Sabtu, 22 Maret 2014
Di zaman yang kelihatannya jarak sosial semakin dekat, bahkan hampir tak berjarak dengan adanya teknologi, masih tersisa gelintir orang yang menciptakan jarak nyata dengan orang yang dianggap lebih rendah secara sosial.
Salah satunya seperti yang terjadi antara pemilik kos saya dengan mbak Yah. Mbak Yah adalah seorang mbak-mbak yang bertugas membersihkan kos setiap dua hari sekali. Mbak Yah ini adalah pembantu yang paling lama bekerja di kos saya dibandingkan dengan mbak-mbak yang terdahulu. Sepanjang hampir 6 tahun saya tinggal di kos F18/c, pembantu kos sudah beberapa kali ganti. Pertama kali masuk kos adalah seorang ibu-ibu (maaf, saya tidak tahu namanya) yang masih tergolong tetangga kos. Rumahnya hanya berbeda blok dengan kos saya. Ibu itu datang untuk membersihkan kos setiap pagi. Hanya sekitar dua tahun masa kepemimpinan ibu itu, kemudian beliau mengundurkan dirinya. Kemudian, diganti dengan mbak-mbak (ini beneran mbak-mbak atau malah saya curiga dia seumuran dengan saya). Dengan mbak-mbak muda ini, saya jarang bertegur sapa karena mbak ini datangnya siang di jam-jam saya kuliah. Hanya sesekali kalau pas kebetulan ketemu, saya melempar senyum padanya. Hanya sebatas itu. Mbak ini tidak terlalu bersih kerjaannya jika dibandingkan dengan ibu-ibu sebelumnya. Oh ya, sejak ibu itu mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pembantu kos, sampai sekarang saya masih suka bertegur sapa dengan beliau jika kebetulan papasan di jalan.
Mbak-mbak muda ini tidak bertahan lama, hanya dalam hitungan bulan yang tak sampai habis hitungan satu tangan, mbak ini tidak lagi pernah datang. Untuk urusan sampah, sesekali Mas Repsol (anak pemilik kos yang dipasrahi penuh terhadap urusan kos, nama disamarkan) yang ngambilin. Kami para anak kos sering nyinyir jika itu terjadi. Yah, bagi yang pernah kos, setidaknya tahulah apa lagu paling klise untuk konflik hubungan anak kos dan pemilik kos.
Setelah itu, datang mbak-mbak baru. Ibu-ibu sebenarnya, tapi kami memanggilnya Mbak. Mbak Yah. Mbak Yah bekerja untuk Pak Sandal (pemilik kos, nama disamarkan, ayah dari Mas Repsol) sejak Pak Sandal memiliki dua rumah kos di Jogja ini. Pak Sandal sendiri tidak bertempat tinggal di Jogja, beliau berada di Temanggung sehingga untuk masalah kos diserahkan kepada Mas Repsol. Mbak Yah seorang pembantu yang mengurusi dua rumah gedhe-gedhe. Mbak Yah disediakan kamar tempat tinggal di kos yang baru (daerah Pogung). Mekanisme kerja Mbak Yah tetap harian. Pagi-pagi Mbak Yah diantar Mas Repsol ke kos saya, kemudian siangnya setelah selesai, mbak Yah kembali ke Pogung dengan naik angkot. Siang hingga malam beliau mengurusi kos Pogung.
Tapi kegiatan antar-mengantar itu tidak bertahan lama. Lama-kelamaan, Mbak Yah disuruh untuk berangkat dan pulang sendiri. Pemberian uang untuk mengangkot juga hanya terjadi di awal-awal bekerja saja. Gaji Mbak Yah sangat kecil, 250ribu/bulan untuk dua rumah. Mbak Yah kemudian memutuskan untuk berangkat dan pulang dengan berjalan kaki demi menghemat uang gajinya. Padahal jarak antara kos saya dan kos Pogung jauh, sekitar 30-45 menit jika ditempuh dengan jalan kaki. Dan itu harus dilakukannya setiap hari.
Pada bulan Ramadhan yang saya lupa tahun kapan itu, Mbak Yah sempat bercerita dia akan mengundurkan diri dari kos F18/c. Beliau merasa terlalu capek jika harus bolak-balik kuningan-pogung dengan berjalan kaki setiap harinya. Beliau mau mengurus satu rumah saja yaitu pogung. Kami mendukung penuh rencana Mbak Yah. Bukan kami jahat tidak mau lagi melihat Mbak Yah menginjakkan kaki di kos kami. Bukan, sama sekali bukan. Kami merasa kasihan kepada Mbak Yah yang kecapekan dan bergaji kecil sehingga kami pikir sudahlah kos F18c biar kami saja yang gantian piket membersihkannya.
Libur lebaran semua pulang kampung. Begitu saya balik kos, saya kaget karena ada Mbak Yah. Ngobrollah saya dengan beliau. Ternyata ketika Mbak Yah mengemukakan keinginannya untuk mengurus satu rumah saja, Pak Sandal dan keluarga mendatangi rumah Mbak Yah di Klaten untuk menjemput Mbak Yah agar mau bekerja lagi di dua kos itu. Akhirnya Mbak Yah bersedia dengan syarat datang ke kos F18c setiap dua hari sekali saja agar tidak kecapekan bolak-baliknya. Dan seperti itulah keputusan akhirnya.
Kami anak kos dekat dengan Mbak Yah, sering mengobrol. Saya sendiri (terutama saat-saat saya menjadi mahasiswa akhir yang cenderung selo, apalagi saat sudah lulus, atau jika sekarang weekend saya berada di kos) sering cerita-cerita dengan Mbak Yah. Yaa meskipun saya sambil sesekali ngutik-ngutik laptop dan Mbak Yah dengan sapunya duduk di depan pintu kamar saya. Sudah, mengobrol di situ, curhat, becandaan, kadang sampai lama. Kadang jika saya punya makanan kecil, saya angsurkan ke Mbak Yah supaya ikut ngemil bersama saya.
Pertengahan tahun lalu, Pak Sandal resmi membuka satu rumah kos lagi di Jogja. Kabarnya, itu dulunya bekas gereja yang entah tidak lagi dipakai entah dibeli oleh Pak Sandal. Mbak Yah hingga saat ini mengurusi tiga rumah dengan gaji 500ribu. Kami tahu semua itu dari cerita-cerita yang dituturkan Mbak Yah.
Miris mendengar curhatan Mbak Yah tentang kehidupannya. Perjuangan kaum bawah yang susah payah mengais repih-repih kehidupan yang sebisa mungkin didapatkannya. Kekontrasan yang nyata antara apa yang terjadi pada Pak Sandal dan Mbak Yah. Ada jarak begitu jauh yang sengaja diciptakan oleh Pak Sandal, termasuk jarak sosial dan moral sebagai manusia.
Mbak Yah memang bukan siapa-siapa. Beliau hanyalah pembantu yang bekerja di kos saya. Tugasnya memang hanya menyapu,mengepel, mengambil sampah dari bak sampah masing-masing anak kos, dan membersihkan kamar mandi. Tapi Mbak Yah bagai hadir dari sisi lain bentuk kehidupan. Layaknya dewi penolong yang diutus Tuhan untuk mengajarkan kepada kami banyak hal dari hal yang kecil di sekitar kita. Tentang moral, tentang manusia, dan tentang kerasnya hidup. Mungkin kami anak kos tidak pernah bisa membantu Mbak Yah secara finansial ataupun mengadukan keluhan-keluhan beliau kepada Pak Sandal, tapi biarlah kami menjadi tempat sampah Mbak Yah agar pikiran Mbak Yah tidak kepenuhan atau meledak saking banyaknya hal yang harus dipikirkannya.
Salah satunya seperti yang terjadi antara pemilik kos saya dengan mbak Yah. Mbak Yah adalah seorang mbak-mbak yang bertugas membersihkan kos setiap dua hari sekali. Mbak Yah ini adalah pembantu yang paling lama bekerja di kos saya dibandingkan dengan mbak-mbak yang terdahulu. Sepanjang hampir 6 tahun saya tinggal di kos F18/c, pembantu kos sudah beberapa kali ganti. Pertama kali masuk kos adalah seorang ibu-ibu (maaf, saya tidak tahu namanya) yang masih tergolong tetangga kos. Rumahnya hanya berbeda blok dengan kos saya. Ibu itu datang untuk membersihkan kos setiap pagi. Hanya sekitar dua tahun masa kepemimpinan ibu itu, kemudian beliau mengundurkan dirinya. Kemudian, diganti dengan mbak-mbak (ini beneran mbak-mbak atau malah saya curiga dia seumuran dengan saya). Dengan mbak-mbak muda ini, saya jarang bertegur sapa karena mbak ini datangnya siang di jam-jam saya kuliah. Hanya sesekali kalau pas kebetulan ketemu, saya melempar senyum padanya. Hanya sebatas itu. Mbak ini tidak terlalu bersih kerjaannya jika dibandingkan dengan ibu-ibu sebelumnya. Oh ya, sejak ibu itu mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pembantu kos, sampai sekarang saya masih suka bertegur sapa dengan beliau jika kebetulan papasan di jalan.
Mbak-mbak muda ini tidak bertahan lama, hanya dalam hitungan bulan yang tak sampai habis hitungan satu tangan, mbak ini tidak lagi pernah datang. Untuk urusan sampah, sesekali Mas Repsol (anak pemilik kos yang dipasrahi penuh terhadap urusan kos, nama disamarkan) yang ngambilin. Kami para anak kos sering nyinyir jika itu terjadi. Yah, bagi yang pernah kos, setidaknya tahulah apa lagu paling klise untuk konflik hubungan anak kos dan pemilik kos.
Setelah itu, datang mbak-mbak baru. Ibu-ibu sebenarnya, tapi kami memanggilnya Mbak. Mbak Yah. Mbak Yah bekerja untuk Pak Sandal (pemilik kos, nama disamarkan, ayah dari Mas Repsol) sejak Pak Sandal memiliki dua rumah kos di Jogja ini. Pak Sandal sendiri tidak bertempat tinggal di Jogja, beliau berada di Temanggung sehingga untuk masalah kos diserahkan kepada Mas Repsol. Mbak Yah seorang pembantu yang mengurusi dua rumah gedhe-gedhe. Mbak Yah disediakan kamar tempat tinggal di kos yang baru (daerah Pogung). Mekanisme kerja Mbak Yah tetap harian. Pagi-pagi Mbak Yah diantar Mas Repsol ke kos saya, kemudian siangnya setelah selesai, mbak Yah kembali ke Pogung dengan naik angkot. Siang hingga malam beliau mengurusi kos Pogung.
Tapi kegiatan antar-mengantar itu tidak bertahan lama. Lama-kelamaan, Mbak Yah disuruh untuk berangkat dan pulang sendiri. Pemberian uang untuk mengangkot juga hanya terjadi di awal-awal bekerja saja. Gaji Mbak Yah sangat kecil, 250ribu/bulan untuk dua rumah. Mbak Yah kemudian memutuskan untuk berangkat dan pulang dengan berjalan kaki demi menghemat uang gajinya. Padahal jarak antara kos saya dan kos Pogung jauh, sekitar 30-45 menit jika ditempuh dengan jalan kaki. Dan itu harus dilakukannya setiap hari.
Pada bulan Ramadhan yang saya lupa tahun kapan itu, Mbak Yah sempat bercerita dia akan mengundurkan diri dari kos F18/c. Beliau merasa terlalu capek jika harus bolak-balik kuningan-pogung dengan berjalan kaki setiap harinya. Beliau mau mengurus satu rumah saja yaitu pogung. Kami mendukung penuh rencana Mbak Yah. Bukan kami jahat tidak mau lagi melihat Mbak Yah menginjakkan kaki di kos kami. Bukan, sama sekali bukan. Kami merasa kasihan kepada Mbak Yah yang kecapekan dan bergaji kecil sehingga kami pikir sudahlah kos F18c biar kami saja yang gantian piket membersihkannya.
Libur lebaran semua pulang kampung. Begitu saya balik kos, saya kaget karena ada Mbak Yah. Ngobrollah saya dengan beliau. Ternyata ketika Mbak Yah mengemukakan keinginannya untuk mengurus satu rumah saja, Pak Sandal dan keluarga mendatangi rumah Mbak Yah di Klaten untuk menjemput Mbak Yah agar mau bekerja lagi di dua kos itu. Akhirnya Mbak Yah bersedia dengan syarat datang ke kos F18c setiap dua hari sekali saja agar tidak kecapekan bolak-baliknya. Dan seperti itulah keputusan akhirnya.
Kami anak kos dekat dengan Mbak Yah, sering mengobrol. Saya sendiri (terutama saat-saat saya menjadi mahasiswa akhir yang cenderung selo, apalagi saat sudah lulus, atau jika sekarang weekend saya berada di kos) sering cerita-cerita dengan Mbak Yah. Yaa meskipun saya sambil sesekali ngutik-ngutik laptop dan Mbak Yah dengan sapunya duduk di depan pintu kamar saya. Sudah, mengobrol di situ, curhat, becandaan, kadang sampai lama. Kadang jika saya punya makanan kecil, saya angsurkan ke Mbak Yah supaya ikut ngemil bersama saya.
Pertengahan tahun lalu, Pak Sandal resmi membuka satu rumah kos lagi di Jogja. Kabarnya, itu dulunya bekas gereja yang entah tidak lagi dipakai entah dibeli oleh Pak Sandal. Mbak Yah hingga saat ini mengurusi tiga rumah dengan gaji 500ribu. Kami tahu semua itu dari cerita-cerita yang dituturkan Mbak Yah.
Miris mendengar curhatan Mbak Yah tentang kehidupannya. Perjuangan kaum bawah yang susah payah mengais repih-repih kehidupan yang sebisa mungkin didapatkannya. Kekontrasan yang nyata antara apa yang terjadi pada Pak Sandal dan Mbak Yah. Ada jarak begitu jauh yang sengaja diciptakan oleh Pak Sandal, termasuk jarak sosial dan moral sebagai manusia.
Mbak Yah memang bukan siapa-siapa. Beliau hanyalah pembantu yang bekerja di kos saya. Tugasnya memang hanya menyapu,mengepel, mengambil sampah dari bak sampah masing-masing anak kos, dan membersihkan kamar mandi. Tapi Mbak Yah bagai hadir dari sisi lain bentuk kehidupan. Layaknya dewi penolong yang diutus Tuhan untuk mengajarkan kepada kami banyak hal dari hal yang kecil di sekitar kita. Tentang moral, tentang manusia, dan tentang kerasnya hidup. Mungkin kami anak kos tidak pernah bisa membantu Mbak Yah secara finansial ataupun mengadukan keluhan-keluhan beliau kepada Pak Sandal, tapi biarlah kami menjadi tempat sampah Mbak Yah agar pikiran Mbak Yah tidak kepenuhan atau meledak saking banyaknya hal yang harus dipikirkannya.
PS. Tulisan ini ditulis ketika melihat Mbak Yah datang ke F18/c.
Jadi kangen Mbak Yah...pernah makan bareng, ngobrol, curhat...
BalasHapusMasih sehat kan?
Masih, masih... barusan juga ngobrol sama beliau :D
Hapus