Jum'at, 6 Jan '11
10.20 am
"Dan kita masih duduk di atas roda yang berputar" (Pengamen bis, 2011)
Maaf aku mengawali tulisan ini dengan kata-kata yang diucapkan seorang mas-mas pengamen bis Ramayana jurusan Semarang-Jogja hari Kamis kemarin. Kata-kata yang membuatku sedikit terhenyak. Mungkin terdengar biasa saja, tidak ada yang istimewa dan pengamen itu pun selalu mengucapkan kata-kata itu di akhir lagunya sebagai pesan agar berhati-hati dan ucapan doa agar selamat sampai di tujuan.
Tapi ada yang mengusik pikirku kala sang pengamen mengucapkan kalimat pamungkasnya sebelum ia menyodorkan kantong kosong bekas bungkus permen kepada penumpang. Benar kata pengamen itu, kita masih duduk di atas "roda kehidupan" yang berputar. Terkadang kita bisa duduk di atas, tapi kita juga bisa jadi duduk di bawah. Dan ketika kita duduk di atas roda yang berputar, kita harus mengikuti perputarannya. Caranya? Dengan menjaga keseimbangan atas apapun yang terjadi dalam hidup kita. Agar kita tidak terlempar, terjatuh, atau terhuyung dan kehilangan arah.
Lantas ketika berganti bis dari Magelang menuju Kutoarjo, otakku tak berhenti mempercakapkannya. Berawal dari kejadian yang kutemui saat singgah di terminal Tidar Magelang untuk menunaikan ibadah ashar. Ada seorang bapak-bapak yang mengamati jajaran sepatu di halaman mushalla. Yang pertama kali terbersit dalam benakku adalah pikiran buruk tentang bapak-bapak itu, berhubung ini adalah terminal bis yang segala macam kriminalitas bisa saja terjadi. Aku terus mengamatinya dari dalam mushalla. Hingga bapak itu mengambil sepatu ibuku dalam tentengannya. Ibu masih sholat. Hampir saja aku menghampirinya untuk menegur. Langkahku terhenti di tengah jalan dan terpaku. Ternyata bapak-bapak itu menyemir sepatu ibuku yang mungkin terlihat kotor dan berdebu. Aku terduduk kembali dan merasa bersalah atas prasangka burukku. Bapak itu menggosokkan sikat yang telah diberi semir pada sepatu milik ibuku, diulanginya lagi hingga beberapa kali.
Lantas ketika kami akan melanjutkan perjalanan dan menanyakan berapa ongkos penyemiran sepatu itu, bapak itu dengan tulus menjawab "seikhlas'e mawon, Bu". Jlegeer! Ada godam yang menghantam batinku. Bapak itu menyemir sepatu tanpa diminta dan tanpa menetapkan tarif atas jasanya itu. Aku semakin merasa bersalah, karena lagi-lagi aku sempat berpikir bapak itu menggunakan trik paksaan untuk mendapatkan uang dengan menyemir tanpa izin semacam itu. Astaghfirullah, maafkan aku, Tuhan.
Kemudian di dalam bis yang masih mangkal di depan terminal, masuklah seorang anak kecil yang meminta sumbangan pada penumpang yang ada di situ. Sebelum memberikan uang, anak kecil itu diajak ngobrol dulu sama ibu. Ternyata anak kecil itu duduk di bangku kelas 3 SD, uang hasil ia meminta-minta itu ia gunakan untuk bekal sekolahnya. Sungguh seorang anak yang tidak seharusnya mendapatkan uang dengan cara meminta-minta seperti itu. Begitu anak itu turun, dia langsung berlari menghampiri teman-teman seperjuangannya dan berteriak kegirangan. Fenomena yang ironis. Apa yang sebenarnya terjadi dengan anak itu? Keceriaan dalam kesusahan hidupnya ataukah keceriaan karena mendapatkan uang dengan semudah itu?
Tak lama kemudian beberapa pedagang asongan bergantian masuk, termasuk bapak-bapak penjual gethuk (semacam gethuk trio tapi mereknya beda) yang awalnya tidak menarik perhatianku tapi karena suatu hal, ia jadi membuatku tertarik dalam pemikiran. Bapak-bapak itu tipikal pedagang yang menggunakan trik berkomunikasi yang baik dalam menjajakan dagangannya (bagi sebagian kita itu dianggap pemaksaan). Memang terkesan sedikit memaksa, tapi secara halus. Sambil ngobrol sama ibu, bapak itu meyakinkan bahwa gethuk yang dibawanya itu baru datang, harganya hanya setengah harga dari yang dijual di toko, dan tidak pakai pemanis buatan. Untuk membuktikannya bapak itu menyarankan untuk mencicipi gethuk dagangannya itu. Awalnya ibu menolak tapi sambil terus ngobrol, hingga ke masalah biaya sekolah yang makin melangit. Anak bapak itu sekolah SMA dan biaya masuk SMA negeri saja sekarang mencapai 3juta. Itu baru biaya masuk, belum biaya bulanan dan biaya lain-lainnya. Atas dasar itu, mungkin, ibu akhirnya tergerak membeli. Selain karena harganya murah (4ribu isi 10 bungkus), terdorong rasa prihatin juga dengan kehidupan bapak itu. Setelah ibu membeli, beberapa penumpang yang tak jauh dari tempat perbincangan pun ikut membelinya. Entah karena memang bermaksud membeli atau punya alasan yang sama dengan kami. Lantas ibu tersenyum padaku dan bilang, "Ibu seneng gethuk'e laris". Aku ikut tersenyum senang. Ada rasa haru yang merayap. Ada pikir yang mengusik. Tentang perjuangan orang-orang dalam keterbatasan hidupnya. Tentang mencintai.
Pikiran tentang mencintai ini melahirkan percakapan-percakapan yang ramai dalam otakku. Betapa cinta itu menyeluruh dan datang dari hal yang sekecil apapun. Bapak itu berjualan gethuk karena rasa cintanya pada keluarganya, ibu membeli gethuk karena rasa cintanya pada pedagang gethuk itu.
Kamu pikir Tuhan menciptakan kita karena apa? Salah satunya mungkin untuk melengkapi deprivasi (kekurangan) yang ada pada orang lain/makhluk Allah lain ketika kita mampu untuk melakukannya. Cinta adalah ketika kita memberi tak harap kembali. Analogi yang kutemukan selama perjalanan Magelang-Kutoarjo adalah seperti kita memelihara hewan. Bukan maksudku menyamakan orang lain dengan hewan, tapi justru dengan anologi itu yang paling mengena di dasar pikirku sekarang. Misalnya kita memelihara ikan hias. Kita rela mengeluarkan uang untuk memberi ikan itu makanan beserta vitaminnya. Kita pun rela mengeluarkan uang untuk menghias akuarium biar tampak indah dan ikanpun senang. Kalau dipikir, untuk apa sih kita melakukan semua itu hanya untuk seekor ikan yang tidak bisa membantu kita, boro-boro membantu, diajak ngomong aja nggak bisa! Apakah kita merasa sia-sia? Tidak. Itulah cinta. Kita mencintai ikan itu, memberikan apa yang dibutuhkan olehnya untuk bertahan hidup, dan kita tidak mengharapkan balasan apapun darinya. Bahkan kita merasa amat sedih ketika ikan itu mungkin terpaksa kita jual. Padahal dengan menjual ikan itu, kita mendapatkan uang, kan? Tapi cinta tidak bisa melakukannya.
Kalau dipikir, kita justru dirugikan secara materi, waktu, dan tenaga oleh sang ikan. Toh, ikan tidak bisa memberi kita penghasilan. Toh, ikan tidak bisa membantu memecahkan masalah yang kita hadapi. Toh, ikan tidak bisa memberi tanggapan ketika kita ajak berbincang. Lebih baik dijual atau dibuang saja biar beban hidup kita berkurang. Tapi sekali lagi cinta tidak bisa melakukannya. Cukup dengan kita melihat tingkahnya yang lucu, walaupun aku yakin ikan itu sama sekali tidak bermaksud bertingkah demikian (melucu) di depan kita, kita akan merasa bahagia. Cukup dengan melihatnya bertumbuh, walaupun tujuan ikan makan itu untuk mempertahankan hidupnya dan sama sekali bukan untuk membahagiakan kita, kita tidak bisa berhenti tersenyum bahagia. Bahkan ketika kita "curhat" kepada ikan padahal kita tahu tanggapan sang ikan cuma bisa mangap-mangap nggak jelas dan sama sekali tidak bisa memberikan alternatif solusi kepada kita, kita bisa merasa lega dan tiba-tiba saja punya solusi. Kita bisa dengan bangga menceritakan kepada teman-teman bahwa solusi atas permasalahan itu didapat berkat seekor ikan yang jelas-jelas beda "dunia". Itulah cinta.
Termasuk ketika kita mencintai orang lain. Meskipun berbeda "dunia". Meskipun mungkin secara kasat mata orang itu tidak memberikan keuntungan apapun untuk kita, tapi sebenarnya darinyalah kita justru mendapatkan sesuatu yang jauh lebih berharga dari yang sekedar kasat mata. Seperti kita mencintai para pedagang asongan, mencintai pengamen kecil, mencintai sahabat-sahabat kita.
Lantas di akhir perjalanan, aku menambahkan satu kalimat lagi dalam quote of the day:
"Dan kita masih duduk di atas roda yang berputar karena kita tidak punya alasan untuk tidak mencintai segala hal yang ikut berputar bersamanya" (Me and pengamen bis: the collaboration, 2011)
PS. Izin mengambil gambar ya Mbah Guk (baca: Google), terima kasih!
Song of the day: You - Jim Brickman ft. Tara MacLea. For a bunch of people in my life, thanks for showing me another real world :)
10.20 am
"Dan kita masih duduk di atas roda yang berputar" (Pengamen bis, 2011)
Maaf aku mengawali tulisan ini dengan kata-kata yang diucapkan seorang mas-mas pengamen bis Ramayana jurusan Semarang-Jogja hari Kamis kemarin. Kata-kata yang membuatku sedikit terhenyak. Mungkin terdengar biasa saja, tidak ada yang istimewa dan pengamen itu pun selalu mengucapkan kata-kata itu di akhir lagunya sebagai pesan agar berhati-hati dan ucapan doa agar selamat sampai di tujuan.
Tapi ada yang mengusik pikirku kala sang pengamen mengucapkan kalimat pamungkasnya sebelum ia menyodorkan kantong kosong bekas bungkus permen kepada penumpang. Benar kata pengamen itu, kita masih duduk di atas "roda kehidupan" yang berputar. Terkadang kita bisa duduk di atas, tapi kita juga bisa jadi duduk di bawah. Dan ketika kita duduk di atas roda yang berputar, kita harus mengikuti perputarannya. Caranya? Dengan menjaga keseimbangan atas apapun yang terjadi dalam hidup kita. Agar kita tidak terlempar, terjatuh, atau terhuyung dan kehilangan arah.
Lantas ketika berganti bis dari Magelang menuju Kutoarjo, otakku tak berhenti mempercakapkannya. Berawal dari kejadian yang kutemui saat singgah di terminal Tidar Magelang untuk menunaikan ibadah ashar. Ada seorang bapak-bapak yang mengamati jajaran sepatu di halaman mushalla. Yang pertama kali terbersit dalam benakku adalah pikiran buruk tentang bapak-bapak itu, berhubung ini adalah terminal bis yang segala macam kriminalitas bisa saja terjadi. Aku terus mengamatinya dari dalam mushalla. Hingga bapak itu mengambil sepatu ibuku dalam tentengannya. Ibu masih sholat. Hampir saja aku menghampirinya untuk menegur. Langkahku terhenti di tengah jalan dan terpaku. Ternyata bapak-bapak itu menyemir sepatu ibuku yang mungkin terlihat kotor dan berdebu. Aku terduduk kembali dan merasa bersalah atas prasangka burukku. Bapak itu menggosokkan sikat yang telah diberi semir pada sepatu milik ibuku, diulanginya lagi hingga beberapa kali.
Lantas ketika kami akan melanjutkan perjalanan dan menanyakan berapa ongkos penyemiran sepatu itu, bapak itu dengan tulus menjawab "seikhlas'e mawon, Bu". Jlegeer! Ada godam yang menghantam batinku. Bapak itu menyemir sepatu tanpa diminta dan tanpa menetapkan tarif atas jasanya itu. Aku semakin merasa bersalah, karena lagi-lagi aku sempat berpikir bapak itu menggunakan trik paksaan untuk mendapatkan uang dengan menyemir tanpa izin semacam itu. Astaghfirullah, maafkan aku, Tuhan.
Kemudian di dalam bis yang masih mangkal di depan terminal, masuklah seorang anak kecil yang meminta sumbangan pada penumpang yang ada di situ. Sebelum memberikan uang, anak kecil itu diajak ngobrol dulu sama ibu. Ternyata anak kecil itu duduk di bangku kelas 3 SD, uang hasil ia meminta-minta itu ia gunakan untuk bekal sekolahnya. Sungguh seorang anak yang tidak seharusnya mendapatkan uang dengan cara meminta-minta seperti itu. Begitu anak itu turun, dia langsung berlari menghampiri teman-teman seperjuangannya dan berteriak kegirangan. Fenomena yang ironis. Apa yang sebenarnya terjadi dengan anak itu? Keceriaan dalam kesusahan hidupnya ataukah keceriaan karena mendapatkan uang dengan semudah itu?
Tak lama kemudian beberapa pedagang asongan bergantian masuk, termasuk bapak-bapak penjual gethuk (semacam gethuk trio tapi mereknya beda) yang awalnya tidak menarik perhatianku tapi karena suatu hal, ia jadi membuatku tertarik dalam pemikiran. Bapak-bapak itu tipikal pedagang yang menggunakan trik berkomunikasi yang baik dalam menjajakan dagangannya (bagi sebagian kita itu dianggap pemaksaan). Memang terkesan sedikit memaksa, tapi secara halus. Sambil ngobrol sama ibu, bapak itu meyakinkan bahwa gethuk yang dibawanya itu baru datang, harganya hanya setengah harga dari yang dijual di toko, dan tidak pakai pemanis buatan. Untuk membuktikannya bapak itu menyarankan untuk mencicipi gethuk dagangannya itu. Awalnya ibu menolak tapi sambil terus ngobrol, hingga ke masalah biaya sekolah yang makin melangit. Anak bapak itu sekolah SMA dan biaya masuk SMA negeri saja sekarang mencapai 3juta. Itu baru biaya masuk, belum biaya bulanan dan biaya lain-lainnya. Atas dasar itu, mungkin, ibu akhirnya tergerak membeli. Selain karena harganya murah (4ribu isi 10 bungkus), terdorong rasa prihatin juga dengan kehidupan bapak itu. Setelah ibu membeli, beberapa penumpang yang tak jauh dari tempat perbincangan pun ikut membelinya. Entah karena memang bermaksud membeli atau punya alasan yang sama dengan kami. Lantas ibu tersenyum padaku dan bilang, "Ibu seneng gethuk'e laris". Aku ikut tersenyum senang. Ada rasa haru yang merayap. Ada pikir yang mengusik. Tentang perjuangan orang-orang dalam keterbatasan hidupnya. Tentang mencintai.
Pikiran tentang mencintai ini melahirkan percakapan-percakapan yang ramai dalam otakku. Betapa cinta itu menyeluruh dan datang dari hal yang sekecil apapun. Bapak itu berjualan gethuk karena rasa cintanya pada keluarganya, ibu membeli gethuk karena rasa cintanya pada pedagang gethuk itu.
Kamu pikir Tuhan menciptakan kita karena apa? Salah satunya mungkin untuk melengkapi deprivasi (kekurangan) yang ada pada orang lain/makhluk Allah lain ketika kita mampu untuk melakukannya. Cinta adalah ketika kita memberi tak harap kembali. Analogi yang kutemukan selama perjalanan Magelang-Kutoarjo adalah seperti kita memelihara hewan. Bukan maksudku menyamakan orang lain dengan hewan, tapi justru dengan anologi itu yang paling mengena di dasar pikirku sekarang. Misalnya kita memelihara ikan hias. Kita rela mengeluarkan uang untuk memberi ikan itu makanan beserta vitaminnya. Kita pun rela mengeluarkan uang untuk menghias akuarium biar tampak indah dan ikanpun senang. Kalau dipikir, untuk apa sih kita melakukan semua itu hanya untuk seekor ikan yang tidak bisa membantu kita, boro-boro membantu, diajak ngomong aja nggak bisa! Apakah kita merasa sia-sia? Tidak. Itulah cinta. Kita mencintai ikan itu, memberikan apa yang dibutuhkan olehnya untuk bertahan hidup, dan kita tidak mengharapkan balasan apapun darinya. Bahkan kita merasa amat sedih ketika ikan itu mungkin terpaksa kita jual. Padahal dengan menjual ikan itu, kita mendapatkan uang, kan? Tapi cinta tidak bisa melakukannya.
Kalau dipikir, kita justru dirugikan secara materi, waktu, dan tenaga oleh sang ikan. Toh, ikan tidak bisa memberi kita penghasilan. Toh, ikan tidak bisa membantu memecahkan masalah yang kita hadapi. Toh, ikan tidak bisa memberi tanggapan ketika kita ajak berbincang. Lebih baik dijual atau dibuang saja biar beban hidup kita berkurang. Tapi sekali lagi cinta tidak bisa melakukannya. Cukup dengan kita melihat tingkahnya yang lucu, walaupun aku yakin ikan itu sama sekali tidak bermaksud bertingkah demikian (melucu) di depan kita, kita akan merasa bahagia. Cukup dengan melihatnya bertumbuh, walaupun tujuan ikan makan itu untuk mempertahankan hidupnya dan sama sekali bukan untuk membahagiakan kita, kita tidak bisa berhenti tersenyum bahagia. Bahkan ketika kita "curhat" kepada ikan padahal kita tahu tanggapan sang ikan cuma bisa mangap-mangap nggak jelas dan sama sekali tidak bisa memberikan alternatif solusi kepada kita, kita bisa merasa lega dan tiba-tiba saja punya solusi. Kita bisa dengan bangga menceritakan kepada teman-teman bahwa solusi atas permasalahan itu didapat berkat seekor ikan yang jelas-jelas beda "dunia". Itulah cinta.
Termasuk ketika kita mencintai orang lain. Meskipun berbeda "dunia". Meskipun mungkin secara kasat mata orang itu tidak memberikan keuntungan apapun untuk kita, tapi sebenarnya darinyalah kita justru mendapatkan sesuatu yang jauh lebih berharga dari yang sekedar kasat mata. Seperti kita mencintai para pedagang asongan, mencintai pengamen kecil, mencintai sahabat-sahabat kita.
Lantas di akhir perjalanan, aku menambahkan satu kalimat lagi dalam quote of the day:
"Dan kita masih duduk di atas roda yang berputar karena kita tidak punya alasan untuk tidak mencintai segala hal yang ikut berputar bersamanya" (Me and pengamen bis: the collaboration, 2011)
PS. Izin mengambil gambar ya Mbah Guk (baca: Google), terima kasih!
Song of the day: You - Jim Brickman ft. Tara MacLea. For a bunch of people in my life, thanks for showing me another real world :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar