The present is shape from the past. The future is shape from the present.
Trauma masa lalu apabila dibiarkan menjadi unfinish bussiness akan menghambat perjalanan hidup kita dan menimbulkan ketidaknyamanan, meskipun responnya berbeda antara satu orang dengan yang lain, tergantung dari self ego dan peristiwa traumatis tersebut. Dalam hal apapun, termasuk hal yang sesepele hubungan asmara. Seorang teman bercerita bahwa ia merasa senang karena setiap kali ia ngambek, pacarnya selalu menjanjikan untuk mengajaknya belanja atau pun hal yang bersifat memanjakan. "Dia kayak ketakutan banget kalau aku bakal ninggalin dia makanya dia cepet-cepet ngingetin agenda belanja/nyalon. Jadinya kan aku nggak jadi ngambek. Seneng deh." katanya dengan muka berseri-seri. Dalam hati saya melongo, ini semaacam bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Pacar teman saya itu pernah memiliki riwayat tidak menyenangkan dengan mantan pacarnya, he had been cheated. Alasannya sesederhana cewek itu bertemu dengan lelaki yang lebih kaya secara finansial. Kejadian itu entah disadari atau tidak, menimbulkan luka yang sangat mendalam hingga trauma. Apalagi setelah itu mereka memutuskan berpisah dan membiarkan masalah itu terkubur dalam-dalam. Trauma itu menjadikan pacar teman saya berusaha mencegah mati-matian agar tidak terulang lagi. Jadi, wajar bukan jika pacar teman saya terlihat sangat ketakutan ketika teman saya ngambek, hingga terlupa pada logika bahwa teman saya belum tentu memiliki karakter seperti mantan pacarnya. Drive yang ada pada diri pacar teman saya muncul dari rasa takut, bukan karena dia memang benar-benar orang yang baik. Dia menjalani hubungannya dengan insecure. Menyedihkan, bukan?
Cerita lain menunjukkan respon yang berbeda. Berawal dari pengkhianatan yang sama. Lelaki ini pernah mencintai seorang perempuan dengan penuh. Segalanya ia berikan kepada pacarnya, perhatian, finansial, dan tenaga. Apapun yang pacarnya minta, ia turuti. Hingga terjadilah peristiwa itu. Ia ditinggalkan. Sekarang, lelaki itu sudah memiliki pacar lagi. Respon atas trauma masa lalu, ia menjadi kapok untuk memberikan perhatian seutuhnya kepada pasangannya. Yang terjadi sekarang adalah ia berubah menjadi pribadi yang cuek, dingin, tidak romantis. Ia masih membawa luka masa lalu sehingga ia takut merasakan luka yang sama. Membangun bentenglah ia kemudian.
Ada lagi yang merespon trauma masa lalu itu dengan menaikkan standarnya. Teman saya memiliki pengalaman buruk ditinggalkan oleh pacarnya, meskipun kali ini bukan karena pengkhianatan, tetapi karena ketidakcocokan. Pengalaman menyakitkan itu menjadikan teman saya menaikkan standarnya dalam memilih pasangan. Ia menjadikan mantan pacarnya itu sebagai patokan. Jika ada laki-laki yang mendekatinya dan kualitasnya (fisik, pendidikan, sosial ekonomi) di bawah mantannya tersebut, langsung ia blacklist. Ia menjadi orang yang sangat pemilih dan standarnya tinggi, sehingga sering dinilai oleh lingkungan pertemanannya sebagai orang yang sombong.
Saya yakin masih banyak lagi ragam respon yang berawal dari unfinish bussiness masa lalu yang terjadi di sekitar kita. Atau bahkan kita sendiri mengalaminya? Who knows? Tidak ada salahnya kita menengok diri kita sendiri dan berani melihat masa lalu dengan obyektif, bukan?
Quote of the day: Don't ever let anything to be unfinish bussiness
Laman
Label
- Halo Purworejo (9)
- Psychology (35)
- random (55)
- Ruang Cinta (6)
- Ruang Sastra (8)
- Sekuel Saung Kecil (68)
- Serba Serbi Dunia (23)
- Song's story (11)
Selasa, 20 September 2016
Don't Ever Let Anything to be Unfinish Bussiness
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar