Rabu, 01 Desember 2010

LAFALDZ CINTA YANG TAK MUNGKIN TERJEDA

“Karena Allah sayang sama aku, karena Allah menjagaku.” Itulah kenyataannya sekarang, kenyataan yang paling mendamaikan setelah aku sempat bersu’udzon kepadaNya.

Mei, 2010

Usiaku 20 tahun sekarang. Aku merasa punya sisi ketidaknormalan, dalam apa yang seharusnya menjadi pokok perkembangan peralihan remaja akhir menuju dewasa awal sepertiku. Ya, membina sebuah hubungan dengan lawan jenis. Hingga usiaku yang sudah berkepala dua ini belum pernah sekalipun aku mempunyai hubungan khusus dengan laki-laki. Sementara anak-anak lain seusiaku di luar sana bahkan sudah beberapa kali mengalaminya. Entah, something wrong with me?

Kututup buku diary mungil di depanku. Gambar manga dua orang remaja yang terlihat malu-malu duduk di sebuah bangku taman bunga terpampang di sampulnya. Hatiku makin kecut. Aku bahkan kalah dengan mereka, dengan gambar, bayangkan!

“Na, jalan-jalan yuk! Lagi suntuk nih!” Suara cempreng milik Vina dengan segera masuk gendang telinga dengan paksa. Aku membuka mata, mengakhiri perenunganku.

“Kenapa, sih, Vin? Andi lagi?” Yang ditanya hanya mengangguk. Aku berusaha tersenyum. “Yuk!”

Dalam sekejap saja kami sudah berada di kerumunan ini. Tanggal muda, tanggal di mana orang sedang berada dalam tingkat semangat paling tinggi untuk menyerbu pusat perbelanjaan, termasuk mall tempat aku dan Vina berada sekarang. Ada yang mengatakan pergi ke pusat perbelanjaan dapat menghilangkan stres. Itu sama sekali tidak berlaku untukku. Bagaimana mungkin dapat menurunkan stres kalau melihat pernak-pernik lucu atau benda apapun itu yang menarik perhatian kita tapi tetap tak bisa memiliki karena harga yang melampaui uang saku kita. Dan ya, sumber stres baru siap melakukan serangan indahnya!

“Vin, siapa sih? Temanmu?” tanyaku sesaat setelah Vina melambai pada seorang cowok modis.

“Bukan. Tadi dia main mata gitu sama aku. Ya udah kubales aja.” Aku melongo. Benar-benar melongo. Jadi selama ini seperti itulah kelakuan Vina kalau ada cowok yang menggodanya? Aku bergidik.

“Biasa aja kali, Na. Nggak usah bengong gitu, kaya liat apaan aja!” tegur Vina menyadari keterkejutanku. “Makanya jadi cewek jangan lugu-lugu amat, nggak bakal laku kalau hargamu terlalu tinggi,” sambungnya. Aku diam. Bukan berarti tak mau mendebat, tapi lebih pada membandingkan realita yang ada sekarang. Kesimpulan nomor pertama: nggak usah sok cuek kalau ada laki-laki menggoda atau menaruh perhatian pada kita.

*

Aku masih sendiri. Malam ini malam Minggu. Sepi. Aku hanya bisa memandangi satu-per satu teman-teman kos pergi berboncengan dengan pasangan masing-masing. Sedangkan aku? Ya, aku hanya bisa duduk di sini. Langit menggantungkan gemintang lincah menyinar di atas sana. Sungguh, pemandangan yang selalu diidentikkan dengan romantika. Di saat-saat seperti sekarang, aku ingin ada seseorang di sampingku yang juga ada di keindahan itu. Seseorang yang menunjukkanku kekayaan luar biasa yang tersimpan di kelamnya malam. Seseorang yang menunjukkanku bahwa kita bisa temukan bentuk apapun semau kita di antara jutaan bintang, bahkan kita bisa melukis harapan kita di sana. Satu kenyataan tiba-tiba mencuat, siapa sebenarnya yang kuharapkan ada di sampingku? Jujur, aku tak mengerti mengapa aku seolah tanpa sadar sengaja membatasi pergaulanku. Aku terlalu takut berhadapan dengan lelaki. Bukan takut karena merasa tak aman bersama mereka, tetapi rasa itu kurasa lebih pada mengantisipasi kemunculan cinta. Entah, aku merasa belum siap untuk membuat status hubungan dengan lawan jenis.

Aneh memang. Di satu sisi, aku beranggapan aku belum cukup dewasa untuk bisa mencintai dan dicintai oleh lawan jenis. Tapi di sisi lain, keinginan itu terkadang muncul sangat kuat. Tuhan, kenapa aku nggak bisa seperti mereka yang bisa dengan mudahnya bergaul dengan lawan jenis? Normalkah aku?


Sampai di sini aku berhenti. Suatu episode flash back memaksaku untuk menyusuri lorongnya. Vina begitu herannya ketika tahu aku belum pernah pacaran sama sekali.

“Kamu..??” tanyanya dengan tatapan penuh selidik. Aku menangkap maksudnya.

“Nggak lah, Vin! Ketertarikanku tetap ke laki-laki, kok!” Hanya saja aku tidak pernah berani mengatakannya pada seseorang yang aku suka, batinku. Kembali kutatap gemintang malam ini. Tak ada satu pun yang bersedia memberitahuku apa yang sedang mereka cengkramakan.

Ya, Allah, apakah ini takdirmu? Salahkah aku jika ingin seperti remaja lain? Kenapa aku begitu sulit membuka diri pada makhlukMu yang bernama lelaki? Rencana apa yang sebenarnya Engkau rancang untukku, ya Allah..
*


Jedheer..!! Astaghfirullah. Aku terkejut ketika seseorang membanting pintu dengan keras. Aku terpaksa menjeda mataku meski aku tahu gemintang di atas sana mulai berteman denganku. Hiasan yang digantung di depan pintu Vina bergoyang. Rupanya, Vina yang merebut perhatian mataku.

“Vin, kamu kenapa?” Ragu-ragu ku buka pintu kayu itu. Vina ada di sudut pembaringannya, menekuni sesuatu. Seolah tidak menyadari kedatanganku. Tapi aku tahu pasti, Vina tahu ada aku di situ. Perlahan, aku duduk tepat di sebelahnya. Vina ganas mengoyak sebuah foto, yang aku tahu pasti itu foto Vina bersama Andi. Aku meraih bahu Vina kala ia sampai pada sobekan terakhir. Vina luruh di pelukanku. Semakin tergugu.

“Andi nggak sebaik yang kupikir, Na. Aku nyesel. Aku udah memberikan semuanya ke dia, tapi apa yang kudapat? Aku hanya mendapatkan satu kenyataan pahit. Dia selingkuh, Na! Aku benar-benar nyesel kenal sama dia!” Aku terhenyak. Lalu lanjutnya, “surprise yang dia janjikan ternyata hanya untuk ngenalin pacar barunya! Cowok tuh emang nggak ada yang bener! Udah ditakdirkan suka mainin cewek!”

“Astaghfirullah, Vin. Coba kamu pikir, kenapa Allah menciptakan laki-laki kalau semuanya akan buruk buat perempuan? Nggak mungkin, kan? Emang menyakitkan dikhianati oleh orang yang kita sayang. Tapi disyukuri saja karena Allah menunjukkannya padamu sekarang, sebelum semuanya terlambat. Coba bayangkan kalau kamu tahu hal ini setelah kamu menikah dan punya anak. Bakal lebih sakit hati, kan, Vin?”

“Nggak usah ceramah, Na! Kamu nggak tahu gimana rasanya! Makanya pacaran dulu, biar tahu gimana rasanya disakitin, setelah itu baru kamu bisa ceramah!” Degg. Kalimat terakhir menohok jauh lebih keras daripada nada suara Vina. Aku memang belum pernah mengenal bagaimana rasanya pacaran. Tapi setidaknya aku ingin belajar dari pengalaman orang lain, agar aku bisa menyiapkan diri untuk menyambut kedatangan cinta suatu saat nanti. Apa yang kukatakan pada Vina, aku hanya ingin dia tahu, ketika kita kehilangan sesuatu, Allah akan memberi gantinya yang lebih baik untuk kita. Tapi aku tidak menyangka akhirnya seperti ini. Kesimpulan nomor dua: mencari pengalaman itu penting agar kita bisa dipercaya untuk memberikan nasehat.

*

“Dalam Islam itu tidak mengenal yang namanya pacaran. Proses kita mengenal ada dalam rentang waktu setelah kita meng-khitbah hingga lamaran. Khitbah itu semacam melamar tetapi masih informal, hanya sebatas kedua belah pihak keluarga saja yang tahu. Sedangkan lamaran, kita sudah menghadirkan pihak ketiga sebagai saksi, biasanya ketua RT atau yang dituakan di daerah tempat tinggal.” Bahasan halaqoh sore ini begitu menarik perhatianku. Tentang hubungan dengan lawan jenis dalam Islam.

“Jadi sebenarnya pacaran itu dilarang ya, Mbak?”

“Dalam Al-Quran maupun hadits tidak disebutkan secara jelas tentang hal itu. Tapi, kita diperintahkan untuk mengantisipasi dalam segala hal. Apalagi masalah hati. Masih ingat bahwa Allah Maha membolak-balikkan hati seseorang?” Kami semua mengangguk-angguk. Mbak Meita tersenyum sejurus. Kemudian lanjutnya, “Mungkin awalnya memang berniat mencintai atas nama Allah, tapi syaitan pandai menggoda nafsu kita. Bukan tidak mungkin kita jadi berpaling dari Allah. Banyak juga contohnya akhwat dan ikhwan yang goyah imannya, melakukan hal seperti layaknya hubungan suami-istri.”

“Tapi kadang ada keinginan kuat dari diri kita untuk dapat merasakan saling mencintai, Mbak. Kita bisa lebih dipercaya juga ketika ada teman yang curhat.” Ingatanku seketika itu melayang pada peristiwa semalam, perkataan telak dari Vina. Kuceritakan hal itu pada Mbak Meita.

“Rasa mencintai itu wajar ada, tetapi bagaimana kita menghadapi rasa itulah yang harus dengan cara-cara yang disukai Allah. Soal temanmu, mungkin dia tipe orang yang butuh waktu untuk meredamkan emosinya dan kemudian dapat menerima masukan. Mbak punya buku bagus yang lebih bisa menjawab pertanyaanmu, bahkan bisa juga untuk menyadarkan temanmu itu. Judulnya Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan, penulisnya Salim A. Fillah, penerbit Pro-U Media. Tapi sayang mbak nggak bawa bukunya sekarang.”

“Wah, boleh pinjam, Mbak? Nanti pulang aku mampir kos Mbak Mei, ya?”

*
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Padahal, orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah…” (Q.S Al-Baqoroh: 165)

Subhanallah, ayat yang benar-benar menyindir. Kenapa selama ini aku justru ingin mencari tandingan Allah? Aku tenggelam dalam buku Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan. Menyusuri tiap barisnya yang menghipnotis membuatku tersadar dari tidur panjangku. Selama ini aku begitu sombong. Kukira aku sudah cukup memahami hidup. Ternyata begitu banyak ilmu Allah yang belum kumengerti sama sekali.

Aku merasa sangat kecil dan malu. Bahkan Abu Bakar menyuruh ‘Abdurrahman (putranya) untuk menceraikan istrinya karena khawatir cintanya akan melemahkannya dalam berjihad di jalan Allah. Cinta yang sudah berbalut ikatan rumah tangga pun masih ada kemungkinan tumbuh tidak sehat dan membuat Allah cemburu. Bagaimana dengan kita yang bahkan melegalkan ikatan yang tidak sah alias pacaran? Terkadang kita rela memberikan apapun yang kita miliki untuk kebahagiaan orang yang kita sayangi, tetapi seringkali kita masih tidak rela untuk kehilangan sesuatu untuk Allah. Padahal, sesungguhnya kita tidak benar-benar kehilangan. Semua hal yang bersama kita di dunia ini milik Allah yang dititipkan kepada kita untuk dijaga. Suatu saat pasti akan diambil olehNya. Dan kita masih tidak rela? Allah tentulah cemburu melihat kita lebih rela berkorban demi sang pacar.

Ya, Allah, semoga Engkau menjauhkanku dari hal-hal yang membuatMu cemburu. Dan soal keluhanku yang hingga saat ini belum menjamah cinta lawan jenis, lagi-lagi aku malu. Aku merasa sangat bodoh selama ini menginginkan sesuatu yang sama sekali tidak ada gunanya. Seperti kata Ustadz Anis Matta dalam buku ini, selama pacaran mereka berusaha untuk tampil lebih baik dari yang sebenarnya, bukannya saling memahami.

Kusandarkan diriku pada kursi di beranda kamar. Langit di senja menjingga ini mengajakku melafaldz dzikir. Sambil kuresapi kata-kata Ustadz Anis Matta. Benar katanya, teorinya memang pacaran sebagai sarana untuk mendewasakan diri. Namun pada kenyataannya, justru kita saling membuat topeng atas diri kita. Tanpa kita sadari (atau sebenarnya sangat disadari?) suara berubah menjadi sangat manis ketika berbicara dengan sang pacar, padahal mungkin biasanya suka membentak. Atau berubah menjadi seorang gadis yang sangat manja karena ingin selalu diperhatikan pacar. Terkadang mereka juga bertingkah sangat konyol, sengaja berbuat sesuatu yang dapat memancing konflik karena takut pasangannya akan bosan ketika hubungan mereka datar-datar saja. Kalau seperti itu, di manakah letak pendewasaannya?

*

Malam ini aku merasa Allah sangat dekat. Hangat kasih sayangNya mengaliri kalbu, sangat damai hingga hanya air mata syukur yang bisa mengatakannya. Aku terharu, luruh dalam sujud sepertiga malam terakhirku. Allah begitu sayang padaku. Rentetan scene dalam hidupku kembali terentang.

Aku ingat, suatu ketika aku pernah merasa tersesat pada sebuah rasa yang sulit sekali kupastikan apakah rasa itu hadir di waktu yang tepat dan pada orang yang tepat ataukah hanyalah bisikan syaitan. Ya, aku merasa jatuh hati pada seseorang, yang seperti biasanya tak berani kuungkapkan. Di saat aku hilang kendali, takut rasa yang mungkin tidak seharusnya ada itu terus berlanjut, pertolongan Allah datang dari arah yang sungguh tak kuduga. Seseorang yang selama ini kuanggap nyaris sempurna sehingga mampu menjerat hatiku, Allah menunjukkan sesuatu, hal yang tidak kusukai yang ada dalam dirinya. Awalnya aku sangat kecewa karena apa yang terjadi tidak seperti yang kuharapkan. Bahkan aku sempat mengeluh dan bersu’udzon kepada Allah karena sepertinya Allah sengaja membiarkanku tanpa seorang kekasih seperti teman lain seusiaku, mungkin aku tak terlahir normal.

Kemudian sekali lagi Allah menunjukkan jawaban dari arah yang tak terduga. Lewat peristiwa yang dialami Vina, lewat forum halaqoh, lewat sebuah buku motivasi. Hingga aku tersadar bahwa inilah petunjuk dari Allah, inilah peringatan untukku agar tak lagi memupuk rasa yang tidak Allah sukai. Inilah wujud kasih sayangNya. Untuk mengikuti perintahNya dalam berumah tangga, Dia tak ingin hatiku ternodai oleh lelaki lain selain suamiku. Allah menjagaku untuk seseorang yang telah dipilihkanNya untuk menjadi suamiku, dan Allah pun sekarang tengah menjaga seseorang itu untukku kelak. “Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya…” (Q.S At-Taubah: 24)

Lebih jauh lagi, inilah usaha Allah menjagakanku dari jamahan orang-orang yang dapat menjauhkanku dariNya. Allah hanya mau cinta yang dianugerahkanNya dalam hati suciku ini hanyalah untukNya. Dia tengah membimbingku bagaimana mencinta yang manunggal, menunjukkanku makna cinta sejati yang sebenar-benarnya.
Dadaku bergetar. Ada sulur-sulur cinta yang merayapi hatiku, berpadu apik dalam qasidah syukur yang mendamaikan. Allah tengah memelukku saat ini. Dan aku yakin Dia tak akan melepaskan pelukanNya hingga aku diambilNya kembali dari dunia ini.


*

Dua kesimpulan gugur. Kesimpulan ketiga, Insya Allah kesimpulan hingga akhir hayat: Allah selalu memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Allahu Akbar!!
***



Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/1...gah-pro-u.html

1 komentar: