Senin, 04 Juni 2012

Jejak Langkah Saung Kecil: Celah di antara Lintasan Pemikiran

Jogja, 4 Juni 2012

Sepoi angin itu menyapa saung kecil. Kali ini saung kecil tengah duduk bersendiri. Baru saja ia bersama seorang temannya. Melakukan kembali perenungan. Membadaikan kembali pemikiran-pemikiran. Sudah sekian lama saung kecil tak lagi terlibat dalam pemikiran abstrak, dan ia rindu.

Saung kecil mencoba merasai apa yang terjadi dengannya kini. Mencoba memberi ruang pada logika. Ya, dalam hal-hal tertentu, terkadang orang cenderung mengikuti hukum konsensus. Melepaskan segala hakikat yang melekat pada hal itu sejatinya. Mencoba menyusun ulang tentang definisinya. Tapi, apakah kita tidak berhak untuk mempertanyakan esensinya dan lantas mengikut saja dengan arus tren yang semakin saja bergerak ke arah kontinum yang berlawanan?

Saung kecil baru menyadari bahwa ia dan temannya itu kini tengah belajar hal yang sama. Mungkin mereka mengawali dengan sesuatu yang salah. Mungkin ada sesal yang sama yang melanda mereka. Mungkin otak mereka selalu diterjang badai. Pemikiran. Mempertanyakan apa yang orang lain bilang "jalani saja". Tapi mereka sama-sama menyadari, cepat atau lambat, mereka akan melalui fase ini. Dan mereka memang harus belajar tentang hal itu.

Tapi saung kecil dan temannya itu merasa terkadang harus berbentrokan antara idealisme dan hukum konsensus yang ada sekarang itu. Dan itu yang memicu badai pemikiran. Mereka sama-sama idealis, mereka sama-sama cenderung untuk melogika. Sementara mereka belajar dengan patner yang bertolak belakang.

"Ini perbedaan karakter dan perbedaan budaya" Saung kecil dan temannya sepakat dengan kalimat itu. Karakter saung kecil mungkin setipe dengan karakter temannya itu, tapi mungkin sangat berbeda dengan orang lain. Budaya didikan yang diterima saung kecil mungkin setipe dengan budaya didikan yang diterima temannya itu, tapi mungkin berbeda dengan budaya didikan orang.

"Penerimaan," kata teman saung kecil. Ya, dalam hal yang sama-sama mereka hadapi ini memang kata itulah yang mungkin menjadi kuncinya. Saung kecil pun sebenarnya sudah terlalu fasih untuk berbicara tentang segala perbedaan yang mewarna kehidupan ini. Saung kecil telah terdoktrin hal itu selama hampir empat tahun mengenyam pendidikan di kota ini. Ya, penerimaan itulah yang akan mengisi celah di antara timbunan logika. Tapi sebelum itu, Saung kecil tentu saja harus membuat celahnya terlebih dahulu.

Di sini, saung kecil bingung bagaimana caranya membuat celah itu. Tanpa meruntuhkan konstruksi yang ada di pikirannnya. Saung kecil hanya butuh celah di antaranya. Itu saja. Dan kemudian saung kecil dapat meletakkan kata 'penerimaan' di sana. Tapi apakah dengan begitu saung kecil harus menggeser letak kata 'pilihan' dan 'kesempatan'? Untuk siapa sebenarnya kedua kata itu? Dalam konteks apa? Batasan definisi yang seperti apa? Dan apakah kata 'penerimaan' mengenal definisi-definisi itu?

Saung kecil menghela napas. Mungkin ini saatnya ia mulai membuat celah. Tuhan ingin Saung kecil lebih mendekat pada sapuan warna yang Ia poleskan pada dunia ini. Sebelum Saung kecil terlambat. Belajar. Mungkin Saung kecil dan temannya tengah ditempa Tuhan agar kelak menjadi manusia yang tidak sekedar raga.


PS. Tuhan tidak menyembunyikan satu warna pun untuk Ia sapukan ke dalam kehidupan ini, termasuk warna abu-abu. Warna yang membuat manusia berpikir, mendefinisi, dan memutuskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar