Selasa, 25 Februari 2014

Tidak Perlu Buru-Buru, Lihat Pemandangan Sekitar Selama Pendakian Hidupmu, dan Kau akan Bahagia

Rabo, 26 Feb '14
7.32 am

"Life is climb, but the view is great"
Kalimat itu petikan dari lagu Miley Cyrus yang berjudul The Climb. Kalimat itu yang paling pas menggambarkan perasaan saya beberapa waktu terakhir ini. Dan pagi ini kembali bergejolak. Selepas mendapat telepon dari ibunda, selepas mendapat sms dari teman FLP. Seketika saya menyadari betapa beberapa bulan terakhir ini saya kehilangan hal-hal sekitar, hal-hal yang membuat pendakian menjadi menyenangkan.

Kenapa Tuhan menciptakan hamparan alam yang indah, udara yang sejuk di gunung? Karena Tuhan ingin dalam kita mendaki gunung, kita tidak sempat mengeluh karena sudah disodori pemandangan yang indah itu di sepanjang pendakian sehingga terasa menyenangkan. Bagi orang yang menganggap pemandangan indah itu hanya didapat di puncaknya saja, maka ia hanya dapat merasakan keindahannya di puncak. Sedangkan  bagi orang-orang yang mau melihat ke samping ke pemandangan sekitar selama perjalanan, ia merasakan keindahan di sepanjang perjalanan dan di puncaknya sekaligus. Pilih mana? Sama seperti hidup, Tuhan menciptakan hal-hal sekitar yang indah agar dalam perjuangan hidup, kita tidak sempat mengeluh terhadap sulitnya hidup. Bagi orang-orang yang menganggap kebahagiaan itu didapat setelah tercapainya keinginan dan kesuksesan, maka ia hanya dapat merasakan kebahagiaan setelah sukses. Itulah orang-orang yang "bahagia itu nanti". Sedangkan bagi orang-orang yang mau melihat ke samping, kepada hal-hal kecil lain di sekitar, ia merasakan kebahagiaan sepanjang perjalanan hidupnya menuju sukses, tidak hanya ketika sudah sukses saja. Itulah orang-orang yang "bahagia itu sekarang". Pilih mana?

Beberapa bulan terakhir ini, ternyata saya memaksa menjadikan diri saya sebagai mesin, bukan sebagai manusia. Mesin hanya mengikuti pola ritme jadwal yang sudah dijejalkan kepada mereka tanpa mempedulikan limit. Batas limit mesin adalah ketika mesin itu sudah rusak. Ketika rusak, pilihannya dua: diperbaiki dengan catatan tidak bisa kembali 100% normal seperti sedia kala, atau dibuang. Saya dan ratusan mungkin ribuan orang lainnya dijadikan mesin oleh sebuah sistem. Perkuliahan magister profesi. Kenapa saya menyebutkan spesifik? Karena tidak semua sistem perkuliahan S2 seperti itu. Beberapa perkuliahan S2 lainnya yang bukan profesi, masih memperlakukan mahasiswanya sebagai manusia. Yah, ini tidak terlepas dari pembahasan awal tulisan ini "life is a climb, but the view is great". Ketika kegiatan perkuliahan melulu tentang tugas dan batas waktu yang sulit untuk menjadikannya rasional, maka kewarasan seseorang dalam mengikuti perkuliahan itu juga makin tidak rasional. Kewarasan maksud saya adalah kondisi di mana seseorang merasa bisa menikmati hidupnya. Ketika seseorang tidak bisa menikmati hidupnya, berarti kondisi kesehatan mentalnya kurang. Biasa kita sebut sebagai stress (bukan gila loh ya)   

Beberapa jurusan ada yang profesinya adalah wajib lanjutan dari S1nya langsung (disebut S1+, seperti kedokteran), tetapi S2 profesi itu tidak wajib dan itu setingkat S2 pada umumnya. Nah,  kuliah S2 profesi ini stressnya S2 dan stressnya profesi digabung menjadi satu. Begitu. Saya tidak tahu apakah magister profesi di kampus saya saja atau di jurusan yang sama di kampus-kampus lainnya juga sama saja seperti ini tuntutannya. Melulu tugas dengan tuntutan yang makin nggak rasional, dan batas waktu yang makin nggak rasional juga. Ketika sistem dipegang oleh orang dengan kapasitas selangit apalagi berpegang pada "bahagia itu nanti", menjadikan mahasiswa-mahasiswanya sebagai mesin.

Saya tidak tahu biaya kuliah ini lebih mahal dibandingkan S2 jurusan-jurusan lain itu untuk apa? Apakah untuk penambahan jam belajar seperti halnya kelas akselerasi di sekolah-sekolah? Jika begitu, saya tidak butuh kelas akselerasi. Bukankah isu di dunia pendidikan sekarang juga mulai mencibir tentang kelas akselerasi? Lalu kenapa jurusan yang seharusnya peduli tentang hal itu justru menerapkannya? Atau kalau tidak dengan alasan penambahan jam belajar, apakah mahal karena ada sertifikat plus yang bisa digunakan untuk berpraktek kelak jika sudah lulus? Kalau begitu, lalu kenapa sistem memberi batasan waktu yang sangat limit, yang sangat terburu-buru sehingga mengesampingkan kesehatan mental mahasiswanya sendiri? Bukankah sertifikat plus itu tidak ada hubungannya dengan waktu? 

Entahlah, saya tidak bisa mengerti. Dalam konsep saya, ketika orang membayar mahal untuk tiket sebuah kereta eksekutif misalnya, orang itu akan mendapatkan kenyamanan selama perjalanan di kereta plus kenyamanan karena bisa mengantarkan ke tempat tujuan yang dimaksud. Orang senang sampai pada tujuannya dan senang karena perjalanan kereta itu menyenangkan. Bandingkan dengan tiket kereta ekonomi yang lebih murah. Kereta ekonomi itu sama dengan eksekutif, mengantarkan orang ke tempat tujuan yang dimaksud, tetapi karena biayanya lebih murah, orang mungkin merasa tidak nyaman ketika perjalanan di dalam kereta. Berdesak-desakanlah, bau pesing lah, bising rusuh pedagang stasiun yang masuk lah, dan sebagainya ketidaknyamanan semacam itu. Lalu, ketika sudah membayar tiket eksekutif tetapi dalamnya ekonomi, bagaimana? Sudah membayar mahal, tetapi tidak bisa tidur dengan nyenyak karena bising urusan tugas, tidak bisa duduk menghela nafas dengan tenang karena berdesak-desakan dengan batas waktu dosen dan jadwal kuliah, dan tidak bisa melihat pemandangan di luar jendela karena tertutup tumpukan tugas dan ketika tugas selesai terlalu capek sehingga memilih tidur dibandingkan melihat pemandangan. 
   
What a life is machine! Kecuali jika ada kesadaran dari mahasiswa itu sendiri untuk tetap menjadi manusia, tidak berubah menjadi mesin. Dan saya, entah itu dibenarkan atau disalahkan, saya masih ingin menjadi manusia. Saya masih ingin melakukan hal-hal yang akan tetap menjadikan saya sebagai manusia. Better slow down, before you lose ground. Sekian.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar