9.00 pm
Hari kedua berada di Panggang difokuskan untuk meng-eksplore lebih dalam mengenai tema yang akan diteliti. Sebelumnya, diskusi pada siang harinya dulu tentang tema-tema tersebut. Di situlah saya menemukan bahwa iya, selama ini kebanyakan permasalahan hanya ada di otak si peneliti. Seorang peneliti datang ke suatu tempat untuk meneliti sesuatu yang menurutnya bermasalah, tapi betulkah hal itu bermasalah bagi masyarakat? Bisa jadi masyarakat sendiri tidak bermasalah dengan hal tersebut. Karenanya treatmen apapun yang dikenakan tidak akan berjalan dengan efektif karena dari masyarakat sendiri tidak bermasalah. So, seorang peneliti yang baik adalah berbaur dengan masyarakat, terjun, dalami apa sebenarnya yang menjadi permasalahan mereka. Jadi dari hasil diskusi bersama kelompok lain dan juga bapak dosen, tema kelompok kami adalah "Konformitas sebagai kontrol sosial: Sebuah studi eksploratif".
Lantas sore harinya kami berdelapan dibagi menjadi kelompok kecil untuk turun wawancara kepada masyarakat. Perempuan bertugas menanyakan kepada ibu-ibu dan para jejaka menanyakan kepada bapak-bapak. Aku dan Umi menjelajah bersama si kecil Avis dan menemukan seorang ibu-ibu tengah bersama anaknya di teras rumah. Rupanya itu salah satu teman main Avis. Mampirlah kami dan bertanya-tanya dengan Bu Retno. Hasilnya cukup mencengangkan meskipun sudah kami duga sebelumnya.
Di sana, rutinitas kerja yang terjadi setiap hari adalah orang ke sawah dan wana dari jam 8.30 hingga menjelang maghrib. Ketika aktivitas di sawah sedang vakum (sawah tadah hujan), mereka beralih ke wana. Ibu-ibu biasanya ndangiri (menyiangi) kacang atau jagung. Sedangkan bapak-bapak biasanya tidak telaten, biasanya mereka memilih untuk mencangkul atau mencari kayu, dan ngarit (mencari) rumput untuk makanan ternak.
Fenomena yang menarik yang juga kami temui pada saat observasi pagi hari, ibu-ibu ketika pergi ke wana selalu bergerombol 3-7 orang berjalan bersama-sama dengan memakai caping dan menggendong bawaan di punggung, sedangkan bapak-bapak seringkali terlihat sendirian. Ketika hal itu kami tanyakan, ternyata memang ada budaya di kalangan ibu-ibu yang disebut "byuk'an", yaitu mengerjakan bersama-sama di suatu tempat (wana/ladang). Biasanya memiliki sistem bergilir, misalnya hari ini mengerjakan di tempat ibu A, besok mengerjakan di tempat ibu B, begitu selanjutnya. Pembentukan kelompok tersebut biasanya sudah tetap (semacam geng) beranggotakan 3-5 orang dan terbentuk berdasarkan keakraban."Nek nyambut gawe akeh kancane kan semangat," tutur Bu Retno. Sedangkan yang terjadi pada bapak-bapak, menurut hasil wawancara yang dilakukan oleh para jejaka, bapak-bapak tidak masalah jika harus ke wana sendirian, ada temannya pun oke. Yang jelas tetap ada perkumpulan yang biasanya dilakukan pada malam hari.
Hal yang membuat kami tercengang adalah pengakuan Bu Retno tentang beratnya nyumbang di daerah ini. Terjadi pergeseran nilai nyumbang. Jika dulu orang menyumbang tetangganya yang sedang punya gawe dengan tujuan membantu, sekarang ada semacam pamrih. It's like "Aku nyumbang kamu gedhe biar besok kalau aku punya gawe juga disumbang gedhe". Di sana juga masih kental budaya konformitasnya berkaitan dengan perilaku nyumbang. Kalau tetangga-tetangga yang lain menyumbang sedangkan kita tidak menyumbang, ada semacam perasaan tidak enak, rikuh. "Ora umum sanak" istilahnya, adalah hal yang tidak wajar terjadi atau hal yang tidak sesuai dengan norma sosial yang berlaku. Akhirnya yang terjadi kemudian adalah kita jadi omongan dan bahan gosip orang sekampung karena kita tidak menyumbang. Bisa jadi kita dikira sombong, pelit, dan anggapan-anggapan miring lainnya. Tak heran jika sampai ada warga yang menjual ternaknya hanya untuk menyumbang tetangganya yang sedang punya gawe. Memang terkadang sanksi sosial lebih berat dari pada sanksi hukum.
Adanya sanksi sosial yang menyebabkan perilaku konformitas tersebut tidak hanya berlaku bagi orang dewasa dengan budaya nyumbangnya saja lho, budaya semacam itu merasuk juga dalam lini kaum remaja. Teman saya menemukan sekumpulan remaja yang sedang TPA di masjid. Mengobrollah bersama mereka. Salah satu hal yang menarik berkaitan dengan perilaku conform ini adalah ketika ditanya persoalan menikah. Sudah saya tulis dalam part pertama bahwa remaja putri di sana pada umumnya hanya sampai jenjang SMP. Ada dua macam alasan yang mendasarinya. Pertama, lokasi SMA berada di kecamatan dan untuk mencapai sana harus menempuh medan jalan yang cukup berbahaya. Kedua, ada anggapan sosial yang tampaknya masih banyak berlaku di desa ini "Nggo opo wong wedhok sekolah dhuwur-dhuwur, mlayune yo ning dhapur" ("Buat apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya tetap di dapur juga").
Berhubung saat ngobrol-ngobrol dengan warga diketahui bahwa angka nikah muda cukup tinggi, dan didukung dengan observasi melihat kenyataannya secara langsung, kami tergelitik untuk menanyakan perihal keinginan menikah pada remaja-remaja tersebut. Jawaban mereka cukup menguatkan adanya konformitas itu sekaligus membuat kami tercengang "La yang lain seumur saya gini udah pada nikah og mbak, ya saya tinggal nunggu ada yang datang aja". Pernyataan yang mengungkap dua nilai: konformitas dan nrimo. Konformitas, karena mengikuti apa yang sudah menjadi budaya demi menghindari penilaian sosial yang negatif. Norma di sana, usia lulus SMP sudah dalam usia wajar menikah, dan jika ada yang belum menikah akan menjadi bahan gosip dan dianggap tidak laku. Nrimo, karena mereka tidak secara aktif mencari calon suaminya, melainkan hanya menunggu laki-laki yang datang melamarnya. Oh ya, berkaitan dengan jodoh juga, ada mitos yang beredar di sana, apabila seorang gadis menolak lamaran yang datang pertama kali dari seorang laki-laki, maka tidak akan ada laki-laki lain yang datang melamarnya dikemudian hari. Hmm,,benarkah demikian?
# To be continued..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar