Selasa, 9 Feb '16
"i'm sorry i wear hijab but i wear tight pants. i'm sorry i wear hijab but i use harsh words when i'm mad. i'm sorry i wear hijab but most of my friends are boys. i'm sorry i wear hijab but i do mistakes. i'm sorry i wear hijab but i want to be a loved by a man. i'm sorry i wear hijab but i don't cover my aurah properly. i'm sorry i wear hijab but sometimes i can't control myself. i'm sorry i'm just a normal human being. who never stop make mistakes. i am sorry."
Quote di atas marak sekali diposting di media sosial. Sebuah pernyataan apology, sekaligus pleidoi dari beberapa kaum. Entah terpengaruh sentimen pribadi atau memang seperti ini adanya, pleidoi semacam itu terasa sangat picisan bagi saya. Beberapa kalimat memang saya sepakat, tapi ada beberapa pernyataan yang menurut saya terlepas dari koridor dan tidak bisa dikaitkan.
Bahwa berkata kasar, memiliki banyak teman laki-laki, masih sering berbuat kesalahan, memiliki keinginan untuk dicintai memang benar itu sifat manusia yang tak luput dari kesalahan. Akan tetapi sangat tidak masuk akal apabila hal-hal tersebut dikaitkan dengan jilbab. Sifat-sifat manusia tersebut bisa dilakukan siapapun, tidak melihat agama. Tapi jika sudah berbicara mengenai jilbab, itu sudah merujuk pada identitas agama tertentu. Lebih bagus memang ketika kita sudah mengenakan jilbab maka perilaku-perilaku tersebut diminimalisir.
Permasalahannya sekarang adalah, kita mau memaknai jilbab itu seperti hakekatnya jilbab ataukah hanya dimaknai sebagai fashion belaka? Masalah bagaimana kita mengenakan jilbab itu sudah terlepas dari perilaku manusia tempat salah tersebut.
Ketika seseorang memutuskan untuk mengenakan jilbab, semestinya ia sudah memahami mengenai aurat. Di kalimat "i'm sorry i wear hijab but i don't cover my aurah properly", sangat timpang menurut saya. Dan ini yang dijadikan kalimat sakti bagi orang-orang yang sebenarnya cuma memaknai jilbab sebagai fashion. Ketika berpergian/keluar rumah kadang pakai kadang tidak, masih suka memposting foto tanpa jilbab di sosial media, mengenakan jilbab tetapi lengan baju hanya 3/4 sehingga terlihat bagian auratnya. Jilbab yang diterangkan dalam Al-Qur'an bukanlah seperti itu. Dalam perkembangannya memang diinterpretasikan macam-macam, misalnya ada yang berpendapat bahwa model hijab jaman sekarang seperti pashmina dan kawan-kawannya itu tidak syar'i, ada pula yang berpendapat tidak apa-apa model pashmina seperti itu. Atau ada yang berpendapat jilbab motif itu tidak syar'i karena dapat memancing ketertarikan lawan jenis, ada pula yang membolehkan jilbab motif. Akan tetapi bahwa wanita memiliki kewajiban untuk menutup aurat itu saya pikir semuanya bersepakat. Dan yang disebut aurat adalah seluruh anggota badan kecuali muka dan telapak tangan. Sudah jelas bukan? Inilah yang kadang-kadang menjadikan saya lebih respect sama orang-orang yang tidak berjilbab.
Kecuali jika memang memaknai jilbab sebagai fashion belaka, sah-sah saja. Memang secara tren fashion terlihat lebih menarik, modis, dan elegan dengan misalnya lengan baju 3/4. Tapi tolong, atas namakan itu fashion, bukan melaksanakan perintah Tuhan. Karena Tuhan tidak pernah memerintahkan umat-Nya untuk melakukan sesuatu secara setengah-setengah, karena itu dekat dengan keragu-raguan.
Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan kesayangannya dia berkata : Saya menghafal dari Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam (sabdanya): Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.(Riwayat Turmuzi dan dia berkata: Haditsnya hasan shoheh).
Sungguh pleidoi yang lucu jika alih-alih memahami jilbab sebagaimana hakekatnya, orang mengkaitkan jilbab dengan sifat manusia yang tak luput dari kesalahan. Jika masih ragu-ragu dan belum yakin menjadikan jilbab sebagai identitasmu, lebih baik tidak usah dulu. Tidak harus berjilbab untuk bisa menjaga perkataan dan tingkah laku, bukan?
Quote di atas marak sekali diposting di media sosial. Sebuah pernyataan apology, sekaligus pleidoi dari beberapa kaum. Entah terpengaruh sentimen pribadi atau memang seperti ini adanya, pleidoi semacam itu terasa sangat picisan bagi saya. Beberapa kalimat memang saya sepakat, tapi ada beberapa pernyataan yang menurut saya terlepas dari koridor dan tidak bisa dikaitkan.
Bahwa berkata kasar, memiliki banyak teman laki-laki, masih sering berbuat kesalahan, memiliki keinginan untuk dicintai memang benar itu sifat manusia yang tak luput dari kesalahan. Akan tetapi sangat tidak masuk akal apabila hal-hal tersebut dikaitkan dengan jilbab. Sifat-sifat manusia tersebut bisa dilakukan siapapun, tidak melihat agama. Tapi jika sudah berbicara mengenai jilbab, itu sudah merujuk pada identitas agama tertentu. Lebih bagus memang ketika kita sudah mengenakan jilbab maka perilaku-perilaku tersebut diminimalisir.
Permasalahannya sekarang adalah, kita mau memaknai jilbab itu seperti hakekatnya jilbab ataukah hanya dimaknai sebagai fashion belaka? Masalah bagaimana kita mengenakan jilbab itu sudah terlepas dari perilaku manusia tempat salah tersebut.
Ketika seseorang memutuskan untuk mengenakan jilbab, semestinya ia sudah memahami mengenai aurat. Di kalimat "i'm sorry i wear hijab but i don't cover my aurah properly", sangat timpang menurut saya. Dan ini yang dijadikan kalimat sakti bagi orang-orang yang sebenarnya cuma memaknai jilbab sebagai fashion. Ketika berpergian/keluar rumah kadang pakai kadang tidak, masih suka memposting foto tanpa jilbab di sosial media, mengenakan jilbab tetapi lengan baju hanya 3/4 sehingga terlihat bagian auratnya. Jilbab yang diterangkan dalam Al-Qur'an bukanlah seperti itu. Dalam perkembangannya memang diinterpretasikan macam-macam, misalnya ada yang berpendapat bahwa model hijab jaman sekarang seperti pashmina dan kawan-kawannya itu tidak syar'i, ada pula yang berpendapat tidak apa-apa model pashmina seperti itu. Atau ada yang berpendapat jilbab motif itu tidak syar'i karena dapat memancing ketertarikan lawan jenis, ada pula yang membolehkan jilbab motif. Akan tetapi bahwa wanita memiliki kewajiban untuk menutup aurat itu saya pikir semuanya bersepakat. Dan yang disebut aurat adalah seluruh anggota badan kecuali muka dan telapak tangan. Sudah jelas bukan? Inilah yang kadang-kadang menjadikan saya lebih respect sama orang-orang yang tidak berjilbab.
Kecuali jika memang memaknai jilbab sebagai fashion belaka, sah-sah saja. Memang secara tren fashion terlihat lebih menarik, modis, dan elegan dengan misalnya lengan baju 3/4. Tapi tolong, atas namakan itu fashion, bukan melaksanakan perintah Tuhan. Karena Tuhan tidak pernah memerintahkan umat-Nya untuk melakukan sesuatu secara setengah-setengah, karena itu dekat dengan keragu-raguan.
Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan kesayangannya dia berkata : Saya menghafal dari Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam (sabdanya): Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.(Riwayat Turmuzi dan dia berkata: Haditsnya hasan shoheh).
Sungguh pleidoi yang lucu jika alih-alih memahami jilbab sebagaimana hakekatnya, orang mengkaitkan jilbab dengan sifat manusia yang tak luput dari kesalahan. Jika masih ragu-ragu dan belum yakin menjadikan jilbab sebagai identitasmu, lebih baik tidak usah dulu. Tidak harus berjilbab untuk bisa menjaga perkataan dan tingkah laku, bukan?
Nemu tulisan blog lain nih yang mengungkap dari sudut pandang lain, lebih bisa diterima daripada tulisan saya mungkin. Hehe -->
https://annisaihsani.wordpress.com/2010/08/13/perihal-lengan-baju/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar