Masih ingat cerita saya yang lalu di bangsal M RSJ Lawang? Saya sempat menyinggung ada pasien yang tangannya diiket karena dalam sejarahnya pernah membunuh dua temannya (baca di sini).
Nah, saya pribadi pernah punya pengalaman yang agak-agak mencekam dengannya. Hari itu dipenghujung minggu di minggu pertama. Beberapa teman ada yang menggunakan weekend untuk main ke Malang kota, ada yang ke Surabaya, ada yang acara keluarga. Tinggal berenam yang stay di RSJ. Saya sendiri sudah kadung membuat janji dengan klien untuk tes inteligensi. Jadilah saya ke bangsal berdua bersama icha, dia juga mau melanjutkan ngetes. Tapi karena icha belum membuat janji, kliennya sedang ngeluyur entah ke mana padahal dia akan ada acara keluarga. Jadi icha mengcancel ngetesnya. Saya ditinggal sendirian di bangsal.
Saya ngetes di ruang makan. Di tengah-tengah saya ngetes, tetiba masuklah Pak L (yang tangannya diiket) ke ruang makan. Dia memang sering tidur di situ sih, tapi tadi karena ruang makan kosong jadi saya menggunakannya. Pas dia masuk saya yang agak-agak nge-freeze. Duh Gusti, semoga dia tidak kenapa-kenapa. Karena selama seminggu itu, saya sempat beberapa kali tidak sengaja bersitatap dengannya dan tatapannya sangat menusuk. Persis seperti tatapan mata tokoh film thriller yang berperan sebagai psikopatnya. Saya sampai merinding. Kadang-kadang saya juga memergokinya sedang berbicara sendiri.
Balik ke pas saya ngetes, Pak L masuk dengan kursinya. Dia kemudian duduk di kursinya menghadap saya di arah jam satu dari posisi saya. Klien saya ada persis di depan saya. Saya berusaha tenang dan tetap fokus ngetes. Sampai tiba-tiba saya mendengar dia berbicara. Reflek saya tengok dia. Ternyata dia tengah menatap persis mata saya, sambil berbicara -entah apa- dan tertawa-tawa. Tuhaan, keluarkan aku dari sinii, ratapku.
Cepat-cepat saya kembali berusaha fokus. Selanjutnya saya tidak menengok ke dia lagi. Saya biarkan dia yang masih menatap ke arah saya, berbicara entah apa, dan tertawa dingin. Hanya sesekali saja dari sudut mata saya tetap mengawasi dia, kalau-kalau ada pergerakan mendadak yang sekiranya membahayakan, saya bisa siap. Helloo, hanya saya yang normal di ruangan ini. Semua kemungkinan buruk bisa saja terjadi. Saya sadar sih kemungkinan besarnya, Pak L ini sedang berbicara dengan halusinasinya. Bagi saya dan orang lain yang melihat, arah matanya memang ke arah saya tapi saya yakin dia tidak sedang mengajak saya bicara. Dia sedang berbicara dengan halusinasinya yang mungkin ada di arah sejajar dengan saya. That's it. Itu cukup melegakan.
Di tengah situasi mendebarkan seperti itu, tetiba dari arah pintu muncullah Mbah M. Masih ingat cerita tentang Mbah M? Kalau lupa, baca lagi. Saya dan klien saya nggodain Mbah M dulu. Beliau merenges dan mendekati kami. Saya menyuruhnya duduk. Beliau pun menurut, duduk di kursi sebelah saya persis. Saya melanjutkan ngetes. Mbah M semacam menyimak kami yang mungkin dalam benak Mbah M kami sedang belajar. Oh well, meskipun tatapan matanya kosong tapi beliau melihat saya dan klien saya secara bergantian dan terlihat memperhatikan alat tes yang saya bawa. Who knows? bukan berarti dia tidak bisa membenak, bukan?
Keberadaan Mbah M seketika membuat saya jauh lebih tenang. Entah ya, saya tahu ini terdengar konyol. Mbah M dan klien saya sama-sama menderita gangguan jiwa, lantas saya mengharapkan mereka berdua bisa menjaga dan melindungi saya dari kengerian Pak L? Oke, fine, saya mungkin sudah gangguan juga. haha. Tapi that's it. Saya merasa aman. Dan Alhamdulillah saya berhasil selamat sampai selesai tak kurang suatu apapun dengan sentausa adil dan makmur. Halah. Belum selesai semuanya sih, masih ada beberapa sub tes yang belum dan sengaja saya jeda biar tidak terlalu lelah. Orang normal saja lelah lho mengerjakan tes itu dalam satu waktu sekaligus.
Ternyata teman sekelompok saya, Vincent, juga mengalami hal yang sama. Ba'da maghrib di hari itu juga, saya melanjutkan ngetes. Kali ini bareng dengan Vincent yang juga melakukan tes yang sama. Malam itu saya tidak berani di ruang makan. Yang bikin saya takut saat itu bukan Pak L tapi justru karena sudah malam dan ruangan tersebut kan luas jadi serem aja kalau di situ berdua doang, bangunan belanda pulak kan. Saya melanjutkan tes di meja kerja mahasiswa. Vincent memilih untuk di ruang makan. Saya selesai lebih cepat. Iya lah, cuma tinggal beberapa subtest sedangkan Vincent dari awal banget. Sambil menunggu Vincent, saya ngobrol-ngobrol dengan perawat bangsal yang sedang jaga.
Setelah selesai, dalam perjalanan balik asrama, Vincent bercerita kalau dia ngetesnya cepet-cepet langsung nggak disambi ngobrol atau istirahat sebentar. Tahu kenapa? Yup, ditungguin Pak L! Gilaa serem abiis. Aku masih untung pas kejadian itu siang hari dan ada Mbah M yang turut menemani. Lha ini Vincent hanya bertiga di ruang makan itu, malam hari pulak. Makanya Vincent langsung set-set-set, keburu takut duluan. Tapi Alhamdulillah bener, kami semua selamat dari bahaya Pak L. Lha serem eh, menurut cerita perawatnya, kejadian dia ngebunuh dua temennya itu juga malam hari pas udah pada tidur. Dipukul kepalanya sampai hancur *ngelusdada*
Sebenarnya sih kalau sekarang udah nggak bahaya-bahaya banget karena toh sudah mendapat perawatan. Buktinya selama kami berinteraksi dengannya baik-baik saja. Yaa meskipun kami tidak ada yang berani menatapnya lama-lama karena ya itu tatapan Pak L sangat dingin.
Tapi saya pernah sekali melihat Pak L tertawa, tapi tawa yang berbeda dengan biasanya dia. Tawa kali itu beneran tertawa senang bukan menyeringai. Ceritanya, waktu itu sore, sudah selesai makan sore sekitar jam setengah 5. Klien kami berempat dan beberapa pasien lain mengajak kami berempat jalan-jalan. Keluarlah kami dari bangsal, berjalan-jalan di sekitar. Saya memang dari awal melihat Pak L ikut, tapi saya biarkan. Tidak apa-apa, Insya Allah aman karena toh ini berbanyak juga jalan-jalannya, pikir saya. Setelah sekitar 10 menit atau seperempat jam, salah satu klien kami baru sadar kalau Pak L ikut. "Waa, kecolongan ki. L kok melu? Ayo, mbalek, mbalek," katanya. Kami semua tertawa. Barulah saya tahu kalau Pak L ini boleh berjalan-jalan tapi di di dalam bangsal. Tidak boleh keluar dari bangsal. Dan sore itu, kecolongan Pak L ikut kami jalan-jalan ke luar. mendengar seloroh teman-temannya, Pak L ini ikut tertawa. Tapi merengesnya itu terlihat merenges beneran, bukan menyeringai dingin seperti biasanya. Dia senang karena kecolongan bisa berjalan-jalan ke luar. Pastinya lak yo bosen to kalau setiap hari pemandangan yang dilihat cuma bangsalnya saja.
Saat itu saya melihat Pak L tidak semengerikan kelihatannya. Dia tidak marah ketika teman-temannya mencandainya pas kecolongan itu. Mungkin pas itu juga suasana hatinya lagi seneng juga kali ya karena akhirnya berhasil berjalan-jalan ke luar makanya nggak marah. Hahaha.
Nah, saya pribadi pernah punya pengalaman yang agak-agak mencekam dengannya. Hari itu dipenghujung minggu di minggu pertama. Beberapa teman ada yang menggunakan weekend untuk main ke Malang kota, ada yang ke Surabaya, ada yang acara keluarga. Tinggal berenam yang stay di RSJ. Saya sendiri sudah kadung membuat janji dengan klien untuk tes inteligensi. Jadilah saya ke bangsal berdua bersama icha, dia juga mau melanjutkan ngetes. Tapi karena icha belum membuat janji, kliennya sedang ngeluyur entah ke mana padahal dia akan ada acara keluarga. Jadi icha mengcancel ngetesnya. Saya ditinggal sendirian di bangsal.
Saya ngetes di ruang makan. Di tengah-tengah saya ngetes, tetiba masuklah Pak L (yang tangannya diiket) ke ruang makan. Dia memang sering tidur di situ sih, tapi tadi karena ruang makan kosong jadi saya menggunakannya. Pas dia masuk saya yang agak-agak nge-freeze. Duh Gusti, semoga dia tidak kenapa-kenapa. Karena selama seminggu itu, saya sempat beberapa kali tidak sengaja bersitatap dengannya dan tatapannya sangat menusuk. Persis seperti tatapan mata tokoh film thriller yang berperan sebagai psikopatnya. Saya sampai merinding. Kadang-kadang saya juga memergokinya sedang berbicara sendiri.
Balik ke pas saya ngetes, Pak L masuk dengan kursinya. Dia kemudian duduk di kursinya menghadap saya di arah jam satu dari posisi saya. Klien saya ada persis di depan saya. Saya berusaha tenang dan tetap fokus ngetes. Sampai tiba-tiba saya mendengar dia berbicara. Reflek saya tengok dia. Ternyata dia tengah menatap persis mata saya, sambil berbicara -entah apa- dan tertawa-tawa. Tuhaan, keluarkan aku dari sinii, ratapku.
Cepat-cepat saya kembali berusaha fokus. Selanjutnya saya tidak menengok ke dia lagi. Saya biarkan dia yang masih menatap ke arah saya, berbicara entah apa, dan tertawa dingin. Hanya sesekali saja dari sudut mata saya tetap mengawasi dia, kalau-kalau ada pergerakan mendadak yang sekiranya membahayakan, saya bisa siap. Helloo, hanya saya yang normal di ruangan ini. Semua kemungkinan buruk bisa saja terjadi. Saya sadar sih kemungkinan besarnya, Pak L ini sedang berbicara dengan halusinasinya. Bagi saya dan orang lain yang melihat, arah matanya memang ke arah saya tapi saya yakin dia tidak sedang mengajak saya bicara. Dia sedang berbicara dengan halusinasinya yang mungkin ada di arah sejajar dengan saya. That's it. Itu cukup melegakan.
Di tengah situasi mendebarkan seperti itu, tetiba dari arah pintu muncullah Mbah M. Masih ingat cerita tentang Mbah M? Kalau lupa, baca lagi. Saya dan klien saya nggodain Mbah M dulu. Beliau merenges dan mendekati kami. Saya menyuruhnya duduk. Beliau pun menurut, duduk di kursi sebelah saya persis. Saya melanjutkan ngetes. Mbah M semacam menyimak kami yang mungkin dalam benak Mbah M kami sedang belajar. Oh well, meskipun tatapan matanya kosong tapi beliau melihat saya dan klien saya secara bergantian dan terlihat memperhatikan alat tes yang saya bawa. Who knows? bukan berarti dia tidak bisa membenak, bukan?
Keberadaan Mbah M seketika membuat saya jauh lebih tenang. Entah ya, saya tahu ini terdengar konyol. Mbah M dan klien saya sama-sama menderita gangguan jiwa, lantas saya mengharapkan mereka berdua bisa menjaga dan melindungi saya dari kengerian Pak L? Oke, fine, saya mungkin sudah gangguan juga. haha. Tapi that's it. Saya merasa aman. Dan Alhamdulillah saya berhasil selamat sampai selesai tak kurang suatu apapun dengan sentausa adil dan makmur. Halah. Belum selesai semuanya sih, masih ada beberapa sub tes yang belum dan sengaja saya jeda biar tidak terlalu lelah. Orang normal saja lelah lho mengerjakan tes itu dalam satu waktu sekaligus.
Ternyata teman sekelompok saya, Vincent, juga mengalami hal yang sama. Ba'da maghrib di hari itu juga, saya melanjutkan ngetes. Kali ini bareng dengan Vincent yang juga melakukan tes yang sama. Malam itu saya tidak berani di ruang makan. Yang bikin saya takut saat itu bukan Pak L tapi justru karena sudah malam dan ruangan tersebut kan luas jadi serem aja kalau di situ berdua doang, bangunan belanda pulak kan. Saya melanjutkan tes di meja kerja mahasiswa. Vincent memilih untuk di ruang makan. Saya selesai lebih cepat. Iya lah, cuma tinggal beberapa subtest sedangkan Vincent dari awal banget. Sambil menunggu Vincent, saya ngobrol-ngobrol dengan perawat bangsal yang sedang jaga.
Setelah selesai, dalam perjalanan balik asrama, Vincent bercerita kalau dia ngetesnya cepet-cepet langsung nggak disambi ngobrol atau istirahat sebentar. Tahu kenapa? Yup, ditungguin Pak L! Gilaa serem abiis. Aku masih untung pas kejadian itu siang hari dan ada Mbah M yang turut menemani. Lha ini Vincent hanya bertiga di ruang makan itu, malam hari pulak. Makanya Vincent langsung set-set-set, keburu takut duluan. Tapi Alhamdulillah bener, kami semua selamat dari bahaya Pak L. Lha serem eh, menurut cerita perawatnya, kejadian dia ngebunuh dua temennya itu juga malam hari pas udah pada tidur. Dipukul kepalanya sampai hancur *ngelusdada*
Sebenarnya sih kalau sekarang udah nggak bahaya-bahaya banget karena toh sudah mendapat perawatan. Buktinya selama kami berinteraksi dengannya baik-baik saja. Yaa meskipun kami tidak ada yang berani menatapnya lama-lama karena ya itu tatapan Pak L sangat dingin.
Tapi saya pernah sekali melihat Pak L tertawa, tapi tawa yang berbeda dengan biasanya dia. Tawa kali itu beneran tertawa senang bukan menyeringai. Ceritanya, waktu itu sore, sudah selesai makan sore sekitar jam setengah 5. Klien kami berempat dan beberapa pasien lain mengajak kami berempat jalan-jalan. Keluarlah kami dari bangsal, berjalan-jalan di sekitar. Saya memang dari awal melihat Pak L ikut, tapi saya biarkan. Tidak apa-apa, Insya Allah aman karena toh ini berbanyak juga jalan-jalannya, pikir saya. Setelah sekitar 10 menit atau seperempat jam, salah satu klien kami baru sadar kalau Pak L ikut. "Waa, kecolongan ki. L kok melu? Ayo, mbalek, mbalek," katanya. Kami semua tertawa. Barulah saya tahu kalau Pak L ini boleh berjalan-jalan tapi di di dalam bangsal. Tidak boleh keluar dari bangsal. Dan sore itu, kecolongan Pak L ikut kami jalan-jalan ke luar. mendengar seloroh teman-temannya, Pak L ini ikut tertawa. Tapi merengesnya itu terlihat merenges beneran, bukan menyeringai dingin seperti biasanya. Dia senang karena kecolongan bisa berjalan-jalan ke luar. Pastinya lak yo bosen to kalau setiap hari pemandangan yang dilihat cuma bangsalnya saja.
Saat itu saya melihat Pak L tidak semengerikan kelihatannya. Dia tidak marah ketika teman-temannya mencandainya pas kecolongan itu. Mungkin pas itu juga suasana hatinya lagi seneng juga kali ya karena akhirnya berhasil berjalan-jalan ke luar makanya nggak marah. Hahaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar