Jogja, 21 Januari 2013
Gerimis. Saung kecil masih tetap menjejak kaki pada jejalan tanah basah. Terasa segar kala rintiknya memapar tubuh saung kecil. Tekadnya sudah bulat, untuk menuju suatu tempat. Tempat yang kepadanya saung kecil selalu menumpahkan segala gundah, pun tempatnya menitip seutas senyum untuk senja.
Saung kecil menghirup dalam-dalam aroma hujan. Wangi. Bau paling wangi yang pernah ia temui di dunia ini. Beberapa genangan tercipta. Rupanya rintik itu saling berkoloni apik, mempersembahkan lingkaran-lingkaran kecil dari tikaman air. Saung kecil duduk di antaranya, mencoba berbincang. Tentang memoar yang pernah bersama mereka di sana. Tentang hujan yang selalu menagih pelangi tiap kali kedatangannya.
Rintik masih menggelitik. Saung kecil melempar pandang pada warna abu-abu yang meraja langit. Ah, abu-abu pun tak selalu sama. Beberapa terdominasi warna putih, beberapa lagi pekat nyaris menghitam. Lantas warna abu-abu seperti apa yang sedang merajai saung kecil? Saung kecil pun tak bisa mendefinisikannya dengan tepat. Terlalu kabur oleh rasa yang merangsek, hingga mengabu dengan sendirinya. Hidup memang selalu penuh dengan abu-abu. Tak terdefinisi, atau memang tidak butuh pendefinisian?
Saung kecil kembali memenuhi paru-parunya dengan bau terwangi itu. Terasa sejuk. Meluruhkan segala eter negatif. Saung kecil sungguh tak ingin mengantongi kesah dan membawanya pulang. Biar teruraikan oleh hembus angin. Biar turut berkoloni bersama genangan air hingga tersurutkan mentari esok hari.
Saung kecil pulang, membawa sisa angin beraroma wangi hujan di kantongnya. Tak lupa menitip salam pada senja.
PS. Terkadang, gerimis membawa pesan tersendiri untuk jiwa-jiwa yang sedang merindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar