"Gelembung masih membumbung
Mengangkasakan mimpi yang sempat tereja
Gelembung masih mengerjap harap
Tak terpisah, tak terenggang"
Mengangkasakan mimpi yang sempat tereja
Gelembung masih mengerjap harap
Tak terpisah, tak terenggang"
Saung kecil duduk di puncak tertinggi sebuah gedung. Menyaksikan hari yang perlahan merayap menuju senja. Menyaksikan Tuhan yang menyapukan warna menjingga pada jejak mentari tergelincir.
Angin meniup nakal, mencandai saung kecil. Saung kecil hanya tersenyum padanya. Di acungkannya peniup gelembung ke atas. Sang angin girang menyerbunya dan segera saja puluhan gelembung tercipta. Saung kecil kembali tersenyum. Paling tidak, ia tahu bahwa angin pun sedang menemaninya mencakung di sana. Cukup bagi saung kecil.
Gelembung sabun. Agak aneh memang bagi anak seusia saung kecil untuk menyukai mainan itu. Sejak saung kecil belum fasih membaca pun, ia sudah akrab dengan hal itu. Hingga ia selalu betah berendam di bak mandi dan memain-mainkan gelembung sabun. Masa kecil saung kecil. Tapi saung kecil masih tetap menyukainya hingga sekarang. Gelembung sabun. Rapuh memang. Tapi saung kecil punya makna lain tentangnya. Makna yang mungkin bagi kebanyakan orang terlalu dipaksakan dan tidak masuk akal. Tentang keberadaannya.
Lantas kenapa menciptakan sesuatu hanya untuk mengetahui bahwa sesuatu itu akan menghilang dengan cepat? Bukan, bukan itu tujuan gelembung sabun mengada. Ia mengada sebagai cermin. Ketika gelembung sabun itu terbentuk, ia sangat dekat dengan diri peniup. Ia akan merefleksikan seperti apa potret diri sang peniup. Ia akan menyerap energi yang terpancar dari diri sang peniup. Cermin. Sang peniup dipaksa meluncur pada titik keberadaan, sebuah lorong kehidupannya. Ia ada. Gelembung sabun pun ada. Mereka ada untuk sebuah tujuan.
Ketika gelembung membumbung tinggi, ia laksana seorang dengan tekad luar biasa untuk mewujudkan harapannya. Meski dengan segala kerapuhan dan keterbatasannya, ia hanya ingin menggenggam harapan yang terpantul di sekitarnya dengan erat. Hingga beberapa sampai pada tempat tujuan, sedang beberapa lainnya pecah di tengah jalan. Gelembung sabun mempertaruhkan nyawa demi harapan-harapan itu. Hingga sang takdir yang merenggangkannya.
Seperti itulah manusia. Mengada di dunia dengan dibekali Semangat yang luar biasa untuk mencapai harapan-harapan. Satu tujuan yang sama. Berangkat dari titik yang sama. Menyerap dan memantulkan apa yang ditemui di sepanjang perjalanannya. Tapi takdir jualah yang bicara. Ada yang berakhir dengan pencapaian itu dan ada yang berakhir dengan beberapa harap yang masih tergenggam. Gagalkah ia yang masih menggenggam harap? Tentu saja tidak. Tuhan akan memungut mimpi-mimpi itu dan mengubahnya menjadi cahaya atas diri manusia itu. Tuhan memeluknya. Karena Ia tahu manusia seperti apa yang menggenggam mimpi itu hingga akhir. Masih hidup dalam semangatnya.
Angin kembali mencandai saung kecil. Saung kecil memeluk lutut, menengadahkan pandangnya. Ia membiarkan wajahnya terpapar angin. Sapuan warna senja mulai tampak di batas sana. Adakah gelembung sabun yang saung kecil tiupkan sedari tadi telah hinggap pada batas cakrawala itu? Satu saja? Atau meskipun tidak akan pernah ada, saung kecil tetap bangga. Gelembung itu menyisakan jejak semangat dalam diri saung kecil. Sapuan jingga telah menyempurna dalam balutan adzan senja itu.
PS. Hidup haruslah menyerap dan memantulkan, bercermin dan menjadi cermin. Lalu biarkan Tuhan meletakkannya satu-per-satu pada bingkai di mana kau akan tepat ada bersamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar