Sore belum terlalu temaram. Saung kecil menatap bangunan di depannya yang berarsitektur rada nyleneh. Ya, Saung kecil tengah menjadi "penyusup" di satu-satunya universitas di kota gudeg ini yang mendedikasikan dirinya dalam bidang seni. Entah kenapa, Saung kecil terpesona dengan kampus ini sejak pertama kali menginjakkan kakinya di gerbang depan. Terlebih ketika berbelok ke arah fakultas seni pertunjukan. Ada nuansa tersendiri yang membuat saung kecil merasa damai. Mendengar dentingan piano dan gitar di suatu sudut. Sementara di sudut lain, gendhing-gendhing jawa mengiringi sendratari yang berlangsung di pendhopo. Sungguh harmonisasi yang menakjubkan dan menenangkan.
Dan sebagaimana ciri khas seni, arsitektur dan segala ornamen di dalamnya pun terasa "nyeni", unik, dan bahkan beberapa tak terdefinisikan bentuknya bagi kaum awam seperti Saung kecil. Namun tetap tak terlepas dari rerimbunan pohon dan space-space hijau. Seandainya di setiap universitas ada setidaknya satu pojok bernuansa demikian, pastilah kampus bukan tempat yang beraroma stress mahasiswa.
Sebagai seorang yang sedari kecil dilatih untuk mengapresiasi seni, Saung kecil cukup menyadari keterkaitan seni dan perkembangan otak. Sistem pendidikan sebagian besar terlalu menjejali kaum-kaum intelektual agar lebih kerap mendayagunakan otak kiri. Hanya otak kiri. Padahal Tuhan berbaik hati membekali manusia dengan dua belah otak, otak kanan dan otak kiri. Untuk bisa menjadi manusia seutuhnya, keduanya haruslah seimbang. Otak kanan menuntun manusia untuk menggunakan rasa dan imajinya. Oh, pantas jika sekarang banyak manusia yang tak lagi punya perasaan, membeku karena terlalu lama tak terpakai, pikir Saung kecil. Saung kecil mulai melihat satu-per-satu budaya negeri ini. Bisa jadi kemunculan boyband dan girlband yang sangat abstrak itu ditengarai adanya ketimpangan fungsi otak. Para penggiat panggung hiburan hanya mampu mengimitasi budaya-budaya dari barat. Lantas ke mana perginya imajinasi kaum muda negeri kita ini? Saung kecil skeptis.
Saung kecil sampai di pendhopo tempat berkumpul beberapa mahasiswa yang asyik berdiskusi atau sekedar berkelakar. Wajah mereka sedikitpun tak terkerut, mengirimkan eter-eter positif. Aura yang sama pada hampir semua mahasiswa yang Saung kecil temui selama bercokol di kampus orang itu. Satu lagi bukti yang Saung kecil temukan atas pernyataan seni mempengaruhi psikologis seseorang. Sok tahu Saung kecil, mendengarkan musik menyebabkan adanya pelepasan hormon stress oleh otak sehingga dapat memberi efek menenangkan. Saung kecil, sih, percaya kekuatan dari ketenangan batin seseorang.
Mentari mulai menggelincir menggapai ufuk. Satu-per-satu mahasiswa beranjak, menyudahi kelakar hari itu. Saung kecil pun demikian, beranjak dengan lintasan-lintasan pikirannya. Bahkan lintasan itu kini tak berwarna putih, hitam, atau abu-abu seperti biasanya. Lintasan itu warna-warni. Sebagaimana seni yang menggoreskan warnanya pada dunia yang monoton. Toh, dunia sudah terlalu rupek dengan segala carut-marutnya. Sudah saatnya manusia sesekali berhenti, mengambil nafas, dan mengembarakan imajinya. Bukankah "earth" tanpa "art" hanya akan terbaca "eh"? Saung kecil tersenyum, imajinya tengah mengembara bersama alunan musik dan lekuk ornamen yang memamerkan kemagisannya.
PS. Ketika kau lelah akan dunia yang carut-marut, berhentilah sejenak, sapukan dan alunkan warna-warna magis dari sudut seni. Dunia akan ada di tanganmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar