Jum'at, 27 Des '13
11.15 pm
"Apa esensi hidupmu? Apa value tertinggi yang ada dalam dirimu?"
Kenapa dua pertanyaan itu sulit kutemukan jawabannya? Kenapa aku masih takut untuk bertemu dengan diriku sendiri? Aku takut bertemu dengan swarin kecil. Aku takut bertemu dengan swarin besar. Aku hanya berani bertemu dengan swarin saat sekarang.
Apa arti menerima dirimu sebenarnya? Apakah ketika kita paham apa perasaan kita di masa lalu, paham mengapa kita bisa berada di sana, itu berarti kita menerima? Benar-benar menerimakah kita? Atau sebenarnya masih dalam kognitif kita?
Selama ini aku bisa ketika ada suatu peristiwa yang menyakitkan, secara otomatis, aku mencari hal-hal positif yang kudapat dari peristiwa menyakitkan itu. Setelah itu aku merasa lega. Tapi ketika sudah lewat, menjadi masa lalu, kemudian sekarang mengingat kembali hal yang menyakitkan itu, aku masih bisa merasakan bagaimana sakitnya. Lantas apakah dengan begitu aku sebenarnya hanya paham secara kognitif saja dan belum benar-benar menerima diriku di masa lalu itu? Saat aku mencari sisi positif dari hal menyakitkan itu, mungkinkah aku sebenarnya sedang mencari-cari alasan supaya aku merasa nyaman? Aku menolak rasa sakit itu sehingga aku mencari hal positifnya sebagai penyeimbang? Tapi aku tetap tidak bisa menerima rasa sakit itu dong berarti, karena aku berusaha menggantikannya dengan perasaan positif itu.
Aku pernah mengembalikan semuanya pada Tuhan. Sering. Tapi sekarang kemudian aku mempertanyakan, apakah aku sudah benar-benar mengembalikan pada Tuhan? Jangan-jangan Tuhan yang aku maksud selama ini hanya sebagai alasan yang kubuat agar aku merasa seolah-olah aman. Selama ini, aku benar-benar merasa aman atau baru sekedar seolah-olah merasa aman? Karena bisakah proses itu melompat? Ketika aku bingung harus bagaimana, aku langsung menuju pada Tuhan, aku tidak menanyai diriku sendiri dulu, aku tidak bertemu dengan alter ego-alter egoku yang lain dulu. Jadi apakah memang bisa melompat, ataukah yang terjadi selama ini aku hanya mengatas namakan Tuhan agar merasa seolah-olah aman?
Ah, Tuhan, bantu aku menemukan jalan menuju diriku sendiri. Bantu aku bertemu dengan swarin kecil, menyapanya, dan mengajaknya berjalan bersama-sama. Pun dengan masa depan. Bantu aku menemukan swarin besar ada di mana kelak. Bantu aku menemukan aspirasi dan esensi hidup. Karena aku yakin hidup bukanlah sekedar bernafas, tetapi juga menafaskan. Sama dengan aku yakin Tuhan menciptakanku karena suatu alasan. Apakah itu? Bolehkah aku tahu sedikit saja, Tuhan?
Laman
Label
- Halo Purworejo (9)
- Psychology (35)
- random (55)
- Ruang Cinta (6)
- Ruang Sastra (8)
- Sekuel Saung Kecil (68)
- Serba Serbi Dunia (23)
- Song's story (11)
Jumat, 27 Desember 2013
Minggu, 15 Desember 2013
Saat Sahabatmu Menikah
Minggu, 15 Des '13
Awkward moment adalah saat kamu menghadiri pesta pernikahan sahabat lamamu yang sudah sekian lama tidak bertemu, pun tidak saling bertukar kabar. Senang, sedih, dan kagol. Bisa jadi rasa seperti ini jugalah yang terjadi pada seseorang yang diundang ke nikahannya mantan. Sahabat bisa juga disebut sebagai pacar, bukan? Bedanya, sahabat adalah sebutan untuk orang yang berjenis kelamin sama denganmu, sedangkan pacar adalah sebutan untuk orang yang berbeda jenis kelamin.
Dan yang rasanya paling ngganjel kagol itu ketika datang ke pernikahan sahabatmu waktu SD ataupun TK, atau kapan pun itu yang jelas esensinya adalah dia orang pertama yang mengenalkanmu tentang persahabatan. Dia (atau mereka) lah yang membentuk "template" sahabat dalam benakmu. Hei, itu sama saja dengan first love, bukan? Dengan mereka lah kamu untuk pertama kalinya merasakan indahnya punya sahabat dekat. Bagaimana rasanya? Ketika kalian terpisah tidak bertemu bertahun-tahun lamanya, bahkan berpuluh tahun, tiba-tiba dia datang dengan sebuah undangan pernikahan. Kamu tidak tahu teman-temanmu yang lain ada di mana sekarang. Sedang sahabatmu yang lain (sahabatnya juga) semuanya sudah menikah. Tentulah mereka entah berdomisili di mana sekarang. Atau kalaupun datang, pastilah bersama dengan suami masing-masing.
Sedangkan kamu? kamu tidak tahu harus datang bersama siapa. Kamu tidak tahu harus mengawali perbincangan basa-basi saat bersalaman di depan pelaminan dengan topik apa. Kamu sudah kehilangan dirinya selama bertahun-tahun, kamu tidak lagi mengenalnya. Tidakkah ketika kamu bertemu lagi dengannya, kamu ingin berkata "yuk, kapan kita main bareng, ke manaa gitu?" Tapi kata-kata itu hanya tercekat. Bukankah tidak mungkin mengucapkan kalimat itu di pelaminan, saat orang yang akan kamu ajak itu menikah? Mengucapkannya saja merupakan sebuah kemustahilan, apalagi untuk merealisasikannya?
Hari ini adalah saat di mana kamu bertemu lagi dengan sahabatmu yang bertahun-tahun lamanya tidak pernah bertukar kabar, hanya untuk melihatnya semakin menjauh dari hidupmu.
Awkward moment adalah saat kamu menghadiri pesta pernikahan sahabat lamamu yang sudah sekian lama tidak bertemu, pun tidak saling bertukar kabar. Senang, sedih, dan kagol. Bisa jadi rasa seperti ini jugalah yang terjadi pada seseorang yang diundang ke nikahannya mantan. Sahabat bisa juga disebut sebagai pacar, bukan? Bedanya, sahabat adalah sebutan untuk orang yang berjenis kelamin sama denganmu, sedangkan pacar adalah sebutan untuk orang yang berbeda jenis kelamin.
Dan yang rasanya paling ngganjel kagol itu ketika datang ke pernikahan sahabatmu waktu SD ataupun TK, atau kapan pun itu yang jelas esensinya adalah dia orang pertama yang mengenalkanmu tentang persahabatan. Dia (atau mereka) lah yang membentuk "template" sahabat dalam benakmu. Hei, itu sama saja dengan first love, bukan? Dengan mereka lah kamu untuk pertama kalinya merasakan indahnya punya sahabat dekat. Bagaimana rasanya? Ketika kalian terpisah tidak bertemu bertahun-tahun lamanya, bahkan berpuluh tahun, tiba-tiba dia datang dengan sebuah undangan pernikahan. Kamu tidak tahu teman-temanmu yang lain ada di mana sekarang. Sedang sahabatmu yang lain (sahabatnya juga) semuanya sudah menikah. Tentulah mereka entah berdomisili di mana sekarang. Atau kalaupun datang, pastilah bersama dengan suami masing-masing.
Sedangkan kamu? kamu tidak tahu harus datang bersama siapa. Kamu tidak tahu harus mengawali perbincangan basa-basi saat bersalaman di depan pelaminan dengan topik apa. Kamu sudah kehilangan dirinya selama bertahun-tahun, kamu tidak lagi mengenalnya. Tidakkah ketika kamu bertemu lagi dengannya, kamu ingin berkata "yuk, kapan kita main bareng, ke manaa gitu?" Tapi kata-kata itu hanya tercekat. Bukankah tidak mungkin mengucapkan kalimat itu di pelaminan, saat orang yang akan kamu ajak itu menikah? Mengucapkannya saja merupakan sebuah kemustahilan, apalagi untuk merealisasikannya?
Hari ini adalah saat di mana kamu bertemu lagi dengan sahabatmu yang bertahun-tahun lamanya tidak pernah bertukar kabar, hanya untuk melihatnya semakin menjauh dari hidupmu.
Selasa, 10 Desember 2013
Bagian yang Disebut Kegilaan
Selasa, 10 Des '13
Bagian ini disebut dengan kegilaan.
Kuliah hari ini pulang lebih awal dari biasanya. Cuma sampai jam 3 lebih dikit. Dengan muka sumringah Mbak Sari (triper), menghampiri, "Karaokean yuk!" ajaknya. Teman saya ini sudah sejak tanggal 30 November kemarin ngajakin karaokean. Tapi karena pada nggak bisa, belum jadi karaokean. Dan hari ini kami pulang lebih awal. "Ayo!!" Kapan lagi coba kalau nggak sekarang. Sehari-harinya aja kami kuliah full dari jam 7.30 sampai jam 16 lebih dikit, kadang-kadang sampai jam 5 sore.
Jadilah berenam (Mbak Sari triper, Mbak Ulen, Mbak Sari W, DC, dan saya) meluncur ke Happy Puppy deket ringroad. Demi sebuah waktu luang, kami rela menembus hujan deras sore tadi. Haha. Start jam setengah lima selesai jam setengah tujuh. Sumpah suara sampai habis ini teriak-teriak, loncat-loncat, udah macam dugem aja ini. Playlist yang dipasang juga sudah memenuhi syarat perdugeman. Kegilaan masing-masing terlihat. Semua genre lagu juga dipasang, dari yang ajeb-ajeb, korea, dangdut, bahkan india. Dari lagu yang up-beat sampai lagu yang nggerus. Komplit. Kurangnya cuma satu: kurang lama. Haha. Bisa dibayangkan dong dalam waktu dua jam ada 6 penyanyi yang punya keinginan untuk menyanyikan lagu pilihannya. Tapi tadi bener-bener menggila. Yang di kelas keliatannya anteng, kalem, eeh ternyata di karaokean malah yang paling heboh. Saya sampai curiga jangan-jangan yang lagi karaokean ini bukan teman saya, tapi kembarannya, saudara kembar yang tertukar begitu *oke ini nggak rasional*.
Pulangnya mampir makan bareng dulu di Mbak Shasha sebelum berpisah menuju kos masing-masing. Whoaa seneng rasanya bisa melepaskan beban, setelah hampir dua bulan kemarin bisa dibilang untuk bernafas pun tidak sempat. Kalau saya bilang, karaokean itu kayak drug, candu. Dia memberikan kenikmatan sesaat tapi bikin nagih, mau lagi dan mau lagi. Dia mengaktifkan kerja hormon serotonin. Bedanya, dia tidak menyebabkan kerusakan pada organ kecuali, yah, serak-serak dikit laah :p
PS. Tuhan, terima kasih atas kegilaan ini :)
Bagian ini disebut dengan kegilaan.
Kuliah hari ini pulang lebih awal dari biasanya. Cuma sampai jam 3 lebih dikit. Dengan muka sumringah Mbak Sari (triper), menghampiri, "Karaokean yuk!" ajaknya. Teman saya ini sudah sejak tanggal 30 November kemarin ngajakin karaokean. Tapi karena pada nggak bisa, belum jadi karaokean. Dan hari ini kami pulang lebih awal. "Ayo!!" Kapan lagi coba kalau nggak sekarang. Sehari-harinya aja kami kuliah full dari jam 7.30 sampai jam 16 lebih dikit, kadang-kadang sampai jam 5 sore.
Jadilah berenam (Mbak Sari triper, Mbak Ulen, Mbak Sari W, DC, dan saya) meluncur ke Happy Puppy deket ringroad. Demi sebuah waktu luang, kami rela menembus hujan deras sore tadi. Haha. Start jam setengah lima selesai jam setengah tujuh. Sumpah suara sampai habis ini teriak-teriak, loncat-loncat, udah macam dugem aja ini. Playlist yang dipasang juga sudah memenuhi syarat perdugeman. Kegilaan masing-masing terlihat. Semua genre lagu juga dipasang, dari yang ajeb-ajeb, korea, dangdut, bahkan india. Dari lagu yang up-beat sampai lagu yang nggerus. Komplit. Kurangnya cuma satu: kurang lama. Haha. Bisa dibayangkan dong dalam waktu dua jam ada 6 penyanyi yang punya keinginan untuk menyanyikan lagu pilihannya. Tapi tadi bener-bener menggila. Yang di kelas keliatannya anteng, kalem, eeh ternyata di karaokean malah yang paling heboh. Saya sampai curiga jangan-jangan yang lagi karaokean ini bukan teman saya, tapi kembarannya, saudara kembar yang tertukar begitu *oke ini nggak rasional*.
Pulangnya mampir makan bareng dulu di Mbak Shasha sebelum berpisah menuju kos masing-masing. Whoaa seneng rasanya bisa melepaskan beban, setelah hampir dua bulan kemarin bisa dibilang untuk bernafas pun tidak sempat. Kalau saya bilang, karaokean itu kayak drug, candu. Dia memberikan kenikmatan sesaat tapi bikin nagih, mau lagi dan mau lagi. Dia mengaktifkan kerja hormon serotonin. Bedanya, dia tidak menyebabkan kerusakan pada organ kecuali, yah, serak-serak dikit laah :p
PS. Tuhan, terima kasih atas kegilaan ini :)
Senin, 09 Desember 2013
Selintas Sekolah Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram
Senin, 9 Des 13
Hari ini sedikit bisa bernafas dan melemaskan urat-urat pikir. Empat hari kemarin, tanggal 5-8, saya mengikuti sebuah seminar nasional yang diberi judul Sekolah Kawruh Jiwa Suryomentaram. Selama empat hari kemarin, acara dimulai pukul 8 pagi dan berakhir menjelang maghrib, membahas filosofi-filosofi yang diciptakan oleh Suryomentaram itu. Di sini, hanya ada dua mahasiswa (saya dan teman saya satu kelas). Selebihnya adalah para dosen, profesor, dan wakil dari berbagai instansi. Mahasiswa yang lain adalah panitianya, dari S2 sains psikologi sosial. Wow, sumpah, saya merasa kerdil sekali di sana :(
Sekolah ini tujuannya untuk mengupas tuntas dan berdiskusi tentang konsep-konsep Suryomentaram. Diharapkan kelak, konsep-konsep itu bisa menjadi teori psikologi yang indigenous, yang asli dari local wisdom Indonesia, tidak melulu harus memakai teori barat untuk memahami ilmu psikologi. Sekolah ini memang sebenarnya lebih cocok untuk pendidik dan orang-orang yang berkiprah mengembangkan keilmuan. Loh, terus kenapa ada dua penyusup kecil ini? Jadi gini, ini adalah tawaran dari salah satu dosen kami yang dulu sekaligus menjadi dosen pembimbing skripsi saya. Ada dua kolega beliau yang sangat ingin mengikuti acara itu tapi beliau punya agenda lain untuk tanggal itu. Beliau kemudian menugaskan pada dosen saya itu untuk menawarkannya pada mahasiswa. Kebetulan, skripsi saya mengangkat tentang ajaran Suryomentaram ini. Teman saya pun, Mbak Sari, memiliki ketertarikan yang besar untuk meneliti Suryomentaram. Jadilah kami yang dibayari kolega ibu dosen itu. Antara percaya dan tidak. Ini kesempatan bagus banget, kita bisa sekolah, ngangsu kawruh, gratis dibayari pulak! Bolos kuliah dua hari jadi terasa ringan dan rela-rela saja. Haha.
Dan di situlah kami. Saya tidak tahu apa yang dirasakan teman saya. Yang jelas saya merasakan perasaan yang paradoksal. Di satu sisi, saya excited, saya menikmati jawah kawruh ini. Sangat-sangat menginspirasi, mencerahkan, dan menentramkan. Tapi di sisi lain, saya merasa inferior. Saya merasa "hello, aku siapa si?" I'm trapped in these great people. Peserta-peserta ini bukan orang yang biasa-biasa saja dalam bidangnya. Tapi saya? saya hanya mahasiswa baru, semester dua saja belum mencapai. Saya merasa tidak punya bekal apa-apa untuk ikut sekolah ini. Tapi ini kesempatan emas dan saya sangat bersyukur mendapatkannya. Mbak Sari pun mengatakan kata-kata bijak ini "kowe ngerasa minder karena menyebandingkan kemampuanmu dengan mereka. Kamu dan beliau-beliau itu ya memang tidak bisa dibandingkan. Jadi berpikirlah sesuai dengan usiamu." Sungguh, kalimat itu kemudian menentramkan saya.
Setelah itu saya menjadi lebih menikmati prosesnya. Tidak perlu terlalu mikir atos sehingga dapat mengkritisi teori itu atau membandingkannya dengan teori-teori yang sudah lebih dulu menguasai dunia psikologi. Jawah kawruhnya dulu saja sudah cukup. Ditampung. Diendapkan. Perenungan-perenungan tentangnya bisa secara perlahan, sekaligus kita ikut berproses di dalamnya, mengalami sendiri apa yang diteorikan oleh Suryomentaram.
Mengenai bagaimana hasil dari ngangsu kawruh selama 4 hari ini, saya belum berani memaparkannya sekarang. Saya masih perlu merenungkan makna sebenarnya. Mungkin di postingan-postingan yang akan datang, saya akan mengupas sedikit demi sedikit, sejauh sampai mana pemahaman saya dalam proses perenungan itu.
Oke sekarang saya cerita saja pengalaman seru selama 4 hari kemarin.
Sabtu malam Minggu kemarin, kami berkunjung ke Desa Balong di Sewon, Bantul. Desa itu adalah desa yang menggiatkan nilai-nilai Ki Ageng Suryomentaram hingga sekarang. Kunjungan kami ke sana disambut dengan total. Lampu penerang jalan desa di pinggir sawah itu sengaja dimatikan dan diganti dengan botol-botol berisi minyak dan sumbu yang dinyalakan menjadi penerang berjajar di sepanjang jalan. Sungguh ini romantis sekali suasananya. Entah berapa ratus botol itu tertata di sepanjang jalan hingga ke depan sebuah rumah yang memiliki pendhapa di depannya. Kami disuguhi lantunan dari gamelan, sementara di halaman seberangnya ada sekumpulan anak kecil yang memainkan permainan rakyat anak-anak. Seketika itu ingatan saya kembali pada masa saya masih duduk di taman kanak-kanak. Saya pun sering memainkan permainan itu bersama teman-teman saya dulu. Dulu saya hafal lirik lagu yang dinyanyikan sepanjang permainan, tapi sekarang saya hanya mampu mengingat beberapa baris awal saja. Sedih rasanya dan frankly, saya ingin menghafalkannya lagi :3
Ini dia permainan anak-anak yang saya ceritakan tadi. Sayangnya setiap kali saya ingin memvideo, saya selalu ketinggalan bagian awal dari lagu permainan ini karena harus memindah mode kamera ke video dulu. Dan saya sekarang juga kesulitan untuk meng-insert ke sini. Teasernya saja dulu lah ya berupa foto. Versi video bisa disaksikan di youtube saja :p
Ada juga kesenian musik yang namanya Gejog Lesung. Dulunya, Gejog Lesung ini kegiatan di mana ibu-ibu bekerja sama menumbuk padi menggunakan alu. Suara tumbukan itu menghasilkan suatu irama tersendiri yang khas dan menghibur. Dalam perkembangannya sekarang Gejog Lesung lebih menitik beratkan pada kesenian daripada sebagai aktivitas kerja.
Dan api obor yang berjajar di sepanjang jalan ini menjadi penerang yang apik. Seperti nilai dan falsafah kearifan lokal yang kita miliki, menjadi penerang bagi jiwa-jiwa yang mencari.
Ruang G-100. Sumber: dari DSLR Nikon Pak Fauzan |
Hari ini sedikit bisa bernafas dan melemaskan urat-urat pikir. Empat hari kemarin, tanggal 5-8, saya mengikuti sebuah seminar nasional yang diberi judul Sekolah Kawruh Jiwa Suryomentaram. Selama empat hari kemarin, acara dimulai pukul 8 pagi dan berakhir menjelang maghrib, membahas filosofi-filosofi yang diciptakan oleh Suryomentaram itu. Di sini, hanya ada dua mahasiswa (saya dan teman saya satu kelas). Selebihnya adalah para dosen, profesor, dan wakil dari berbagai instansi. Mahasiswa yang lain adalah panitianya, dari S2 sains psikologi sosial. Wow, sumpah, saya merasa kerdil sekali di sana :(
Sekolah ini tujuannya untuk mengupas tuntas dan berdiskusi tentang konsep-konsep Suryomentaram. Diharapkan kelak, konsep-konsep itu bisa menjadi teori psikologi yang indigenous, yang asli dari local wisdom Indonesia, tidak melulu harus memakai teori barat untuk memahami ilmu psikologi. Sekolah ini memang sebenarnya lebih cocok untuk pendidik dan orang-orang yang berkiprah mengembangkan keilmuan. Loh, terus kenapa ada dua penyusup kecil ini? Jadi gini, ini adalah tawaran dari salah satu dosen kami yang dulu sekaligus menjadi dosen pembimbing skripsi saya. Ada dua kolega beliau yang sangat ingin mengikuti acara itu tapi beliau punya agenda lain untuk tanggal itu. Beliau kemudian menugaskan pada dosen saya itu untuk menawarkannya pada mahasiswa. Kebetulan, skripsi saya mengangkat tentang ajaran Suryomentaram ini. Teman saya pun, Mbak Sari, memiliki ketertarikan yang besar untuk meneliti Suryomentaram. Jadilah kami yang dibayari kolega ibu dosen itu. Antara percaya dan tidak. Ini kesempatan bagus banget, kita bisa sekolah, ngangsu kawruh, gratis dibayari pulak! Bolos kuliah dua hari jadi terasa ringan dan rela-rela saja. Haha.
Dan di situlah kami. Saya tidak tahu apa yang dirasakan teman saya. Yang jelas saya merasakan perasaan yang paradoksal. Di satu sisi, saya excited, saya menikmati jawah kawruh ini. Sangat-sangat menginspirasi, mencerahkan, dan menentramkan. Tapi di sisi lain, saya merasa inferior. Saya merasa "hello, aku siapa si?" I'm trapped in these great people. Peserta-peserta ini bukan orang yang biasa-biasa saja dalam bidangnya. Tapi saya? saya hanya mahasiswa baru, semester dua saja belum mencapai. Saya merasa tidak punya bekal apa-apa untuk ikut sekolah ini. Tapi ini kesempatan emas dan saya sangat bersyukur mendapatkannya. Mbak Sari pun mengatakan kata-kata bijak ini "kowe ngerasa minder karena menyebandingkan kemampuanmu dengan mereka. Kamu dan beliau-beliau itu ya memang tidak bisa dibandingkan. Jadi berpikirlah sesuai dengan usiamu." Sungguh, kalimat itu kemudian menentramkan saya.
Setelah itu saya menjadi lebih menikmati prosesnya. Tidak perlu terlalu mikir atos sehingga dapat mengkritisi teori itu atau membandingkannya dengan teori-teori yang sudah lebih dulu menguasai dunia psikologi. Jawah kawruhnya dulu saja sudah cukup. Ditampung. Diendapkan. Perenungan-perenungan tentangnya bisa secara perlahan, sekaligus kita ikut berproses di dalamnya, mengalami sendiri apa yang diteorikan oleh Suryomentaram.
Mengenai bagaimana hasil dari ngangsu kawruh selama 4 hari ini, saya belum berani memaparkannya sekarang. Saya masih perlu merenungkan makna sebenarnya. Mungkin di postingan-postingan yang akan datang, saya akan mengupas sedikit demi sedikit, sejauh sampai mana pemahaman saya dalam proses perenungan itu.
Sumber: pribadi Finepix S2980 |
Oke sekarang saya cerita saja pengalaman seru selama 4 hari kemarin.
Sabtu malam Minggu kemarin, kami berkunjung ke Desa Balong di Sewon, Bantul. Desa itu adalah desa yang menggiatkan nilai-nilai Ki Ageng Suryomentaram hingga sekarang. Kunjungan kami ke sana disambut dengan total. Lampu penerang jalan desa di pinggir sawah itu sengaja dimatikan dan diganti dengan botol-botol berisi minyak dan sumbu yang dinyalakan menjadi penerang berjajar di sepanjang jalan. Sungguh ini romantis sekali suasananya. Entah berapa ratus botol itu tertata di sepanjang jalan hingga ke depan sebuah rumah yang memiliki pendhapa di depannya. Kami disuguhi lantunan dari gamelan, sementara di halaman seberangnya ada sekumpulan anak kecil yang memainkan permainan rakyat anak-anak. Seketika itu ingatan saya kembali pada masa saya masih duduk di taman kanak-kanak. Saya pun sering memainkan permainan itu bersama teman-teman saya dulu. Dulu saya hafal lirik lagu yang dinyanyikan sepanjang permainan, tapi sekarang saya hanya mampu mengingat beberapa baris awal saja. Sedih rasanya dan frankly, saya ingin menghafalkannya lagi :3
Penggiat diskusi kawruh Jiwa desa Balong. Sumber: pribadi FinepixS2980 |
Ini dia permainan anak-anak yang saya ceritakan tadi. Sayangnya setiap kali saya ingin memvideo, saya selalu ketinggalan bagian awal dari lagu permainan ini karena harus memindah mode kamera ke video dulu. Dan saya sekarang juga kesulitan untuk meng-insert ke sini. Teasernya saja dulu lah ya berupa foto. Versi video bisa disaksikan di youtube saja :p
Aku sedih..duduk sendiri..mama pergi..papa pergi..(blablablablabla) |
Sumber: pribadi Finepix S2980 |
Tertangkap jepretan Pak Fauzan |
Sumber: pribadi Finepix S2980 |
Langganan:
Postingan (Atom)