Baru saja malam ini saya menonton premier Supernova di Jogja bersama dua orang sahabat karib. Jujur saya merating 5 untuk kategori film Indonesia yang bergenre serius. Saya mengenal Supernova seri pertama itu sejak SMP. Waktu itu bulik saya yang punya bukunya. Saat liburan sekolah dan saya menginap di rumah bulik, saya membaca Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Saya tidak membacanya hingga tuntas, hanya sampai halaman belasan atau nggak dua puluhan. Saya tidak paham dengan ceritanya, entahlah seingat saya sepertinya alurnya membingungkan.
Saya tidak meminjam buku itu dari bulik. Pun dengan Supernova seri setelah setelahnya yang selalu dikoleksi oleh bulik, saya tidak kepikiran untuk mencoba membaca ulang. Sampai Dee menerbitkan Recto Verso pada saat saya kuliah semester 1, itulah pertama kalinya saya membaca karya Dee secara utuh. Dan saya suka. Sampai kemudiannya Dee menerbitkan Perahu Kertas, saya pun baca. Dan saya tidak suka. Ah, perahu kertas terlalu picisan. Recto Verso masih menempati urutan pertama dari karya Dee. Oh ya, membaca Filosofi Kopi pun saya tidak begitu mendapatkan feelnya.
Tapi saya masih belum melirik seri Supernova. Entahlah, dalam angan-angan saya, Supernova terlalu sulit untuk dijangkau pemahamannya. Saat semua lini masa memperbincangkan pembuatan film Supernova, saya pun sambil lalu saja. Sampai seorang kawan karib mengajak saya untuk menonton premiernya Supernova. Saya mengiyakan, kebetulan saya sedang selo. Awalnya saya merasa biasa aja, tidak terlalu berekspektasi dengan film itu. Tapi pada saat menonton, perlahan saya terpukau. Baru kali ini saya benar-benar menikmati film Indonesia dewasa dari segi content cerita sekaligus penggarapannya. Dan saya baru tersadar. Ini film nyikologis, beneran. Maknanya sangat dalam. Pun sangat realistis, tidak seperti film Indonesia kebanyakan yang utopis atau idealis. Tetiba saja saya jadi merutuki diri, kenapa enggak dari dulu pas SMP itu saya melanjutkan membaca? Ke mana aja saya ini!
Film ini bisa dipahami, tidak begitu rumit. Ini saya jadi merasa Supernova efeknya berkebalikan dengan harry potter bagi saya. Di Harry Potter, saya lebih dulu menonton filmnya. Saya nggak paham. Ketika saya kemudian membaca novelnya saat SMA (bayangkan, Harry Potter yang muncul sejak saya kelas 6 SD, saya baru membacanya saat kelas X!), baru saya pahami cerita Harry Potter itu. Tapi Supernova ini, saya paham menonton filmnya, justru nggak paham dengan novelnya. Rancu juga si sebenarnya. Saya tidak bisa memastikan. Apakah filmnya lebih mudah dipahami dibandingkan novelnya, atau sebenarnya ketidakpahaman saya dengan novelnya itu simply karena saya masih terlalu muda saat membacanya dulu? Entahlah. Yang jelas, saya akui, penggarapan film ini keren. Pergolakan-pergolakan batinnya sangat kental. Saya kok merasa penggarapan film ini membuka cakrawala baru di dunia perfilman Indonesia, berbeda dengan film-film Indonesia yang lain yang menurut saya kurang greget nggarapnya. Atau saya aja yang selama ini kurang menjelajah film-film Indonesia? Haha. Penggarapan film seperti ini mengingatkan saya akan penggarapan film Flipped, banyak melibatkan lintasan-lintasan pikiran tokohnya. Dan saya suka model penuturan film yang semacam itu, makanya saya bilang keren :-p.
Tapi penilaian saya tentang penggarapan filmnya jangan cepat dipercaya juga karena nggak fair. Kalau ditanya perbandingannya dengan novelnya, saya jelas nggak bisa jawab sekarang kan. Biasanya nih sejauh ini, film Indonesia adaptasi dari novel, di mana novelnya sudah saya baca sebelumnya, saya akan kecewa dengan filmnya. Lebih bagus novelnya. Jauh. Tapi sekarang, film Supernova ini, bisa jadi bagi saya penggarapannya sangat memukau tapi bagi orang yang sudah membaca novelnya ia akan kecewa. Sangat mungkin terjadi, bukan? Bagaimana denganmu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar