Laman
Label
- Halo Purworejo (9)
- Psychology (35)
- random (55)
- Ruang Cinta (6)
- Ruang Sastra (8)
- Sekuel Saung Kecil (68)
- Serba Serbi Dunia (23)
- Song's story (11)
Kamis, 29 Desember 2011
Jalan Masih Panjang - All Finalist A Mild Live Wanted
Kusadar hidup ini hanya sebentar
Untuk apa putus asa dan buang waktu saja
Bukankah setiap orang punya problema
yang harus kita lalui dengan hati yang tabah
Lupakan sudah masa lalu kelabu
Kita susun langkah baru jangan hanya menunggu
Harapan kesempatan dan juga waktu
Tak kan selamanya datang
menghampiri hidup kita
Bersyukurlah hari ini kita masih dapat
berjumpa dalam kasih sayangNya
dan jangan kita lupa Dia yang di atas sana, kawan
Berdoalah raih semua cita-cita hidup di dunia
dan jangan kita lupa Dia yang di atas sana, kawan
Hidup ini berat tapi jangan takut kawan
Sebab pengorbanan selalu menjanjikan bahagia
Satu lagi kawan, jalan masih panjang
Berarti kita harus melangkah terus ke muka
Kamis, 15 Desember 2011
POTRET KEPERCAYAAN
Definisi Kepercayaan (Trust)
People beliefs in other good intention, that is others' intention not to harm, to respect their rights, and to carry out their obligation. (Yamagishi, 1994)
Kepercayaan merupakan salah satu aspek psikologi yang penting untuk memperlancar dinamika relasi sosial, menggalang kerja sama, menyederhanakan kompleksitas kehidupan sosial, dan melandasi pengambilan resiko. Tanpa kepercayaan maka relasi sosial menjadi kering.
Dimensi Kepercayaan
1. Kompetensi: pertimbangan yang paling logis
2. Keterbukaan/kejujuran: pengujian
3. Kepedulian: bagian dari relational justice
4. Reliabilitas: kelanjutan dari relational sosial
Pembentukan Kepercayaan
1. Berdasarkan karakteristik: berdasarkan stereotype dan manajemen impresi. Misalnya, orang yang santun lebih dipercaya, sales kurang dipercaya
2. Berdasarkan proses: pertukaran sosial dan kerjasama
3. Kelembagaan: atribusi resmi seperti ijazah dan akreditasi
Tipe Kepercayaan
1. Calculus-based trust
a. Percaya --> L:GL:G>p: (1-p)
c. Ragu-ragu --> L:G=p: (1-p)
L: potensi kehilangan
G: potensi keuntungan
p: peluang keuntungan bila percaya
2. Knowledge-based trust
Kepercayaan karena pengetahuannya. Misalnya dosen
3. Identification-based trust
Menyerahkan sepenuhnya pada pemegang otoritas
People beliefs in other good intention, that is others' intention not to harm, to respect their rights, and to carry out their obligation. (Yamagishi, 1994)
Kepercayaan merupakan salah satu aspek psikologi yang penting untuk memperlancar dinamika relasi sosial, menggalang kerja sama, menyederhanakan kompleksitas kehidupan sosial, dan melandasi pengambilan resiko. Tanpa kepercayaan maka relasi sosial menjadi kering.
Dimensi Kepercayaan
1. Kompetensi: pertimbangan yang paling logis
2. Keterbukaan/kejujuran: pengujian
3. Kepedulian: bagian dari relational justice
4. Reliabilitas: kelanjutan dari relational sosial
Pembentukan Kepercayaan
1. Berdasarkan karakteristik: berdasarkan stereotype dan manajemen impresi. Misalnya, orang yang santun lebih dipercaya, sales kurang dipercaya
2. Berdasarkan proses: pertukaran sosial dan kerjasama
3. Kelembagaan: atribusi resmi seperti ijazah dan akreditasi
Tipe Kepercayaan
1. Calculus-based trust
a. Percaya --> L:G
c. Ragu-ragu --> L:G=p: (1-p)
L: potensi kehilangan
G: potensi keuntungan
p: peluang keuntungan bila percaya
2. Knowledge-based trust
Kepercayaan karena pengetahuannya. Misalnya dosen
3. Identification-based trust
Menyerahkan sepenuhnya pada pemegang otoritas
PSIKOLOGI PEMAAFAN
Kepada siapa meminta maaf?
1. Diri sendiri
2. Orang lain (orang tua, orang yang disayangi)
3. Tuhan
Bagaimana cara meminta maaf?
1. Akui fakta
2. Deskripsikan kejadiannya
3. Cari waktu yang tepat
4. Tunjukkan empati (kalau minta maaf jangan tunjukkan egoisme)
5. Ucapkan dan 'peragakan' permintaan
6. Lakukan dengan tepat
Lalu apa sih definisi memaafkan itu? Menurut Wade, Bailey, & Shaffer, forgiveness is replacing the bitter, angry feelings of goodwill toward the offender
Siapa yang memaafkan?
1. Faktor disposisi
a. Kepribadian: agreeableness, trait forgivingness
b. Komitmen religius
2. Faktor situasional
a. Empati terhadap yang bersalah
b. Permintaan maaf dan penyesalan
c. Kualitas hubungan
d. Frekuensi disakiti
Pentingnya pemaafan
1. Treatmen terhadap sakit hati dan kemarahan
2. Sebuah pilihan
3. Menghindari relasi yang menyakitkan
4. Sebelum memaafkan pihak lain berarti kita menjadi korban
Mitos Pemaafan
1. Menghapus kemarahan dalam waktu singkat. Adalah omong kosong apabila kita bisa menghilangkan kemarahan dalam sekejap
2. Harus disampaikan secara terbuka. Permintaan tidak harus disampaikan secara terbuka, bisa lewat perilaku, bisa lewat tulisan, atau pasang status di sosial network, misalnya.
3. Dengan memaafkan akan lupa dengan sakit yang dirasakan. No! You never forget!
4. Memaafkan memberi kesempatan pada orang lain untuk menyakiti lagi. Insya Allah tidak jika dia adalah orang yang baik.
Namun, bagi sebagian orang, ada yang tidak bisa atau sulit memaafkan orang lain. Ada alasan tertentu di balik itu. Mungkin ia tidak punya model untuk pemaafan. Orang tuanya tidak pernah mengajarinya bagaimana untuk minta maaf dan memaafkan orang lain. Alasan yang kedua adalah ia tidak memaafkan dirinya sendiri. Makin sulit seseorang memaafkan dirinya sendiri, makin sulit pula ia memaafkan orang lain.
ABC method of Handling Mistake
A: Acknowledge your error & accept responsibility. Don't blame other people or circumstances. It only fixes the blame not the problem.
B: Be gentle with your self. You're still a good and caring person. This is not your first or last mistake.
C: Correct it and move on
1. Diri sendiri
2. Orang lain (orang tua, orang yang disayangi)
3. Tuhan
Bagaimana cara meminta maaf?
1. Akui fakta
2. Deskripsikan kejadiannya
3. Cari waktu yang tepat
4. Tunjukkan empati (kalau minta maaf jangan tunjukkan egoisme)
5. Ucapkan dan 'peragakan' permintaan
6. Lakukan dengan tepat
Lalu apa sih definisi memaafkan itu? Menurut Wade, Bailey, & Shaffer, forgiveness is replacing the bitter, angry feelings of goodwill toward the offender
Siapa yang memaafkan?
1. Faktor disposisi
a. Kepribadian: agreeableness, trait forgivingness
b. Komitmen religius
2. Faktor situasional
a. Empati terhadap yang bersalah
b. Permintaan maaf dan penyesalan
c. Kualitas hubungan
d. Frekuensi disakiti
Pentingnya pemaafan
1. Treatmen terhadap sakit hati dan kemarahan
2. Sebuah pilihan
3. Menghindari relasi yang menyakitkan
4. Sebelum memaafkan pihak lain berarti kita menjadi korban
Mitos Pemaafan
1. Menghapus kemarahan dalam waktu singkat. Adalah omong kosong apabila kita bisa menghilangkan kemarahan dalam sekejap
2. Harus disampaikan secara terbuka. Permintaan tidak harus disampaikan secara terbuka, bisa lewat perilaku, bisa lewat tulisan, atau pasang status di sosial network, misalnya.
3. Dengan memaafkan akan lupa dengan sakit yang dirasakan. No! You never forget!
4. Memaafkan memberi kesempatan pada orang lain untuk menyakiti lagi. Insya Allah tidak jika dia adalah orang yang baik.
Namun, bagi sebagian orang, ada yang tidak bisa atau sulit memaafkan orang lain. Ada alasan tertentu di balik itu. Mungkin ia tidak punya model untuk pemaafan. Orang tuanya tidak pernah mengajarinya bagaimana untuk minta maaf dan memaafkan orang lain. Alasan yang kedua adalah ia tidak memaafkan dirinya sendiri. Makin sulit seseorang memaafkan dirinya sendiri, makin sulit pula ia memaafkan orang lain.
ABC method of Handling Mistake
A: Acknowledge your error & accept responsibility. Don't blame other people or circumstances. It only fixes the blame not the problem.
B: Be gentle with your self. You're still a good and caring person. This is not your first or last mistake.
C: Correct it and move on
Kamis, 08 Desember 2011
Tiga Hari Untuk Selamanya (Part #3)
Kamis, 8 Des '11
9.47 pm
"Konformitas sebagai kontrol sosial: Sebuah studi eksploratif" bukanlah satu-satunya tema yang menjadi pilihan kami saat mendalami permasalahan apa yang ada di Dusun Legundi, Panggang, Gunung Kidul. Ada satu permasalahan lagi yang tidak kalah menarik menurut kami. Dan mengapa kami akhirnya mengambil tema konformitas karena lebih bisa dikaji secara psikologis dan bisa dieksplor dari masyarakat dalam waktu yang relatif singkat.
Di part 3 ini, tidak ada salahnya kan mengulas sedikit tentang satu tema menarik yang tidak jadi kami dalami itu? It's about local myth tradition. Bagi saya pribadi, sangat tertarik dengan tema-tema semacam itu. Mengungkap pengaruh kepercayaan mitos lokal terhadap perilaku masyarakat. Tapi hal tersebut sangatlah tidak mudah bagi kita untuk mengungkapnya dari masyarakat. Karena hal itu sudah masuk ranah kepercayaan yang sifatnya tradisi turun-temurun dan tidak semua orang memiliki alasan yang cukup rasional untuk menjelaskannya. Mungkin bisa kita mengungkapnya, tapi akan sangat membutuhkan waktu, tidak cukup hanya dengan tiga hari membaur dengan masyarakat.
Jadi, kami menemukannya tanpa sengaja. Panas terik membuat kami tertarik untuk duduk di sebuah tembok rendah yang memagari sebuah pohon rimbun di tepi sawah. Sepintas lalu pohon tersebut terlihat biasa saja, kecuali memang sangat lebat dengan cabang (atau akar yang menyerupai batang pohon?) yang begitu banyak. Pohon yang bisa ditebak dengan mudah bahwa usianya sudah lebih dari satu abad.
Ketika kamu mendekat dan mengamati batangnya, kamu akan menemukan beberapa keranjang yang terbuat dari anyaman bambu tergantung di sana. Sajen. Begitu melihat itu, pikirku langsung 'oh, okay, jadi pohon ini dipercaya oleh masyarakat setempat toh?' Ternyata teman-teman sekelompok juga memiliki ketertarikan yang sama. Lantas beberapa teman move on, mencoba menuju hutan dengan harapan bertemu dengan warga di sana yang bisa kami tanyai tentang pohon bertuah itu. Ketemulah dengan bapak-bapak yang pulang dari hutan.
Benar ternyata, pohon tempat kami berteduh itu dipercaya oleh warga sebagai pertanda. Di daerah situ, ada dua pohon yang dikeramatkan, bahkan diakui oleh keraton. Jadi setiap bulan ada abdi dalem keraton jogja yang datang ke sana untuk melakukan ritual dan memberikan sesajen. Pohon pertama, pohon tempat kami berteduh, dipercaya sebagai penanda musim tanam. Jadi, jika pada suatu masa pohon tersebut rontok daunnya sedangkan pohon-pohon yang lain tidak rontok, maka itu pertanda bahwa sebaiknya jangan menanam apapun di sawah atau ladang karena kalau menanam pasti akan rusak atau gagal panen. Sedangkan pohon bertuah yang kedua terletak agak jauh dari pohon pertama, tapi rimbun daunnya terlihat dari tempat kami berada. Pucuk pohon tersebut terlihat seperti bentuk dinosaurus. Berbeda dari pohon bertuah pertama, pohon kedua ini lebih sebagai pertanda bahaya untuk manusia. Konon ceritanya, beberapa hari sebelum gempa jogja 2006 dan beberapa hari sebelum merapi meletus, pohon bertuah ini merontokkan daunnya dengan dahsyat sementara pohon-pohon yang lain baik-baik saja. Believe it or not, it's all back to you.
Menarik untuk dikaji sebenarnya. Terlebih karena keraton jogja pun mengakui pohon-pohon bertuah tersebut. Apa motif di balik semua itu? Benarkah demikian adanya tentang pohon itu? Dan apakah kepercayaan-kepercayaan semacam itu mempengaruhi pola kehidupan masyarakat hingga tingkat dinamika psikologis individu yang terlibat di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin bisa terjawab. Tapi, sekali lagi, nggak cukup hanya dalam waktu 3 hari. Ranah yang diungkap sudah memasuki value seseorang. Adalah sulit bagi kita untuk mengungkap value yang sudah tertanam bertahun-tahun, turun-temurun (mentradisi). Butuh pendekatan lebih mendalam hingga masyarakat percaya sepenuhnya kepada kita bahwa kita bagian dari mereka yang juga berhak tahu tentang tradisi kepercayaan leluhur tersebut. Ranah pemikiran yang sangat filosofis dan privasi bagi kebanyakan masyarakat yang mempercayainya. Ketika kita sebagai orang baru yang tiba-tiba menanyakan tentang hal tersebut, jawaban mereka hampir dapat dipastikan seragam dan membuat si penanya berhenti bertanya: "La nggih pripun malih, wong sampun tradisi kawit riyin" (Lha gimana lagi, namanya sudah tradisi sejak dulu). So, jika tertarik mendalami lebih lanjut, berbaurlah bersama mereka, jadilah salah satu dari mereka.
Okay..mari kita tinggalkan pohon bertuah dan kembali pada kisah kuliah lapangan di Panggang. Kuliah lapangan diakhiri dengan share hasil yang didapat setelah deep interview dengan warga. Berjenis action research ataupun eksploratif.
So, lepas tengah hari pada hari Minggu, kami semua check out dan melaju ke Pantai Gesing. Sebuah pantai yang masih virgin, belum banyak dijamah oleh wisatawan. Seperti pantai-pantai daerah Gunung Kidul yang lain, Pantai Gesing menyuguhkan relief alam yang manakjubkan. Dengan batu karang yang girang memecah buih, pepohonan, rerumputan. Semua unsur alam yang menyapukan eksotisme tersendiri. Aku bukan seseorang yang begitu mengagumi pantai, bahkan aku tidak begitu menyukainya. Tapi pantai-pantai di daerah perbukitan selalu saja menjaring pesona. Aku tak suka ombak yang ganas menyapu kerikil-kerikil dan membuatnya mampus di tengah lautan. Representasi dari gempuran, gelora, nafsu, agresifitas, semacam itu. Tapi aku begitu menyukai keberadaan batu karang, tebing yang melingkupinya dengan segala unsur alam yang terekam di sana. Tebing karang hadir sebagai peredam gelora itu. Kau pikir untuk apa tebing karang itu hadir? Untuk memecah ombak, bukan? Sungguh, pesona yang menjaring dengan segala filosofi keberadaannya. :)
Jam 3 sore, bersiap kembali pulang ke peraduan (baca: rumah/kos masing-masing). Aku pulang membawa sekantung penuh pengetahuan. Tiga hari yang membukakan mataku tentang sisi lain kehidupan. Tiga hari yang membuatku lebih menghargai tentang local wisdom. Tiga hari yang membuatku diam-diam lebih bersyukur dilahirkan dengan kondisi sosial dan segala kenikmatan yang kudapatkan. Tiga hari yang membuatku merenung tentang hidup ini. Tuhan memang sangat suka memberikan kejutan ya? Jika kita jeli, banyak kejutan-kejutan dariNYA yang membuat kita lebih menghargai hidup, dan tentu saja membuat kita lebih mencintaiNYA.
# See you in the next life journey!
9.47 pm
"Konformitas sebagai kontrol sosial: Sebuah studi eksploratif" bukanlah satu-satunya tema yang menjadi pilihan kami saat mendalami permasalahan apa yang ada di Dusun Legundi, Panggang, Gunung Kidul. Ada satu permasalahan lagi yang tidak kalah menarik menurut kami. Dan mengapa kami akhirnya mengambil tema konformitas karena lebih bisa dikaji secara psikologis dan bisa dieksplor dari masyarakat dalam waktu yang relatif singkat.
Di part 3 ini, tidak ada salahnya kan mengulas sedikit tentang satu tema menarik yang tidak jadi kami dalami itu? It's about local myth tradition. Bagi saya pribadi, sangat tertarik dengan tema-tema semacam itu. Mengungkap pengaruh kepercayaan mitos lokal terhadap perilaku masyarakat. Tapi hal tersebut sangatlah tidak mudah bagi kita untuk mengungkapnya dari masyarakat. Karena hal itu sudah masuk ranah kepercayaan yang sifatnya tradisi turun-temurun dan tidak semua orang memiliki alasan yang cukup rasional untuk menjelaskannya. Mungkin bisa kita mengungkapnya, tapi akan sangat membutuhkan waktu, tidak cukup hanya dengan tiga hari membaur dengan masyarakat.
Jadi, kami menemukannya tanpa sengaja. Panas terik membuat kami tertarik untuk duduk di sebuah tembok rendah yang memagari sebuah pohon rimbun di tepi sawah. Sepintas lalu pohon tersebut terlihat biasa saja, kecuali memang sangat lebat dengan cabang (atau akar yang menyerupai batang pohon?) yang begitu banyak. Pohon yang bisa ditebak dengan mudah bahwa usianya sudah lebih dari satu abad.
Ketika kamu mendekat dan mengamati batangnya, kamu akan menemukan beberapa keranjang yang terbuat dari anyaman bambu tergantung di sana. Sajen. Begitu melihat itu, pikirku langsung 'oh, okay, jadi pohon ini dipercaya oleh masyarakat setempat toh?' Ternyata teman-teman sekelompok juga memiliki ketertarikan yang sama. Lantas beberapa teman move on, mencoba menuju hutan dengan harapan bertemu dengan warga di sana yang bisa kami tanyai tentang pohon bertuah itu. Ketemulah dengan bapak-bapak yang pulang dari hutan.
Benar ternyata, pohon tempat kami berteduh itu dipercaya oleh warga sebagai pertanda. Di daerah situ, ada dua pohon yang dikeramatkan, bahkan diakui oleh keraton. Jadi setiap bulan ada abdi dalem keraton jogja yang datang ke sana untuk melakukan ritual dan memberikan sesajen. Pohon pertama, pohon tempat kami berteduh, dipercaya sebagai penanda musim tanam. Jadi, jika pada suatu masa pohon tersebut rontok daunnya sedangkan pohon-pohon yang lain tidak rontok, maka itu pertanda bahwa sebaiknya jangan menanam apapun di sawah atau ladang karena kalau menanam pasti akan rusak atau gagal panen. Sedangkan pohon bertuah yang kedua terletak agak jauh dari pohon pertama, tapi rimbun daunnya terlihat dari tempat kami berada. Pucuk pohon tersebut terlihat seperti bentuk dinosaurus. Berbeda dari pohon bertuah pertama, pohon kedua ini lebih sebagai pertanda bahaya untuk manusia. Konon ceritanya, beberapa hari sebelum gempa jogja 2006 dan beberapa hari sebelum merapi meletus, pohon bertuah ini merontokkan daunnya dengan dahsyat sementara pohon-pohon yang lain baik-baik saja. Believe it or not, it's all back to you.
Menarik untuk dikaji sebenarnya. Terlebih karena keraton jogja pun mengakui pohon-pohon bertuah tersebut. Apa motif di balik semua itu? Benarkah demikian adanya tentang pohon itu? Dan apakah kepercayaan-kepercayaan semacam itu mempengaruhi pola kehidupan masyarakat hingga tingkat dinamika psikologis individu yang terlibat di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin bisa terjawab. Tapi, sekali lagi, nggak cukup hanya dalam waktu 3 hari. Ranah yang diungkap sudah memasuki value seseorang. Adalah sulit bagi kita untuk mengungkap value yang sudah tertanam bertahun-tahun, turun-temurun (mentradisi). Butuh pendekatan lebih mendalam hingga masyarakat percaya sepenuhnya kepada kita bahwa kita bagian dari mereka yang juga berhak tahu tentang tradisi kepercayaan leluhur tersebut. Ranah pemikiran yang sangat filosofis dan privasi bagi kebanyakan masyarakat yang mempercayainya. Ketika kita sebagai orang baru yang tiba-tiba menanyakan tentang hal tersebut, jawaban mereka hampir dapat dipastikan seragam dan membuat si penanya berhenti bertanya: "La nggih pripun malih, wong sampun tradisi kawit riyin" (Lha gimana lagi, namanya sudah tradisi sejak dulu). So, jika tertarik mendalami lebih lanjut, berbaurlah bersama mereka, jadilah salah satu dari mereka.
Okay..mari kita tinggalkan pohon bertuah dan kembali pada kisah kuliah lapangan di Panggang. Kuliah lapangan diakhiri dengan share hasil yang didapat setelah deep interview dengan warga. Berjenis action research ataupun eksploratif.
So, lepas tengah hari pada hari Minggu, kami semua check out dan melaju ke Pantai Gesing. Sebuah pantai yang masih virgin, belum banyak dijamah oleh wisatawan. Seperti pantai-pantai daerah Gunung Kidul yang lain, Pantai Gesing menyuguhkan relief alam yang manakjubkan. Dengan batu karang yang girang memecah buih, pepohonan, rerumputan. Semua unsur alam yang menyapukan eksotisme tersendiri. Aku bukan seseorang yang begitu mengagumi pantai, bahkan aku tidak begitu menyukainya. Tapi pantai-pantai di daerah perbukitan selalu saja menjaring pesona. Aku tak suka ombak yang ganas menyapu kerikil-kerikil dan membuatnya mampus di tengah lautan. Representasi dari gempuran, gelora, nafsu, agresifitas, semacam itu. Tapi aku begitu menyukai keberadaan batu karang, tebing yang melingkupinya dengan segala unsur alam yang terekam di sana. Tebing karang hadir sebagai peredam gelora itu. Kau pikir untuk apa tebing karang itu hadir? Untuk memecah ombak, bukan? Sungguh, pesona yang menjaring dengan segala filosofi keberadaannya. :)
Jam 3 sore, bersiap kembali pulang ke peraduan (baca: rumah/kos masing-masing). Aku pulang membawa sekantung penuh pengetahuan. Tiga hari yang membukakan mataku tentang sisi lain kehidupan. Tiga hari yang membuatku lebih menghargai tentang local wisdom. Tiga hari yang membuatku diam-diam lebih bersyukur dilahirkan dengan kondisi sosial dan segala kenikmatan yang kudapatkan. Tiga hari yang membuatku merenung tentang hidup ini. Tuhan memang sangat suka memberikan kejutan ya? Jika kita jeli, banyak kejutan-kejutan dariNYA yang membuat kita lebih menghargai hidup, dan tentu saja membuat kita lebih mencintaiNYA.
# See you in the next life journey!
Tiga Hari Untuk Selamanya (Part #3)
Kamis, 8 Des '11
9.47 pm
"Konformitas sebagai kontrol sosial: Sebuah studi eksploratif" bukanlah satu-satunya tema yang menjadi pilihan kami saat mendalami permasalahan apa yang ada di Dusun Legundi, Panggang, Gunung Kidul. Ada satu permasalahan lagi yang tidak kalah menarik menurut kami. Dan mengapa kami akhirnya mengambil tema konformitas karena lebih bisa dikaji secara psikologis dan bisa dieksplor dari masyarakat dalam waktu yang relatif singkat.
Di part 3 ini, tidak ada salahnya kan mengulas sedikit tentang satu tema menarik yang tidak jadi kami dalami itu? It's about local myth tradition. Bagi saya pribadi, sangat tertarik dengan tema-tema semacam itu. Mengungkap pengaruh kepercayaan mitos lokal terhadap perilaku masyarakat. Tapi hal tersebut sangatlah tidak mudah bagi kita untuk mengungkapnya dari masyarakat. Karena hal itu sudah masuk ranah kepercayaan yang sifatnya tradisi turun-temurun dan tidak semua orang memiliki alasan yang cukup rasional untuk menjelaskannya. Mungkin bisa kita mengungkapnya, tapi akan sangat membutuhkan waktu, tidak cukup hanya dengan tiga hari membaur dengan masyarakat.
Jadi, kami menemukannya tanpa sengaja. Panas terik membuat kami tertarik untuk duduk di sebuah tembok rendah yang memagari sebuah pohon rimbun di tepi sawah. Sepintas lalu pohon tersebut terlihat biasa saja, kecuali memang sangat lebat dengan cabang (atau akar yang menyerupai batang pohon?) yang begitu banyak. Pohon yang bisa ditebak dengan mudah bahwa usianya sudah lebih dari satu abad.
Ketika kamu mendekat dan mengamati batangnya, kamu akan menemukan beberapa keranjang yang terbuat dari anyaman bambu tergantung di sana. Sajen. Begitu melihat itu, pikirku langsung 'oh, okay, jadi pohon ini dipercaya oleh masyarakat setempat toh?' Ternyata teman-teman sekelompok juga memiliki ketertarikan yang sama. Lantas beberapa teman move on, mencoba menuju hutan dengan harapan bertemu dengan warga di sana yang bisa kami tanyai tentang pohon bertuah itu. Ketemulah dengan bapak-bapak yang pulang dari hutan.
Benar ternyata, pohon tempat kami berteduh itu dipercaya oleh warga sebagai pertanda. Di daerah situ, ada dua pohon yang dikeramatkan, bahkan diakui oleh keraton. Jadi setiap bulan ada abdi dalem keraton jogja yang datang ke sana untuk melakukan ritual dan memberikan sesajen. Pohon pertama, pohon tempat kami berteduh, dipercaya sebagai penanda musim tanam. Jadi, jika pada suatu masa pohon tersebut rontok daunnya sedangkan pohon-pohon yang lain tidak rontok, maka itu pertanda bahwa sebaiknya jangan menanam apapun di sawah atau ladang karena kalau menanam pasti akan rusak atau gagal panen. Sedangkan pohon bertuah yang kedua terletak agak jauh dari pohon pertama, tapi rimbun daunnya terlihat dari tempat kami berada. Pucuk pohon tersebut terlihat seperti bentuk dinosaurus. Berbeda dari pohon bertuah pertama, pohon kedua ini lebih sebagai pertanda bahaya untuk manusia. Konon ceritanya, beberapa hari sebelum gempa jogja 2006 dan beberapa hari sebelum merapi meletus, pohon bertuah ini merontokkan daunnya dengan dahsyat sementara pohon-pohon yang lain baik-baik saja. Believe it or not, it's all back to you.
Menarik untuk dikaji sebenarnya. Terlebih karena keraton jogja pun mengakui pohon-pohon bertuah tersebut. Apa motif di balik semua itu? Benarkah demikian adanya tentang pohon itu? Dan apakah kepercayaan-kepercayaan semacam itu mempengaruhi pola kehidupan masyarakat hingga tingkat dinamika psikologis individu yang terlibat di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin bisa terjawab. Tapi, sekali lagi, nggak cukup hanya dalam waktu 3 hari. Ranah yang diungkap sudah memasuki value seseorang. Adalah sulit bagi kita untuk mengungkap value yang sudah tertanam bertahun-tahun, turun-temurun (mentradisi). Butuh pendekatan lebih mendalam hingga masyarakat percaya sepenuhnya kepada kita bahwa kita bagian dari mereka yang juga berhak tahu tentang tradisi kepercayaan leluhur tersebut. Ranah pemikiran yang sangat filosofis dan privasi bagi kebanyakan masyarakat yang mempercayainya. Ketika kita sebagai orang baru yang tiba-tiba menanyakan tentang hal tersebut, jawaban mereka hampir dapat dipastikan seragam dan membuat si penanya berhenti bertanya: "La nggih pripun malih, wong sampun tradisi kawit riyin" (Lha gimana lagi, namanya sudah tradisi sejak dulu). So, jika tertarik mendalami lebih lanjut, berbaurlah bersama mereka, jadilah salah satu dari mereka.
Okay..mari kita tinggalkan pohon bertuah dan kembali pada kisah kuliah lapangan di Panggang. Kuliah lapangan diakhiri dengan share hasil yang didapat setelah deep interview dengan warga. Berjenis action research ataupun eksploratif.
So, lepas tengah hari pada hari Minggu, kami semua check out dan melaju ke Pantai Gesing. Sebuah pantai yang masih virgin, belum banyak dijamah oleh wisatawan. Seperti pantai-pantai daerah Gunung Kidul yang lain, Pantai Gesing menyuguhkan relief alam yang manakjubkan. Dengan batu karang yang girang memecah buih, pepohonan, rerumputan. Semua unsur alam yang menyapukan eksotisme tersendiri. Aku bukan seseorang yang begitu mengagumi pantai, bahkan aku tidak begitu menyukainya. Tapi pantai-pantai di daerah perbukitan selalu saja menjaring pesona. Aku tak suka ombak yang ganas menyapu kerikil-kerikil dan membuatnya mampus di tengah lautan. Representasi dari gempuran, gelora, nafsu, agresifitas, semacam itu. Tapi aku begitu menyukai keberadaan batu karang, tebing yang melingkupinya dengan segala unsur alam yang terekam di sana. Tebing karang hadir sebagai peredam gelora itu. Kau pikir untuk apa tebing karang itu hadir? Untuk memecah ombak, bukan? Sungguh, pesona yang menjaring dengan segala filosofi keberadaannya. :)
Jam 3 sore, bersiap kembali pulang ke peraduan (baca: rumah/kos masing-masing). Aku pulang membawa sekantung penuh pengetahuan. Tiga hari yang membukakan mataku tentang sisi lain kehidupan. Tiga hari yang membuatku lebih menghargai tentang local wisdom. Tiga hari yang membuatku diam-diam lebih bersyukur dilahirkan dengan kondisi sosial dan segala kenikmatan yang kudapatkan. Tiga hari yang membuatku merenung tentang hidup ini. Tuhan memang sangat suka memberikan kejutan ya? Jika kita jeli, banyak kejutan-kejutan dariNYA yang membuat kita lebih menghargai hidup, dan tentu saja membuat kita lebih mencintaiNYA.
# See you in the next life journey!
9.47 pm
"Konformitas sebagai kontrol sosial: Sebuah studi eksploratif" bukanlah satu-satunya tema yang menjadi pilihan kami saat mendalami permasalahan apa yang ada di Dusun Legundi, Panggang, Gunung Kidul. Ada satu permasalahan lagi yang tidak kalah menarik menurut kami. Dan mengapa kami akhirnya mengambil tema konformitas karena lebih bisa dikaji secara psikologis dan bisa dieksplor dari masyarakat dalam waktu yang relatif singkat.
Di part 3 ini, tidak ada salahnya kan mengulas sedikit tentang satu tema menarik yang tidak jadi kami dalami itu? It's about local myth tradition. Bagi saya pribadi, sangat tertarik dengan tema-tema semacam itu. Mengungkap pengaruh kepercayaan mitos lokal terhadap perilaku masyarakat. Tapi hal tersebut sangatlah tidak mudah bagi kita untuk mengungkapnya dari masyarakat. Karena hal itu sudah masuk ranah kepercayaan yang sifatnya tradisi turun-temurun dan tidak semua orang memiliki alasan yang cukup rasional untuk menjelaskannya. Mungkin bisa kita mengungkapnya, tapi akan sangat membutuhkan waktu, tidak cukup hanya dengan tiga hari membaur dengan masyarakat.
Jadi, kami menemukannya tanpa sengaja. Panas terik membuat kami tertarik untuk duduk di sebuah tembok rendah yang memagari sebuah pohon rimbun di tepi sawah. Sepintas lalu pohon tersebut terlihat biasa saja, kecuali memang sangat lebat dengan cabang (atau akar yang menyerupai batang pohon?) yang begitu banyak. Pohon yang bisa ditebak dengan mudah bahwa usianya sudah lebih dari satu abad.
Ketika kamu mendekat dan mengamati batangnya, kamu akan menemukan beberapa keranjang yang terbuat dari anyaman bambu tergantung di sana. Sajen. Begitu melihat itu, pikirku langsung 'oh, okay, jadi pohon ini dipercaya oleh masyarakat setempat toh?' Ternyata teman-teman sekelompok juga memiliki ketertarikan yang sama. Lantas beberapa teman move on, mencoba menuju hutan dengan harapan bertemu dengan warga di sana yang bisa kami tanyai tentang pohon bertuah itu. Ketemulah dengan bapak-bapak yang pulang dari hutan.
Benar ternyata, pohon tempat kami berteduh itu dipercaya oleh warga sebagai pertanda. Di daerah situ, ada dua pohon yang dikeramatkan, bahkan diakui oleh keraton. Jadi setiap bulan ada abdi dalem keraton jogja yang datang ke sana untuk melakukan ritual dan memberikan sesajen. Pohon pertama, pohon tempat kami berteduh, dipercaya sebagai penanda musim tanam. Jadi, jika pada suatu masa pohon tersebut rontok daunnya sedangkan pohon-pohon yang lain tidak rontok, maka itu pertanda bahwa sebaiknya jangan menanam apapun di sawah atau ladang karena kalau menanam pasti akan rusak atau gagal panen. Sedangkan pohon bertuah yang kedua terletak agak jauh dari pohon pertama, tapi rimbun daunnya terlihat dari tempat kami berada. Pucuk pohon tersebut terlihat seperti bentuk dinosaurus. Berbeda dari pohon bertuah pertama, pohon kedua ini lebih sebagai pertanda bahaya untuk manusia. Konon ceritanya, beberapa hari sebelum gempa jogja 2006 dan beberapa hari sebelum merapi meletus, pohon bertuah ini merontokkan daunnya dengan dahsyat sementara pohon-pohon yang lain baik-baik saja. Believe it or not, it's all back to you.
Menarik untuk dikaji sebenarnya. Terlebih karena keraton jogja pun mengakui pohon-pohon bertuah tersebut. Apa motif di balik semua itu? Benarkah demikian adanya tentang pohon itu? Dan apakah kepercayaan-kepercayaan semacam itu mempengaruhi pola kehidupan masyarakat hingga tingkat dinamika psikologis individu yang terlibat di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin bisa terjawab. Tapi, sekali lagi, nggak cukup hanya dalam waktu 3 hari. Ranah yang diungkap sudah memasuki value seseorang. Adalah sulit bagi kita untuk mengungkap value yang sudah tertanam bertahun-tahun, turun-temurun (mentradisi). Butuh pendekatan lebih mendalam hingga masyarakat percaya sepenuhnya kepada kita bahwa kita bagian dari mereka yang juga berhak tahu tentang tradisi kepercayaan leluhur tersebut. Ranah pemikiran yang sangat filosofis dan privasi bagi kebanyakan masyarakat yang mempercayainya. Ketika kita sebagai orang baru yang tiba-tiba menanyakan tentang hal tersebut, jawaban mereka hampir dapat dipastikan seragam dan membuat si penanya berhenti bertanya: "La nggih pripun malih, wong sampun tradisi kawit riyin" (Lha gimana lagi, namanya sudah tradisi sejak dulu). So, jika tertarik mendalami lebih lanjut, berbaurlah bersama mereka, jadilah salah satu dari mereka.
Okay..mari kita tinggalkan pohon bertuah dan kembali pada kisah kuliah lapangan di Panggang. Kuliah lapangan diakhiri dengan share hasil yang didapat setelah deep interview dengan warga. Berjenis action research ataupun eksploratif.
So, lepas tengah hari pada hari Minggu, kami semua check out dan melaju ke Pantai Gesing. Sebuah pantai yang masih virgin, belum banyak dijamah oleh wisatawan. Seperti pantai-pantai daerah Gunung Kidul yang lain, Pantai Gesing menyuguhkan relief alam yang manakjubkan. Dengan batu karang yang girang memecah buih, pepohonan, rerumputan. Semua unsur alam yang menyapukan eksotisme tersendiri. Aku bukan seseorang yang begitu mengagumi pantai, bahkan aku tidak begitu menyukainya. Tapi pantai-pantai di daerah perbukitan selalu saja menjaring pesona. Aku tak suka ombak yang ganas menyapu kerikil-kerikil dan membuatnya mampus di tengah lautan. Representasi dari gempuran, gelora, nafsu, agresifitas, semacam itu. Tapi aku begitu menyukai keberadaan batu karang, tebing yang melingkupinya dengan segala unsur alam yang terekam di sana. Tebing karang hadir sebagai peredam gelora itu. Kau pikir untuk apa tebing karang itu hadir? Untuk memecah ombak, bukan? Sungguh, pesona yang menjaring dengan segala filosofi keberadaannya. :)
Jam 3 sore, bersiap kembali pulang ke peraduan (baca: rumah/kos masing-masing). Aku pulang membawa sekantung penuh pengetahuan. Tiga hari yang membukakan mataku tentang sisi lain kehidupan. Tiga hari yang membuatku lebih menghargai tentang local wisdom. Tiga hari yang membuatku diam-diam lebih bersyukur dilahirkan dengan kondisi sosial dan segala kenikmatan yang kudapatkan. Tiga hari yang membuatku merenung tentang hidup ini. Tuhan memang sangat suka memberikan kejutan ya? Jika kita jeli, banyak kejutan-kejutan dariNYA yang membuat kita lebih menghargai hidup, dan tentu saja membuat kita lebih mencintaiNYA.
# See you in the next life journey!
Senin, 05 Desember 2011
Tiga Hari Untuk Selamanya (Part #2)
Senin, 5 Des '11
9.00 pm
Hari kedua berada di Panggang difokuskan untuk meng-eksplore lebih dalam mengenai tema yang akan diteliti. Sebelumnya, diskusi pada siang harinya dulu tentang tema-tema tersebut. Di situlah saya menemukan bahwa iya, selama ini kebanyakan permasalahan hanya ada di otak si peneliti. Seorang peneliti datang ke suatu tempat untuk meneliti sesuatu yang menurutnya bermasalah, tapi betulkah hal itu bermasalah bagi masyarakat? Bisa jadi masyarakat sendiri tidak bermasalah dengan hal tersebut. Karenanya treatmen apapun yang dikenakan tidak akan berjalan dengan efektif karena dari masyarakat sendiri tidak bermasalah. So, seorang peneliti yang baik adalah berbaur dengan masyarakat, terjun, dalami apa sebenarnya yang menjadi permasalahan mereka. Jadi dari hasil diskusi bersama kelompok lain dan juga bapak dosen, tema kelompok kami adalah "Konformitas sebagai kontrol sosial: Sebuah studi eksploratif".
Lantas sore harinya kami berdelapan dibagi menjadi kelompok kecil untuk turun wawancara kepada masyarakat. Perempuan bertugas menanyakan kepada ibu-ibu dan para jejaka menanyakan kepada bapak-bapak. Aku dan Umi menjelajah bersama si kecil Avis dan menemukan seorang ibu-ibu tengah bersama anaknya di teras rumah. Rupanya itu salah satu teman main Avis. Mampirlah kami dan bertanya-tanya dengan Bu Retno. Hasilnya cukup mencengangkan meskipun sudah kami duga sebelumnya.
Di sana, rutinitas kerja yang terjadi setiap hari adalah orang ke sawah dan wana dari jam 8.30 hingga menjelang maghrib. Ketika aktivitas di sawah sedang vakum (sawah tadah hujan), mereka beralih ke wana. Ibu-ibu biasanya ndangiri (menyiangi) kacang atau jagung. Sedangkan bapak-bapak biasanya tidak telaten, biasanya mereka memilih untuk mencangkul atau mencari kayu, dan ngarit (mencari) rumput untuk makanan ternak.
Fenomena yang menarik yang juga kami temui pada saat observasi pagi hari, ibu-ibu ketika pergi ke wana selalu bergerombol 3-7 orang berjalan bersama-sama dengan memakai caping dan menggendong bawaan di punggung, sedangkan bapak-bapak seringkali terlihat sendirian. Ketika hal itu kami tanyakan, ternyata memang ada budaya di kalangan ibu-ibu yang disebut "byuk'an", yaitu mengerjakan bersama-sama di suatu tempat (wana/ladang). Biasanya memiliki sistem bergilir, misalnya hari ini mengerjakan di tempat ibu A, besok mengerjakan di tempat ibu B, begitu selanjutnya. Pembentukan kelompok tersebut biasanya sudah tetap (semacam geng) beranggotakan 3-5 orang dan terbentuk berdasarkan keakraban."Nek nyambut gawe akeh kancane kan semangat," tutur Bu Retno. Sedangkan yang terjadi pada bapak-bapak, menurut hasil wawancara yang dilakukan oleh para jejaka, bapak-bapak tidak masalah jika harus ke wana sendirian, ada temannya pun oke. Yang jelas tetap ada perkumpulan yang biasanya dilakukan pada malam hari.
Hal yang membuat kami tercengang adalah pengakuan Bu Retno tentang beratnya nyumbang di daerah ini. Terjadi pergeseran nilai nyumbang. Jika dulu orang menyumbang tetangganya yang sedang punya gawe dengan tujuan membantu, sekarang ada semacam pamrih. It's like "Aku nyumbang kamu gedhe biar besok kalau aku punya gawe juga disumbang gedhe". Di sana juga masih kental budaya konformitasnya berkaitan dengan perilaku nyumbang. Kalau tetangga-tetangga yang lain menyumbang sedangkan kita tidak menyumbang, ada semacam perasaan tidak enak, rikuh. "Ora umum sanak" istilahnya, adalah hal yang tidak wajar terjadi atau hal yang tidak sesuai dengan norma sosial yang berlaku. Akhirnya yang terjadi kemudian adalah kita jadi omongan dan bahan gosip orang sekampung karena kita tidak menyumbang. Bisa jadi kita dikira sombong, pelit, dan anggapan-anggapan miring lainnya. Tak heran jika sampai ada warga yang menjual ternaknya hanya untuk menyumbang tetangganya yang sedang punya gawe. Memang terkadang sanksi sosial lebih berat dari pada sanksi hukum.
Adanya sanksi sosial yang menyebabkan perilaku konformitas tersebut tidak hanya berlaku bagi orang dewasa dengan budaya nyumbangnya saja lho, budaya semacam itu merasuk juga dalam lini kaum remaja. Teman saya menemukan sekumpulan remaja yang sedang TPA di masjid. Mengobrollah bersama mereka. Salah satu hal yang menarik berkaitan dengan perilaku conform ini adalah ketika ditanya persoalan menikah. Sudah saya tulis dalam part pertama bahwa remaja putri di sana pada umumnya hanya sampai jenjang SMP. Ada dua macam alasan yang mendasarinya. Pertama, lokasi SMA berada di kecamatan dan untuk mencapai sana harus menempuh medan jalan yang cukup berbahaya. Kedua, ada anggapan sosial yang tampaknya masih banyak berlaku di desa ini "Nggo opo wong wedhok sekolah dhuwur-dhuwur, mlayune yo ning dhapur" ("Buat apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya tetap di dapur juga").
Berhubung saat ngobrol-ngobrol dengan warga diketahui bahwa angka nikah muda cukup tinggi, dan didukung dengan observasi melihat kenyataannya secara langsung, kami tergelitik untuk menanyakan perihal keinginan menikah pada remaja-remaja tersebut. Jawaban mereka cukup menguatkan adanya konformitas itu sekaligus membuat kami tercengang "La yang lain seumur saya gini udah pada nikah og mbak, ya saya tinggal nunggu ada yang datang aja". Pernyataan yang mengungkap dua nilai: konformitas dan nrimo. Konformitas, karena mengikuti apa yang sudah menjadi budaya demi menghindari penilaian sosial yang negatif. Norma di sana, usia lulus SMP sudah dalam usia wajar menikah, dan jika ada yang belum menikah akan menjadi bahan gosip dan dianggap tidak laku. Nrimo, karena mereka tidak secara aktif mencari calon suaminya, melainkan hanya menunggu laki-laki yang datang melamarnya. Oh ya, berkaitan dengan jodoh juga, ada mitos yang beredar di sana, apabila seorang gadis menolak lamaran yang datang pertama kali dari seorang laki-laki, maka tidak akan ada laki-laki lain yang datang melamarnya dikemudian hari. Hmm,,benarkah demikian?
# To be continued..
9.00 pm
Hari kedua berada di Panggang difokuskan untuk meng-eksplore lebih dalam mengenai tema yang akan diteliti. Sebelumnya, diskusi pada siang harinya dulu tentang tema-tema tersebut. Di situlah saya menemukan bahwa iya, selama ini kebanyakan permasalahan hanya ada di otak si peneliti. Seorang peneliti datang ke suatu tempat untuk meneliti sesuatu yang menurutnya bermasalah, tapi betulkah hal itu bermasalah bagi masyarakat? Bisa jadi masyarakat sendiri tidak bermasalah dengan hal tersebut. Karenanya treatmen apapun yang dikenakan tidak akan berjalan dengan efektif karena dari masyarakat sendiri tidak bermasalah. So, seorang peneliti yang baik adalah berbaur dengan masyarakat, terjun, dalami apa sebenarnya yang menjadi permasalahan mereka. Jadi dari hasil diskusi bersama kelompok lain dan juga bapak dosen, tema kelompok kami adalah "Konformitas sebagai kontrol sosial: Sebuah studi eksploratif".
Lantas sore harinya kami berdelapan dibagi menjadi kelompok kecil untuk turun wawancara kepada masyarakat. Perempuan bertugas menanyakan kepada ibu-ibu dan para jejaka menanyakan kepada bapak-bapak. Aku dan Umi menjelajah bersama si kecil Avis dan menemukan seorang ibu-ibu tengah bersama anaknya di teras rumah. Rupanya itu salah satu teman main Avis. Mampirlah kami dan bertanya-tanya dengan Bu Retno. Hasilnya cukup mencengangkan meskipun sudah kami duga sebelumnya.
Di sana, rutinitas kerja yang terjadi setiap hari adalah orang ke sawah dan wana dari jam 8.30 hingga menjelang maghrib. Ketika aktivitas di sawah sedang vakum (sawah tadah hujan), mereka beralih ke wana. Ibu-ibu biasanya ndangiri (menyiangi) kacang atau jagung. Sedangkan bapak-bapak biasanya tidak telaten, biasanya mereka memilih untuk mencangkul atau mencari kayu, dan ngarit (mencari) rumput untuk makanan ternak.
Fenomena yang menarik yang juga kami temui pada saat observasi pagi hari, ibu-ibu ketika pergi ke wana selalu bergerombol 3-7 orang berjalan bersama-sama dengan memakai caping dan menggendong bawaan di punggung, sedangkan bapak-bapak seringkali terlihat sendirian. Ketika hal itu kami tanyakan, ternyata memang ada budaya di kalangan ibu-ibu yang disebut "byuk'an", yaitu mengerjakan bersama-sama di suatu tempat (wana/ladang). Biasanya memiliki sistem bergilir, misalnya hari ini mengerjakan di tempat ibu A, besok mengerjakan di tempat ibu B, begitu selanjutnya. Pembentukan kelompok tersebut biasanya sudah tetap (semacam geng) beranggotakan 3-5 orang dan terbentuk berdasarkan keakraban."Nek nyambut gawe akeh kancane kan semangat," tutur Bu Retno. Sedangkan yang terjadi pada bapak-bapak, menurut hasil wawancara yang dilakukan oleh para jejaka, bapak-bapak tidak masalah jika harus ke wana sendirian, ada temannya pun oke. Yang jelas tetap ada perkumpulan yang biasanya dilakukan pada malam hari.
Hal yang membuat kami tercengang adalah pengakuan Bu Retno tentang beratnya nyumbang di daerah ini. Terjadi pergeseran nilai nyumbang. Jika dulu orang menyumbang tetangganya yang sedang punya gawe dengan tujuan membantu, sekarang ada semacam pamrih. It's like "Aku nyumbang kamu gedhe biar besok kalau aku punya gawe juga disumbang gedhe". Di sana juga masih kental budaya konformitasnya berkaitan dengan perilaku nyumbang. Kalau tetangga-tetangga yang lain menyumbang sedangkan kita tidak menyumbang, ada semacam perasaan tidak enak, rikuh. "Ora umum sanak" istilahnya, adalah hal yang tidak wajar terjadi atau hal yang tidak sesuai dengan norma sosial yang berlaku. Akhirnya yang terjadi kemudian adalah kita jadi omongan dan bahan gosip orang sekampung karena kita tidak menyumbang. Bisa jadi kita dikira sombong, pelit, dan anggapan-anggapan miring lainnya. Tak heran jika sampai ada warga yang menjual ternaknya hanya untuk menyumbang tetangganya yang sedang punya gawe. Memang terkadang sanksi sosial lebih berat dari pada sanksi hukum.
Adanya sanksi sosial yang menyebabkan perilaku konformitas tersebut tidak hanya berlaku bagi orang dewasa dengan budaya nyumbangnya saja lho, budaya semacam itu merasuk juga dalam lini kaum remaja. Teman saya menemukan sekumpulan remaja yang sedang TPA di masjid. Mengobrollah bersama mereka. Salah satu hal yang menarik berkaitan dengan perilaku conform ini adalah ketika ditanya persoalan menikah. Sudah saya tulis dalam part pertama bahwa remaja putri di sana pada umumnya hanya sampai jenjang SMP. Ada dua macam alasan yang mendasarinya. Pertama, lokasi SMA berada di kecamatan dan untuk mencapai sana harus menempuh medan jalan yang cukup berbahaya. Kedua, ada anggapan sosial yang tampaknya masih banyak berlaku di desa ini "Nggo opo wong wedhok sekolah dhuwur-dhuwur, mlayune yo ning dhapur" ("Buat apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya tetap di dapur juga").
Berhubung saat ngobrol-ngobrol dengan warga diketahui bahwa angka nikah muda cukup tinggi, dan didukung dengan observasi melihat kenyataannya secara langsung, kami tergelitik untuk menanyakan perihal keinginan menikah pada remaja-remaja tersebut. Jawaban mereka cukup menguatkan adanya konformitas itu sekaligus membuat kami tercengang "La yang lain seumur saya gini udah pada nikah og mbak, ya saya tinggal nunggu ada yang datang aja". Pernyataan yang mengungkap dua nilai: konformitas dan nrimo. Konformitas, karena mengikuti apa yang sudah menjadi budaya demi menghindari penilaian sosial yang negatif. Norma di sana, usia lulus SMP sudah dalam usia wajar menikah, dan jika ada yang belum menikah akan menjadi bahan gosip dan dianggap tidak laku. Nrimo, karena mereka tidak secara aktif mencari calon suaminya, melainkan hanya menunggu laki-laki yang datang melamarnya. Oh ya, berkaitan dengan jodoh juga, ada mitos yang beredar di sana, apabila seorang gadis menolak lamaran yang datang pertama kali dari seorang laki-laki, maka tidak akan ada laki-laki lain yang datang melamarnya dikemudian hari. Hmm,,benarkah demikian?
# To be continued..
Jumat, 02 Desember 2011
Ajari Aku - Adrian Martadinata
Ajari aku ’tuk bisa
Menjadi yang engkau cinta
Agar ku bisa memiliki rasa
Yang luar biasa untukku dan untukmu
Ku harap engkau mengerti
Akan semua yang ku pinta
Karena kau cahaya hidupku, malamku
‘tuk terangi jalan ku yang berliku
Hanya engkau yang bisa
Hanya engkau yang tahu
Hanya engkau yang mengerti, semua inginku
[ajari aku 'tuk bisa mencintaimu]
[ajari aku 'tuk bisa mengerti kamu]
Mungkinkah semua akan terjadi pada diriku
Hanya engkau yang tahu
Ajari aku ’tuk bisa mencintaimu
Menjadi yang engkau cinta
Agar ku bisa memiliki rasa
Yang luar biasa untukku dan untukmu
Ku harap engkau mengerti
Akan semua yang ku pinta
Karena kau cahaya hidupku, malamku
‘tuk terangi jalan ku yang berliku
Hanya engkau yang bisa
Hanya engkau yang tahu
Hanya engkau yang mengerti, semua inginku
[ajari aku 'tuk bisa mencintaimu]
[ajari aku 'tuk bisa mengerti kamu]
Mungkinkah semua akan terjadi pada diriku
Hanya engkau yang tahu
Ajari aku ’tuk bisa mencintaimu
Kamis, 01 Desember 2011
Kita = Ayam Kampung, Ayam Petelur, atau Ayam Potong??
Kamis, 1 Des '11
Dalam kuliah saya hari ini, saya menemukan hal yang menarik. Bukan tentang materi yang tengah disampaikan oleh bapak dosen. Ada cerita sekilas yang disampaikan sebagai intermezzo.
"Kalian tahu ada berapa jenis ayam yang sering kita temui?" Ayam kampung, ayam potong, dan ayam petelur. Ketiga jenis ayam ini menjalani hidup dengan perasaan dan pengalamannya masing-masing. Yang paling menjalani kehidupan secara normal dan wajar adalah ayam kampung. Mereka dipelihara seperti layaknya binatang peliharaan, yang diberi kandang yang luas, diberi makan, dibiarkan bersosialisasi dengan teman-teman sebangsa ayam yang lain, saling curhat, bercanda, bertengkar, dan melakukan aktivitas seperti layaknya ayam. Dan ketika si ayam ini menemui ajalnya (bukan karena sengaja disembelih untuk tujuan tertentu), si empunya menangisi kepergian si ayam hingga berhari-hari.
Sedangkan ayam potong dan ayam petelur memiliki nasib yang kurang beruntung bila dibandingkan dengan ayam kampung. Mari kita tengok gambaran kehidupan ayam petelur. Apa tujuan hidup ayam petelur? Menghasilkan telur dong yang jelas, kata Tika. Sesuai dengan visi dan misi hidup yang tertuang dalam kitab hidup ayam petelur ini, mereka berusaha keras, dipaksa oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk menghasilkan telur sebanyak-banyaknya. Rumah mereka pun disesuaikan dengan kebutuhan yang berorientasi visi misinya. Kandang untuk mereka didesain sesuai dengan ukuran lebar tubuh mereka. Jadi ruang gerak ayam petelur sangatlah sempit. Mereka tidak bisa memutar tubuhnya, hanya bisa bergerak maju untuk makan, dan mundur untuk berleha-leha setelah makan. Begitu seterusnya setiap hari. Ayam petelur juga tidak memiliki kesempatan untuk bersosialisasi dan berjalan-jalan bebas di luaran, jadi seumur hidupnya tidak pernah memiliki kesempatan untuk kawin dengan ayam jantan pilihannya sendiri, apalagi untuk pacaran! haha..
Lain lagi dengan kisah hidup ayam potong, meskipun juga sama-sama bernasib memprihatinkan. "Kebebasan yang begitu singkat", begitu istilah yang dikemukakan oleh bapak dosen. Why? Iya, berbeda dengan ayam petelur yang hidupnya sangat terbatas pada sekotak kandang yang bahkan tidak bisa membuatnya berputar arah, ayam potong ini dipersilakan untuk menghirup kebebasan di luar kandang. Berlarian, tertawa-tawa dengan teman, bahkan mungkin sempat berebut cacing. Tapi kebebasan yang mereka rasakan itu berlangsung begitu singkat. Hanya dalam hitungan bulan, tak sampai 5 bulan, "sudah, harus kita akhiri sampai di sini saja hidupmu, nak!" Kata si empunya usaha ayam potong yang sedang banyak pesanan dari pelanggan. Dan akhirnya si ayam potong harus rela mati di usianya yang masih sangat belia. Tragis.
Sampai di sini cerita bapak dosen selesai, dan saya mengutip dengan sedikit modifikasi dan improvisasi di sana-sini. Pantas saja ayam yang paling enak rasanya adalah ayam kampung. Kenapa? Karena di antara ketiga jenis ayam di atas, hanya ayam kampung lah yang menjalani hidupnya dengan ikhlas, sehingga menghasilkan daging yang enak dan lebih gurih. Sedangkan ayam potong dan ayam petelur menjalani hidupnya dengan paksaan.
Mungkin apa yang terjadi pada kita dalam kehidupan ini tak jauh-jauh dari apa yang terjadi pada ketiga jenis ayam itu. Ketika kita melakukan sesuatu dengan ikhlas, hasil yang didapatkan akan memuaskan dan bermanfaat. Namun, ketika kita melakukan sesuatu dengan penuh keterpaksaan, hasil yang didapatkan pun tidak akan baik. Meskipun mungkin kita dapat menghasilkan sesuatu yang diinginkan oleh orang lain, tapi segala langkah kita ada di bawah kendali orang itu. Kita tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan apa yang sebenarnya kita inginkan, seperti apa yang dialami oleh ayam peternak. Jadi, ayam yang seperti apakah yang akan ada dalam diri kita? Pilihan kitalah yang menentukan.
Dalam kuliah saya hari ini, saya menemukan hal yang menarik. Bukan tentang materi yang tengah disampaikan oleh bapak dosen. Ada cerita sekilas yang disampaikan sebagai intermezzo.
"Kalian tahu ada berapa jenis ayam yang sering kita temui?" Ayam kampung, ayam potong, dan ayam petelur. Ketiga jenis ayam ini menjalani hidup dengan perasaan dan pengalamannya masing-masing. Yang paling menjalani kehidupan secara normal dan wajar adalah ayam kampung. Mereka dipelihara seperti layaknya binatang peliharaan, yang diberi kandang yang luas, diberi makan, dibiarkan bersosialisasi dengan teman-teman sebangsa ayam yang lain, saling curhat, bercanda, bertengkar, dan melakukan aktivitas seperti layaknya ayam. Dan ketika si ayam ini menemui ajalnya (bukan karena sengaja disembelih untuk tujuan tertentu), si empunya menangisi kepergian si ayam hingga berhari-hari.
Sedangkan ayam potong dan ayam petelur memiliki nasib yang kurang beruntung bila dibandingkan dengan ayam kampung. Mari kita tengok gambaran kehidupan ayam petelur. Apa tujuan hidup ayam petelur? Menghasilkan telur dong yang jelas, kata Tika. Sesuai dengan visi dan misi hidup yang tertuang dalam kitab hidup ayam petelur ini, mereka berusaha keras, dipaksa oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk menghasilkan telur sebanyak-banyaknya. Rumah mereka pun disesuaikan dengan kebutuhan yang berorientasi visi misinya. Kandang untuk mereka didesain sesuai dengan ukuran lebar tubuh mereka. Jadi ruang gerak ayam petelur sangatlah sempit. Mereka tidak bisa memutar tubuhnya, hanya bisa bergerak maju untuk makan, dan mundur untuk berleha-leha setelah makan. Begitu seterusnya setiap hari. Ayam petelur juga tidak memiliki kesempatan untuk bersosialisasi dan berjalan-jalan bebas di luaran, jadi seumur hidupnya tidak pernah memiliki kesempatan untuk kawin dengan ayam jantan pilihannya sendiri, apalagi untuk pacaran! haha..
Lain lagi dengan kisah hidup ayam potong, meskipun juga sama-sama bernasib memprihatinkan. "Kebebasan yang begitu singkat", begitu istilah yang dikemukakan oleh bapak dosen. Why? Iya, berbeda dengan ayam petelur yang hidupnya sangat terbatas pada sekotak kandang yang bahkan tidak bisa membuatnya berputar arah, ayam potong ini dipersilakan untuk menghirup kebebasan di luar kandang. Berlarian, tertawa-tawa dengan teman, bahkan mungkin sempat berebut cacing. Tapi kebebasan yang mereka rasakan itu berlangsung begitu singkat. Hanya dalam hitungan bulan, tak sampai 5 bulan, "sudah, harus kita akhiri sampai di sini saja hidupmu, nak!" Kata si empunya usaha ayam potong yang sedang banyak pesanan dari pelanggan. Dan akhirnya si ayam potong harus rela mati di usianya yang masih sangat belia. Tragis.
Sampai di sini cerita bapak dosen selesai, dan saya mengutip dengan sedikit modifikasi dan improvisasi di sana-sini. Pantas saja ayam yang paling enak rasanya adalah ayam kampung. Kenapa? Karena di antara ketiga jenis ayam di atas, hanya ayam kampung lah yang menjalani hidupnya dengan ikhlas, sehingga menghasilkan daging yang enak dan lebih gurih. Sedangkan ayam potong dan ayam petelur menjalani hidupnya dengan paksaan.
Mungkin apa yang terjadi pada kita dalam kehidupan ini tak jauh-jauh dari apa yang terjadi pada ketiga jenis ayam itu. Ketika kita melakukan sesuatu dengan ikhlas, hasil yang didapatkan akan memuaskan dan bermanfaat. Namun, ketika kita melakukan sesuatu dengan penuh keterpaksaan, hasil yang didapatkan pun tidak akan baik. Meskipun mungkin kita dapat menghasilkan sesuatu yang diinginkan oleh orang lain, tapi segala langkah kita ada di bawah kendali orang itu. Kita tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan apa yang sebenarnya kita inginkan, seperti apa yang dialami oleh ayam peternak. Jadi, ayam yang seperti apakah yang akan ada dalam diri kita? Pilihan kitalah yang menentukan.
Langganan:
Postingan (Atom)