Siang teriakkan pekik anak-anak di lapangan itu. Saung kecil duduk di tepiannya, bekas pematang sawah. Gelak tawa, pekikan, sorakan, dan umpatan anak-anak kecil itu masih memenuhi telinga saung kecil. Anak-anak yang bermain layangan di sepetak sawah kering yang sudah alih fungsi sebagai lapangan.
"Ayo ikut main, kak!" Seru seorang anak berbadan kurus dan botak kepada saung kecil
"Lain kali. Aku lihat kalian saja lah sekarang. Lain kali pasti aku ikut," sanggah saung kecil sambil mengacungkan jempol ke arah anak itu. Anak-anak itu kembali sibuk dengan layangannya dan saung kecil kembali sibuk dengan segala yang dapat terangkum oleh benaknya. Mengisi otaknya dengan wewangian debu yang terbawa angin dan segala keriuhan yang ada. Sesekali saung kecil ikut bersorak dan memberi semangat kepada mereka.
Ada kompetisi yang sedang berlangsung. Dua buah layangan saling mengejar di udara. Beradu, lepas, mengejar, kemudian beradu lagi. Begitu seterusnya hingga ada salah satu di antara mereka yang putus talinya.
Sebuah layangan tak terlalu besar bergambar tokoh kartun terlepas dari kaitannya. Putus. Melayang-layang di udara. Teriakan sorak-sorai kemenangan bercampur dengan umpatan kekecewaan. Segera tertangkap oleh mata saung kecil, seorang anak lelaki berlari-lari mengejar layangan. Oh, layangan yang putus itu miliknya, batin Saung Kecil.
Anak lelaki berbaju abu-abu itu tampak terengah-engah. Kepalanya mendongak dan menunduk bergantian. Mendongak ketika ia harus mengawasi ke mana arah layangannya terbawa angin. Menunduk ketika ia harus membawa kakinya berlari melompati pematang dan menghindari rekahan tanah kering yang bisa membuatnya terjatuh. Teman-temannya tidak ada yang membantu. Ia berjuang sendirian. Memang seperti itu peraturan yang dibuat oleh anak-anak ini. Yang kalah, harus mengejar sendiri layangannya.
Sebenarnya bisa saja mereka membiarkan layang-layang yang putus itu menjadi milik angin dan memutuskan untuk membeli layangan yang baru. Tapi, jika demikian yang terjadi, sorak-sorai dan gelak tawa tak akan berlangsung seseru ini. Pun tak akan terlihat senyum kepuasan rekah dari bibir si anak yang berhasil mendapatkan layangan putusnya.
Saung kecil masih mengamati anak lelaki berbaju abu-abu itu. Anak lelaki berbaju abu-abu itu masih bersemangat mengejar layang-layangnya. Saung kecil yakin benar bahwa anak itu sudah terengah-engah dan mungkin juga kesal karena angin mempermainkan layang-layangnya naik turun. Saung kecil merasa tengah belajar sesuatu. Pengejaran.
Ya, hidup selalu dipenuhi oleh pengejaran-pengejaran yang dilakukan manusia. Dalam hal apapun. Kesuksesan, prestasi, bahkan hal-hal kecil sekalipun seperti mengejar bis kota. Kita diajari mengejar sejak kecil. Seorang anak kecil yang tertarik dengan kupu-kupu akan berusaha mengejarnya dan ketika ibunya mengetahui hal itu, ibu anak kecil itu akan memberi semangat kepada anaknya untuk mengejar kupu-kupu. Itu bukti bahwa secara naluriah, manusia punya dorongan untuk mengejar. Dan pengejaran itu dikuatkan oleh hal-hal di luar diri. Mungkin waktu, mungkin keadaan, mungkin orang-orang sekitar.
Pengejaran akan berhenti ketika berhasil mendapatkan apa yang dikejar. Puas, ya. Tapi sesungguhnya tidak akan benar-benar berhenti. Bagi sebagian orang mungkin merasa perjuangan sudah selesai. Justru perjuangan yang sebenarnya baru saja dimulai. Perjuangan untuk mempertahankan apa yang sudah berhasil didapat dengan pengejaran itu. Itulah mengapa mempertahankan lebih sulit daripada mendapatkan, karena perasaan "kita sudah selesai" saat mendapatkan apa yang dikejar. Belum, belum lah selesai.
"Hoorree, dapaaat!!!" Seruan itu menyentakkan Saung Kecil. Dilihatnya anak lelaki berbaju abu-abu itu tidak lagi berlari. Ia berhenti mengejar. Tapi tidak dengan tangan hampa. Ia melambai-lambaikan layang-layang di tangannya. Saung kecil berlari ke arah anak itu, menggendongnya, dan mengangkat layang-layang itu setinggi-tingginya. Nafas anak itu payah sekali. Tapi, kali ini beradu dengan hembusan kemenangan, kegembiraan, dan kepuasan yang membuncah. Para pendukung anak lelaki berbaju abu-abu mengerubuti saung kecil dan anak itu. Persis seperti seorang yang baru saja menyabet piala kejuaraan tingkat dunia.
Saung Kecil menurunkan anak lelaki berbaju abu-abu. Sorak-sorai mereda. Permainan senja itu telah usai. Mereka mengemasi layangan masing-masing dan berjalan kembali ke rumah dengan senyum masih melekat di benak mereka.
"Eh, sini, layangan kamu buat aku aja. Sudah putus, kan? Pasti kamu juga akan beli yang baru. Daripada dibuang, buatku saja. Nanti bisa kuganti sendiri benangnya." Seorang anak tiba-tiba mendekati anak lelaki berbaju abu-abu dalam perjalanan pulang. Saung kecil masih di lapangan, belum selesai mengemasi barangnya. Dilihatnya anak lelaki berbaju abu-abu itu ragu-ragu.
"Jangan. Kamu beli saja sendiri yang baru. Aku akan mengganti benang ini sendiri. Aku masih ingin pakai. Layang-layang punyaku ini yang paling hebat selama ini. Dulu-dulu aku pasti menang. Baru tadi saja dia punya lawan yang super hebat. Tapi aku masih percaya dia bawa keberuntungan buatku. Kamu beli sendiri saja, ya," ucap anak lelaki berbaju abu-abu itu akhirnya. Anak yang meminta layang-layang itu mengangguk. Mereka pun berjalan pulang bersama-sama.
Lagi-lagi Saung kecil seakan ditampar. Ah, ya, anak lelaki berbaju abu-abu itu merupakan salah satu dari mereka yang menganggap akhir dari pengejaran adalah awal dari perjuangan yang sesungguhnya. Mempertahankan. Setiap orang tidak akan rela begitu saja untuk melepaskan apa yang sudah didapat dengan penuh kerja keras dan pengejaran. Setiap orang akan mempertahankan apa yang berhasil didapatnya ketika ia merasa sesuatu itu berharga. Bukan hanya harga dari sesuatu itu sendiri, tapi juga harga dari sebuah pengejaran. Saung kecil yakin, anak lelaki berbaju abu-abu tidak mau memberikan layang-layang putusnya bukan semata-mata layang-layangnya membawa keberuntungan, tetapi juga karena ia mendapatkan layang-layangnya kembali dengan pengejaran yang tak mudah. Ada harga yang patut dibayarkan untuk itu. Ya, hidup memang seperti itu, batin saung kecil.
Saung kecil selesai berkemas. Dipakainya topi yang melindungi kepalanya dari panas menyengat. Ia melambaikan tangan pada beberapa anak yang masih asyik berdiam di lapangan. Ia pun melambai pada sisa senja.
PS. Kita selalu mengejar. Ketika sudah mendapatkannya, berhentilah mengejar. Ketika kau berhenti mengejar, di situlah petualangan dimulai. Kau harus mempertahankannya. Ada harga yang harus dibayar atas pengejaranmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar