Kamis, 08 Desember 2011

Tiga Hari Untuk Selamanya (Part #3)

Kamis, 8 Des '11
9.47 pm

"Konformitas sebagai kontrol sosial: Sebuah studi eksploratif" bukanlah satu-satunya tema yang menjadi pilihan kami saat mendalami permasalahan apa yang ada di Dusun Legundi, Panggang, Gunung Kidul. Ada satu permasalahan lagi yang tidak kalah menarik menurut kami. Dan mengapa kami akhirnya mengambil tema konformitas karena lebih bisa dikaji secara psikologis dan bisa dieksplor dari masyarakat dalam waktu yang relatif singkat.

Di part 3 ini, tidak ada salahnya kan mengulas sedikit tentang satu tema menarik yang tidak jadi kami dalami itu? It's about local myth tradition. Bagi saya pribadi, sangat tertarik dengan tema-tema semacam itu. Mengungkap pengaruh kepercayaan mitos lokal terhadap perilaku masyarakat. Tapi hal tersebut sangatlah tidak mudah bagi kita untuk mengungkapnya dari masyarakat. Karena hal itu sudah masuk ranah kepercayaan yang sifatnya tradisi turun-temurun dan tidak semua orang memiliki alasan yang cukup rasional untuk menjelaskannya. Mungkin bisa kita mengungkapnya, tapi akan sangat membutuhkan waktu, tidak cukup hanya dengan tiga hari membaur dengan masyarakat.

Jadi, kami menemukannya tanpa sengaja. Panas terik membuat kami tertarik untuk duduk di sebuah tembok rendah yang memagari sebuah pohon rimbun di tepi sawah. Sepintas lalu pohon tersebut terlihat biasa saja, kecuali memang sangat lebat dengan cabang (atau akar yang menyerupai batang pohon?) yang begitu banyak. Pohon yang bisa ditebak dengan mudah bahwa usianya sudah lebih dari satu abad.

Ketika kamu mendekat dan mengamati batangnya, kamu akan menemukan beberapa keranjang yang terbuat dari anyaman bambu tergantung di sana. Sajen. Begitu melihat itu, pikirku langsung 'oh, okay, jadi pohon ini dipercaya oleh masyarakat setempat toh?' Ternyata teman-teman sekelompok juga memiliki ketertarikan yang sama. Lantas beberapa teman move on, mencoba menuju hutan dengan harapan bertemu dengan warga di sana yang bisa kami tanyai tentang pohon bertuah itu. Ketemulah dengan bapak-bapak yang pulang dari hutan.

Benar ternyata, pohon tempat kami berteduh itu dipercaya oleh warga sebagai pertanda. Di daerah situ, ada dua pohon yang dikeramatkan, bahkan diakui oleh keraton. Jadi setiap bulan ada abdi dalem keraton jogja yang datang ke sana untuk melakukan ritual dan memberikan sesajen. Pohon pertama, pohon tempat kami berteduh, dipercaya sebagai penanda musim tanam. Jadi, jika pada suatu masa pohon tersebut rontok daunnya sedangkan pohon-pohon yang lain tidak rontok, maka itu pertanda bahwa sebaiknya jangan menanam apapun di sawah atau ladang karena kalau menanam pasti akan rusak atau gagal panen. Sedangkan pohon bertuah yang kedua terletak agak jauh dari pohon pertama, tapi rimbun daunnya terlihat dari tempat kami berada. Pucuk pohon tersebut terlihat seperti bentuk dinosaurus. Berbeda dari pohon bertuah pertama, pohon kedua ini lebih sebagai pertanda bahaya untuk manusia. Konon ceritanya, beberapa hari sebelum gempa jogja 2006 dan beberapa hari sebelum merapi meletus, pohon bertuah ini merontokkan daunnya dengan dahsyat sementara pohon-pohon yang lain baik-baik saja. Believe it or not, it's all back to you.

Menarik untuk dikaji sebenarnya. Terlebih karena keraton jogja pun mengakui pohon-pohon bertuah tersebut. Apa motif di balik semua itu? Benarkah demikian adanya tentang pohon itu? Dan apakah kepercayaan-kepercayaan semacam itu mempengaruhi pola kehidupan masyarakat hingga tingkat dinamika psikologis individu yang terlibat di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin bisa terjawab. Tapi, sekali lagi, nggak cukup hanya dalam waktu 3 hari. Ranah yang diungkap sudah memasuki value seseorang. Adalah sulit bagi kita untuk mengungkap value yang sudah tertanam bertahun-tahun, turun-temurun (mentradisi). Butuh pendekatan lebih mendalam hingga masyarakat percaya sepenuhnya kepada kita bahwa kita bagian dari mereka yang juga berhak tahu tentang tradisi kepercayaan leluhur tersebut. Ranah pemikiran yang sangat filosofis dan privasi bagi kebanyakan masyarakat yang mempercayainya. Ketika kita sebagai orang baru yang tiba-tiba menanyakan tentang hal tersebut, jawaban mereka hampir dapat dipastikan seragam dan membuat si penanya berhenti bertanya: "La nggih pripun malih, wong sampun tradisi kawit riyin" (Lha gimana lagi, namanya sudah tradisi sejak dulu). So, jika tertarik mendalami lebih lanjut, berbaurlah bersama mereka, jadilah salah satu dari mereka.

Okay..mari kita tinggalkan pohon bertuah dan kembali pada kisah kuliah lapangan di Panggang. Kuliah lapangan diakhiri dengan share hasil yang didapat setelah deep interview dengan warga. Berjenis action research ataupun eksploratif.

So, lepas tengah hari pada hari Minggu, kami semua check out dan melaju ke Pantai Gesing. Sebuah pantai yang masih virgin, belum banyak dijamah oleh wisatawan. Seperti pantai-pantai daerah Gunung Kidul yang lain, Pantai Gesing menyuguhkan relief alam yang manakjubkan. Dengan batu karang yang girang memecah buih, pepohonan, rerumputan. Semua unsur alam yang menyapukan eksotisme tersendiri. Aku bukan seseorang yang begitu mengagumi pantai, bahkan aku tidak begitu menyukainya. Tapi pantai-pantai di daerah perbukitan selalu saja menjaring pesona. Aku tak suka ombak yang ganas menyapu kerikil-kerikil dan membuatnya mampus di tengah lautan. Representasi dari gempuran, gelora, nafsu, agresifitas, semacam itu. Tapi aku begitu menyukai keberadaan batu karang, tebing yang melingkupinya dengan segala unsur alam yang terekam di sana. Tebing karang hadir sebagai peredam gelora itu. Kau pikir untuk apa tebing karang itu hadir? Untuk memecah ombak, bukan? Sungguh, pesona yang menjaring dengan segala filosofi keberadaannya. :)

Jam 3 sore, bersiap kembali pulang ke peraduan (baca: rumah/kos masing-masing). Aku pulang membawa sekantung penuh pengetahuan. Tiga hari yang membukakan mataku tentang sisi lain kehidupan. Tiga hari yang membuatku lebih menghargai tentang local wisdom. Tiga hari yang membuatku diam-diam lebih bersyukur dilahirkan dengan kondisi sosial dan segala kenikmatan yang kudapatkan. Tiga hari yang membuatku merenung tentang hidup ini. Tuhan memang sangat suka memberikan kejutan ya? Jika kita jeli, banyak kejutan-kejutan dariNYA yang membuat kita lebih menghargai hidup, dan tentu saja membuat kita lebih mencintaiNYA.

# See you in the next life journey!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar