Sabtu, 21 Sept 13
Saya pernah menguping pertengkaran kecil yang terjadi antar dua orang ini saat kebetulan posisi saya berada di dekat mereka. Sambil membaca buku saya mencuri-curi dengar. Kira-kira seperti ini:
A: "Kok kamu semacam balas dendam begini ya sama aku?"
B: "Aku bukannya mau balas dendam, aku cuma pengen kamu tau apa yang kurasakan saat kamu nglakuin ini kemarin."
A: "Ya itu sama saja dengan balas dendam"
Percakapan mereka mencuri pikiranku. Saya dapat memahami ada yang berbeda dari keduanya dalam memaknai balas dendam. Definisi mereka tentang balas dendam berbeda. Ada perbedaan nilai di sini. Itu jelas terlihat. Yang mencuri pikiran saya adalah bagaimana bisa balas dendam itu memiliki makna yang berbeda. Selama ini saya menganggap balas dendam adalah suatu perilaku yang jelas pola kronologis kejadiannya bukan abstrak. Selama ini saya hanya tahu bahwa jika seseorang merasa tersakiti dan kemudian dia balas menyakiti orang itu dengan hal yang sama, itulah balas dendam. Definisi balas dendam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan membalas perbuatan orang lain karena sakit hati atau dengki. Tidak ada definisi lain. Akan tetapi sejak saya "mencuri" percakapan tersebut, saya melihat balas dendam sebagai suatu nilai yang abstrak, bukan sesuatu yang konstan.
Pemikiran-pemikiran itu menyisakan pertanyaan tak terjawab hingga beberapa hari yang lalu saya mulai melihat celah dinamika kenapa si A menganggap perlakuan B sebagai balas dendam sedangkan B tidak memaknai perilakunya itu sebagai balas dendam.
Kuliah simulasi (triad) observasi wawancara kali itu bertema psikodinamika. Satu kelas diminta berkelompok sebanyak 3 orang-3 orang. Satu menjadi konselor, satu menjadi klien, dan satunya lagi menjadi observer. Saat itu saya mendapat giliran menjadi konselor, teman saya inisial AP menjadi klien, dan teman saya inisial R menjadi observer. AP menceritakan masalahnya kepada saya. Saya berusaha menggali poin-poin yang mengarah pada pendekatan psikodinamika dalam memahami masalah klien.
Sampai pada suatu titik, dosen meminta semua kelompok untuk menghentikan prosesnya. Kemudian beliau meminta kami untuk bertukar posisi. Konselor menjadi klien, klien menjadi observer, dan observer menjadi konselor. Konselor (yang sekarang jadi klien) diminta untuk menirukan gaya dan cerita dari klien yang dia konselor'i tadi. Sementara observer (yang sekarang jadi konselor) diminta untuk menirukan gaya konselor dalam proses konseling tadi. Jadi di sini saya menjadi AP yang menceritakan masalah yang sama, R menjadi saya yang menirukan bagaimana saya menggali masalah klien tadi.
Setelah proses pertukaran peran ini, saya baru menyadari bahwa ternyata saya belum bisa sepenuhnya memahami klien. Pada saat saya menjadi konselor, saya merasa paham dengan permasalahan yang dibawa klien. Akan tetapi ketika saya diminta bertukar peran menjadi klien dan saya mengungkapkan permasalahan yang sama, ternyata saya salah menangkap permasalahan inti. Ada bagian-bagian yang menurut AR penting untuk menjadi masalah, sedangkan ketika saya berperan menjadi klien, hal penting tersebut justru tidak keluar dari "cerita" saya. Sebagai konselor, kepekaan saya akan masalah masih kurang.
Itu pengalaman saya. Pengalaman dari konselor kelompok lain berbeda. Pada saat menjadi konselor, merasa bisa memahami emosi yang dirasakan oleh klien, bahkan ikut sedih dan berkaca-kaca. Tapi ketika dia berperan sebagai klien, emosi itu tidak bisa muncul. Ada dugaan bahwa pada saat menjadi konselor, dia merasa sedih karena cerita klien mengingatkan dia akan pengalamanya masa lalu yang serupa dengan pengalaman klien, jadi dia menangisi dirinya sendiri bukan sebagai bentuk empati kepada klien.
Ada pula cerita dari pihak klien yang merasa tidak puas setelah perannya diperankan oleh orang lain. Dia merasa "lho, kok kayaknya dia biasa-biasa aja pas cerita, padahal tadi aku ceritanya menggebu2 banget." Atau "Nggak gitu yang menjadi permasalahanku". Atau ada juga yang menyadari tingkahnya "Oh, kok ternyata aku lebay banget ya, masalah kayak gitu aja diributin."
Dari sharing berbagai pengalaman itu, dosen mengikat suatu hikmah. Sesekali kita perlu keluar dari diri kita, kita perlu melihat diri kita dari kejauhan agar kita menyadari hal baik apa yang sudah kita lakukan dan hal apa yang seharusnya tidak kita lakukan. Temui dan kenalilah dirimu sendiri. Terkadang kita sulit melihat diri sendiri, bukan? sehingga terkadang kita terlalu angkuh. Nah salah satu cara paling mudah agar bisa melihat diri kita yang sebenarnya adalah dengan mencoba berganti peran itu tadi.
Dari sinilah saya tiba-tiba seperti mendapat insight atas pertanyaan tak terjawab selama ini. Mekanisme bertukar peran itu sepintas mirip dengan balas dendam kan yah?
Bedanya, suatu timbal balik akan menjadi balas dendam jika hanya sampai pada aksi saling membalas. Tapi jika pertukaran peran dikomunikasikan maksud dan maknanya antar kedua belah pihak,itu bukanlah balas dendam. Itu namanya belajar bersama-sama. Bukan "atau" tetapi "dan". Komunikasikan tujuan kamu membalik peran tersebut setelah kamu merasa lawanmu berada di posisi yang sama denganmu, sehingga tidak terjadi salah paham. Satu lagi wujud konkret dari jargon "komunikasi itu penting" terbaca dari kejadian-kejadian kecil di sekitar kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar