Minggu, 06 Februari 2011

Bara Itu Bernama Social Support

Akhirnya ke rumah simbah jugaa. Sejak hari pertama liburan semester, baru kemarin Minggu ke tempat simbah, ckckck. Niatnya sih, si ibu mo stok beras sekalian layat tetangganya simbah yang lusa lalu nggak ada. Ke sanalah aku sama ibu pagi jam 10an. Di angkot aku inget kalau biasanya simbah hari Minggu gini pengajian. Tapi Alhamdulillah sampai sana simbah ada di rumah dan crita kalau emang ada pengajian tapi nggak berangkat karena siangnya mau ada arisan keluarga jadi biar nggak capek. Dan mungkin firasat juga kalau aku pikir. Simbah ngrelain nggak ikut pengajian karena ada arisan keluarga siangnya, ing ngatase ngono (walaupun begitu – red) simbah dapet penggantinya, yaitu kedatangan anak dan cucunya, ya ibu dan aku ini. Betapa bahagianya orang tua (atau dalam hal ini ibu karena simbah sudah janda) ketika melihat anaknya pulang, masih ingat dan bersedia menengok dirinya yang kian merenta.

Bagiku sendiri, aku mengagumi sosok mbah putriku ini. Meski untuk berpergian sudah selalu pakai teken (tongkat), tapi beliau masih sehat, lincah, dan masih bisa ngapa-ngapain sendiri. Semenjak mbah kakung nggak ada, beliau jadi lebih sering lagi ikut pengajian. Itu yang aku kagum. Dan beliau nggak pernah lelah ngasih wejangan, wejangan yang sarat akan spiritualitas. Pokoknya mbah tu selalu ngingetin biar kita selalu ingat dan dekat dengan Allah. Itu yang bikin ngangenin.

Sebenarnya ada hal lain lagi yang bikin aku suka ke tempat simbah. Suasananya. Simbah tinggal di desa. Nggak desa-desa banget sih, tapi di sana kita bakal nemuin banyak lahan atau pekarangan yang rimbun oleh pepohonan, kebanyakan pohon kelapa dan pisang..dan tak ketinggalan dengan adanya sawah tentunya. Orang-orangnya pun tampil dengan keramahan yang khas. Banyak dari mereka malah tahu namaku tanpa aku tahu nama mereka. Sedikit bias memang, entah karena karakter orang desa yang lebih care dan lebih punya rasa persaudaraan terhadap para kerabat tetangganya, ataukah karena faktor masa kecilku yang nyaris tiap malam minggu dan liburan sekolah menginap di sana. Entahlah, aku merasa lebih nyaman dengan orang-orang yang membalut hidup mereka dengan kesederhanaan, menjunjung kearifan lokal, dan penuh kehangatan terhadap orang lain. Ah, very nice..hal yang jarang ditemukan pada orang kota, I guess.

Oh ya! Hal lain yang membuatku tertarik adalah keren. Keren bukanlah kata yang memiliki arti “penampilan yang eye-catching”. Pengucapan huruf “e” pada kata “keren” sama seperti ketika kita mengucapkan kata “senin”, artinya tidak lain tidak bukan adalah tungku memasak. Dulu keren ini dibuat dari beberapa batu bata yang disusun membentuk persegi, dengan lubang di bagian tengahnya dan bagian depan tempat kayu bakar. Sekarang, tungku ini sudah banyak yang terbuat dari tanah liat. Aku paling suka bermain-main dengan benda satu itu. Bukan berarti aku suka masak, karena aku biasanya cuma suka memasuk-masukkan blarak (daun kelapa yang kering), mancung (kulit manggar), dan kayu tulang tempat daun-daun kelapa berpijak, satu per satu untuk menjaga sang api tetap menyala. Bukan berarti pula aku merasa dingin dan akan nyaman bila berada di depan tungku, karena justru aku kepanasan tapi rasa panas itu tetap terkalahkan oleh suatu sensasi.

Ada suatu sensasi yang menakjubkan ketika kita mengamati bagaimana api yang melalap sulur-sulur kayu yang kita sodorkan padanya, bagaimana ia meninggalkan bara yang menyala terang berkelap-kelip, dan bagaimana bara yang baru saja ditinggalkan oleh api akan memanggil sang api kembali ketika kita sodorkan kayu yang baru lagi. Ah, ia serasa hidup. Setiap dari kita pun seperti itu, menyimpan bara semangat. Suatu saat ketika bara itu menyala menjadi api, kita bisa melakukan hal yang luar biasa. Suatu saat api itu akan padam tapi bukan benar-benar padam, ia meninggalkan bara yang akan dengan cepat menjadi api apabila kita sodori kayu bakar berupa inspirasi, insight, dan motivasi/niat, Bahkan pada orang-orang yang mungkin lebih suka mengaku “tak punya lagi gairah hidup”. Simbah dan tetangga-tetangga simbah adalah representasi dari bara itu, yang walaupun dengan kesederhanaan, tinggal sendirian di rumah, tetap dapat menyalakan api semangat oleh lingkungan sosial yang lekat dengan kehangatan. Bara dalam diri kita tidak akan padam selama Sang Pencipta masih meniupkan nafas untuk kita.

P.S. Sad news: Sandalku ilaang! Ibu lupa g masukin sandal setelah dipake ke pertemuan dasa wisma sabtu sore. Paginya udah lenyap dengan sukses. Oh no,, balik jogja bakal nyeker nih! Haha…

Song for the day: If My Heart Was a House – Owl City. Meski rada nggak nyambung, tapi secara makna universal lagu inilah yang mungkin paling mewakili pentingnya kehadiran orang lain (social support) dalam hidup kita untuk menghidupkan bara yang kita miliki.
=)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar