The present is shape from the past. The future is shape from the present.
Trauma masa lalu apabila dibiarkan menjadi unfinish bussiness akan menghambat perjalanan hidup kita dan menimbulkan ketidaknyamanan, meskipun responnya berbeda antara satu orang dengan yang lain, tergantung dari self ego dan peristiwa traumatis tersebut. Dalam hal apapun, termasuk hal yang sesepele hubungan asmara. Seorang teman bercerita bahwa ia merasa senang karena setiap kali ia ngambek, pacarnya selalu menjanjikan untuk mengajaknya belanja atau pun hal yang bersifat memanjakan. "Dia kayak ketakutan banget kalau aku bakal ninggalin dia makanya dia cepet-cepet ngingetin agenda belanja/nyalon. Jadinya kan aku nggak jadi ngambek. Seneng deh." katanya dengan muka berseri-seri. Dalam hati saya melongo, ini semaacam bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Pacar teman saya itu pernah memiliki riwayat tidak menyenangkan dengan mantan pacarnya, he had been cheated. Alasannya sesederhana cewek itu bertemu dengan lelaki yang lebih kaya secara finansial. Kejadian itu entah disadari atau tidak, menimbulkan luka yang sangat mendalam hingga trauma. Apalagi setelah itu mereka memutuskan berpisah dan membiarkan masalah itu terkubur dalam-dalam. Trauma itu menjadikan pacar teman saya berusaha mencegah mati-matian agar tidak terulang lagi. Jadi, wajar bukan jika pacar teman saya terlihat sangat ketakutan ketika teman saya ngambek, hingga terlupa pada logika bahwa teman saya belum tentu memiliki karakter seperti mantan pacarnya. Drive yang ada pada diri pacar teman saya muncul dari rasa takut, bukan karena dia memang benar-benar orang yang baik. Dia menjalani hubungannya dengan insecure. Menyedihkan, bukan?
Cerita lain menunjukkan respon yang berbeda. Berawal dari pengkhianatan yang sama. Lelaki ini pernah mencintai seorang perempuan dengan penuh. Segalanya ia berikan kepada pacarnya, perhatian, finansial, dan tenaga. Apapun yang pacarnya minta, ia turuti. Hingga terjadilah peristiwa itu. Ia ditinggalkan. Sekarang, lelaki itu sudah memiliki pacar lagi. Respon atas trauma masa lalu, ia menjadi kapok untuk memberikan perhatian seutuhnya kepada pasangannya. Yang terjadi sekarang adalah ia berubah menjadi pribadi yang cuek, dingin, tidak romantis. Ia masih membawa luka masa lalu sehingga ia takut merasakan luka yang sama. Membangun bentenglah ia kemudian.
Ada lagi yang merespon trauma masa lalu itu dengan menaikkan standarnya. Teman saya memiliki pengalaman buruk ditinggalkan oleh pacarnya, meskipun kali ini bukan karena pengkhianatan, tetapi karena ketidakcocokan. Pengalaman menyakitkan itu menjadikan teman saya menaikkan standarnya dalam memilih pasangan. Ia menjadikan mantan pacarnya itu sebagai patokan. Jika ada laki-laki yang mendekatinya dan kualitasnya (fisik, pendidikan, sosial ekonomi) di bawah mantannya tersebut, langsung ia blacklist. Ia menjadi orang yang sangat pemilih dan standarnya tinggi, sehingga sering dinilai oleh lingkungan pertemanannya sebagai orang yang sombong.
Saya yakin masih banyak lagi ragam respon yang berawal dari unfinish bussiness masa lalu yang terjadi di sekitar kita. Atau bahkan kita sendiri mengalaminya? Who knows? Tidak ada salahnya kita menengok diri kita sendiri dan berani melihat masa lalu dengan obyektif, bukan?
Quote of the day: Don't ever let anything to be unfinish bussiness
Laman
Label
- Halo Purworejo (9)
- Psychology (35)
- random (55)
- Ruang Cinta (6)
- Ruang Sastra (8)
- Sekuel Saung Kecil (68)
- Serba Serbi Dunia (23)
- Song's story (11)
Selasa, 20 September 2016
Don't Ever Let Anything to be Unfinish Bussiness
Selasa, 10 Mei 2016
Jumat, 22 April 2016
Wahai Perempuan
Memperingati hari kartini, sejumlah artikel di lini masa kompas menyajikan tulisan mengenai pernikahan. Ya, pernikahan dini sekarang ini nampaknya makin menjamur saja. Lulus SMA, baru bekerja setahun atau dua tahun sudah galau ingin cepat-cepat menikah. Padahal usia mereka saja masih remaja. Mereka berdalih jika menikah muda, jarak usia dengan anaknya kelak tidak terlalu jauh dan tampak seperti seumuran. Kayak mereka bangga ketika masih terlihat muda dan cantik tidak kalah cantik dengan anaknya.
Banyak artikel kesehatan dan psikologi yang membahas bahaya menikah usia remaja. Dari segi kesehatan, perempuan usia belasan tahun pembentukan rahimnya belum begitu kuat, sehingga dikhawatirkan berpengaruh bagi kesehatan bayi dan ibu yang mengandungnya. Jika ditilik dari segi psikologis, masa remaja adalah masa yang penuh gejolak. Perkembangan emosi remaja belum stabil sehingga dikhawatirkan berpengaruh bagi perkembangan anaknya, baik semasa dalam kandungan maupun ketika sudah lahir kelak berkaitan dengan pola asuh. Rentang usia remaja sendiri dalam psikologi berkisar antara 12-21 tahun. Jadi, bagi yang berusia 21 tahun berbahagialah karena kalian masih tergolong remaja! Haha.
Untuk dapat menghasilkan generasi yang baik harus dididik dengan pola asuh yang tepat pula. Harus dari orang tua yang secara kognitif dan emosional sudah matang. Apa kabar lah itu anak kalau orang tuanya aja masih labil alay. Nggak heran kalau perkembangannya anak-anak kecil sekarang makin miris. Saat anak rewel, orang tua bingung bertindak bagaimana, akhirnya kasih dah tu si anak gadget untuk mainan biar diem nangis/amarahnya. Nggak usah kaget kalau misal dia lebih lengket sama gadget dibandingkan sama orang tuanya sendiri. Atau sebaliknya orang tua yang lebih senang berkutat dengan handphone nya dibandingkan berbagi cerita dengan anaknya sendiri. Nggak usah kaget kalau si anak jadi cari perhatiannya di luar rumah dan nantinya pas remaja dia jadi fakir asmara yang ngemis-ngemis cinta. Miris. Itu baru contoh kecilnya saja. Masih banyak contoh-contoh lain di sekitar kita yang kalau ditelusur berasal dari kekurangmatangan orang tua dalam pola asuh semasa kecil.
Menurut kepala BKKBN, usia ideal menikah untuk perempuan adalah di atas 21 tahun dan untuk laki-laki adalah 25 tahun, pas tepat dari sisi psikologis memang individu masuk usia dewasa mulai usia 22 tahun. Mulai usia 22 tahun individu mulai matang secara kognitif dan emosionalnya. Tentang dia mau langsung mengambil usia minimal (awal banget masuk masa dewasa) untuk menikah atau memilih untuk mempersiapkan dulu hingga cukup stabil dan lebih matang, itu pilihan. Kamu tahu mana yang terbaik.
Tapi baguslah sekarang pemerintah juga agaknya sudah lebih menyadari hal itu. Saya sih, mendukung kalau undang-undang perkawinan direvisi. Kalau saya yang ngerevisi, jadi minimal usia menikah bagi perempuan adalah 23 tahun :P. Kita hargai lah Kartini yang sudah memperjuangkan hak-hak perempuan, biar meminimalisir terjadinya KDRT. Karena seseorang yang dewasa, sudah bisa memilah dan menilai mana perilaku suami yang wajar dan mana yang tidak, sudah bisa bernegosiasi dalam menyelesaikan permasalahan rumah tangga secara bijaksana!
Nih, dua artikel dari kompas yang kudu dibaca:
http://health.kompas.com/read/2014/03/18/0913545/Mengapa.Pria.Sebaiknya.Menikah.pada.Usia.25.Wanita.21.?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd
http://health.kompas.com/read/2016/04/06/180000123/Mengapa.Pernikahan.Usia.Remaja.Seharusnya.Dilarang?utm_campaign=related&utm_medium=mobile-kompas&utm_source=health&
Banyak artikel kesehatan dan psikologi yang membahas bahaya menikah usia remaja. Dari segi kesehatan, perempuan usia belasan tahun pembentukan rahimnya belum begitu kuat, sehingga dikhawatirkan berpengaruh bagi kesehatan bayi dan ibu yang mengandungnya. Jika ditilik dari segi psikologis, masa remaja adalah masa yang penuh gejolak. Perkembangan emosi remaja belum stabil sehingga dikhawatirkan berpengaruh bagi perkembangan anaknya, baik semasa dalam kandungan maupun ketika sudah lahir kelak berkaitan dengan pola asuh. Rentang usia remaja sendiri dalam psikologi berkisar antara 12-21 tahun. Jadi, bagi yang berusia 21 tahun berbahagialah karena kalian masih tergolong remaja! Haha.
Untuk dapat menghasilkan generasi yang baik harus dididik dengan pola asuh yang tepat pula. Harus dari orang tua yang secara kognitif dan emosional sudah matang. Apa kabar lah itu anak kalau orang tuanya aja masih labil alay. Nggak heran kalau perkembangannya anak-anak kecil sekarang makin miris. Saat anak rewel, orang tua bingung bertindak bagaimana, akhirnya kasih dah tu si anak gadget untuk mainan biar diem nangis/amarahnya. Nggak usah kaget kalau misal dia lebih lengket sama gadget dibandingkan sama orang tuanya sendiri. Atau sebaliknya orang tua yang lebih senang berkutat dengan handphone nya dibandingkan berbagi cerita dengan anaknya sendiri. Nggak usah kaget kalau si anak jadi cari perhatiannya di luar rumah dan nantinya pas remaja dia jadi fakir asmara yang ngemis-ngemis cinta. Miris. Itu baru contoh kecilnya saja. Masih banyak contoh-contoh lain di sekitar kita yang kalau ditelusur berasal dari kekurangmatangan orang tua dalam pola asuh semasa kecil.
Menurut kepala BKKBN, usia ideal menikah untuk perempuan adalah di atas 21 tahun dan untuk laki-laki adalah 25 tahun, pas tepat dari sisi psikologis memang individu masuk usia dewasa mulai usia 22 tahun. Mulai usia 22 tahun individu mulai matang secara kognitif dan emosionalnya. Tentang dia mau langsung mengambil usia minimal (awal banget masuk masa dewasa) untuk menikah atau memilih untuk mempersiapkan dulu hingga cukup stabil dan lebih matang, itu pilihan. Kamu tahu mana yang terbaik.
Tapi baguslah sekarang pemerintah juga agaknya sudah lebih menyadari hal itu. Saya sih, mendukung kalau undang-undang perkawinan direvisi. Kalau saya yang ngerevisi, jadi minimal usia menikah bagi perempuan adalah 23 tahun :P. Kita hargai lah Kartini yang sudah memperjuangkan hak-hak perempuan, biar meminimalisir terjadinya KDRT. Karena seseorang yang dewasa, sudah bisa memilah dan menilai mana perilaku suami yang wajar dan mana yang tidak, sudah bisa bernegosiasi dalam menyelesaikan permasalahan rumah tangga secara bijaksana!
Nih, dua artikel dari kompas yang kudu dibaca:
http://health.kompas.com/read/2014/03/18/0913545/Mengapa.Pria.Sebaiknya.Menikah.pada.Usia.25.Wanita.21.?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd
http://health.kompas.com/read/2016/04/06/180000123/Mengapa.Pernikahan.Usia.Remaja.Seharusnya.Dilarang?utm_campaign=related&utm_medium=mobile-kompas&utm_source=health&
Kamis, 21 April 2016
Kepada Friendzoner
Seorang teman bercerita kepada saya. Ia sedang galau karena ada lelaki yang mencintainya dan rela menjadi yang kedua, atau setidaknya ia rela mengantri dan menunggu jikalau suatu saat nanti teman saya ini putus dengan pacarnya.
Setiap hari mereka intens BBM, bahkan telepon hampir setiap hari selama berjam-jam. Teman saya ini melayani dan selalu menanggapi obrolan lelaki itu tanpa sepengetahuan pacarnya. Chat history nya dengan lelaki ini selalu ia end chat karena ia takut pacarnya akan membaca. Semua teman yang ia curhati mengatakan bahwa ia selingkuh. Teman saya ini tidak terima jika disebut selingkuh karena ia jujur dengan lelaki itu bahwa ia sudah memiliki pacar dan akan setia dengan pacarnya tersebut. Ia pun mengatakan kepada lelaki itu bahwa ia hanya menganggapnya sebagai kakak dan sahabat. Lelaki ini tidak keberatan sembari tetap bersikeras untuk menunggu teman saya ini dengan mengatakan tidak ada yang tahu tentang takdir, toh masih pacar belum menikah. Yasudah. Teman saya merasa tidak salah.
Saya mengatakan bahwa secara perasaan mungkin teman saya ini setia dengan pacarnya. Namun, yang menjadikannya masuk kategori selingkuh adalah niat menyembunyikannya. Dalam berhubungan, tidak mungkin dan justru salah jika kamu lantas menghentikan komunikasi dengan teman lawan jenis lain. Apa yang spesial dari selingkuh? Karena ia DISEMBUNYIKAN. Seberapa intim sih pembicaraan kamu dengan teman lawan jenis sehingga kamu merasa perlu menyembunyikannya dari pasangan? Justru dengan jujur kepada pasangan, berarti kita menghargai pasangan dan bisa sebagai sarana kontrol diri jika mungkin komunikasi kamu dengan lawan jenis lain itu dirasa semakin tidak sehat.
Kepada teman saya, ada dua pilihan yang bisa ia ambil. Jujur dan ceritakan apa adanya kepada sang pacar, atau stop semua kontak dengan lelaki “selingkuhan” itu. Teman saya tidak bisa menjawab. Teman saya tidak mau jika memutuskan komunikasi dengan lelaki itu karena ia akan merasa sangat jahat dengannya. Sudah cintanya ditolak, ditolak pula niat baik untuk berkomunikasi dan bersilaturahmi. Teman saya tidak tega melakukannya. Akan tetapi, ia pun tidak mau berterus terang dengan pacarnya perihal ini. Alasannya, ia yakin pacarnya pasti menyuruh teman saya ini men-delete contact BBM lelaki itu. Ujungnya akan sama juga.
Mendengar cerita teman saya tentang bagaimana lelaki itu mengungkapkan perasaannya dan harapannya jika kelak suatu hari nanti bla bla bla membuat saya tidak habis mengerti dengan interaksi kedua anak ini. Teman saya selalu menegaskan kepada lelaki ini bahwa tidak mungkin putus dengan pacarnya karena kedua keluarga juga sudah saling setuju dan teman saya sangat mencintai pacarnya. Teman saya selalu meminta lelaki ini untuk memupus rasanya. Sementara lelaki ini selalu menegaskan kepada teman saya bahwa ia tidak apa-apa jika di posisi demikian, tidak apa-apa jika menderita menyimpan rasa ini, sambil terus mengungkapkan keyakinannya bahwa takdir tidak ada yang tahu, selama belum menikah Tuhan masih membolehkan berusaha.
Bhay. Nggak akan kelar-kelar nah itu urusan! Orang macam lelaki ini sudah menyerahkan dirinya untuk jadi yang kedua, jadi simpanan, jadi selingkuhan. Jadi mau seberapa keras usaha teman saya meyakinkan bahwa mereka tidak mungkin bersama akan sia-sia. Karena orang-orang seperti ini memang sudah memposisikan dirinya sebagai simpanan atau friendzone atau apalah. Dalam pikiran lelaki ini, tidak apa-apa bukan sebagai yang pertama asalkan masih bisa mengobrol masih bisa bertemu masih bisa menjadi superhero ketika suatu saat teman saya ini membutuhkan teman curhat. Asal dia masih mau membalas BBM berarti pintu masih terbuka, begitu barangkali pikiran lelaki ini. Toh dengan adanya komunikasi yang kontinyu, bisa sebagai sarana pembuktian bahwa cinta lelaki ini lebih besar daripada cinta pacar teman saya itu.
Teman saya ini memang bukan pemberi harapan palsu, tetapi, ia membuka pintu dan secara tidak langsung mungkin sedang menarik dirinya sendiri dalam pusaran. Teman saya tidak ingin berbuat jahat kepada lelaki itu dengan tidak membalas pesannya dan tidak ingin PHP, tetapi dengan karakter lelaki ini yang demikian, teman saya justru sebenarnya sedang berbuat lebih jahat. Dengan meladeni terus obrolan dan ajakan lelaki ini, semakin lelaki ini memupuk rasa cintanya dan merasa bahwa teman saya juga mencintainya. “Kalau tidak cinta, kenapa dia masih mau bales BBM, masih mau telepon, dan masih mau ketemu?”, begitu yang ada di pikiran orang dengan tipe karakter seperti lelaki ini. Lelaki seperti ini hanya bisa menghentikan laju perasaannya jika tidak ada tanggapan dari si perempuan. Baru dia sadar bahwa si perempuan memang benar-benar tidak mencintainya.
Tetapi di sisi lain saya paham kenapa teman saya juga semacam tidak tegas kepada dirinya. Antara mau tetapi tidak mau, ingin tetapi tidak ingin. Rancu. Dan yang bikin miris, di luar sana banyak perempuan-perempuan yang tidak tegas terhadap perhatian salah sasaran dari seorang lelaki. Oh, berlaku juga sebaliknya. Sekarang juga banyak lelaki lemah yang tidak tegas terhadap perhatian salah sasaran dari seorang perempuan. Kenapa bisa nggak tegas sih? Yup, karena dia masih mendapatkan manfaat nih dari si lelaki ini: perhatian. Jadi semacam ban serep. Cadangan kalau pas pacarnya cuek. Tidak sadar bahwa dengan begitu lama-lama kamu membandingkan pasangan dengan selingkuhan. Selingkuhan selalu ada saat dibutuhkan. Iya lah, orang kamu yang sengaja nyari, jadi terlihat selalu ada.
Rasionalisasi yang sama juga terjadi pada sepasang mantan. (((sepasang))). Ada yang tetap menghubungi mantannya dan mengobrol menunjukkan perhatian basa-basi dengan dalih tidak mau memutus tali silaturahmi. Itu benar dan baik, jika, kondisinya kedua belah pihak sama-sama netral tidak ada harapan apapun (harapan balikan tentunya).
Tetapi, jika salah satu pihak saja menyimpan harapan agar bisa balikan suatu hari nanti, berarti silaturahmi itu tidak murni. Di balik kegiatan silaturahmi itu tersimpan niat dan usaha mengambil hati kembali, bersikap sok-sok care siapa tahu suatu hari nanti si dia akan menyadari bahwa akulah yang lebih perhatian. Sungguh silaturahmi yang tidak sehat dan lebih pantas diakhiri saja silaturahminya.
Dan kenapa saya menuis ini? Karena hari ini adalah hari kartini! Wahai perempuan, come on, kamu bisa lebih peka dan mengerti apa yang sebenarnya lelaki mau.
Setiap hari mereka intens BBM, bahkan telepon hampir setiap hari selama berjam-jam. Teman saya ini melayani dan selalu menanggapi obrolan lelaki itu tanpa sepengetahuan pacarnya. Chat history nya dengan lelaki ini selalu ia end chat karena ia takut pacarnya akan membaca. Semua teman yang ia curhati mengatakan bahwa ia selingkuh. Teman saya ini tidak terima jika disebut selingkuh karena ia jujur dengan lelaki itu bahwa ia sudah memiliki pacar dan akan setia dengan pacarnya tersebut. Ia pun mengatakan kepada lelaki itu bahwa ia hanya menganggapnya sebagai kakak dan sahabat. Lelaki ini tidak keberatan sembari tetap bersikeras untuk menunggu teman saya ini dengan mengatakan tidak ada yang tahu tentang takdir, toh masih pacar belum menikah. Yasudah. Teman saya merasa tidak salah.
Saya mengatakan bahwa secara perasaan mungkin teman saya ini setia dengan pacarnya. Namun, yang menjadikannya masuk kategori selingkuh adalah niat menyembunyikannya. Dalam berhubungan, tidak mungkin dan justru salah jika kamu lantas menghentikan komunikasi dengan teman lawan jenis lain. Apa yang spesial dari selingkuh? Karena ia DISEMBUNYIKAN. Seberapa intim sih pembicaraan kamu dengan teman lawan jenis sehingga kamu merasa perlu menyembunyikannya dari pasangan? Justru dengan jujur kepada pasangan, berarti kita menghargai pasangan dan bisa sebagai sarana kontrol diri jika mungkin komunikasi kamu dengan lawan jenis lain itu dirasa semakin tidak sehat.
Kepada teman saya, ada dua pilihan yang bisa ia ambil. Jujur dan ceritakan apa adanya kepada sang pacar, atau stop semua kontak dengan lelaki “selingkuhan” itu. Teman saya tidak bisa menjawab. Teman saya tidak mau jika memutuskan komunikasi dengan lelaki itu karena ia akan merasa sangat jahat dengannya. Sudah cintanya ditolak, ditolak pula niat baik untuk berkomunikasi dan bersilaturahmi. Teman saya tidak tega melakukannya. Akan tetapi, ia pun tidak mau berterus terang dengan pacarnya perihal ini. Alasannya, ia yakin pacarnya pasti menyuruh teman saya ini men-delete contact BBM lelaki itu. Ujungnya akan sama juga.
Mendengar cerita teman saya tentang bagaimana lelaki itu mengungkapkan perasaannya dan harapannya jika kelak suatu hari nanti bla bla bla membuat saya tidak habis mengerti dengan interaksi kedua anak ini. Teman saya selalu menegaskan kepada lelaki ini bahwa tidak mungkin putus dengan pacarnya karena kedua keluarga juga sudah saling setuju dan teman saya sangat mencintai pacarnya. Teman saya selalu meminta lelaki ini untuk memupus rasanya. Sementara lelaki ini selalu menegaskan kepada teman saya bahwa ia tidak apa-apa jika di posisi demikian, tidak apa-apa jika menderita menyimpan rasa ini, sambil terus mengungkapkan keyakinannya bahwa takdir tidak ada yang tahu, selama belum menikah Tuhan masih membolehkan berusaha.
Bhay. Nggak akan kelar-kelar nah itu urusan! Orang macam lelaki ini sudah menyerahkan dirinya untuk jadi yang kedua, jadi simpanan, jadi selingkuhan. Jadi mau seberapa keras usaha teman saya meyakinkan bahwa mereka tidak mungkin bersama akan sia-sia. Karena orang-orang seperti ini memang sudah memposisikan dirinya sebagai simpanan atau friendzone atau apalah. Dalam pikiran lelaki ini, tidak apa-apa bukan sebagai yang pertama asalkan masih bisa mengobrol masih bisa bertemu masih bisa menjadi superhero ketika suatu saat teman saya ini membutuhkan teman curhat. Asal dia masih mau membalas BBM berarti pintu masih terbuka, begitu barangkali pikiran lelaki ini. Toh dengan adanya komunikasi yang kontinyu, bisa sebagai sarana pembuktian bahwa cinta lelaki ini lebih besar daripada cinta pacar teman saya itu.
Teman saya ini memang bukan pemberi harapan palsu, tetapi, ia membuka pintu dan secara tidak langsung mungkin sedang menarik dirinya sendiri dalam pusaran. Teman saya tidak ingin berbuat jahat kepada lelaki itu dengan tidak membalas pesannya dan tidak ingin PHP, tetapi dengan karakter lelaki ini yang demikian, teman saya justru sebenarnya sedang berbuat lebih jahat. Dengan meladeni terus obrolan dan ajakan lelaki ini, semakin lelaki ini memupuk rasa cintanya dan merasa bahwa teman saya juga mencintainya. “Kalau tidak cinta, kenapa dia masih mau bales BBM, masih mau telepon, dan masih mau ketemu?”, begitu yang ada di pikiran orang dengan tipe karakter seperti lelaki ini. Lelaki seperti ini hanya bisa menghentikan laju perasaannya jika tidak ada tanggapan dari si perempuan. Baru dia sadar bahwa si perempuan memang benar-benar tidak mencintainya.
Tetapi di sisi lain saya paham kenapa teman saya juga semacam tidak tegas kepada dirinya. Antara mau tetapi tidak mau, ingin tetapi tidak ingin. Rancu. Dan yang bikin miris, di luar sana banyak perempuan-perempuan yang tidak tegas terhadap perhatian salah sasaran dari seorang lelaki. Oh, berlaku juga sebaliknya. Sekarang juga banyak lelaki lemah yang tidak tegas terhadap perhatian salah sasaran dari seorang perempuan. Kenapa bisa nggak tegas sih? Yup, karena dia masih mendapatkan manfaat nih dari si lelaki ini: perhatian. Jadi semacam ban serep. Cadangan kalau pas pacarnya cuek. Tidak sadar bahwa dengan begitu lama-lama kamu membandingkan pasangan dengan selingkuhan. Selingkuhan selalu ada saat dibutuhkan. Iya lah, orang kamu yang sengaja nyari, jadi terlihat selalu ada.
Rasionalisasi yang sama juga terjadi pada sepasang mantan. (((sepasang))). Ada yang tetap menghubungi mantannya dan mengobrol menunjukkan perhatian basa-basi dengan dalih tidak mau memutus tali silaturahmi. Itu benar dan baik, jika, kondisinya kedua belah pihak sama-sama netral tidak ada harapan apapun (harapan balikan tentunya).
Tetapi, jika salah satu pihak saja menyimpan harapan agar bisa balikan suatu hari nanti, berarti silaturahmi itu tidak murni. Di balik kegiatan silaturahmi itu tersimpan niat dan usaha mengambil hati kembali, bersikap sok-sok care siapa tahu suatu hari nanti si dia akan menyadari bahwa akulah yang lebih perhatian. Sungguh silaturahmi yang tidak sehat dan lebih pantas diakhiri saja silaturahminya.
Dan kenapa saya menuis ini? Karena hari ini adalah hari kartini! Wahai perempuan, come on, kamu bisa lebih peka dan mengerti apa yang sebenarnya lelaki mau.
Antara Memberi dan Mendapatkan
Tujuan berhubungan itu apa si? Untuk memberi atau untuk mendapatkan?
Memberi dan mendapatkan dong! Yup, pada akhirnya memang seperti itu. Tapi sadarkah jika antara "memberi" dan "mendapatkan" itu berbeda makna? "mendapatkan" merupakan suatu hadiah dari apa yang sudah kita lakukan. Karena kita memberi lantas kita akan mendapatkan. Hukum kausalitas. Sebab-akibat.
Tujuan dan starting poin dalam membina hubungan menjadi penentu seberapa kualitas hubungan tersebut. Keinginan memberi berasal dari keinginan berbagi. Itu terjadi ketika kebutuhan cintamu dari lahir hingga dewasa sudah terpenuhi dari orang tua dan orang-orang sekitar, kamu punya cinta berlebih sehingga kamu ingin membagikannya kepada orang lain. Starting poin itu disebut mencintai untuk memberi.
Beda halnya dengan tujuan mencintai untuk mendapatkan cinta. Starting poinnya berarti kamu kekurangan cinta, kurang perhatian dari entah orang tua atau orang-orang di sekitarmu sehingga kamu mencari orang yang bisa memberikanmu cinta. Dengannya kamu merasa dicintai dan diperhatikan. Jadilah ketika orang itu dirasa kurang memberikan perhatian, kamu marah.
Jadi, kamu berada di starting poin mana?
Memberi dan mendapatkan dong! Yup, pada akhirnya memang seperti itu. Tapi sadarkah jika antara "memberi" dan "mendapatkan" itu berbeda makna? "mendapatkan" merupakan suatu hadiah dari apa yang sudah kita lakukan. Karena kita memberi lantas kita akan mendapatkan. Hukum kausalitas. Sebab-akibat.
Tujuan dan starting poin dalam membina hubungan menjadi penentu seberapa kualitas hubungan tersebut. Keinginan memberi berasal dari keinginan berbagi. Itu terjadi ketika kebutuhan cintamu dari lahir hingga dewasa sudah terpenuhi dari orang tua dan orang-orang sekitar, kamu punya cinta berlebih sehingga kamu ingin membagikannya kepada orang lain. Starting poin itu disebut mencintai untuk memberi.
Beda halnya dengan tujuan mencintai untuk mendapatkan cinta. Starting poinnya berarti kamu kekurangan cinta, kurang perhatian dari entah orang tua atau orang-orang di sekitarmu sehingga kamu mencari orang yang bisa memberikanmu cinta. Dengannya kamu merasa dicintai dan diperhatikan. Jadilah ketika orang itu dirasa kurang memberikan perhatian, kamu marah.
Jadi, kamu berada di starting poin mana?
Senin, 08 Februari 2016
Pleidoi yang Edan
Selasa, 9 Feb '16
"i'm sorry i wear hijab but i wear tight pants. i'm sorry i wear hijab but i use harsh words when i'm mad. i'm sorry i wear hijab but most of my friends are boys. i'm sorry i wear hijab but i do mistakes. i'm sorry i wear hijab but i want to be a loved by a man. i'm sorry i wear hijab but i don't cover my aurah properly. i'm sorry i wear hijab but sometimes i can't control myself. i'm sorry i'm just a normal human being. who never stop make mistakes. i am sorry."
Quote di atas marak sekali diposting di media sosial. Sebuah pernyataan apology, sekaligus pleidoi dari beberapa kaum. Entah terpengaruh sentimen pribadi atau memang seperti ini adanya, pleidoi semacam itu terasa sangat picisan bagi saya. Beberapa kalimat memang saya sepakat, tapi ada beberapa pernyataan yang menurut saya terlepas dari koridor dan tidak bisa dikaitkan.
Bahwa berkata kasar, memiliki banyak teman laki-laki, masih sering berbuat kesalahan, memiliki keinginan untuk dicintai memang benar itu sifat manusia yang tak luput dari kesalahan. Akan tetapi sangat tidak masuk akal apabila hal-hal tersebut dikaitkan dengan jilbab. Sifat-sifat manusia tersebut bisa dilakukan siapapun, tidak melihat agama. Tapi jika sudah berbicara mengenai jilbab, itu sudah merujuk pada identitas agama tertentu. Lebih bagus memang ketika kita sudah mengenakan jilbab maka perilaku-perilaku tersebut diminimalisir.
Permasalahannya sekarang adalah, kita mau memaknai jilbab itu seperti hakekatnya jilbab ataukah hanya dimaknai sebagai fashion belaka? Masalah bagaimana kita mengenakan jilbab itu sudah terlepas dari perilaku manusia tempat salah tersebut.
Ketika seseorang memutuskan untuk mengenakan jilbab, semestinya ia sudah memahami mengenai aurat. Di kalimat "i'm sorry i wear hijab but i don't cover my aurah properly", sangat timpang menurut saya. Dan ini yang dijadikan kalimat sakti bagi orang-orang yang sebenarnya cuma memaknai jilbab sebagai fashion. Ketika berpergian/keluar rumah kadang pakai kadang tidak, masih suka memposting foto tanpa jilbab di sosial media, mengenakan jilbab tetapi lengan baju hanya 3/4 sehingga terlihat bagian auratnya. Jilbab yang diterangkan dalam Al-Qur'an bukanlah seperti itu. Dalam perkembangannya memang diinterpretasikan macam-macam, misalnya ada yang berpendapat bahwa model hijab jaman sekarang seperti pashmina dan kawan-kawannya itu tidak syar'i, ada pula yang berpendapat tidak apa-apa model pashmina seperti itu. Atau ada yang berpendapat jilbab motif itu tidak syar'i karena dapat memancing ketertarikan lawan jenis, ada pula yang membolehkan jilbab motif. Akan tetapi bahwa wanita memiliki kewajiban untuk menutup aurat itu saya pikir semuanya bersepakat. Dan yang disebut aurat adalah seluruh anggota badan kecuali muka dan telapak tangan. Sudah jelas bukan? Inilah yang kadang-kadang menjadikan saya lebih respect sama orang-orang yang tidak berjilbab.
Kecuali jika memang memaknai jilbab sebagai fashion belaka, sah-sah saja. Memang secara tren fashion terlihat lebih menarik, modis, dan elegan dengan misalnya lengan baju 3/4. Tapi tolong, atas namakan itu fashion, bukan melaksanakan perintah Tuhan. Karena Tuhan tidak pernah memerintahkan umat-Nya untuk melakukan sesuatu secara setengah-setengah, karena itu dekat dengan keragu-raguan.
Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan kesayangannya dia berkata : Saya menghafal dari Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam (sabdanya): Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.(Riwayat Turmuzi dan dia berkata: Haditsnya hasan shoheh).
Sungguh pleidoi yang lucu jika alih-alih memahami jilbab sebagaimana hakekatnya, orang mengkaitkan jilbab dengan sifat manusia yang tak luput dari kesalahan. Jika masih ragu-ragu dan belum yakin menjadikan jilbab sebagai identitasmu, lebih baik tidak usah dulu. Tidak harus berjilbab untuk bisa menjaga perkataan dan tingkah laku, bukan?
Quote di atas marak sekali diposting di media sosial. Sebuah pernyataan apology, sekaligus pleidoi dari beberapa kaum. Entah terpengaruh sentimen pribadi atau memang seperti ini adanya, pleidoi semacam itu terasa sangat picisan bagi saya. Beberapa kalimat memang saya sepakat, tapi ada beberapa pernyataan yang menurut saya terlepas dari koridor dan tidak bisa dikaitkan.
Bahwa berkata kasar, memiliki banyak teman laki-laki, masih sering berbuat kesalahan, memiliki keinginan untuk dicintai memang benar itu sifat manusia yang tak luput dari kesalahan. Akan tetapi sangat tidak masuk akal apabila hal-hal tersebut dikaitkan dengan jilbab. Sifat-sifat manusia tersebut bisa dilakukan siapapun, tidak melihat agama. Tapi jika sudah berbicara mengenai jilbab, itu sudah merujuk pada identitas agama tertentu. Lebih bagus memang ketika kita sudah mengenakan jilbab maka perilaku-perilaku tersebut diminimalisir.
Permasalahannya sekarang adalah, kita mau memaknai jilbab itu seperti hakekatnya jilbab ataukah hanya dimaknai sebagai fashion belaka? Masalah bagaimana kita mengenakan jilbab itu sudah terlepas dari perilaku manusia tempat salah tersebut.
Ketika seseorang memutuskan untuk mengenakan jilbab, semestinya ia sudah memahami mengenai aurat. Di kalimat "i'm sorry i wear hijab but i don't cover my aurah properly", sangat timpang menurut saya. Dan ini yang dijadikan kalimat sakti bagi orang-orang yang sebenarnya cuma memaknai jilbab sebagai fashion. Ketika berpergian/keluar rumah kadang pakai kadang tidak, masih suka memposting foto tanpa jilbab di sosial media, mengenakan jilbab tetapi lengan baju hanya 3/4 sehingga terlihat bagian auratnya. Jilbab yang diterangkan dalam Al-Qur'an bukanlah seperti itu. Dalam perkembangannya memang diinterpretasikan macam-macam, misalnya ada yang berpendapat bahwa model hijab jaman sekarang seperti pashmina dan kawan-kawannya itu tidak syar'i, ada pula yang berpendapat tidak apa-apa model pashmina seperti itu. Atau ada yang berpendapat jilbab motif itu tidak syar'i karena dapat memancing ketertarikan lawan jenis, ada pula yang membolehkan jilbab motif. Akan tetapi bahwa wanita memiliki kewajiban untuk menutup aurat itu saya pikir semuanya bersepakat. Dan yang disebut aurat adalah seluruh anggota badan kecuali muka dan telapak tangan. Sudah jelas bukan? Inilah yang kadang-kadang menjadikan saya lebih respect sama orang-orang yang tidak berjilbab.
Kecuali jika memang memaknai jilbab sebagai fashion belaka, sah-sah saja. Memang secara tren fashion terlihat lebih menarik, modis, dan elegan dengan misalnya lengan baju 3/4. Tapi tolong, atas namakan itu fashion, bukan melaksanakan perintah Tuhan. Karena Tuhan tidak pernah memerintahkan umat-Nya untuk melakukan sesuatu secara setengah-setengah, karena itu dekat dengan keragu-raguan.
Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan kesayangannya dia berkata : Saya menghafal dari Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam (sabdanya): Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.(Riwayat Turmuzi dan dia berkata: Haditsnya hasan shoheh).
Sungguh pleidoi yang lucu jika alih-alih memahami jilbab sebagaimana hakekatnya, orang mengkaitkan jilbab dengan sifat manusia yang tak luput dari kesalahan. Jika masih ragu-ragu dan belum yakin menjadikan jilbab sebagai identitasmu, lebih baik tidak usah dulu. Tidak harus berjilbab untuk bisa menjaga perkataan dan tingkah laku, bukan?
Nemu tulisan blog lain nih yang mengungkap dari sudut pandang lain, lebih bisa diterima daripada tulisan saya mungkin. Hehe -->
https://annisaihsani.wordpress.com/2010/08/13/perihal-lengan-baju/
Langganan:
Postingan (Atom)