadaannya kadang tidak kita sadari, tapi nyata lambat laun melanda dan mengubah pola pikir kita. Mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Jika sudah menjadi virus manja, teknologi akan lebih mengubah hubungan yang dekat menjadi jauh.
Ayo lah, kita bisa gunakan gadget dan kendaraan bermotor itu dengan lebih bijak. Jangan jadikan mental ini berubah menjadi mental manja. Teknologi itu ada untuk memudahkan kita, bukan untuk memanjakan kita.
Gadget dan kendaraan bermotor itu sejauh yang saya amati selama ini menjadi isu yang diam-diam menggerogoti mahasiswa dan kaum muda lainnya. Kayak virus. Keberadaannya kadang tidak kita sadari, tapi nyata lambat laun melanda dan mengubah pola pikir kita. Mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Jika sudah menjadi virus manja, teknologi akan lebih mengubah hubungan yang dekat menjadi jauh.
Ayo lah, kita bisa gunakan gadget dan kendaraan bermotor itu dengan lebih bijak. Jangan jadikan mental ini berubah menjadi mental manja. Teknologi itu ada untuk memudahkan kita, bukan untuk memanjakan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar